Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

BAHASA INDONESIA

BAB 1

“ … judul tugas … “

Kelompok 3 :

1. Agnissa Linggih Cahyani


2. Halimatus Sa’diah
3. Nurul Aulia Dewi
4. Poppy Kusuma Dewi
5. Sahril Fadillah
6. Sandy Salim Alamsyah

SMAN 1 KAB. TANGERANG


TP. 2019/2020
A. Kebahasaan
1. Kata Kerja Material
Kata kerja yang menggambarkan suatu tindakan.
 Senapati menjebak dan membunuh menantunya.
 Pebelen, putra adik Senapati yang bersuamikan pejabat pajang,
melompati pagar istana untuk menyusup ke ruangan keputrian
Ratu Mas Cempaka.
 Kemenakannya memasuki ruangan pribadi sang putri tanpa
sepengetahuan Sultan Pajang.
 Ayah Baru Klinting, kepala Perdikan Mangir sebelum wanabaya
melihat bahwa ular iru kurang sejengkal melingkari Gunung
Merapi
 Menjelirkan lidahnya untuk menutupi yang kurang sejengkal
 … telah memotong lidah itu dengan keris pusaka.
 Sewaktu bersujud pada panembahan Sanepati, kepalanya
ditangkap oleh raja Mataram dan dihantamkan.
 Setiap Rata (kesatuan pasukan) berputar maju ke depan sambil
melindungi tentara induk yang belum bergerak keluar dari lokasi.
 Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka.
 Pencerita – Berjalan mundur memasuki panggung gelap dengan
pukulan gendang semakin lemah, kemudian hilang dari panggung.
2. Kalimat Tak Langsung
Cara menceritakan tuturan.
 Menurut Negara kertagama, …
 Seperti dipaparkan dalam kreasi cerita tutur ini, …
 Dalam tradisi BTJ, dipaparkan…
 Walaupun menurut dongeng belakangan ini, …
 Pernah terjadi penilaian, bahwa…
 Dalam semua versi cerita ini disebutkan, bahwa …
 Mengagungkan keunggulan feodalisme, untuk menyatakan, bahwa
tua Perdikan itu benar telah bersujud pada kaki raja Mataram.

3. Kata Sifat
Menggambarkan tokoh, tempat, dan suasana.
 Diperdebatkan secara harmonis dan elegan.
 Mangir adalah pemimpin muda, berani, …
 Yang waktu peristiwa ini terjadi berumur mendekati 100 tahun,
masih lincah dan berpikiran tajam.
 Ki Ageng Pamanahan, berbeda dari beberapa tersebut tadi, masih
hidup dalam keadaan yang sangat lemah, setengah pikun.
 Untuk menindas musuhnya secara cepat dan kuat.
 Tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi perkasa, dan gagah.
 Dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua datang.
 Bicaramu panjang-panjang, lambat dan malas.
 Baru klinting yang jenaka.
 Seorang perjaka tampan, berani tangkas di medan perang.
4. Dialog
 “Apa pula yang hendak kau katakana, Suriwang?”
 “Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, tak bakal jadi raja.”
 “Tak bakal jadi raja! Bua tapa pula tombak tambahan?”
 “Mangir tak boleh dijamah! Ai-ai-ai, tak bisa lain.”
 “dari Mangir ke Mataram?”
 “Lima ribu langkah.”
 “Dia bersahaya dan bersembah, Klinting.”
 “Kau takkan balik ke Mataram, karena Laut Kidul lebih dekat
untukmu.”
 “Warta tertiup lalu dari desa ke desa.”
 “Tak ada mulut Mataram bisa dipercaya.”
5. Kata Kerja Mental

 Sebagai imbalan atas jasanya kepada penguasa Demak, pemanahan


menerima "hak pakai" untuk membuka-membabat lahan baru
dikawasan Mataram. (Romawi X)
 Meskipun Sekar Kedaton menerima dengan hati terbuka, tindakan
kemenakan Senopati itu, yang melanggar tata cara keraton, dilihat
sebagai suatu kesalahan. (Romawi XII)
 Tidak mengherankan mengapa sistim tersebut, yang
dikembangkan dengan menempatkan prioritas nilai yang "janggal",
membawa sejarah penguasa Mataram penuh dengan konflik
keluarga, dari generasi ke generasi. (Romawi XIV)
 Dengan mempelajari warisan leluhur, kita dapat menjadi lebih
waspada untuk menyimak kelemahan-kelemahan dan
ketimpangan suatu sistim bawaan masa lalu. (Romawi XVIII)
 Tentang kadipaten dan kabupaten, sastra Jawa di kemudian hari
sangat sering dan banyak menyinggung, tetapi tidak tentang desa-
desa yang berdikari yang melahirkan pemimpin-pemimpin baru,
yang biasa menggunakan gelar baru Ki Ageng. (Romawi XXIII)
 Dan sebab lain pula yang boleh jadi dipergunakan sebagai alasan
ialah karena Mataram nampaknya malu menderita kekalahan
perang melawan balatentara Mangir, balatentara orang desa.
(Romawi XXIV)
 Mengingat bahwa selera Jawa lama dapat dikatakan konservatif,
baik dalam nama, pakaian maupun makanan, maka kata baru ini
menimbulkan juga teka-teki yang misterius apalagi dimunculkan
sebagai ular yang nyaris dapat melingkari Gunung Merapi.
(Romawi XXV)
 Untuk itu ia terpaksa membikin persyaratan dengan menempuh
acuan sastra Jawa yang umum, yakni persyaratan yang diberikan
oleh seorang anak yang mengharapkan pengakuan ayahnya, suatu
sisa-sisa dari tradisi dan kepercayaan pemuliaan leluhur. (Romawi
(XXVII)
 Suatu pertanda bahwa umum sudah mulai menganggapnya
sebagai sanepa atau kias belaka. (Romawi XXVIII)
 Mendapatkannya dari kerajaan Demak atau pun Pajang rasa-
rasanya tidak mungkin, mengingat mereka memang tidak atau
belum biasa memberikan status hukum itu pada masyarakat-
masyarakat tertentu. (Romawi XXIX)
 Pandangan sastra yang demikian semakin lama semakin
menyesatkan, seakan usaha manusia, yang digambarkan oleh
sastra Jawa lama setelah Majapahit tidak tergantung pada
manusianya, tapi pada senjatanya. (Romawi XXX)
 Maka juga tidak mengherankan bila dalam satu versi tertentu
terdapat nama Baru Klinting, sedang dalam versi lain Baro
Klinting. (Romawi XXXI)
 Karena mudanya dia ingin berlagak kuasa, memalukan seluruh
perdikan. (Hal 35)
 Namun setiap perpisahan menakutkan, setiap perceraian
mengecutkan - seakan suatu latihan. (Hal 44)

