Anda di halaman 1dari 10

NAMA : SASQIA KHAIRUNNISA

NIM : 2030201077
KELAS : AS-1C
UTS FIQH IBADAH SMT 1

1. TATA CARA IBADAH MASYARAKAT DALAM KONDISI PANDEMI


a. SOCIAL DISTANCING DALAM SAF SALAT BERJAMAAH
(Perbandingan Ulama dalam Mazhab)

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Dan keadaan salah seorang, dari kami
menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan kakinya dengan kaki
rekannya.” Dan masih banyak lagi dalil-dalil tentang anjuran meluruskan dan
merapatkan shaf.
Hukum merenggangkan shaf atau membuat jarak dalam shaf ketika shalat
berjamaah.
Apa hukum merenggangkan shaf dalam shalat berjamaah ? Sahkah shalatnya ?
Menjawab pertanyaan tersebut, berikut beberapa kutipan pendapat Ulama terkait
social distancing shaf dalam shalat berjamaah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu
“(Dari sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda, „Susunlah shaf kalian‟) sehingga tidak
ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang
lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf
sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak
ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya,” (Ibnu Alan As- Shiddiqi,
Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424).

Pada dasarnya posisi makmum yang berdiri terpisah dalam shalat berjamaah
(termasuk Jumat yang wajib dilakukan berjamaah) termasuk makruh. Makmum harus
membentuk barisan shaf atau ikut ke dalam shaf yang sudah ada.
“Dan dimakruhkan imam berdiri sendiri dalam shaf, tetapi ia masuk ke dalam
shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai,” (Imam An-Nawawi,
Minhajut Thalibin).
Syihabuddin Al-Qalyubi dalam menjelaskan kata “fardan” atau terpisah sendiri di mana kanan
dan kiri makmum terdapat jarak yang kosong yang dapat diisi oleh satu orang atau lebih.
Pandangan ini sejalan dengan tuntutan untuk social distancing atau jaga jarak dalam
shalat berjamaah sebagai bahagian dari usaha mencegah penularan virus corona atau
Covid-19.

“Maksud kata (terpisah sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat
celah yang memungkinkan satu orang atau lebih berdiri,” (Syihabuddin Al-
Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umaira juz I, halaman 239).

Kemudian, berkata Ibnu Hajar terkait shaf yang terpisah (Social distancing) :

“Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk
berdiri sendiri. Tetapi jika ia menemukan celah atau tempat yang luas pada shaf
tersebut, hendaknya ia mengisi celah tersebut… tetapi jika ia berdiri sendiri,
maka shalatnya tetap sah,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz I,
halaman 356).
Menurut Imam An-Nawawi bahwa berdiri sendiri dalam saf adalah makruh, namun
jika ada uzur yang mengharuskan shaf itu berjarak maka shalat tetap sah.
1
Kemudian, berkaitan himbauan social distancing dalam shalat berjamaah
dengan pertimbangan kondisi darurat, maka hal tersebut sejalan dengan
beberapa kaidah fikih, antara lain :

"Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang."

 Menurut saya,sah karena menjaga jarak dalam salat hukumnya menjadi wajib bila
alasanya menghindari bahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Hal itu berdasarkan hadist
riwayat Ahmad yang telah saya baca, Rasulullah SAW bersabda :

"Jangan membuat bahaya kepada diri sendiri dan orang lain."

b. Sholat Pakai Masker, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Sejumlah daerah bersiap memasuki new normal dengan risiko COVID-19 yang masih
ditemui di lingkungan sekitar. New normal memungkinkan masyarakat hidup
berdampingan dengan virus corona dengan tetap aman dan produktif.

New normal dan pandemi COVID-19 tak menjadi alasan untuk menunda sholat meski
harus melakukannya dengan protokol kesehatan. Salah satunya dengan mengenakan
masker seperti yang pernah disinggung MUI atau Majelis Ulama Indonesia.

1
/https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjEn-
Wz0f_sAhUTSX0KHZVeD4UQFjABegQIBxAC&url=http%3A%2F%2Fjournal.uin-alauddin.ac.id%2Findex.php
%2Fmjpm%2Farticle%2Fdownload%2F14281%2F8534&usg=AOvVaw22LGMVAcpM-2WE0GM6t1Y_
"Bisa sholat dengan masker," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI atau Majelis Ulama
Indonesia DR HM Asrorun Ni'am Sholeh MA dalam pesan pendek yang diterima
detikcom.

