Anda di halaman 1dari 12

PERAN INKLUSIVITAS KEUANGAN DALAM MENINGKATKAN

PEMERATAAN MASYARAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Akuntansi H Malam
Kelompok 1

(1) Ni Luh Putu Lestari Dewi (1902622010390)

(2) Hardianus Marus (1902622010391)

(3) Dersiana Lawu Nedi (1902622010392)

SARJANA STRATA 1 AKUNTANSI MALAM FAKULTAS


EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MAHASARASWATI
KATA PENGANTAR

Om swastyastu
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugrahanya lah
makalah yang berjudul” Peran inklusivitas keuangan dalam meningkatan
pemerataan masyarakat dan pengentasan kemiskinan”ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa isi makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak. Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat dan berguna untuk
para pembaca
Om Santi,Santi,Santi Om

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................... i


Daftar Isi .......................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulis ..............................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inklusi Keuangan ..................................................................................... 2

2.2 Manfaat Inklusi Keuangan .......................................................................................... 2

2.3 Perjalanan inklusi keuangan di Indonesia ................................................................... 2

2.4 Strategi Nasional Keuangan Inklusif .......................................................................... 3


2.5 Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan Keanggotaannya .......................... 4

2.6 Inklusi Keuangan Dalam Pemerataan Masyarakat Dan Pengentasan Kemiskinan .... 6

BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 8


3.2 Saran ................................................................................................................ 8
Daftar Pustaka......................................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inklusi keuangan pada dasarnya mengacu pada jumlah orang yang menjadi nasabah atau
pengguna jasa keuangan. Beberapa contoh jasa keungan yang dimaksud meliputi semua jenis
layanan perbankan dan juga asuransi.

Berdasarkan data Global Findex 2014, mereka yang memiliki keleluasaan akses dengan
jasa keuangan di Indonesia terhitung hanya sebesar 36 persen saja. Sedangkan di luar itu,
masih banyak masyarakat Indonesia yang tergolong unbankable atau belum tersentuh jasa
keuangan apapun.

Beberapa kepala keluarga di pelosok daerah bahkan sama sekali tidak memiliki tabungan
dalam bentuk rekening. Alasannya beragam, akan tetapi yang paling terlihat adalah
minimnya sarana perbankan seperti kantor cabang ataupun mesin ATM.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud inklusi keuangan?


1.2.2 Apa manfaat inklusi keuangan?
1.2.3 Bagaimana perjalanan inklusi keuangan di indonesia?
1.2.4 Apa Strategi Nasional Keuangan Inklusif?
1.2.5 Apa Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan Keanggotaannya?
1.2.6 Apa Peran inklusi keuangan dalam meningkatkan pemerataan dan pemberantasan
kemiskinan?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui pengertian inklusi keuangan


1.3.2 Mengetahui manfaat inklusi keuangan
1.3.3 Mengetahui perjalanan inklusi keuangan di indonesia
1.3.4 Mengetahui strategi nasional keuangan inklusi
1.3.5 Mengetahui Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan Keanggotaannya
1.3.6 Mengetahui peran inklusi keuangan dalam meningkatkan pemerataan dan
pemberantasan kemiskinan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inklusi Keuangan

Inklusi keuangan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang


Strategi Nasional Keuangan Inklusif, adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota
masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas,
tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan masing-masing. Di Indonesia, kelompok masyarakat yang diprioritaskan untuk
mendapat akses keuangan antara lain masyarakat berpenghasilan rendah (dalam hal ini MBR
atau keluarga prasejahtera), pelaku UMKM, pekerja migran, wanita, disabilitas, anak
terlantar, lansia, penduduk daerah tertinggal, serta pelajar dan pemuda.