6. Urutan Waktu Atau Kronologis

 Bahwa mula-mula ia dilukiskan sebagai ular lebih menjelaskan


tentang kedudukan-sosialnya yang rendah, boleh jadi malah
terhalau oleh masyarakat. (Romawi XXXI)
 Bahwa kemudian ia meninggalkan wujud sebagai ular diwakili
oleh lidahnya menjadi tombak pusaka andalan Mangir dan
Wanabaya tiada sulit untuk menangkap maknanya. (Romawi
XXXI)
 Seolah-olah membuktikan bahwa karya sastra menguntit peristiwa
sejarah dengan setia, dan selanjutnya peristiwa sejarah terjadi
seolah-olah meniru kembali apa yang dibayangkan oleh para
perangkum sastra. (Romawi XVI)
 Walaupun pemerintahan yang menerapkan sistim tersebut telah
hancur sejak lama. (Romawi XV)
 Pada waktu cerita ini terjadi kentrung belum lagi populer di Jawa,
maka sebaiknya dipergunakan gendang kecil untuk mengiringi
ceritanya. (Romawi XXXIX)
 Seminggu ia menginap disana, sebelum Sang Sultan akhirnya tahu.
(Romawi XII)
 Bahwa di masa-masa yang lalu sastra selalu mengabdi pada politik,
demikian pula halnya dengan sastra Jawa di masa lalu. (Romawi
XXIII)

7. Kalimat Lampau

 Drama Mangir selesai ditulis Pramoedya pada 1976 berdasarkan


cerita tutur yang masih diingat oleh masyarakat di Jawa Tengah.
(Romawi IX)
 Drama Mangir sendiri menyangkut Senapati dari Mataram yang
berkuasa pada paruh kedua abad ke-16. (Romawi IX)
 Banyak cerita tutur lain yang sempat tercatat, seperti lakon-lakon
tentang Jaka Tingkir, yang nantinya bernama Adiwijaya dan
menjadi Sultan Pajang. (Romawi IX)
 Paman Senapati dari puhak ibu, telah membantu Senapati membina
Mataram. (Romawi X)
 Ki Ageng Pemanahan tercatat dalam babad sebagai ahli perang.
(Romawi X)
 Sultan Pajang memang telah menghukum pemuda yang teledor itu,
tapi sewajarnya peristiwa tersebut selesai disini. (Romawi XIII)
 Mungkin masih segar dalam ingatan kita, peristiwa "lengsernya"
Soeharto dari Istana Negara pada Mei 1998 yang terjadi ditengah
kesimpangsiuran fitnah dan gunjingan. (Romawi XVI)
 Patut diingat peristiwa pertemuan keluarga yang berakhir dengan
dramatik telah disaksikan oleh Pemanahan. (Romawi XVII)
 Dalam arsip Belanda tercatat, pada 15 Juli 1825 Pangeran
Diponegoro menghubungi "wong durjana dan kecu". (Romawi
XVIII)
 Kerasnya Feodalisme Jawa telah menghasilkan kehati-hatian para
pujangganya. (Romawi XXII)
 Dalam beberapa cerita, Ki Ageng Pemanahan telah meninggal
walaupun ia lebih muda daripada Tumenggung Mandaraka alias
Juru Martani. (Romawi XXXIV)
 Pernah terjadi penilaian, bahwa senjata pusaka dalam sastra Jawa
tidak lain daripada lambang kemampuan tokoh yang memilikinya.
(Romawi XXX)
B. Struktur

1. Pengenalan Situasi Cerita

 Pengarang Mangir memberikan paparan tokoh-tokoh yang akan


mengisi cerita dengan penjelasan pencerita pada pembukaan drama
sebelum para tokoh berdialog, yang menceritakan asal mula
Perdikan Mangir, seperti berikut :