Penggunaan masker juga disinggung dalam Surat Edaran (SE) Kemenag tentang panduan
penyelenggaraan kegiatan keagamaan di masa pandemi COVID-19. SE adalah respon atas
keinginan masyarakat yang ingin segera kembali ke rumah ibadah.

"Menggunakan masker/masker wajah sejak keluar rumah dan selama berada di area
rumah ibadah," tulis SE nomor 15 tahun 2020 dalam poin kewajiban masyarakat yang
akan melaksanakan kegiatan di rumah ibadah.

MUI sebelumnya sempat menerbitkan maklumat tentang pemberlakuan new normal atau
tatanan kehidupan baru di tengah pandemi corona. Dalam penerapan new normal, MUI
meminta pemerintah mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Mempersiapkan masyarakat agar dapat memasuki tata hidup baru (new normal life)
dengan melakukan sosialisasi, edukasi, dan advokasi mengenai protokol kesehatan dengan
slogan 'empat sehat lima sempurna' (senantiasa menggunakan masker, jaga jarak sehat,
selalu mencuci tangan, olahraga teratur/istirahat yang cukup, tidak panik, makan makanan
yang bergizi, baik, dan halal)," tulis MUI di salah satu poin maklumat.

Dalam maklumat bernomor Kep-1188/DP-MUI/V/2020 tertanggal 28 Mei 2020 tersebut,


MUI meminta pemerintah terus melakukan sosialisasi ke masyarakat. Sosialisasi
bertujuan menyiapkan dan mengingatkan masyarakat untuk menerapkan protokol
kesehatan saat new normal.

Masker digunakan dengan menutup area sekitar hidung dan mulut dengan tujuan
menurunkan risiko penularan penyakit. Menutup wajah disinggung dalam salah satu
hadist yang diceritakan Abu Hurairah,

َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يُ َغطِّ َي ال َّر ُج ُل فَاهُ فِي ال‬


‫صاَل ِة‬ َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

Artinya: "Rasulullah SAW melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat." (HR
Ibnu Majah)

Namun demikian, para ulama sepakat masker bisa digunakan pada saat tertentu dengan
alasan kuat. Dikutip dari situs Dar Al-Iftaa Al-Missriyyah, kondisi ini terjadi pada jamaah
haji yang menggunakan masker supaya tidak tertular penyakit.
Penyakit tersebut bisa menular lewat udara atau tetesan (droplet) air liur yang bisa sangat
berisiko bagi sebagian jamaah. Dalam kondisi tersebut, masker menjadi kebutuhan vital
yang tak bisa diganti hal lain untuk menjaga kesehatannya.

Jamaah haji yang menggunakan masker saat melakukan ibadah selanjutnya tidak dianggap
salah dan tak perlu melakukan apa pun untuk menebusnya. Imam Al-Shirazi dalam
bukunya Al-Muhadhab mengizinkan wajah ditutup yang juga dilakukan Imam Al-
Nawawi2

 Menurut saya, sebaiknya penggunaan masker dihindari bila sampai menghalangi terbukanya
hidung secara sempurna ketika sujud. Solusi agar tetap mendapat keutamaan adalah,
penggunaan masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian
hidung dibuka. 

c. Bagaimana pendapat tentang tenaga medis yang tidak dapat

berwudu dan tayamum ketika memakai APD menurut fuqaha

Mereka yang kondisinya seperti ini, sebagaimana orang yang diistilahkan oleh para fuqaha
dengan “faqid Ath-Thahurain” (seorang yang tidak mendapatkan air dan tanah untuk
bersuci). Menurut madzhab Syafi’i, hendaknya mereka tetap shalat di waktunya masing-
masing tanpa bersuci (berwudhu, tayamum, dan tanpa membersihakan najis) dalam rangka
“lihurmatil waqti” (untuk menghormati waktu saja). Jika nanti sudah ada waktu yang
memungkinkan untuk melepas pakaian pelindung, maka wajib bagi mereka untuk
mengulanginya, baik masih di waktunya atau sudah keluar waktunya.
Imam Al-Mawardi Asy-Syafi’i (w. 405 H) menyatakan :

‫َولَو عدم ْال ُمحدث َماء وضوئِ ِه وتراب تيَ ّممه صلى ُمحدثا لحُرْ َمة ْال َو ْقت َوأعَاد َوإِذا وجد ال َماء أَو التُّ َراب‬