Menurut data Global Findex tahun 2017, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai
48,9% atau 12% lebih tinggi dibanding hasil Global Findex tiga tahun sebelumnya. Pada
2014, baru sekitar 36% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki akses terhadap
lembaga keuangan formal

2.2 Manfaat Inklusi Keuangan

Inklusi keuangan memiliki banyak manfaat. Menurut Bank Dunia, peningkatan inklusi
keuangan dengan nilai satu persen saja, maka pertumbuhan ekonomi bertambah 0,03 persen.
Belum lagi efek lain dari inklusi keuangan dalam bentuk penciptaan lapangan pekerjaan,
penurunan tingkat kemiskinan, hingga meminimalisir kesenjangan sosial. Selain itu, inklusi
keuangan juga diharapkan mampu memberi sumbangsih lebih untuk negara, diantaranya
sebagai berikut:

• Mendukung stabilitas sistem keuangan


• Meningkatkan efisiensi ekonomi
• Mengurangi shadow banking atau irresponsible finance
• Mendukung ekspansi pasar keuangan
• Menyumbangkan potensi pasar baru bagi perbankan
• Meningkatkan Human Development Index (HDI) Indonesia
• Berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional secara
kontinu

2.3 Perjalanan inklusi keuangan di Indonesia

Perhatian pemimpin dunia terkait pentingnya inklusi keuangan mulai mencuat setelah krisis
ekonomi 2008 yang menyebabkan lapisan masyarakat terbawah (penduduk berpendapatan
rendah, penduduk daerah terjauh, penyandang disabilitas, masyarakat tidak memiliki identitas

2
legal, buruh, dan masyarakat tertinggal) menerima dampak terburuk krisis tersebut. Peran
inklusi keuangan pada masyarakat yang dimaksud pertama kali resmi dibahas oleh pemimpin
dunia pada G2O’s Meeting di Pittsburg tanggal 24 - 25 September 2009.[2]

Sebagai salah satu negara dengan tingkat inklusi keuangan yang rendah di tahun 2011 yaitu
sebesar 20%[3], pemerintah Indonesia telah memulai urun rembug untuk mempersiapkan
dokumen resmi sebagai landasan hukum untuk pelaksanaan program kerja terkait
peningkatan inklusi keuangan di Indonesia sejak tahun 2012 - 2014. Pada tahun 2015,
Presiden Joko Widodo memerintahkan kabinetnya untuk memulai merumuskan rencana
program kerja untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia dengan melakukan revisi
pada dokumen yang dihasilkan pemerintah sebelumnya untuk disesuaikan dengan
Nawacita.[4]

Pada tanggal 3 Agustus 2016, Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan telah
menyiapkan rancangan Peraturan Presiden yang akan menjadi program kerja strategis untuk
meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.[5] Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian yang memimpin pertemuan tersebut, yang dihadiri oleh Kementerian dan
Lembaga terkait seperti Bank Indonesia, OJK, dsb, bersama menyiapkan dokumen resmi /
strategi yang komprehensif dengan menuangkan indikator-indikator capaian program dan
target inklusi keuangan di Indonesia.[5] Pada pertemuan tersebut, Sekretaris Menteri
Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, menyampaikan bahwa strategi program kegiatan
direncanakan dapat meningkatkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia menjadi 75% pada
akhir tahun 2019.[5]

Kemudian pada Jumat, 18 November 2016, Presiden Joko Widodo meluncurkan Strategi
Nasional Keuangan Inklusif yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016.
Strategi tersebut-lah yang mendasari terbentuknya Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang
diketuai Presiden Republik Indonesia dengan anggota-anggota yang terdiri dari Kementerian
dan Lembaga Pemerintahan terkait.[6] Peluncuran ini menandai titik awal upaya serius
Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia yang bertujuan
akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2.4 Strategi Nasional Keuangan Inklusif

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016, terdapat beberapa informasi


penting yang perlu diketahui terkait Strategi Nasional Keuangan Inklusif atau umumnya
dikenal sebagai SNKI seperti Definisi Strategi Nasional Keuangan Inklusif, Susunan
Keanggotaan Dewan Nasional Keuangan Inklusif, Pilar-pilar dan Pondasi Inklusi Kuangan,
Segmen Prioritas Masyarakat Indonesia. Selain itu, salinan dokumen Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2016 dapat diunduh oleh masyarakat Indonesia secara luas pada tautan
berikut, 3. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi. Nasional Keuangan
Inklusif (Lembaran Negara Republik. Indonesia Tahun 2016 Nomor 185);. 4..