 Siapa belum pernah dengar cerita lama tentang Perdikan Mangir


sebelah barat daya Mataram?
 Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita
 Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan, wibawa ada dalam
dadanya, bijaksana ada pada lidahnya, rakyat Mangir hanya tahu
bersuka dan bekerja, semua usaha kembang, bumi ditanami jadi.
 Datanglah hari setelah setahun menanti Pesta awal Sura
 Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak, dekat-jauh,
tua-muda, bujang-perawan, semua datang di dapur Ki Ageng
Mangir Tua, habis pisau perajang terpakai, datang
 perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
 Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
 Hanya tinggal belati pusaka
 boleh kau menggunakan, tapi jangan kau lupa dipangku dia jadi
bahala.
 Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipangkunya
 Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam rahimnya, lahir ke atas
bumi berwujud ular sanca
 - Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
 Malu pada perdikannya, malu pada sanak tetangga, Ki Ageng lari
seorang diri, jauh ke gunung Merapi, mohon ampun pada Yang
Maha Kuasa. Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
 Datang seekor ular padanya, melingkar mengangkat sembah
 - Inilah Baru Klinting sendiri. Datang untuk berbakti, biar
menjijikkan begini adalah putramu sendiri.

 Ki Ageng mengangkat muka, kecewa melihat sang putra


 - Tiada aku berputra seekor ular
 Kecuali bila berbukti dengan kepala sampai ekor dapat lingkari
Gunung Merapi.
 Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua, Baru Klinting lingkari
Gunung Merapi Tinggal hanya sejengkal lidah dijelirkan untuk
penyambung, Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka. Ular
lari menghilang, tinggal sejengkal lidah, dijadikannya tombak
pusaka Itulah konon tombak pusaka Si Baru Klinting.

 Petikan cerita diatas adalah cerita Perdikan Mangir yang


diceritakan oleh pencerita sebagai pembuka drama ini, sangat jelas
menceritakan asal mula Perdikan Mangir dan tokoh yang akan
mengisi cerita dalam drama ini. Ada tokoh yang menjelaskan diri
sendiri, dan ada juga yang menjelaskan tokoh lain, seperti petikan
dialog berikut:

 SURIWANG : …………………………………
 Inilah Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru
Klinting………………

 SURIWANG : (membawa ikatan mata tombak, bicara pada diri


sendiri).
 Baru Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan.
(menganggukangguk). Anak desa ahli siasat – dengan Ronggeng
Jaya Manggilingan digilingnya balatentara Mataram, pulang ke
desa membawa kemenangan. (pada Baru Klinting). Masih kau
biarkan Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan
mahkota?
2. Pengungkapan peristiwa

 Insiden permulaan muncul pada peristiwa selanjutnya, setelah


Suriwang meninggalkan Klinting di pendopo, Demang Patalan dan
Demang Jodog masuk, disusul oleh Demang Pajangan dan
Demang Pandak. Saat mereka membicarakan Mataram, mereka
terlihat mulai kesal pada Wanabaya, Ki Ageng Mangir muda yang
belum datang karena sedang asik menari dengan seorang penari
cantik sebuah rombongan tandak yang belum jelas asalnya.

 DEMANG PATALAN : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda tidak


semestinya terlambat datang. Hanya karena Adisaroh penari, juga
Pajangan dan Pandak terlambat datang.

 DEMANG PATALAN :(menghampiri Demang Jodog yang


duduk, menariknya berdiri ) Kau beranikan dia datangkan
rombongan tandak entah dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok
kepayang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa wasana.

 DEMANG PAJANGAN : Kau akui hak Wanabaya, Klinting?


Dengan bersuka, dia akan lekang di medan-perang.

 Dari dialog-dialog diatas, Para demang merasa khawatir pada


Wanabaya, sebagai seorang panglima, dia seharusnya memikirkan
perang dengan Mataram, mereka takut Wanabaya mengabaikan
peperangan, karena asik mengurusi perempuan cantik, namun
Demang Jodog berpihak pada Wanabaya, mereka terus bertengkar
hingga Baru Klinting menyuruh orang mamanggil Wanabaya.

 Klinting mengambil keputusan memanggil Wanabaya agar


semuanya jelas. Namun kedatangan Wanabaya yang menggandeng
Putri Pambayun (Adisaroh), serta dibelakangnya menyusul
rombongan wiyaga, diantaranya Tumenggung Mandaraka,
Tumenggung Jagaraga, Tumenggung Pringgalaya dan Pangeran
Purbaya, mereka adalah orang-orang Mataram yang menyamar
memakai baju orang desa, membuat para demang dan Baru
Klinting semakin kesal, seperti dijelaskan petikan dialog berikut:

 BARU KLINTING : …………….. (mengangkat dagu menatap


Wanabaya). Dan kau, wajahmu merah seperti masih di medan-
perang, menggandeng putri cantik di hadapan kami. Katakan
kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.

 DEMANG PAJANGAN: Waranggana masyhur, lenggangnya


membelah bumi, lenggoknya menyesak dada, senyumnya
menawan hati, tariannya menggemaskan, sekarang tingkahnya
bikin susah semua orang.

 WANABAYA : …(mengangkat gandengan tinggi-tinggi).


Inilah Adisaroh, perawan waranggana, kubawa kemari akan
kuambil untuk diriku sendiri.