“Seandainya seorang yang berhadats tidak ada air yang bisa digunakan untuk berwudhu dan
debu yang dia gunakan untuk tayamum, hendaknya dia shalat dalam kondisi berhadats untuk
menghormati waktu shalat dan wajib baginya untuk mengulang apabila dia telah menemukan
air atau debu.” [Al-Iqna’ : 44. Bisa dilihat juga dalam Al-Majmu’ karya An-Nawawi :
2/279].
2
https://news.detik.com/berita/d-5035515/sholat-pakai-masker-bagaimana-hukumnya-dalam-islam
Adapun menurut madzhab Maliki, mereka yang dalam kondisi yang seperti ini wajib untuk
shalat tepat waktu dan tidak wajib mengulangi setelahnya. Hanya saja mereka dianjurkan
untuk mengulangi jika masih berada di waktunya, kalau sudah keluar tidak dianjurkan lagi.
Imam Ash-Shawi Al-Maliki (w. 1241 H) menyatakan :

‫ َويُ ْندَبُ لَهُ إعَا َدتُهَا فِي‬،ٌ‫ص ِحي َحة‬ َ ُ‫صاَل تُه‬ َ َ‫ أَوْ لَ ْم يَ ْعلَ ْم بِهَا َحتَّى فَ َر َغ ِم ْنهَا ف‬،‫صاَل تِ ِه‬
َ ‫َاسيًا لَهَا َحتَّى فَ َر َغ ِم ْن‬ ِ ‫صلَّى بِالنَّ َجا َس ِة ن‬
َ ‫فَإ ِ ْن‬
‫صلِّي‬ ِ ‫ َولَ ْم يَ ِج ْد ثَوْ بًا َغ ْي َر ْال ُمتَنَ ِّج‬،‫ُور أَوْ لِ َعد َِم قُ ْد َرتِ ِه َعلَى إ َزالَتِهَا بِ ِه‬
َ ُ‫ فَإِنَّهُ ي‬،‫س‬ ٍ ‫و َك َذا َم ْن َع َج َز ع َْن إ َزالَتِهَا لِ َعد َِم َما ٍء طَه‬.
َ ‫ت‬ ِ ‫ْال َو ْق‬
‫ت‬ َ ‫ َويَحْ ُر ُم َعلَ ْي ِه تَأْ ِخي ُرهَا َحتَّى يَ ْخر‬.ٌ‫ص ِحي َحة‬
ُ ‫ُج ْال َو ْق‬ َ ‫بِالنَّ َجا َس ِة َو‬.
َ ُ‫صاَل تُه‬

“Jika seorang shalat dengan membawa najis karena lupa sehingga selesai dari shalatnya atau
tidak mengetahui sampai selesai dari shalatnya, maka shalatnya sah dan dianjurkan baginya
untuk mengulanginya di waktunya. Demikian pula seorang yang tidak mampu untuk
menghilangkan najis karena tidak ada air suci atau tidak mampu untuk menghilangkannya,
dalam kondisi tidak mendapatkan baju selain baju yang najis. Maka sesungguhnya dia shalat
dengan membawa najis dan shalatnya sah. diharamkan baginya untuk mengakhirkannya
sehingga keluar dari waktunya.” [ Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Asy-Syarhi Ash-Shagir : 1/65 ].3

*Menurut saya, Tenaga kesehatan ber-APD dapat melakukan salat dalam keadaan
hadas. Langkah pertama adalah, berwudu. Namun, jika tidak memungkinkan, maka ia dapat
menggantinya dengan tayamm. Dengan tidak mungkin bersuci (wudu atau tayamum) tenaga
medis ber-APD tetap wajib melaksanakan salat dengan kondisi yang ada (faqid al-thahurain)
dan tidak wajib mengulangi salatnya (i’adatu al-shalah). Jika APD yang dipakai terkena
najis, dan tidak memungkinkan untuk dilepas atau disucikan, maka salat boleh dilakukan
dalam kondisi tidak suci dengan catatan wajib mengulangi shalat (i’adatu al-shalah) usai
bertugas

d. Bagaimana pendapat tentang tenaga medis yang tidak dapat berwudu dan
tayamum ketika memakai APD jika dikaitkan dengan syarat sah shalat

Dalam pernyataan yang lebih gamblang, Imam An-Nawawi (w.676 H) berkata :