2.4.1 Definisi

Dalam Peraturan Presiden tersebut, yang dimaksud sebagai Strategi Nasional Keuangan
Inklusif adalah "strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi,
sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi,
percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan
antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia."[7] Keuangan

3
inklusif merupakan komponen penting dalam proses inklusi sosial dan inklusi ekonomi yang
berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas sistem keuangan,
mendukung program penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kesenjangan
antarindividu dan antardaerah. Karena, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden
tersebut, SNKI dimaksudkan memiliki dua fungsi berikut:

1. Sebagai "pedoman bagi menteri dan pimpinan lembaga dalam menetapkan kebijakan
sektoral yang terkait dengan SNKI, yang dituangkan dalam dokumen rencana
strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)";[7] dan
2. Sebagai "pedoman bagi gubernur dan bupati/walikota dalam menetapkan kebijakan
daerah yang terkait dengan SNKI pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota".[7]

1. Penduduk Indonesia memiliki kebutuhan yang besar akan layanan keuangan, terutama
terkait layanan keuangan dasar yang mencakup transaksi pembayaran nontunai,
tabungan, kredit/ Akses kepada Produk Layanan Keuangan
o Akses kepada Instrumen Transaksi Pembayaran. Akses keuangan bagi
masyarakat berpendapatan rendah dapat dimulai dari penggunaan uang
elektronik untuk mempermudah transaksi pembayaran dan mulai belajar
mengelola keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya berkembang
kebutuhan untuk menabung pada tabungan di bank, serta kebutuhan yang
lebih luas untuk produk dan layanan keuangan lainnya.
o Akses kepada Tabungan
o Akses kepada Kredit/Pembiayaan
o Akses kepada Asuransi
o Akses kepada Layanan Remitansi
2. Lembaga Keuangan. Lembaga keuangan formal yang telah berkembang di Indonesia
adalah Bank, Industri Pasar Modal, Industri Keuangan Non Bank (IKNB),Lembaga
Keuangan Mikro, dan Koperasi Simpan Pinjam, yang memiliki prinsip konvensional
dan syariah.
3. Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran. Di Indonesia, lembaga penyedia jasa
pembayaran di Indonesia saat ini terdiri dari bank dan non bank penyelenggara Sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Bank Indonesia – RTGS), Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia, jaringan (prinsipal) kartu ATM/kartu debet,
penyelenggara jaringan (prinsipal) Kartu Kredit, penerbit uang elektronik, dan
penyelenggara transfer dana yang juga merupakan penyedia layanan remitansi.

pembiayaan, remitansi, dan asuransi. Layanan keuangan saat ini masih didominasi oleh
perbankan sebagai lembaga penyedia jasa keuangan dan pembayaran. Dalam meningkatkan
keuangan inklusif, selain tingkat literasi keuangan yang relatif rendah, juga terdapat
tantangan dari sisi penawaran dan sisi permintaan layanan keuangan. Sejumlah tantangan
tersebut antara lain ialah sebagai berikut:

2.5 Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan Keanggotaannya

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 merupakan dasar pembentukan Dewan Nasional
Keuangan Inklusif yang bertugas mengkoordinir dan memulai sinktronisasi pelaksanaan
SNKI, memimpin penyelesaian permasalahan dan hambatan permasalahan SNKI melalui
langkah-langkah dan kebijakan, serta memonitor dan mengevaluasi implementasi SNKI di
lapangan.[7]

4
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 juga mengatur susunan kepengurusan Dewan
Nasional Keuangan Inklusif. Dalam dokumen tersebut, diatur bahwa Presiden Republik
Indonesia memimpin sebagai Ketua Dewan dengan Wakil Ketua Dewan, Wakil Presiden
Republik Indonesia, dengan Ketua Harian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Selain itu terdapat dua Wakil Ketua Harian yaitu Gubernur Bank Indonesia sebagai Wakil
Ketua Harian I dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Ketua
Harian II. Pada akhirnya, Dewan Nasional Keuangan Inklusif memiliki anggota-anggota yang
terdiri dari[7]:

1. Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan


2. Menko bidang Politik Hukum dan Keamanan
3. Menko bidang Kemaritiman
4. Menteri Sekretaris Negara
5. Menteri Keuangan
6. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
7. Menteri Dalam Negeri
8. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN
9. Menteri Komunikasi dan Informatika
10. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
11. Menteri Sosial
12. Menteri Hukum dan HAM
13. Sekretaris Kabinet.