 DEMANG PATALAN : Biar kami tahu apa di hatimu, bisa kami


kaji dan uji-Oh, perang belum lagi selesai, kemenangan belum lagi
terakhir… Kasmaran tandak lupa daratan, Mataram masih jaya
berdiri.

 Akhirnya insiden tersebut bertambah rumit, Wanabaya bermaksud


untuk meminta izin pada Baru Klinting untuk menikahi Adisaroh,
Para tetua Perdikan Mangir tidak begitu saja menerima kehadiran
mereka dan maksud Wanabaya tadi. Namun Wanabaya terus
mendesak agar diizinkan menikah, hal tersebut membuat ricuh
suasana di pendopo. Penjelasan tersebut dapat ditangkap dari
petikan dialog berikut:

 DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang nasib Mangir,


nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana
sibuk tawar-menawar. (pada Baru Klinting) Kau hanya punya kata-
putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana.

 WANABAYA : Sudah kudengar semua suara keluar dari


mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku seorang panglima. Jangan
dikira kalian bisa belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda
hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai.

 Para demang dan Baru Klinting memojokkan Wanabaya, agar


Wanabaya sadar akan kedudukan dan kewajibannya di Mangir,
mereka kesal atas perubahan sikap Wanabaya sejak kenal
Adisaroh. Dan suasana makin tegang saat Wanabaya mendekati
jagang tombak. Mereka mencoba menenangkan Wanabaya.
Tergambar dari petikan dialog berikut:

 DEMANG PANDAK : Biasanya kau rendah hati, sehari


dengan Adisaroh, kau berubah menjadi pongah, tekebur bermulut
nyaring, berjantung kembung.

 BARU KLINTING : Apa guna kau coba dekati jagang tombak?


Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah
kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru
Mataram seperti babi hutan?
 DEMANG JODOG : Tenang kau, Wanabaya. Buka hatimu, biar
semua selesai sebagaimana dikehendaki. Memang perjaka berhak
dapatkan perawan, tapi bukan cara berandalan macam itu, apa pula
bagi seorang panglima.
 Dialog-dialog yang dilontarkan para demang dan Baru Klinting
mengenai perang yang harus didahulukan daripada Adisaroh mulai
didengar oleh Wanabaya, namun dia tetap mempertahankan
keinginannya. Baru Klinting dengan tegas mengusir Wanabaya
karena ia sudah kelewat batas. Hingga Wanabayapun mulai berfikir
tentang keinginannya, Lalu ia mengatakan pernyataan agar ia tidak
diusir namun tetap menikah dengan Adisaroh.
 Dijelaskan dalam petikan dialog berikut:

 BARU KLINTING : Turut semua untukmu ditempat lain! Ludah


akan kau dapatinya pada mukamu. Kau boleh pergi dan coba
sekarang juga.

 WANABAYA : (membuang muka, merenung, bicara pada


diri sendiri). Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah
kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara dari desa ke
desa? Dari panglima jadi tawanan setiap muka? Adisarohpun boleh
jadi tolak diriku pula.

 WANABAYA : Dengar kalian semua: terhadap Mataram


sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini
memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian
tumpas di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari Perdikan ini. Beri
aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir
yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada
orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di
jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada
kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.

 Baru Klinting menyetujui permintaan Wanabaya untuk


menikahi Adisaroh setelah Wanabaya berjanji untuk tetap
memperjuangkan Mangir dalam melawan Mataram, dan tak akan
ingkar karena hal Adisaroh. Hal tersebut dapat disimpulkan dari
petikan dialog berikut:
 Para demang – mengambil tombak dari jagang, mengepung
Wanabaya dengan mata tombak diacukan padanya.

 BARU KLINTING : Tombak-tombak ini akan tumpas kau, bila


nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan, khianati
teman-teman dan semua. Bicara kau!
 WANABAYA : (menatap ujung tombak satu per satu, dan
mereka seorang demi seorang). Dengarkan leluhur suara darahmu
di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam
tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah ini tetap
murni, ya leluhur di alam abadi, seperti yang lain-lain, lebih dari
yang lain-lain dia sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka
sendiri, untuk semua yang setia, karena dalam hati ini hanya ada
satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diri, kalau tubuh ini
tak layak didiami darahmu lagi.

 WANABAYA :Adisaroh takkan bikin Wanabaya ingkar pada


Perdikan. Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya,
akan tetap melawan Mataram. Membela semua kedemangan
sahabat Mangir.

 BARU KLINTING : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan-lahan).


Para demang (merangkul Wanabaya).Pergi kau dapatkan
pengantinmu.

 BARU KLINTING : Kita semua masih curiga siapa waranggana


dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai
memang tidak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil
suara lain. Dilarang diapun akan berkembang lain. Pukul tengara,
pertanda pesta panen boleh dibuka.

 Baru Klinting memang menyetujui pemintaan Wanabaya untuk


menikah dengan Adisaroh, namun kecurigaannya belum hilang
pada Adisaroh Waranggana yang sebenarnya adalah Putri
Pambayun dan rombongan wiyaga yang sebenarnya adalah
rombongan telik Mataram.