‫ض َي‬ ِ ‫ث أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬ ِ ‫ت لِ َح ِدي‬ ِ ‫صلِّ َي بِ َحالِ ِه لِحُرْ َم ِة ْال َو ْق‬
َ ُ‫ب أَ ْن ي‬
َ ‫فَإ ِ َذا َكانَ َعلَى بَ َدنِ ِه نَ َجا َسةٌ َغ ْي ُر َم ْعفُ ٍّو َع ْنهَا َو َع َج َز ع َْن إ َزالَتِهَا َو َج‬
ُ‫ َوت َْل َز ُمه‬,‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل " َوإِ َذا أَ َمرْ تُ ُك ْم بشئ فاتوا منه ما استطتم " َر َواهُ ْالبُ َخ‬ َ ِ ‫هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫اإْل ِ عَا َدةُ لِ َما َذ َك َرهُ ْال ُم‬
ُ‫صنِّف‬
3
http://www.wartanusantara.id/2020/03/bolehkah-shalat-tanpa-bersuci-bagi.html?m=0
“Maka apabila pada badannya terdapat najis yang tidak dimaafkan dan dia tidak mampu
untuk menghilangkannya, wajib baginya untuk shalat dalam kondisinya tersebut dalam
rangka untuk menghormati waktu berdasarkan hadits Abu Hurairah : Sesungguhnya
Rasululalh bersabda : Apabila aku memerintahkan suatu perintah kepada kalian, maka
lakukan sesuai dengan kemampuan kalian. Riwayat Al-Bukhari dan Muslim”, dan (setelah
itu) wajib untuk mengulangi sebagaimana telah disebutkan oleh pengarang (Asy-Syrirazi).” [
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/136-137].

Jika seorang merasa berat untuk mengulang setiap shalat yang telah dia lakukan, sementara
tugas untuk merawat pasien Corona terus berlangsung, maka bisa mengambil pendapat
madzhab Maliki. Berpindah dari pendapat suatu madzhab kepada madzhab lain karena
adanya suatu kemashlahatan yang besar diperbolehkan, selama masih dalam koridar empat
madzhab yang diakui di dunia Islam.

 Menurut saya, sholat bagi petugas medis yang menggunakan apd yang tidak bisa dilepaskan
dalam kondisi mendesak maka tenaga medis tersebut boleh melakukan sholat jamak secara
rutin.

2. BAGAIMANA PENDAPAT IMAM MAZHAB TERKAIT AIR SUMUR YANG


KEJATUHAN NAJIS DAN BAGAIMANA CARA MEMBERSIHKANNYA

Bangkai hewan termasuk salah satu hal yang najis. Sementara itu, salah syarat sah wudu
adalah menggunakan air yang suci dan menyucikan, tidak boleh menggunakan air yang
terkena najis atau dalam istilah fikih disebut mutanajjis. Namun demikian, ulama memerinci
kategori air mutanajjis yang tidak boleh digunakan dan masih boleh digunakan untuk bersuci.

Ulama fikih membagi dua jenis air dari segi ukuran, yaitu air dua kulah dan air kurang dari
dua kulah. Air dua kulah menurut mazahb Syafii itu air yang volumenya mencapai kurang
lebih 192,857 kg atau memenuhi wadah dengan ukuran lebar, panjang dan dalam masing-
masing satu hasta atau kurang lebih 60 cm. Ini berarti air yang kurang dari ukuran tersebut
termasuk air kurang dari dua kulah.

Terkait air dua kulah yang kejatuhan najis, Syekh Taqiyud Din al-Hishni dalam Kifayatul
Akhyar berkata demikian:
‫صا ِعدا فَاَل ينجس إِاَّل بالتغير بِالنَّ َجا َس ِة لقَوْ له صلى هللا َعلَ ْي ِه َوسلم (خلق هللا ال َماء طهُورا) ال َح ِديث‬ َ َ‫َوأما ْالكثير َوهُ َو قلتان ف‬
‫َواإْل ِ جْ َماع ُم ْن َعقد على ن ََجا َسته بالتغير ث َّم اَل فرق بَين التَّ َغيُّر ْاليَ ِسير َو ْالكثير َس َواء تغير الطّعْم أَو اللَّوْ ن أَو الرَّائِ َحة َوهَ َذا اَل‬
‫اختِاَل ف فِي ِه هُنَا‬ ْ

Air yang banyak (dua kulah atau lebih) itu tidak bisa menjadi najis kecuali bila air tersebut
berubah sebab kejatuhan najis. Hal ini karena hadis Nabi, “Allah itu menjadikan air suci dan
menyucikan”, dan ijmak ulama atas status najis air yang berubah karena najis. Selain itu,
tidak ada perbedaan baik perubahan air itu sedikit atau banyak, berubah rasa, warna, atau
baunya. Ini tidak ada perbedaan pendapat.