2.5.1 Pilar dan fondasi SNKI

Strategi Nasional Keuangan Inklusif disokong oleh lima pilar dan tiga pondasi yang bekerja
secara simultan untuk mempercepat terbukanya akses-akses keuangan kepada seluruh
masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang diprioritaskan. Kelima pilar tersebut ialah
sebagai berikut:[1]

1. Pilar Edukasi Keuangan. Edukasi keuangan bertujuan untuk meningkatkan


pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai lembaga keuangan formal, produk
dan jasa keuangan termasuk fitur, manfaat dan risiko, biaya, hak dan kewajiban, serta
untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan
keuangan.
2. Pilar Hak Properti Masyarakat. Hak properti masyarakat bertujuan untuk
meningkatkan akses kredit masyarakat kepada lembaga keuangan formal.
3. Pilar Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi Keuangan Fasilitas intermediasi
dan saluran distribusi keuangan bertujuan untuk memperluas jangkauan layanan
keuangan untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat.
4. Pilar Layanan Keuangan pada Sektor Pemerintah. Layanan keuangan pada sektor
Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi pelayanan
publik dalam penyaluran dana Pemerintah secara nontunai.
5. Pilar Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan
rasa aman kepada masyarakat dalam berinteraksi dengan lembaga keuangan, serta
memiliki prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan
keamanan data/informasi konsumen, penanganan pengaduan, serta penyelesaian
sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

5
Kelima pilar SNKI ini harus ditopang oleh tiga fondasi sebagai berikut:[1]

1. "Kebijakan dan regulasi yang kondusif. Pelaksanaan program keuangan inklusif


membutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi dari Pemerintah dan
otoritas/regulator.
2. Infrastruktur dan teknologi informasi keuangan yang mendukung. Fondasi ini
diperlukan untuk meminimalkan informasi asimetris yang menjadi hambatan dalam
mengakses layanan keuangan.
3. Organisasi dan mekanisme implementasi yang efektif. Keberagaman pelaku keuangan
inklusif memerlukan organisasi dan mekanisme yang mampu mendorong pelaksanaan
berbagai kegiatan secara bersama dan terpadu."

2.6 Inklusi Keuangan Dalam Pemerataan Masyarakat Dan Pengentasan


Kemiskinan

Keuangan inklusif menekankan penyediaan layanan keuangan berdasarkan kebutuhan


yang berbeda dari tiap kelompok masyarakat. Meskipun mencakup semua segmen
masyarakat, kegiatan keuangan inklusif difokuskan pada sejumlah kelompok masyarakat
yang belum terpenuhi oleh layanan keuangan formal.

Masyarakat berpendapatan rendah adalah kelompok masyarakat 40% (empat puluh


persen) berpendapatan terendah berdasarkan Basis Data Terpadu yang bersumber dari hasil
kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh Badan
Pusat Statistik. Kelompok ini memiliki akses terbatas atau tanpa akses sama sekali ke semua
jenis layanan keuangan yang mencakup masyarakat penerima bantuan sosial, program
pemberdayaan masyarakat , dan wirausaha yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk
memperluas usaha. Sementara itu, pelaku usaha mikro dan kecil merupakan pelaku usaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.

Selain kedua kelompok masyarakat di atas, sasaran keuangan inklusif juga mencakup
masyarakat lintas kelompok, yang terdiri dari:

1. Pekerja Migran
2. Wanita
3. Kelompok masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti
anak terlantar, penyandang disabilitas berat, lanjut usia, mantan narapidana, dan
mantan tunasusila
4. Masyarakat di daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau terluar
5. Kelompok Pelajar, Mahasiswa, dan Pemuda[1]

2.6.1 Tantangan terhadap pemenuhan inklusi keuangan di Indonesia

Sejumlah tantangan terhadap perwujudan keuangan inklusif di Indonesia dapat


dikategorikan menjadi empat area, yakni keterbatasan akses; minimnya penggunaan; kualitas
yang rendah dan minimnya dukungan dari pelaku jasa keuangan.[8]