3. Menuju konflik

 Akhirnya insiden Wanabaya yang ingin menikah dengan Adisaroh


berkembang setelah keinginannya tercapai, Konflik Adisaroh
muncul ke permukaan, antara tugasnya sebagai Putri Sulung
Senapati yang dituntut membawa Wanabaya ke Mataram, disisi
lain ia mencintai Wanabaya dan takut suaminya dibunuh di
Mataram dan ia menginginkan perdamaian. Sedangkan konflik
Wanabaya muncul setelah konflk Adisaroh mencuat dan tak kalah
tajamnya, yaitu harus menerima kenyataan bahwa istri yang sangat
ia cintai adalah orang Mataram yang merupakan musuhnya dalam
perang, atau memenuhi permintaan Adisaroh untuk menghadap
mertuanya ke Mataram dan berdamai. Tergambar dari petikan
dialog berikut:
 TUMENGGUNG MANDARAKA : Terpaksa nenenda datang
kini untuk menagih janji.
 Bukankah darah satria tak perlu diperingatkan? Dan janji ditepati
seperti matari pada bumi setiap hari?

 PUTRI PAMBAYUN : Sekarang nenenda datang menagih janji,


agar aku khianati suami sendiri.

 TUMENGGUNG MANDARAKA : Bukan mengkhianati, hanya


membawanya menghadap ayahanda baginda, ayahandamu sendiri.

 PUTRI PAMBAYUN : Betapa pandai nenenda berpilih kata. Tidak


percuma jadi Juru martini Sultan Hadiwijaya, dengan warta dan
kata menanggulangi Negara. Apalah arti Pambayun dalam pilinan
kata nenenda? (Dengan mata menyala menghampiri Tumenggung
Mandaraka). Sahaya sukai perdikan ini. Sahaya cintai suami
sendiri. (meninggalkan Tumengguung Mandaraka).

 Petikan dialog diatas memperlihatkan konflik Putri Pambayun


yang tak ingin membawa suaminya ke Mataram, karena ia takut
suami yang ia cintai itu dibunuh ayahnya sendiri. Lalu
Tumenggung Mandaraka kembali ke Mataram membawa kuda
Wanabaya, dengan tetap menuntut Putri Pambayun membawa
Wanabaya ke Mataram. Akhirnya Putri Pambayun mengaku pada
Wanabaya siapa ia sebenarnya dan menyampaikan maksudnya
mengajak Wanabaya ke Mataram. Terlihat konflik Wanabaya pada
petikan dialog berikut:

 WANABAYA : (membelalak memunggungi Putri Pambayun,


berjalan mondar-mandir gelisah, anatara sebentar menoleh pada
Putri Pambayun) Ma-ta-ram! Ma-ta-ram! Dia kelahiran Ma-ta-ram!
Wanabaya beristrikan wanita Mataram! Karena tergila-gila
kecantikannya diri kurang periksa. Ya, langit dan bumi, kemana
mesti kusembunyikan mukaku ini? (Cepat berbalik pada putri
Pambaun). Di luar atau dalam benteng kau tinggal.

 PUTRI PAMBAYUN : (Berdiri menghampiri). Tiada kau hukum?


Bumi dan langit tak dapat ingkari, Inilah Putri Pambayun Mataram
istrimu, inilah bayi dalam kandungan anakmu, dua-duanya tetap
bersetia kepadamu.

 PUTRI PAMBAYUN : Adisaroh dan Putri Pambayun sama,


kakang, dua-duanya istri tunggal Ki Wanabaya. Pesan ayahanda
baginda agar datang ke Mataram seminggu ini, untuk terima restu
bagi perkawinan, mertua bertemu putra menantu, calon nenek
dengan calon cucu.
 WANABAYA : (pergi ke bangku dibawah pohon manga, duduk
bertopang dagu. Tiba-tiba menutup dua belah kuping) Baru
Klinting, kurang apa si Wanabaya, mengapa dikutuk begini rupa
hanya karena cinta?

 Mencuatnya konflik Putri Pambayun dan Wanabaya membuat


penanjakan laku semakin jelas. Putri Pambayun dan Wanabaya
saling mencintai, dan membuat para tetua Perdikan Mangir serba
salah, mereka berunding untuk mengambil keputusan selanjutnya,
Tergambar dalam petikan dialog berikut:

 WANABAYA : ……………..Pambayun, istriku, relakah kau mati


bersama?

 PUTRI PAMBAYUN : Tak bercerai kita, Kakang Wanabaya,


dalam hidup dan dalam mati.

 WANABAYA : Juga rela di medan-perang melawan Mataram?

 PUTRI PAMBAYUN : Untukmu dan perdikan, Kang, di mana,


dan kapan saja.

 BARU KLINTING : Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke


benteng Mataram. Patalan! Berangkat kau sekarang juga ke
Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta.
Sampaikan, pada hari yang sama minggu mendatang. Ki Ageng
Mangir Wanabaya dan istri, Putri Pambayun, akan datang
bersembah pada Panembahan Senapati. (berpaling pada Wanabaya)
Berperisai kalian berdua, kita akan langsung masuk benteng
menyerang istana. Tetap kau pada pendirianmu Nyi Ageng Mangir
Muda?

 Konflik mereka tak berjalan berlarut-larut, karena mereka


mendapatkan keputusan dari hasil perundingan dengan para tetua
Perdikan Mangir. Mereka akan pergi ke Mataram untuk
menghadap Panembahan Senapati.