Air dalam kategori ini, tentu apabila kejatuhan bangkai cicak, nyamuk, atau belalang misalnya,
biasanya tidak berubah salah satu dari bau, warna, dan rasanya. Bila demikian, maka air dua
kulah tersebut masih dapat digunakan untuk bersuci; wudu, mandi junub, atau mencuci
pakaian yang terkena najis. Hal ini, menurut Syekh Taqiyuddin al-Hishni, berbeda dengan air
yang kurang dari dua kulah sebagaimana berikut:

‫ضة كالميتة الَّتِي اَل نفس‬َ ْ‫ي فِي الرَّو‬ ّ ‫إِذا َكانَ دون قُلَّتَ ْي ِن يتأثر بِالنَّ َجا َس ِة َواحْ ترز بِالنَّ َجا َس ِة المؤثرة عَن غير المؤثرة قَا َل النَّ َو ِو‬
ُّ ‫الذبَاب والخنافس َونَحْ وهَا وكالنجاسة الَّتِي اَل يُ ْد ِركهَا الطّرف ل ُع ُموم ْالبلوى بِ ِه وكما ِإذا َوقع‬
‫الذبَاب على ن ََجا َسة‬ ُّ ‫لَهَا َسائِلَة مثل‬
ُ‫ث َّم سقط فِي ال َماء ورشاش ْالبَوْ ل الَّ ِذي اَل يُ ْد ِركهُ الطّرف فيعفى عَنه‬

Ketika air itu kurang dari dua kulah, maka air tersebut akan terkena dampak sebab kejatuhan
najis. Hal ini dikecualikan bila najis tersebut tidak dapat mempengaruhi air, sebagaimana
Imam an-Nawawi menyebutkan dalam al-Raudhah, yaitu seperti bangkai hewan yang
darahnya tak mengalir, seperti lalat, kelelawar, dan sejenisnya, dan seperti najis yang tak
dapat terlihat pandangan mata, karena sulit menjaganya. Misalnya, ada seekor lalat yang
menemplok pada najis, kemudian lalat itu terjatuh di dalam air, atau misalnya cipratan air
kencing yang tak terlihat mata, itu semua dapat toleransi dari agama.

Dari penjelasan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa air kurang dua kulah juga sama
seperti air dua kulah bila najis yang jatuh ke dalam air berupa cicak, lalat, kelelawar.
Umumnya, air yang kejatuhan bangkai hewan tersebut tidak dalam skala besar itu tidak akan
mengubah karakteristik air. Oleh karena itu, air kategori ini juga masih boleh digunakan untuk
bersuci4.

Hal ini berbeda apabila yang jatuh ke dalam air kurang dua kulah itu seperti ayam yang
darahnya mengalir. Bila air kurang dari dua kulah kejatuhan bangkai ayam, misalnya, maka air
tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik air itu berubah warna, bau, dan rasanya,
maupun tidak berubah.

4
https://bincangsyariah.com/kalam/hukum-berwudhu-menggunakan-air-kejatuhan-bangkai-hewan/
Air mutanajis (air yang menjadi najis)terbagi menjadi dua najis.pertama air sedikit yang
memiliki sifat mensucikan dan kejatuhan najis meskipun salah satu sifat nya tidak ber ubah.
Ke dua air yang mempunyai sifat mensucikan dan kejatuhan najis serta berubah salah satu
nya(warna,bau,rasa)ulama hanafi mengatakan air jenis pertama adalah najis namun ulama
syafii mengecualikan najis yang d maafkan seperti bangkai binatang yang tidak mengalir darah
nya seperti lalat dan lebah

Cara mensucikan nya yaiu:


1.air yg terkena najis didiamkan dalam waktu yang lama sehingga perubahan pada air itu
hilang
2.air yang terkena najis d tambahkan air d atas air itu sehingga perubahan nya hilang
3.air yang terkena najis di kurangi air nya sehingga perubahan nya hilang

Menurut pendapat saya air yang terkena najis bisa di pakai kembali untuk bersuci tergantung
pada najis yg mengenai najis tsb contoh air yang bisa d pakai kembali,air yg kejatuhan bangkai
lebah,belalang. Air yg tidak bisa d pakai kembali yaitu air yang terkena najis berat
Agus Nasir| Volume 2, Nomor 1, Juni 2020 10

Anda mungkin juga menyukai