6
Keterbatasan akses

Pada tahun 2016, penetrasi internet di Indonesia hanya capai 34% dari total populasi.
Penetrasi internet di negara-negara tetangganya bahkan telah mencapai lebih dari 40%.[9]

Merespon minimnya ketersediaan dan kualitas akses internet pemerintah menggelar akses
internet berkecepatan tinggi yang dapat diakses tanpa biaya di lokasi-lokasi publik di
berbagai kota dan kabupaten, membangun jaringan internet serat optik untuk
menghubungkan wilayah-wilayah tertinggal.[10]

Minimnya Penggunaan

Pertumbuhan rekening simpanan per tahun di Indonesia tak lebih dari 4,2%.[11] Meski
pertumbuhan kepemilikan rekening simpanan di Indonesia terbilang tertinggi di antara
negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sekitar 52.664.391 penduduk dewasa
belum memiliki rekening simpanan di lembaga keuangan formal.[12]

Kualitas yang rendah

Tingkat kepemilikan rekening sedikit banyaknya dipengaruhi tingkat literasi keuangan


masyarakat. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 oleh OJK,
kurang dari 30% orang Indonesia melek keuangan. Tingkat literasi di kalangan perempuan
bahkan masih lebih rendah dibanding laki-laki, meski angkanya mengalami peningkatan.

Selain itu, dunia perbankan masih mendominasi jumlah pengaduan nasabah yang diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga tersebut mencatat sebanyak 53 persen atau
sekitar 1.900 pengaduan nasabah dari total 3.832 pengaduan nasabah merupakan pengaduan
yang terkait dengan layanan perbankan.[13]

Minimnya dukungan dari pelaku jasa keuangan

Dengan pendekatan rekening, hanya 22% dari total UMKM yang memiliki akses kepada
kredit perbankan. Mereka sebagian besar berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Sedangkan mereka yang berada di timur Indonesia, belum tersentuh secara menyeluruh.[14]

Regulasi dan institusi

Aturan yang tumpang tindih dan berbelit-belit, serta lemahnya koordinasi dan komunikasi
antar instansi pemerintah masih menghambat percepatan inklusi keuangan di Indonesia.[15]
Hambatan ini sangat terlihat dalam upaya harmonisasi layanan Laku Pandai oleh OJK dan
Layanan Keuangan Digital oleh Bank Indonesia.

7
BAB III
KESIMPULAN

Keuangan inklusif didefinisikan kondisi ketika setiap anggota masyarakat mempunyai


akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu,
lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Inklusi keuangan memiliki banyak manfaat. Menurut Bank Dunia, peningkatan inklusi
keuangan dengan nilai satu persen saja, maka pertumbuhan ekonomi bertambah 0,03
persen. Belum lagi efek lain dari inklusi keuangan dalam bentuk penciptaan lapangan
pekerjaan, penurunan tingkat kemiskinan, hingga meminimalisir kesenjangan sosial
Masyarakat berpendapatan rendah adalah kelompok masyarakat 40% (empat puluh
persen) berpendapatan terendah berdasarkan Basis Data Terpadu yang bersumber dari hasil
kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh Badan
Pusat Statistik. Kelompok ini memiliki akses terbatas atau tanpa akses sama sekali ke semua
jenis layanan keuangan yang mencakup masyarakat penerima bantuan sosial, program
pemberdayaan masyarakat , dan wirausaha yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk
memperluas usaha. Sementara itu, pelaku usaha mikro dan kecil merupakan pelaku usaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.

3.2 Saran
Agar mahasiswa dapat mempelajari lebih lanjut tentang peran inklusivitas keuangan dalam
pemerataan dan pengentasan kemiskinan memahami apa itu pengertian inklusi keuangan,
manfaat inklusi keuangan, dan inklusi keuangan dalam pemerataan dan pengentasan
kemiskinan di indonesia.

8
DAFTAR PUSAKA

https://www.cekaja.com/info/mengenal-inklusi-keuangan-pengertian-manfaat-dan-
inovasinya-untuk-negara/

https://id.wikipedia.org/wiki/Inklusi_keuangan

Anda mungkin juga menyukai