4. Puncak konflik

 Peristiwa yang muncul sewaktu kekuatan-kekuatan saling


memperlihatkan diri dan membutuhkan penyelesaian. Mataram
menyusun strategi untuk menjebak prajurit Mangir, yaitu dengan
para wanita Mataram yang menggoda dijalan menuju Mataram,
lalu jalan yang dipersempit dan para telik yang diperintahkan untuk
mengabarkan perkembangan selanjutnya mengenai perjalanan
Mangir menuju Mataram. Dijelaskan oleh pencerita dibabak ini,
dan dari petikan dialog seperti berikut:

 Wanabaya dan Baru Klinting tombak pusaka


 Dua belas depa panjang tangkai
 Pambayun diiringi, benteng dimasuki.
 Gapura-gapura penyambutan ini, mengapa?
 Semakin dekati kraton semakin sempit dan rendah?
 Baru Klinting sang tombak pantang menunduk,
 Siap lewati tangkai dipotong biar tetap tegak.

 TUMENGGUNG MANDARAKA : Maka mereka dibikin tak


bisa membuka gelar. Jalanan lebr dipersempit dengan pagar. Di
desa Cepit balatentara Mangir akan dielu-elu, dengan tari dna tuak,
dengan nyanyi dan tandak. Seluruh barisan akan dipenggal tengah
dengan hiburan, tersekat di jalanan sempit, takkan dapat diteruskan
perjalanan berlenggang tangan. Di depan benteng, separoh dari
separoh lawan akan disambut oleh semua perawan benteng
Mataram. Jembatan sungai Gajah Wong di dalam benteng telah
dibongkar dan disempitkan. Di mulutnya akan menunggu barisan
dara anak-anak nayaka, mempersembahkan diri dan sajian. Taka
ada diantara prajurit desa itu akan tahan kena sintuhan tangan
lembut para dara Mataram, mereka akan menggigil megemis kasih,
tepat seperti Wanabaya di hadapan Pambayun. Begitu
panglimanya, begitu juga prajuritnya.

 Petikan cerita dan dialog tokoh diatas menerangkan strategi yang


telah dirancang oleh Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani
untuk melawan tentara Mangir, Sedangkan para tetinggi Mataram
menunggu kedatangan Wanabaya dan baru Klinting di Istana
sambil terus menerima kabar dari para telik. Perkembangan
perjalanan Mangir dijelaskan pada petikan dialog berikut:

 KI AGENG PAMANAHAN : (kembali ke samping). Tak salah


lagi, itu telik ketiga. (Berdiri mencangkung bertumpu pada tongkat,
mengangguk-angguk, mendengarkan. Kemudian mengisyaratkan
dengan tangan menyuruh pergi. Kembali pada Panembahan
Senapati). Memang telik ketiga, membawa warta: Balatentara
Mangir terlalu cepat bergerak. Mereka telah lewati Cepit. Ya-ya-
ya, hmm, hmm, hmm katanya waktu tinggal tiga ratus hitungan
jari. Telah diucapkan pidato elu-elu, ucapan selamat datang atas
nama Sri Baginda Panembahan Senapati ing Ngalaga, Sayidin
Panatagama ing Tanah Jawa untuk yang terhormat Tua Perdikan
Mangir Wanabaya dan istri. Ya-ya-ya, berhasil mereka dibelah
tengah dengan nyanyian dan tari, tuak dan tandak. Semangat
perangnya lemas tersentuh jari-jemari perawan Mataram. Tepat
seperti rencana Ki Juru Martani. Ya-ya-ya, begini jadinya, hmm,
hmm, hmm.

 KI AGENG PAMANAHAN : Telik ke empat, yang terakhir telah


tiba, hmm, hmm, hmm, wartanya: Sisa balatentara Mangir sedang
dielu-elu di depan kraton. Ya-ya-ya, di depan kraton. Separoh dari
separoh barisan tersekat dalam pesta pora dengan perawan para
nayaka. Di mulut jembatan sungai Gajah Wong, ya-ya-ya, barisan
Mangir tinggal seperenambela, dihibur oleh perawan-perawan
pilihan.
 Para telik telah mengabarkan perkembangan mengenai perjalanan
Mangir ke Mataram yang semakin dekat, dan terperangkap oleh
rencana Tumenggung Mandaraka. Sementara mereka menunggu
Wanabaya dan Klinting serta Putri Pambayun, Tumenggung
Pringgalaya salah memberikan perintah menabuh gamelan kraton,
karena gamelan kraton adalah perintah penyerangan, maka rencana
Mataram kacau karena kesalahan tabuhan gamelan kraton, terjadi
perang di depan istana Mataram karena prajurit Mataram lebih
dulu menyerang Mangir. Tergambar dari petikan dialog berikut:

 TUMENGGUNG JAGARAGA : (masuk ke panggung;


mengangkat sembah pada Panembahan Senapati kemudian pada
Mandaraka dan Ki Ageng Pamanahan). Menghaturkan warta
celaka, gusti baginda. Balatentara Mataram telah menyerang
sebelum Wanabaya masuk menghadap gusti baginda. Perkelahian
sedang terjadi di depan istana.

 PANGERAN PURBAYA : (masuk ke panggung, mengangkat


sembah pada Pamanahan Senapati, Ki Ageng Pamanahan dan
Tumenggung Mandaraka). Ampun ayahanda baginda, pasukan
pengawal telah dapat merampas adinda Putri Pambayun dari
tentara Mangir, sebentar lagi akan datang bersembah, telah patik
bebaskan dari tangan pasukan pengawal.

 Putri Pambayun berada diluar saat perang berlangsung, namun


berhasil dirampas oleh pengawal Mataram dari Mangir, dan
dibawa masuk ke istana Mataram. Namun ia terus memekik
memanggil Wanabaya, ia juga pasrah meminta ayahandanya
Panembahan Senapati membunuhnya demi membela Wanabaya.
Lalu Wanabaya, Baru Klinting, dan Demang Patalan menerobos
masuk istana, mereka bermaksud menyerang langsung
Panembahan Senapati. Terjelaskan dari kutipan berikut:
 WANABAYA, BARU KLINTING, DEMANG PATALAN:
(masuk ke panggung dari belakang takhta, masing-masing dengan
keris telanjang di tangan).

 WANABAYA: Yang mana Panembahan Senapati? Inilah


Wanabaya datang sendiri, tanpa tipu tanpa dusta, mari mengadu
runcingnya keris.

 TUMENGGUNG PRINGGALAYA : Inilah Panembahan Senapati


ing Ngalaga, maju kau bedebah Mangir, jangan ragu.

 WANABAYA : (melangkah hendak menyerbu Tumenggung


Pringgalaya).

 BARU KLINTING : Salah! Itulah Panembahan Senapati


(menuding) yang berlindung dibalik semua orang

 WANABAYA : (Ragu mengalihkan sasaran).

 PANGERAN PURBAYA : (Melompat, menikam pada lambung


Wanabaya).

 WANABAYA : (keris terlepas dari tangan). Raja dari segala


dusta… (dihujani tombak oleh prajurit-prajurit Pengawal dari
belakang; rebah)

 Saat Wanabaya masuk istana, ia langsung mencari Panembahan


Senapati, tapi Tumenggung Pringgalaya menjebak Wanabaya
dengan mengaku sebagai Senapati. Saat Wanabaya akan
menyerangnya. Pangeran Purbaya menikam lambung Wanabaya, ia
tersungkur dan dihujani tombak oleh prajurit Mataram.

5. Penyelesaian
 Pada bagian penyelesaian ini, pengarang mulai memecahkan
persoalan, setelah Wanabaya ditikam Pangeran Purbaya tepat
dilambungnya dan dihujani tombak oleh prajurit Mataram. Baru
Klinting ditombak Senapati dari belakang, saat ia menangkis
serangan dari Tumenggung Mandaraka dan Tumenggung
Pringgalaya untuk menyerang Senapati. Sedangkan Demang
Patalan dihujani tombak oleh prajurit Mataram saat akan
menyerang Senapati. Mereka bertiga tewas di Mataram. Tergambar
dari petikan dialog berikut:

 PANEMBAHAN SENAPATI : (menombak Baru Klinting dari


belakang).
 BARU KLINTING : (tersungkur) Be-de-bah!

 DEMANG PATALAN : (dengan keris pada tangan kanan, dengan


tangan kiri melemparkan sarungnya pada Tumenggung
Mandaraka. Sebelum bisa berbuat apa-apa, dihujani tombak dari
belakang oleh para prajurit pengawal; rebah).

 TUMENGGUNG MANDARAKA : Selesai sudah perkara Mangir.

 Petikan dialog diatas menjelaskan detail kematian Baru Klinting


dan Demang Patalan yang mengakhiri perang Mangir dan Mataram
yang memberi kemenangan Mataram atas Perdikan Mangir.

6. Koda

 Pada bagian ini, pengarang memberikan hasil dari penyelesaian,


peristiwa ini menceritakan Putri Pambayun meminta ayahnya
membunuhnya juga, karena ia melihat suaminya Wanabaya
dibunuh. Namun Senapati memerintahkan prajurit mengeluarkan
Pambayun dari Mataram, karena ia telah berhianat. Terlihat dari
dialog berikut:

 PUTRI PAMBAYUN : (di samping mayat Wanabaya). Jangan


lupakan Pambayun, ayahanda baginda, antarkan sahaya pergi
bersama dia.

 PANEMBAHAN SENAPATI : (tanpa menoleh pada Putri


Pambayun). Haram bumi Mataram dengan hadirnya perempuan
durjana hina ini. Keluarkan dia dari Mataram jaya! (cepat
meninggalkan panggung).

 Senapati meninggalkan ruang istana dengan diikuti Tumenggung


Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga dan Pangeran Purbaya.
Tumenggung Mandarakan menghampiri Ki Ageng Pamanahan
yang lebih dulu menemui ajalnya sebelum perkara Mangir selesai.
Putri Pambayun hanya bisa meratapi kematian suaminya di tangan
Mataram.

 TUMENGGUNG PRINGGALAYA, TUMENGGUNG JAGARA,


PANGERAN PURBAYA : (sambil memasukkan keris ke dalam
sarong dengan cepat mengikuti Panembahan Senapati)

 TUMENGGUNG MANDARAKA : (menghampiri tubuh Ki


Ageng Pamanahan). Pamanahan adinda, kau sudah terdahulu pergi.
Tak kau lihat lagi hari ini, hari awal rencana aris ke timur sampai
pantai.

 PUTRI PAMBAYU : (pada Wanabaya). Mari Kang, mari aku


antarkan tinggalkan tempat ini. Mari, mari Kang, mari. Bukankah
Pambayun istrimu yang sejati? (berteriak). Mari, mari, mari.

C. Nilai-Nilai

1. Nilai Budaya

 “ datanglah hari setelah setahun menanti, pesta awal sura”

Nilai budaya dalam kutipan tersebut adalah mengadakan pesta


awal sura yang biasa diadakan setahun sekali.

 Tumenggung Mandaraka :”Gamelan Kraton adalah perintah


penyerangan. Celaka! Sisa balatentara Mangir kini membela diri.”

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa terdapat suatu alat


musik tradisional yang digunakan pada cerita tersebut.

2. Nilai Normal atau Etik :

 “ Tersebut Ki ageng Mangir Tua, Tua Perdikan wibawa ada dalam


dirinya, bijaksana ada pada lidahnya, rakyat mangir hanya tahu
bersuka dan bekerja semua uasaha kembang, bumi di tanami jadi.”

Nilai moral dalam kutipan tersebut adalah sikap wibawa dan tutur
kata yang baik diterapi oleh Ki Ageng Mangir Tua terhadap
rakyatnya sehingga para rakyat sangat senang dalam bekerja.

 “ Bukan buat naikkan Wanabay ke takhta, bukan tumpas semua


raja dengan nafsu besar dalam hatinya, ingin berkangkang jadi
yang dipertuan. Mangir tak boleh dijamah”

Nilai moral dalam kutipan tersebut adalah bahwa menjadi


penguasa takhta bukan didasar oleh hawa nafsu, tetapi didasari
oleh kebijaksanaan dan keadilan.
 “ anakku bukan tandak sembarang waranggana, dididik baik tahu
adab, terlatih tahu sopan setiap waktu, setiap saa “

Nilai moral dalam kutipan tersebut adalah seorang ayah yang


mendidik anaknya dengan baik, dalam sikap maupun ucapan.
 Tumenggung Mandaraka :”Gamelan Kraton adalah perintah
penyerangan. Celaka! Sisa balatentara Mangir kini membela diri.”

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa terdapat suatu alat


musik tradisional yang digunakan pada cerita tersebut.

3. Nilai Agama :

 “Ki Ageng lari seorang diri jauh ke gunung Merapi, mohon ampun
kepada Yanga Maha Kuasa”

Nilai agama dalam kutipan tersebut adalah Ki Ageng memohon


ampun kepada Yang Maha Kuasa atas kelahiran putranya yang
berwujud ular.

 “ ya, Tuhan, akhirnya tagihan datang juga “

Nilai agama dalam kutipan tersebut adalah putri pembayun


berterimakasih kepada sang pencipta.

 Puutri Pembayun :” Suatu kebetulan telah bikin Yang Maha


Kuasa lahirkan aku disana, tepat Mataram”.

Nilai agama dalam kutipan tersebut tampak pada percayanya


bahwa adanya kekuasaan tuhan dalam setiap kehidupan.

4. Nilai Sosial :

 “ Datanglah hari setelah setahun menanti pesta awal sura.


Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak,, dekat
jauh, tua muda, bujang-perawan, semua datang di dapur Ki Ageng
Mangir Tua habis pisau perajang terpakai.”

Nilai sosial dalam kutipan tersebut adalah antusias yang tinggi


terhadap acara yang diselenggarakan, sehingga seluruh rakyat ikut
serta dalam acara tersebut, ada yang mengikuti lomba maupun
mengisi acara.

 “ Manggir akan tetap jadi perdikan, tak bakal jadi kerajaan. Semua
orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang
satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sam dengan
semua.”

Nilai sosial dalam kutipan tersebut adalah bahwa semua orang


berhak untuk menentukan atau memilih siapa yang berhak
menjadi raja.

 Putri Pembayun :”Tak pernah Adisaroh dustai suami.


Bukankah untukmu seorang suami ini kukandungkan?”.

Dalam kutipan tersebut Putri Pembayun mencoba untuk


menjelaskan keadaanya kepada Wanabaya.

5. Nilai Estetis :

 “ kalau bukan aku yang pimpin perang, sudah kemarin dulu kalian
terkapar dibawah rumput hujau. Dia lupa, semua membikin dia
jadi tua perdikan dan panglima perang. Sendiri, wanabaya taka da
arti, sebutir pasir berkelip-kelip sepi dibawah matahari.”

Nilai estetis dalam kutipan tersebut adalah terkait dengan teknik


penyajian cerita. Teknik yang digunakan pengarang adalah teknik
showing (deskriptif). Teknk ini efektif untuk menggambarakn
suasana ataupun tempat.

 Balum lagi kau injakan kaki di kraton mataram, putri-purinya tak


pernah menggarap bumi, dibesarkan hanya untuk ke puasaanya
pria, halus tak pernah keja, tak kena sinar surya.

Nilai estetis dalam kutipan tersebut adalah terkait dengan teknik


penyajian cerita. digunakan pengarang adalah teknik showing
(deskriptif). Teknik ini efektif untuk menggambarkan wujud
seseorang.
 Puutri Pembayun :” Suatu kebetulan telah bikin Yang Maha
Kuasa lahirkan aku disana, tepat Mataram”.

Nilai agama dalam kutipan tersebut tampak pada percayanya


bahwa adanya kekuasaan tuhan dalam setiap kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai