Anda di halaman 1dari 20

THE DASLARZ

BY : Molinarrahma

Siur angin menerpa indahnya langit malam. Bintang-bintang berkilauan bagaikan


kristal yang terkena pancaran sinar. Kerlap-kerlip. Indah menawan.

Suasana rumahku begitu sunyi. Sepi. Seakan tidak ada kehidupan. Mungkin bisa
dibilang kuburan hidup berada di tengah-tengah perumahan elite konglomerat.
Bagaimana tidak, kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan mereka masing-
masing, melakukan riset penelitian teknologi di basement rumah. Entah berapa
lama itu akan berakhir. Atau mungkin tidak akan pernah berakhir.

Aku merindukan suasana rumah yang dulu. Hangat dan ceria. Kasih sayang
mengalir begitu deras bak air.
Rumah besar memang menyenangkan, jika kehidupan itu muncul abadi.
Bertahun-tahun lamanya aku belajar mengenai kehidupan melalui bibi Reen-
pembantu setia keluargaku dan seseorang yang selalu menjadi bodygoard selalu
siap mengantarkanku kemanapun, supirku, Bang Galih.

Aku beranjak dari kamar, menelusuri lorong-lorong rumah menuju lantai bawah.
Kutekan tombol disalah satu dinding sisi rumah yang membuat pentu besar ruang
keluarga terbuka. Terlihat pemandangan indah malam dikota dibarengi gemercik
air terjun kecil disekitar kolam pribadi.

Membayangkan esok hari sangat menakutkan bagiku. Bagaimana tidak,


kurikulum pelajaran akan dimulai. Selama liburan pun aku hanya sibuk meneliti
dan bereksperimen tentang fisika. Pelajaran favoritku sepanjang masa. Entah aku
sendiripun tidak tahu bagaimana aku bisa mengenalnya, bahkan sekarang aku
menyukainya. Semakin berusaha mengingat, semakin buntu jalan itu.

Wahh, sangking semangatnya aku sampai lupa memperkenalkan diri. Oke. Fiona
Abriana Devon. Panggil saja Fiona atau sapaan akrab Fio oleh kedua orang
tuaku. Yap, aku keturunan keluarga Devon. Kami mewarisi sifat kakek, - Smith
Devon - genius, berpegang teguh, dan keras kepala. Ayahku -Alexander Devon-
terkenal dengan sebutan Penguasa Politik Modern. Kakekku seorang ahli fisika
dunia. Banyak sekali fakta tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun, semua
tersimpan rapat bagai mutiara di dalam kerang.

"Hello, papa pulang... Fio, kamu dimana, Nak? Ini rumah apa kuburan yakk?"
Papa teriak dari pintu utama.

Aku bahkan mengira bahwa ia tidak akan pulang, lupa akan rumah ini. Lupa akan
anak tunggalnya. Huh. Aku lelah hidup sendiri dirumah super mewah ini.
Percuma punya banyak uang, tapi kasih sayang macet bagaikan persimpangan
rumit kota.

"Aku disini, Pa."

Melihat-lihat gemerlap lampu kota dari atas balkon setidaknya bisa


menghilangkan perasaan kesepian sejenak. Hamparan angin menusuk tubuh,
membuat menggigil jika terlalu lama berdiri mematung, melamun.

"Lihat, papa membelikanmu oleh-oleh sebuah smartphone hologram yaitu alat


yang bisa membantu kamu dalam belajar bahkan mengetahui sesuatu yang sangat
rahasia sekalipun. Tampilan layarnya akan menampilkan apapun dalam bentuk
tiga dimensi. Apapun yang kamu cari, ia akan timbul seperti benda
sesungguhnya."

Alat itu seperti pada umumny, berbentuk tablet, akan tetapi dengan teknologi
yang lebih modern. Tak kasat mata. Tidak memerlukan media, ketika diaktifkan
akan muncul layar transparan yang dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi.

"Wah, canggih banget alatnya, Pa. Bahkan aku belum pernah melihatnya
sebelumnya. Darimana papa mendapatkan benda ini?"

Aku bertanya penasaran. Aku menganalisis, jelas sekali benda tersebut bukan
berasal dari dimensi bumi. Bahkan teknologi bumi belum mampu menciptakan
alat se-modern smartphone hologram.

Tapi aku tidak memperdulikan hal itu, yang terpenting benda ini sangat membantu
hari-hariku kedepan.

Hari sudah larut malam, aku memutuskan untuk tidur. Petualangan baru akan
dimulai besok. Yaitu belajar. Sungguh membosankan.

...

TOK...! TOK...! TOK...!


Siur angin segar pagi sekali telah menghampiriku. Bibi Reen-pembantu setia
keluarga- membangunkanku dipagi buta. Sebuah keputusan yang salah. Aku
terbangun terpaksa. Dengan posisi mata tertutup, berusaha bangkit duduk. Seakan
tubuhku baru terlelap beberapa jam lalu.

Tepat lima menit lagi bola langit muncul. Menandakan pagi telah tiba. Aku
beranjak menuju balkon rumahku, membuka gorden, lalu menggeser pintu lalu
menatap langit fajar.

Sang surya perlahan-lahan muncul melambaikan sinarnya padaku. Begitu indah


sampai aku sendiri tak mampu memandangnya. Cahaya kuning memancar
menembus epidermis jendela. Indah tiada tara. Burung- burung bersenandung
teduh. Pohon- pohon terlihat amat bahagia karena berhasil menghasilkan udara
segar, bertarung melawan racunnya polusi udara.

Hari menegangkan dimulai. Yap, sekolah. Aku secepat kilat mempersiap- kan diri
karena sekolahku jauh dari peradaban waktu. Selesai sudah merapikan diri. Aku
mengenakan baju seragam sekolah dengan motif kotak-kotak berwarna flaxen
dipadukan putih. Tidak lupa almamater sekolah berwarna abu-abu yang
dilengkapi identitas diriku sekaligus sekolahku.

Kemudian aku menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Kamarku terletak di
lantai dua. Dan ternyata papa-nama ayahku ALEXANDER DEVON- dengan
sabar telah menungguku.

"Selamat pagi, Fio sayang." Sapa hangatnya.

"Akhirnya turun juga, papa udah lumutan nih nunggu kamu."

"Pagi juga, Pa." Balasku tak bersemangat. Aku masih melawan rasa kantukku.

Kami pun -aku dan papa tepatnya- menikmati hidangan beef barbeque saus with
vegetable salad dilengkapi dengan orange juice.

Lima belas menit telah berlalu. Aku bersiap-siap menuju sekolah dan papa
menuju kantornya. Papa lebih memilih mengendarai mobil pribadinya,
Koenigsegg CCXR Trevita silvernya yang harganya lumayan fantastis sekitar
$148 juta, sedangkan aku memlih menaiki Lamborghini Veneno berwarna merah
mengkilat yang dikemudikan oleh Bang Galih.

Oke, sepertinya aku harus memperkenalkan diri kembali supaya kalian semakin
ingat. FIONA ABRIANA DEVON. Itulah namaku. Terkenal sebagai Fio.
Umurku 15 tahun, bersekolah di SMA Le Roseyz, tepatnya di Swiss. Didalam
tubuhku mengalir deras darah keturunan kerajaan. Akupun salah satu diantara
pewaris tahta kerajaan tersebut. Tapi aku tidak tertarik dengan urusan politik.
Kekuasaan dengan lahapnya mengejar harta dan uang. Padahal hakikatnya, uang
tidak mampu memperjual- belikan kebahagian seseorang.

Disekolah aku sangat famous. Siapa yang tidak kenal denganku. Semua orang
memandang dengan keturunan bangsawan berparas cantik, berkulit putih bening
dengan rambut lurus berwarna coklat bergelombang indah dibagian bawah. Aku
memiliki bola mata berwarna biru. Keturunan langka. Banyak sekali yang
menyukaiku. Tapi aku tidak tertarik membahas hal itu saat ini.

Aku tiba di sekolahku. Sekolah khusus bangsawan. Banyak golongan kerajaan


dan konglomerat yang bersekolah disini. Luas bangunan ini sekitar 30 hektar.
Cukup untuk membangun sebuah kota baru.

Bangunan megah tersebut dominan dengan nuansa kuning keemasan. Dengan


bagian depan terdapat air mancur indah terbuat dari emas dua puluh empat karat
setinggi dua meter yang disekelilingnya terdapat patung-patung kuda dengan
bentuk yang unik menyambut siapa pun yang datang menuju bangunan utama.

Disamping air mancur tersebut terdapat halaman luas yang djadikan sebagai
taman. Dilengkapi dengan pohon besar yang dibawahnya terdapat kursi-kursi
dengan diukir yang rumit. Saat jam istirahat kursi-kursi itu akan ramai diduduki
oleh siswa, sekadar diskusi, berbagi canda tawa, hingga tugas sekalipun.
Gemericik air yang mengalir dari air mancur emas tersebut membantu me-rileks-
an pikiran siapapun yang berada di dekatnya.

Langkahku menuju bangunan utama setinggi lima lantai. Ketika sampai persis
dibalik pintu utama. Aku ternganga, sebagai siswa angkatan pertama yang
menginjakkan kaki, atau bahkan mungkin semua orang baru yang melintas.
Sebuah meja kaca berbentuk bulat mengisi bagian tengah gedung. Tak lupa
dengan hadirnya patung-patung unik dan guci-guci antik menambah kesan elegan.
Lantai dan dinding terbuat dari marmer yang hanya dibuat setiap seratus tahun
sekali. Diambil dari jenis magma terbaik dan ditempa seelok mungkin. Tak jauh
dari meja kaca, terlihat dua anak tangan yang saling mengisi di sudut kiri dan
kanan -terbuat dari lapisan emas- yang nanti keduanya bertemu di sayap koridor
kanan dan kiri. Bisa dibilang bentuk tangga itu menyerupai huruf T. Sungguh
menakjubkan. Siapapun yang membuat desain gedung ini harus diberi
penghargaan atau bahkan nobel atas hasil rancangannya.

Proses pembelajaran berlangsung di gedung ini. Ruang belajar berada mulai dari
lantai tiga hingga lantai lima. Gedung ini dilapisi kaca dengan kualitas terbaik
dunia. Gedung ini berada di ketinggian atas gunung, cukup untuk menatap
pemandangan seluruh wilayah Swiss dari segala penjuru. Dijamin tidak ada rasa
suntuk sedetikpun! Aku jamin.

Dibagian belakang gedung utama terpampang jelas bangunan-hangunan dua lantai


yang digunakan untuk praktik dan bereksperimen. Ada pula sawah buatan yang
nanti akan digunakan ketika praktik menanam tumbuhan. Tumbuhan dikota ini
sangat ajaib, hanya berkisar 3 hari tumbuhan itu sudah tumbuh siap, itu karena
peran pupuk terbaik sedunia. Cepat sekali fase generatif dan vegetatifnya.
Tak hanya itu, dibelakang gedung utama terdapat arena berkuda dan memanah
untuk berlatih kemampuan siswa, terutama ditujukan keturunan darah biru.

Dilengkapi juga dengan kolam renang indoor sepanjang lima puluh meter dengan
lebar setengahnya. Ruang olahraga indoor dan outdoor pun ada, seperti lapangan
bulutangkis, tennis, softball, lempar lembing, basket, dan lainnya. Pokoknya
sepaket lengkap.

Kantin berada di lantai dua yang menyajikannya berbagai jenis makanan dan
minuman yang sangat lezat karena dimasak koki-koki handal. Alangkah serunya
makan sambil menatap indahnya pemandangan Kota Swiss.

Oh iya, gedung ini juga dilengkapi dengan fasilitas lift khusus untuk guru dan para
siswa. Sangat diperuntukkan untuk orang-orang yang malas turun dengan tangga.
Tapi tetap saja, lift hanya mampu menampung maksimal 15 orang, tidak
sebanding dengan jumlah siswa yang ada. Jelas, aktivitas tangga jauh lebih aktif
dipadati para siswa.

Dinding koridornya dilapisi oleh panel-panel kayu dengan ukiran rumit yang
ditatah oleh para seniman terbaik dunia. Wallpaper dindingnya terlihat keemasan
menambah kesan modern gedung itu. Lampu-lampu tergantung terbuat dari kaca
berbentuk diamond menghiasi langkah siapapun yang melintas. Lampu-lampu
tersebut memancarkan kilatan lembut akibat dari pantulan sinar matahari.

Bisa dibayangkan desain klasik modern-nya saling mengisi membuat kesan takjub
siapapun. Bahkan mungkin para raja-ratu sekalipun. Le Roseyz selalu ramai akan
kunjungan keluarga kerajaan dan tokoh-tokoh politik. Mulai dari mengurus urusan
anaknya, politik, berinvestasi, atau bahkan mengadakan relasi dengan perusahaan-
perusahaan dunia.

Kakiku terus melangkah mencari dimana ruangan kelasku berada. Dan berharap
keajaiban datang selama di sekolah.

...

Akhirnya aku menemukan papan silver berkilau bertuliskan kelasku, X-SAINS-2.


Di sekolah ini, semua kelas sama. Semua dianggap unggul. Sekolah ini
menitikberatkan pada strata sosial dan kecerdasan. Yap, butuh jutaan euro untuk
bisa masuk sekolah ini. Bahkan biaya perbulan mencapai €100.000 yang setara
dengan 1,5 milyar ukuran mata uang Rupiah. Harga yang fantastis dibayar dengan
fasilitas super duper mewah. Sepadan.

Langkah kakiku terhenti di ambang pintu kelas. Pintu kayu klasik era zaman
ratusan tahun lalu menghadang langkahku. Ukiran yang tertera membuat diriku
terdiam menatap dalam-dalam apa makna sesungguhnya dari ukiran elok itu.

Sejak sebulan yang lalu aku tidak menampakkan diri dikelas ini. Liburan panjang
membuatku rindu akan suasananya. Lagi-lagi aku dikejutkan dengan desain klasik
modern bangunan megah itu. Dinding dan lantai ruangan ini dilapisi dengan
marmer dan wallpaper nuansa emas yang menambah kesan elegan ruang itu.
Bagian atap gipsum dan lis berlapis emas dengan ukiran rumit ditambah lampu
terbuat dari berlian menambah kesan mewah ruangan.

Aku memilih meja di pertengahan. Setidaknya itu tempat yang stabil karena
posisinya yang strategis.

"Gimana liburan anda, Nona Fiona? Apakah berjalan lancar?" Tanya salah satu
temanku, Cathrine.

"Begitulah. Berjalan-jalan menelusuri bumi. Sungguh Membosankan."


Terdengar suara hentakan kaki Mr. Kim, guru Fisika. Ditangannya telah ada
lembaran-lembaran menakutkan yang bisa saja menghantam kelas kami. Quiz.
Yap, Mr. Kim suka sekali mengadakan quiz dadakan. Amat senang melihat muka-
muka muridnya yang tersiksa. Seakan sebuah kepuasan batin. Liburan yang lalu
aku tidak mengasah otakku sama sekali. Jangankan itu, menyentuh bukupun tidak.
Entahlah ada dimana jiwa dan ragaku kala itu. Kosong.

Mr. Kim berdehem.

"Okey, anak-anak semua. Kita kedatangan murid baru. Keluarga bangsawan dari
Inggris. Silahkan masuk, Nak."

Mungkin benar, lama-kelamaan sekolah ini akan menjadi sekolah bangsawan,


tanpa terkecuali.

Tuk... Tuk... Tuk...

Langkah sepatu yang laksana seorang pangeran petarung yang siap dimedan
perang. Muncul sosok tubuh gagah tinggi, kira-kita seratus delapan puluhan.
Rambut blonde kuning keemasan yang elok dipadukan dengan stylist jambul
tinggi menambah nilai lebih dari dirinya. Wajah kharisma putih bersih dengan
senyumnya menawan dibarengi cekungan kecil disekitar pipi. Begitu mempesona.
Membuat seisi ruangan kacau-balau. Ada yang baper, salah tingkah, menatap
tanpa kedip. Sebuah sihir yang merubah suasana dalam waktu sepersekian detik.

Aku akui, dia memiliki paras yang tampan. Bahkan orang paling tampan di
duniapun akan kalah dengan sosok yang berdiri didepan kelasku ini. Bola mata
khasnya, biru. Sama denganku. Bahunya yang lebar. Tampan seorang pangeran
tampan. Tapi dipandanganku itu biasa saja. Tidak ada spesialnya sama sekali.
Huh. Dasar mata perempuan, liat yang cakep sedikit langsung melek.

"Selamat pagi, semua. Perkenalkan namaku REYNALDY VERIOZ. Kalian bisa


memanggilku "REYN". Semoga kalian semua bisa menerima kehadiranku disini."

Dengan lantang ia mengatakan itu. Aku rasanya ingin pergi saja dari ruangan itu.
Teriakam histeris dimana-mana. Seakan sosok idola korea yang berdiri disitu.
Entah apa yang ada dipikiran wahai kaum Hawa. Menjijikkan.

"Oke, Pangeran Reyn, silahkan duduk disamping...."

Belum selesai keputusan apa yang akan ku tembus. Mr. Kim menunjuk ke arah
samping kursiku. Oh, Tuhan sebuah bencana besar telah berlabuh di kehidupanku.
Dia duduk di samping- ku. Melangkah semakin dekat. Jantung- ku jelas dag dig
dug. Dalam hitungan detik, ia pasti akan tiba. Dan benar seseorang sedang berdiri
gagah memandang ke arahku.

"Hey, bolehkah aku duduk disebelah engkau, Wahai Putri ...."


"Ya, silahkan." Jawabku datar. Lantas memalingkan wajah menuju papan tulis.

Mungkin ia akan berpikiran bahwa aku adalah cewek yang pendiam dan tidak
peduli dengan sekitar dilihat dari nada ucapanku. Ia mengulurkan tangannya ke
arahku. Menatapku lekat-lekat tanpa sela sedikitpun. Ternyata anak ini manis
juga. Ya Tuhan, apa yang telah aku pikirkan. Bahkan aku sendiripun terkena efek
sihir itu. Tidak boleh Fio, tidak boleh. Harus bisa bertahan menjaga diri. Mau
tidak mau aku harus sopan. Dia Pangeran Inggris. Bisa saja nanti aku pulang tidak
selamat karena membuatnya kesal.

"Reynaldy Verioz, dari Inggris. Kamu bisa memanggilku Reyn. Senang bertemu
denganmu, Putri. Siapakah nama dirimu, Putri? "

Tanpa disadari, aku sedari tadi sambil tersenyum terpesona menatap mata birunya.
Terkena kutukan sihir dua kali. Aku terdiam memandangi parasnya. Tanpa
terkedip. Sebuah kesalahan besar. Apakah ia menyadari bahwa aku bengong
dalam beberapa detik. Ternyata aku kena karma akibat menghina teman
sekelasku. Jatuh sudah harga diriku didepan seorang Pangeran Reyn.

"Eh, itu na-namaku Fi-fiona Abriana Devon. Senang juga ber- jumpa dengan
anda, Pangeran Reyn."

Aku tergagap. Dan Pangeran Reyn tersenyum. Berarti dia memperhatikan detail
tragedi tadi. Mau dikemanakan muka paras caantik ini, Fiona. Sungguh
memalukan. Harusnya engkau bisa menciptakan kesan yang istimewa di depan
seorang Pangeran tampan.

"Tidak perlu memanggilku dengan sebutan pangeran, cukup Reyn saja."

Aku menggangguk meng-iya-kan. Pikiranku tentang kejadian beberapa detik yang


lalu masih terbayang-bayang. Konsentrasiku terganggu karena aku duduk persis
disebahnya hanya terpisah sekitar dua jengkal. Akupun mulai salah tingkah,
berusaha bersikap tidak peduli.

Perkenalan memalukan sepanjang sejarah keluarga Devon.

****

Seminggu berlalu. Aku mulai terbiasa berada di sisi Reyn. Ia sangat lembut,
penuh perhatian kepadaku. Bahkan hubungan kami bukan hanya sekedar teman
saat ini, melainkan naik tahta menjadi dua sejoli yang sangat akrab seperti sepatu,
jika salah satu pasangannya hilang, tidak akan berarti hubungan itu. Sangat cepat
memutuskan hal tersebut, itulah kehidupan, pilihan akan selalu menghantui.

"Fio, udah ngerjain PR fisika belum, aku mau minta tolong ajarin aku. Aku gak
paham-paham."
Pinta Reyn sungguh-sungguh sambil tersenyum manis. Mana mungkin seorang
Pangeran tidak mengerti teori sedasar magnet dan listrik. Lantas apa saja yang
telah kamu pelajari selama hidup wahai pangeran?

****

Tiba-tiba Reyn menarik paksa tanganku mengajakku kesalah satu sudut koridor
sekolah yang sepi. Tidak ada siapapun disana. Hanya debu yang menemani kami
berdua. Entah apa yang sedang direncanakannya. Aku tidak mengerti.

"Maaf, aku lancang sekali Tuan Putri Fiona membawamu kesini. Tapi ada sesuatu
yang harus aku beritahu kepadamu."

Retina mata birunya menunjukkan sikap bawa ada sesuatu bersembunyi yang
harus ia ungkapkan.

"Silahkan, Pangeran. Bicaralah." Ucapku dengan ekspresi datar.

Reyn lalu mengeluarkan sebuah benda berbentuk kerang transparan dari dalam
kantung celananya. Benda itu berkedip-kedip mengeluarkan cahaya ungu. Tertera
tulisan "el peligro". Aku tidak mengerti.

Lalu Reyn memberikan sebuah kalung berbentuk diamond berwarna merah


merona yang memancarkan sinar kilauan lembut. Apa maksud semua ini.

"Putri Fiona, engkau memiliki kekuatan sempurna dan energi dalam yang sangat
kuat tanpa engkau sadari. Dunia dimensi dalam keadaan kacau-balau. Sejak aku
berada disini, aku merasakan sesuatu yang ganjal dengan sekolah ini. Alat ini-
keong transparan yang memancarkan cahaya ungu namanya Violet Detector. Alat
ini aku yang membuatnya sendiri dengan menggunakan struktur bahasa Spanyol
agar orang lain tidak mengerti. El Peligro yang berarti bahaya. Alat ini mampu
mendeteksi bahaya dimensi lain dalam radius puluhan kilometer. Aku tau engkau
mungkin tidak percaya ini, tapi ini nyata, Putri Fiona. Dunia dimensi itu nyata
adanya. Bantu aku untuk menemukan kejanggalan yang berada di sekolah kita, Le
Roseyz dengan kekuatan yang engkau miliki." Ekspresi Reyn terlihat serius, tegas.

"Aku tidak percaya hal seperti itu Reyn, aku manusia pada umumnya yang makan,
minum, melakukan aktivitas semauku. Dan apa itu, kekuatan? Energi dalam? Aku
tidak punya bahkan aku tidak tau hal itu." Aku menjawabnya sambil mencoba
melangkah pergi menjauhi Reyn.

Bagaimana mungkin orang sepertiku memiliki kekuatan gaib yang sempurna?


Kedua orang tuaku jelas-jelas melahirkanku di Bumi. Aku hanya keturunan
bangsawan Swiss, tidak lebih dari itu. Reyn sungguh diluar dugaan. Mungkin
Reyn yang sedang berhalusinasi atau kurang tidur.
"Kamu bukan penduduk Bumi, kamu keturunan sejati dimensi lain.Aku bisa--."

"Bukan penduduk Bum-"

Teeeettt! Teeeettt!

"Tolong jaga benda ini, Putri Fio. Ada kekuatan maha dahsyat yang dikandung di
dalam batu permata ini. Jangan sampai orang lain tau dan jatuh kepada orang yang
salah. Pakailah ini, engkau akan terlindung dari segala ancaman dan bahaya."
Perintah Reyn.

Bel berdering diwaktu yang salah. Kenapa harus sekarang, tidak bisakah semenit
atau dua menit kedepan? Ada banyak pertanyaan yang mengganggu benakku
setelah apa yang diutarakan Reyn.

Hanya batu permata, kekuatan seperti apa yang dimaksud Reyn. Tidak ada tanda-
tanda apapun yang terpancar dari liontin kalung itu. Dan apa benar aku bukan
berasal dari Bumi? Lalu aku berasal darimana? Dan apa itu dunia dimensi?
Kenapa Reyn tidak menjelaskan secara detail. Oke. Bukan salah Reyn, salahkan
waktu yang bergerak begitu cepat. Semoga apa yang dikatakan Reyn hanya kisruh
belaka.

...

Waktu kini menunjukkan pukul tujuh malam. Kejadian bersama Reyn tadi siang
masih terbayang-bayang. Aku sedari tadi menatap lamat-lamat benda yang ada di
genggamanku.
Bagaimana bisa kalung ini memiliki kekuatan begitu hebat? Bagaimana bisa
orang sepertiku yang tidak pernah belajar bela diri atau apapun itu bisa memiliki
sebuah kekuatan luar biasa? Apalagi pernyataan Reyn yang bilang bahwa aku
bukan penduduk bumi. Jelas-jelas jiwa dan ragaku telah berada di planet ini sejak
usia kandungan. Benar-benar mustahil!

Aku menghabiskan waktu luangku dengan menonton televisi untuk


menghilangkan pikiran sejenak. (Seketika terdengar suara bibi Reen berteriak).

"Non, nona Fio!"

"Iya, ada apa bi?"

"Itu non, ada titipan hewan dari Pangeran Tranz didepan pintu rumah.” Bibi
berbicara dengan lembut.

Tanpa basa-basi aku langsung melesat menuju pintu utama. Dibalik ambang pintu
besar berlapis emas itu, terlihat jelas dari kejauhan sebuah tabung berbentuk
lonjong tergeletak tanpa pemiliknya. Perasaan aku tidak membeli hewan apapun.
Aku hanya punya kucing putih dengan mata berwarna bitu laut, sejenis kucing
Ragdoll.
"Wah, anjingnya lucu banget. Siapa sih yang tega ninggalin hewan selucu ini."

Aku tersenyum bahagia sambil menggendongnya sekaligus berusaha menebak


hewan lucu ini berjenis apa. Yap, anjing lucu itu berjenis pomeranian. Anjing ini
memiliki warna mata gelap, kepala bulat, tengkorak pendek, dengan bulu yang
lembut dan lebat. 

Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya kuputuskan kalau anak anjing


ini akan kuberi nama Charlie. Charlie benar-benar seekor anak anjing yang lucu,
lengkap dengan bulu berwarna kuning kecoklatan yang indah. Dibagian leher
Charlie telah terpasang sebuah kalung dengan hiasan permata kecil bening dan
berkilau.

Saat ini rumahku tak lagi sepi. Kehadiran Charlie telah mengembalikan suasana
hangat yang pernah hilang. Kepada siapapun yang mengirim Charlie, terima
kasih.

****

 Aku tidak tahu ada energi apa yang membuat hari ini aku jadi termotivasi untuk
sekolah. Selagi melangkah menuju kelas, aku bersenandung riang. Tak kalah
dengan kicauan burung-burung pipit yang hinggap di pelataran jendela koridor.

"Hei, Fio. Lagi senang nih ye. Tumben amat, kesambet apaan dah? Bisa tolonh
dijelaskan?" Sapa hangat Reyn dibarengi tawa pelannya.

Aku menceritakan kejadian seekor anjing lucu yang terdampar dirumahku,


Charlie. Setidaknya dirumah aku memiliki teman bermain baru.

 "Nanti jam pelajaran dimulai, kita bolos pelajaran. Hanya sebentar. Melakukan
sedikit rintangan seru."

Aku tersentak. Untuk apa Reyn mengajakku bolos saat jam pelajaran. Bukankah
itu melanggar aturan sekolah? Lagipula kita baru seminggu masuk sekolah, aku
tidak mau dihukum.

 "Rintangan apaan? Kalau kita ketahuan sama guru atau satpam, bisa apes kita,
Reyn."

Aku menolak dengan tegas. Tapi Reyn tetap memaksa. Sepertinya misi yang
sedang ia rencanakan sangat penting. Tapi kenapa dia justru mengajakku? Teman
dikelasku ada banyak atau dia tidak punya teman?

"Pak Kim, guru Fisika kita, setiap kali beliau mengajar dikelas ini, Alat Violet
Detectorku bergetar mengeluarkan cahaya ungu dengan tulisan el Sledro,
Peringatan. Aku tidak tahu apa hubungannya dunia dimensi dengan Pak Kim." 
Ujar Reyn.
 "Bisa aja itu alatmu yang tidak berfungsi atau rusak atau aneh, Reyn."
Sanggahku.

"Aku tidak pernah membuat teknologi yang rusak, Putri Fiona. Semua yang
kudesain selalu bekerja dengan baik. Sangat kecil presentasenya untuk gagal."

"Aku minta bantuan kamu untuk mencari tahu sesuatu tentang Pak Kim. Saat jam
pelajaran dimulai sekitar 15-20 menit, kamu duluan izin ke toilet. Selang  30 detik
kemudian baru aku yang izin. Tunggu aku di tangga. Oke, Fio?" Lanjutnya
dengan semangat.

Aku tidak tahu apakah harus benar-bentar mengikutinya atau menolak. Aku sudah
sangat sering masuk BK karena masalah. Dan sekarang Reyn mengajakku
membuat sebuah daftar catatan merah baru. Menyebalkan.

****

Proses pembelajaran telah dimulai beberapa saat yang lalu, Pak Kim dengan
serius menjelaskan fisika materi fisika kuantum. Sementara disampingku, Reyn
sudah melirik dan menyikut tanda menyuruhku keluar. Sedari tadi tubuhku
terlihat gugup, keringat dingin. Baru kali ini aku merencanakan masalah yang
fatal, bukan disengaja. Langkah kakiku terlihat cukup ragu untuk membuat sebuah
masalah baru.
Dengan berani aku mengacungkan tangan.

"Maaf Pak Kim, bolehkan saya izin ke toilet. Sudah diujung tanduk nih."

Aku berusaha mengeluarkan ekspresi rileks dan panik agar Pak Kim tidak curiga
atas rencana kami—aku dan Reyn. Konsentrasi kelas menjadi terganggu akibat
ulahku. Pak Kim berbalik badan dengan segera untuk melihat siapa yang
berbicara kepadanya. Ia terdiam sejenak. Demi Neptunus tubuhku bergetar dan
tanganku dingin sedari tadi. Dengan air muka super acuh, Pak Kim menggangguk
mengizinkanku keluar. Reyn mengacungkan jempol menandakan setuju.
Terjadilah keputusan kontra antara guru dan murid.

Tugasku selanjutnya menunggu Reyn datang. Entah kapan dia datang ini sudah
lebih dari dua menit. Bosan dengan aktivitas menyapa siapapun yang melintas.
Jika ada guru sekalipun, senyuman terpaksa pastilah terlintas di buah bibir atau
bersemedi dibalik pilar-pilah kokoh. Untungnya, tidak ada yang curiga sejak tadi
aku berdiri di tangga.

"Kenapa lama banget sih, Reyn? Jamuran tahu disini. Manalagi guru lalu lalang,
aku harus bersembunyi. Belum lagi—"

"Oke, oke. Aku minta maaf, Princess. Ribet banget urusan izinnya. Aku harus
jawab soal dululah, ditanya ini itulah. Jadi kita mulai sekarang rencananya ."
Potong Reyn, lalu menjelaskan kejadian secara detail.
Sebelum melancarkan misi, aku ber-tos dengan Reyn bahwa kami akan berhasil
melakukan misi mencari kejanggalan disekolah itu.

****

Setengah jam berlalu. Mungkin Pak Kim cemas dan curiga kemana anak dua—
aku dan Reyn— yang meminta izin ke toilet kepadanya. Kenapa belum kembali
juga. Kami menelusuri setiap lantai sekolah dan gedung bagian belakang sekolah
yang terpisah dengan gedung utama. Tapi cahaya ungu belum juga terpancar dari
Violet Detector-nya Reyn.

Tepat sekali aku dan Reyn berada di lantai paling atas gedung, lantai lima,
tepatnya melintas didepan ruangan Pak Kim, Kepala Sekolah SMA Le Roseyz. 
Tiba-tiba alat deteksi Reyn bergetar mengeluarkan paparan sinar ungu terang
dibarengi tulisan el peligro, bahaya.

"Yes! yes! Tertemukan juga akhirnya. Aku sudah curiga sejak awal masuk.
Ruangan ini. Fio, kita harus periksa ruangan ini." Ajak Reyn semangat.

Aku sendiripun takut, takut ketahuan orang lain kalau kami memasuki ruangan
kepala sekolah tanpa seizinnya. Itu sebuah pelanggaran besar. Bahkan aku dan
Reyn bisa kena skors, jika ketahuan. Dalam sekejap aura keberanian itu memancar
didalam tubuhku, membuat kedua kakiku dengan sigap melaju.

Ketika suasana cukup aman, Reyn dengan hati-hati mendorong pintu besar klasik
dengan ukiran seni yang rumit. Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun. Sebuah
bakat terpendam seorang Pangeran Reyn. Bisa dikatakan bahwa Reyn lebih cocok
menjadi detektif daripada seorang pangeran.

Ruangan yang cukup besar, seluas seperempat lapangan bola. Terlihat meja kaca
desain modern ditengah ruangan disebelahnya terdapat dekorasi yang menambah
nilai estetika ruangan. Dinding seluruh ruangan dilapisi dengan wallpaper
keemasan. Di sudut ruangan berdiri kokoh patung-patung terbuat dari perak
murni. Lampu penerangan berbentuk diamond terbuat dari kaca tebal anti peluru
menyinari seluruh bagian ruangan. Dibagian belakang meja kaca modern,
terpampang jelas sebuah rak besar. Tak lupa ruangan ini dilengkapi kamera
CCTV.

Ketika memasuki ruangan, berusaha menghindar dari CCTV, bisa ribet urusannya
kalau sampai ketauan. Kami memeriksa setiap jengkal ruangan dengan teliti. Laci-
laci, sudut ruangan, bahkan dibagian bawah sofa dan karpet. Tidak ada sesuatu
yang aneh. Reyn melangkah menuju rak besar yang berisikan buku-buku Pak Kim
dan dokumen penting.

Alat deteksi Reyn mengeluarkan bunyi dibarengi pancaran sinar merah. Tertera
tulisan Muy Peligroso, sangat berbahaya. Reyn meneliti kembali rak buku
tersebut. Terlihat seperti ada yang janggal. Semua buku-buku dan dokumen yang
tertera tersusun secara vertikal. Tapi hanya ada satu buku terletak dibagian tengah
yang tersusun secara horizontal. Reyn berusaha mengambil buku itu. Tapi tidak
bisa. Buku itu melekat kuat di rak. Buku itu terbuat langsung  dari semen yang
dihias sedemikian rupa sehingga mirip dengan buku sesungguhnya.

“Fio, di sini sumbernya!” Ucap Reyn sambil berbisik. Lalu aku langusng
menghampiri Reyn.

Reyn perlahan memperhatikan buku itu dengan hati-hati. Terlihat sebuah buku
yang berbeda. Mungkin di dalam nya terdapat kunci untuk mmebukanya. Dengan
segenap jiwa dan raga, Reyn memberanikan diri menarik buku itu dan seketika
sebuah keajaiban terlihat. Hal yang tidak pernah diduga sebelumnya, rak besar itu
terbelah menjadi dua bagian. Terlihat sebuah lorong misterius menuju ke suatu
tempat. Sangat tidak bisa dipercaya, sekolah super modern mempunyai ruangan
rahasia tersembunyi. 

...

"Jangan Reyn, jangan!" Sergahku dengan cepat.

"Kenapa? Kita tidak akan tahu kalau kita tidak mencoba, Fio. Apa kamu tidak
penasaran apa yang ada didalam, hah, bisa saja Pak Kim menyembunyikan harta
karun berlimpah-ruah dibawah sana." Balas Reyn dibarengi merapikan rambut
kuning keemasaannya dan melentingkan salah satu matanya padaku.

"Kalau dibawah sana ternyata hewan besar dan buas, bagaimana? Ada beribu
impian belum terwujud. Aku tidak berminat. Kalau kamu mau masuk, ya kamu
saja. Jika terjadi sesuatu didalam sana, bukan urusanku." Dengan mentah menolak
ajakan Reyn dan berjalan berbalik arah meninggalkan rak buku tersebut.

"Tapi kematian salah satu impianmu kan?" Gurau Reyn sambil tertawa kecil
melihat ekspresi kocakku.

Untungnya aku mampu menahan amarah, kalau tidak, sudah dihabisi Reyn sejak
tadi. Aku tidak tahu apa yang ada di bawah sana-lorong misterius menuju suatu
tempat. Percayalah Reyn, aku belum mau mati sekarang. Aku seorang anak yang
akan menjadi seorang pewaris tunggal perusahaan Devon. Aku tidak mau mati
sia-sia, aku harus bermanfaat bagi orang lain.

Dengan acap aku berjalan menuju pintu besar, dan sekejap Reyn berhasil
mengambil alih tanganku. Kali ini air muka Reyn serius. Ini akan menjadi perkara
yang pelik jika itu benar terjadi.

Selama dua menit terjadilah jual-beli pendapat dengan Reyn. Reyn memang
piawai dalam hal membujuk, dengan posisinya sebagai Pangeran, sudah pasti
Reyn selalu bernegosiasi dalam hal kolerasi kerja sama. Entah mantra apa yang
digunakannya. Apalah aku yang hanya anak tunggal dari keluarga konglomerat,
sangat mudah bagi Reyn untuk mendominasi situasi.
Kalah telak. Pupus sudah harapan. Aku mengikuti semua instruksi Reyn. Jiwaku
menentang hebat keputusan itu, tapi ragaku seperti tersihir oleh pikiran Reyn.
Tidak bisakah takdir berpihak padaku saat ini.

Hembusan nafas terdengar jelas diruangan itu. Aku tahu Reyn sedang
mengumpulkan nyali yang besar. Aku yakin dia pasti berpikiran sama denganku,
risiko yang akan kami tanggung.

Dengan gagah perkasa, Reyn menyisir rambutnya dengan jari tangan dibarengi
merapikan dasi, Reyn menggenggam tanganku dengan erat. Aku melangkah
bersisian dengan Reyn. Aku merasakan dinginnya tangan Reyn. Fisiknya terlihat
sangat percaya diri, dibalik semua itu, dia sangat nervous. Reyn dengan cakap
menyembunyikan semua itu. Aku tertawa kecil alam hati melihat hal itu.

Perlahan satu demi satu anak tangga kami turuni. Reyn tampak siap dengan kuda-
kudanya jika terlihat sesuatu yang mencurigakan. Jantungku berdetak kencang,
seperti hendak lepas dari sarangnya. Semakin mendekati penghujung tangga, rasa
takut yang membara ditubuh semakin menggebu dibarengi dengan rasa penasaran
ruangan bawah tanah yang perlahan semakin gelap, terlihat cahaya lampu semakin
samar, penglihatan menjadi kabur.

Kreekk!

Rak besar yang terbelah itu tiba-tiba tertutup sendiri. Aku tersentak. Tapi Reyn
tetap santai, seolah mengganggap rak itu seperti membolak-balikan buku
pelajaran. Di lorong itu hanya tersisa aku dan Reyn.

Reyn menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Sebuah senyum tulus yang terpancar
indah, penuh pesona, tidak pernah kulihat sebelumnya. Kini, rasa takut perlahan
sirna. Aura tubuhnya terlihat lebih stabil sekarang.

Reyn mengangkat tangan kirinya kedepan dada, sekejap tangan itu mengeluarkan
pancaran cahaya biru turkouis lembut. Aku yang sedari tadi menyaksikan
pertunjukkan itu hampir terjungkal seketika. Takjub. Demi Neptunus seumur
hidup aku belum pernah menyaksikan sebuah cahaya terpancar dari tangan.
Keajaiban apa itu? Aku seperti bukan berada di duniaku sekarang.

"Re-Reynn, itu tadi, bagaimana bisa, Reyn tangan kamu tiba-tiba bisa ngeluarin
cahaya seperti itu? Kamu manusia kan, kamu lagi tidak sakit kan?" Aku
melepaskan genggaman tanganku dari Reyn. Sedikit membuat jarak darinya.

"Tenang, Fio. Ini kekuatan yang aku miliki, reizzo. Reizzo membuat tubuhku
mampu memancarkan cahaya. Ini hanya sebagian kecil. Tanpa kamu sadari,
kamupun memilikinya Fiona, jauh lebih tinggi energinya daripada aku." Reyn
berusaha menjelaskan secara detail.

"Aku? punya? Sejak kapan?" Pertanyaan itu yang selalu menghantui pikiranku.
Aku tidak bisa memecahkannya karena aku tidak punya alibi terhadap hal itu.
"Jelas kamu punya karena kamu keturunan sejati di-"

"Lupakan soal itu, aku akan menunjukkan sesuatu diluar dugaan kamu. Aku akan
buktikan kalau tubuhmu menyimpan kekuatan luar biasa. Kekuatan maha dahsyat
yang tidak dimiliki sembarang orang."

Aku bingung. Kenapa Reyn mengalihkan pembicaraan. Makna tersirat apa yang
terkandung dalam kata "keturunan sejati" yang dimaksud Reyn. Darimanakah aku
berasal dan bagaimana kehidupanku setelahnya jika fakta itu benar. Reyn perlahan
memadamkan cahaya yang terpancar dari tangannya.

"Apa kamu membawa kalung yang aku berikan waktu itu, Fio?" Reyn bertanya
dengan mimik wajah penasaran padaku.

Aku menggangguk. Lalu aku mengeluarkan kalung dengan liontin merah merona
dari kantung rok. Reyn bilang aku harus menjaga benda itu. Maka dari itu aku
selalu membawanya disegala aktivitas.

"Pakai kalung itu sekarang, Fio." Perintah Reyn. Terdengar tegas tapi bermakna
halus. Aku lantas memakainya. Seketika sebuah pancaran cahaya merah
mengkilau keluar dari liontin kalung berbentuk diamond itu.

"Angkat tangan kananmu ke depan, seperti aku tadi, aku akan bantu mentransfer
sebagian energi untuk kamu."

"Jangan lupa fokus, konsentrasi Fio." Tambah Reyn.

Aku mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Reyn. Tampang serius terlihat di
mimik wajahku. Aku berusaha menghilangkan rasa takut dan penasaran dengan
sekitar untuk mencapai titik konsentrasi tertinggi.

Tidak lama, aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh bahuku, tangan Reyn. Ia
melakukan hal itu untuk men-transfer energi padaku. Aku bisa merasakan adanya
aliran energi yang kuat mengalir dalam tubuhku. Reyn tampak fokus men-transfer
energi, tiba-tiba muncullah sebuah lubang hitam yang awalnya hanya sebesar
lubang semut, kemudian membesar hingga setinggi dua meter.

Aku terpengarah sekaligus terpesona. Sebuah lubang hitam besar ada dihadapan
kami-aku dan Reyn. Dari luar lubang hitam itu, terlihat banyak sekali titik-titik
kecil seperti partikel debu, bahkan mungkin terlihat seperti konstelasi atom yang
sangat kecil.

"Sekarang kamu percaya kan bahwa kamu punya kekuatan unik, kekuatan yang
bisa membuka portal dimensi. Hanya keturunan sejati yang mampu
melakukannya. Awalnya aku ragu, tapi setelah melihat cahaya merah dari lintion
setelah kamu memakainya, aku yakin, kamu termasuk salah satu keturunan
sejati." Reyn menjelaskan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Fiona, inilah yang dinamakan dunia kolateral. Dengan adanya portal dimensi,
kita dapat mengunjungi suatu tempat asing yang bahkan jaraknya jutaan tahun
cahaya sekalipun. Tempat yang tidak terdeteksi oleh alat secanggih apapun,
tempat itu benar adanya. Bahkan berpenghuni. Teknologi manusia bumi tidak
mampu mendeteksi seakurat portal dimensi."

"Lihat, terlihat banyak titik bukan di dalam sana? Itu merupakan konstelasi
galaksi alam semesta yang didalamnya dihuni oleh ribuan bahkan jutaan planet."

Aku begitu terkesan menyimak penjelasan Reyn. Entahlah aku begitu ragu
sekaligus bersemangat untuk menjelajahi dunia kolateral.

"Untuk mengetahui lebih dalam tentang dunia dimensi, bagaimana kalau kita
berpetualangan di dunia kolateral?" Ajak Reyn yang tampak terlihat semangat
menggebu-gebu bagai bara api menyala.

"Aku tidak yakin Reyn untuk masuk ke dalam lubang hitam itu." Jawabku ragu.

Aku tidak mau kapal layar yang kubawa susah payah seketika hancur dalam dunia
yang antah-barantah bahkan tidak diketahui sebelumnya.

"Apa kamu pernah kesana sebelumnya Reyn?" Aku memberanikan bertanya.

Reyn menggeleng mantap.

"Aku hanya membaca cerita di buku-buku kuno ratusan tahun lalu, mengenai
dunia kolateral. Melalui dunia kolateral, aku berhasil mengetahui setidaknya
beberapa persen mengenai identitasku. Mungkin setelah kita menjelajahi dunia
dimensi, aku akan mengetahui sisa identitasku yang belum terpecahkan. Dan
kamu akan mengetahui jati diri kamu sebenarnya dan apa peranmu dalam dunia
dimensi sesungguhnya."

“Bagaimana mungkin aku percaya padamu, kalau kamu saja tidak pernah ke sana,
Reyn!” Kali ini aku marah karena aku merasa terancam, kalau tiba-tiba lubang itu
menyeret paksa tubuhku. Aku tidak bisa berlindung.

“Percaya sama aku, kita akan berpetualangan, Fio. Pasti seru” Bujuk Reyn dengan
yakin.

Sempet-sempetnya Reyn bilang seru, bisa jadi hal ini justru membahayakan.
Mungkin yang dikatakan Reyn benar. Aku mampu membuka portal kolateral
bukan sembarang kemampuan. Aku yakin kehidupanku ada sangkut pautnya
dengan dunia dimensi.

...

Reyn berusaha membujukku untuk masuk kedalam dunia asing itu. Langkahku
begitu ragu. Terbayang-bayang sesuatu yang menakutkan. Padahal dari luar
lubang dimensi itu terlihat sangat mempesona. Selama ini, aku biasa melihatnya
dalam video youtube, tapi sekarang terlihat nyata didepan bola mataku, didepan
kepalaku sendiri, konstelasi galaksi dan planet beserta kehidupannya bergerak
seperti halnya merotasi sesuai porosnya.

Emosiku bercampur-aduk bagai es campur. Rasa penasaran, kagum, takut, dan


terkejut. Semua bersatu riang menghantui jiwaku. Aku sendiri bahkan tidak
mampu memaparkannya.

Keputusanku mutlak. Reyn lagi-lagi berhasil menguasai suasana. Aku berhasil


tersihir oleh bujukannya, mengikuti Reyn menjelajahi dunia dimensi itu.

"Kamu siap, Fiona?" Tanya Reyn memastikan kondisiku.

"Genggam erat tanganku, Fio. Jangan dilepas. Kita akan menelusuri lorong
dimensi waktu. Mungkin rasanya agak aneh karena kita baru pertama kali."
Lanjutnya sambil melihat ke arahku.

Aku menggangguk memberi kode bahwa aku telah siap sedari tadi. Disinilah
kekuatan mentalku diuji. Takdir aku mohon pada engkau selamatkan aku dan
Reyn selama berada di dalam lubang hitam itu sampai kembali kedunia kami yang
sesungguhnya.

Tiga.... dua.... satu...

Splash!

Aku terperangah hebat. Tubuhku seakan diseret paksa memasuki lubang itu. Terus
menatap sekeliling lorong dimensi itu. Terlihat konstelasi planet dan pancaran
indah cahaya bintang. Tersentak kagum, beberapa meteor berjatuhan menghujam
planet-planet.

Benar kata Reyn, ketika tubuhku memasuki lubang hitam itu rasanya diambang
setengah sadar, sedikit mual, dan pusing.

Splash!

Tanpa diduga, kami melintasi lorong dimensi hanya sepersekian detik. Tidak
sampai satu detik. Luar biasa. Kami mendarat disebuah planet yang sangat
modern. Seantero wilayah berjejerkan teknologi seperti sedang berada di toko
elektronik—berdasarkan sudut pandang Bumi.

“Kamu tidak apa, Fio? Terlihat pucat wajahmu.” Tanya Reyn yang sedikit
khawatir melihat kondisiku.

“Santai aja, baru pertama kali juga, nanti kalau berdaptasi jadi terbiasa.” Jawabku
tenang meyakinkan Reyn bahwa aku baik-baik saja.
"Reyn, apa kita sekarang sedang berada di toko elektronik?"

Seketika aku melihat sekitar ruangan lalu melirik ke arah Reyn, Reyn tidak bisa
menahan tawanya, akibat pertanyaan yang kulontarkan. Alhasil kepalaku yang
sama sekali tidak bersalah dijitak oleh Reyn.

"Aww, sakit tau Reyn!" Sambil mengeluarkan ekspresi sinis.

"Ya ampun, Fio. Menurut gelang hologram di tanganku, kudapatkan informasi


bahwa planet ini bernama MAGELLANIC GERARD PLANET. Bukan sebuah
toko elektronik. Aku yang menetapkan tujuan k sini. Terlihat menarik bukan kota
disini." Timpal Reyn.

Aku tersipu. Merah merona itu hadir dipipiku. Terlihat cekungan miring kecil
dibuah bibir Reyn, ia tersenyum, entah apa maksud senyuman itu.

"Teknologi di planet ini sudah cukup maju secara signifikan. Lihat, semua yang
ada disini menggunakan teknologi. Bahkan kendaraannyavpun menggunakan
teknologi yang memungkinkan untuk bisa berada dalam keadaan di darat, laut,
maupun udara. Rata-rata kendaraan disini sudah berteknologi terbang." Ucap
Reyn panjang kali lebar.

"Secanggih apa gelang hologrammu itu?" Tanyaku penasaran dibarengi


menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

"Sangat canggih. Kamu akan tau nanti keajaiban apa lagi yang akan ditunjukkan
oleh hologram ini. Yang jelas, gelang ini menunjukkan informasi detail mengenai
sekitar kita." Ucap Reyn sambil menunjuk sebuah hologram yang tertanam
didalam kulitnya dengan ekspresi memainkan rambut jambulnya.

Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan di kota atah-barantah ini. Jika
dilihat, kota ini memang lebih modern dibandingkan Bumi. Banyak terlihat
kendaraan terbang berlalu-lalang, bangunan-bangunan tinggi yang bentuknya
tidak bisa dijelaskan. Rumah dengan bentuk piramida terbalik, tabung, bahkan ada
yang berbentuk piring. Di Bumi sendiri kebanyakan gedung-gedung bertinggal
berbentuk prisma segiempat.

Kami terus menelurusi tiap jengkal jalan berharap ada sebuah keajaiban yang
membawa kami pulang ke dunia kami berasal. Aku tidak mengerti dengan tulisan
yang tertera disepanjang jalan, entah itu tulisan jenis apa. Tapi, hal yang
membuatku kaget, Reyn, ia berbicara dengan penduduk sekitar dengan bahasa itu.
Apa dia pernah kesini? Tapi Reyn bilang, ia belum pernah sama sekali ke kota ini.
Lupakan, aku lelah sedari tadi berjalan.

Satu jam kemudian, Reyn berhenti melangkah di depan sebuah gedung tua yang
usianya sekitar ratusan tahun lalu. Bangunan dengan arsitektur indah, meskipun
terlihat tua, tapi tetap terawat.
“Aku rasa tempat ini memiliki potongan informasi yang kita cari, Fio. Ayo kita
masuk.” Ucap Reyn yang lalu bergegas dengan semangat berjalan menuju sebuah
pintu besar berwarna coklat dengan ukiran rumit.

Seketika aku menghadang Reyn. Jelas aku kalah tinggi, tapi tak apalah aku harus
mencegahnya karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam sana.

“Jangan coba-coba, Reyn. Kalau di dalem sana ada sesuatu, mungkin hewan
buas? Bagaimana kita akan keluar dengan selamat? Tidak bisakah memikirkan
akibatnya terle—“, Panjang lebar aku menasehati Reyn agar mengambil tindakan
rasional karena tempat ini asing bagi kita. Siapa tahu penduduknya memiliki niat
jahat?

Ketika sedang beradu argumen dengan Reyn, pintu besar itu tiba-tiba terbuka
sendiri. Sontak aku kaget dan langsung berlindung di balik tubuh Reyn. Reyn
langsung siap dengan kuda-kudanya, mewanti-wanti jika ada sesuatu yang keluar
dari pintu itu. Sekitar 10 menit menunggu, tidak ada apapun. Kosong.

Penasaran apa yang ada di balik pintu itu, kami perlahan maju tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun. Aku tidak tahu apakah rasa penasaran ini akan
membahayakan diri kita sendiri atau tidak. Aku akui aku memang ingin tahu apa
yang ada dibalik sebuah kayu dengan ukiran mewah.

Langkah kami terhenti seketika, melihat-lihat seantero ruangan. Memastikan


semua berjalan baik-baik saja. Terlihat lukisan tua yang berdebu, sinar lampu
kristal yang remang, lantai kayu, seperti nuansa vintage.

Kreek!

Pintu tertutup. Pupus sudah harapan. Apakah kami bisa keluar untuk menghirup
udara segar atau akan terkurung selamanya di rumah tua ini.

“ Siap kuda-kuda Fiona!”

Aku sedari tadi berusaha untuk tidak panik, tetap konsentrasi memperhatikan
seluruh ruangan. Bersiap siaga atas segala kemungkinan.

Terdengar suara seseorang dari balik salah satu pintu. Seseorang laki-laki dengan
rambutyang sudah memutih, tapi tidak semua, menggunakan pakaian santai
dengan jubah yang tersibak ke segala arah karena terkena angin. Bisa jadi ia
pemilik bangunan ini. Kakek itu tidak berjalan, melainkan terbang 30 senti. Di
Bumi jelas sekali orang akan ketakutan melihat kejadian ini. Hantu.

“Hohoho... Selamat siang, Anak Muda. Bagaimana dengan rumah ini, terlihat
elegan bukan? Dengan nuansa coklat dan sebagian interior ini terbuat dari kayu
terbaik planet ini.” Sapa kakek tua itu ramah sekaligus memperhatikan
penampilan kami yang masih menggunakan seragam sekolah khas Bumi.
“Kayu ini sebagian jenis cendana yang diproduksi ratusan tahun sekali. Bisa
dibilang sangat langka. Sulit untuk didapatkan dan mengeluarkan harum yang
tidak ada tandingannya dari parfum termahal kota ini. Bahkan aku harus
menyusuri dimensi lain untuk mendapatkannya.” Cerita kakek tua itu panjang
lebar.

Apa peduli kami dengan nuansa rumah itu, mau terbuat dari kayu terbaik ataupun
berlian terlangka diduniapun, itu bukanlah hal yang menarik untuk didengar.

“Kenapa kalian pasang kuda-kuda, heh? Kalian ingin bertanding dengan orang tua
ini kah? Umurku sudah delapan ratus tahun, kekuatanku tidak sehebat ketika aku
masih muda. Oh, aku sampai lupa memberitahu kalian, namaku Jev-Tro, kalian
bisa memanggilku Jev.” Jev memperkenalkan dirinya sekaligus mengakhiri
percakapan kayu itu.

Umur manusia di Planet Megallanic Gerard rata-rata ratusan tahun karena


penduduk di sini memiliki keistimewaan usia yang panjang, berbeda dengan
Bumi yang rata-rata tujuh puluh-an tahun, bahkan hingga ribuan tahun. Gen yang
sangat unik.

Reyn melangkah menuju Jev, “Aku tahu tujuan kalian ke tempat ini, wahai anak
muda.” Jev memulai berbiacara sekaligus memotong langkah Reyn yang langsung
berhenti. Serentak Aku dan Reyn menatap lamat-lamat Jev menunggu kalimat
selanjutnya yang akan ia lontarkan.

“Kalung merah itu bukan, heh?” Jev menunjuk ke arahku. Aku tersentak seketika.
Bagaimana mungkin Jev bisa tahu, bahkan kami belum mengatakan sepatah
katapun mengenai kedatangan kami.

“Tentu saja aku tahu semua mengenai kalung itu, tapi sayangnya kalian tidak
pantas mendapatkan informasi itu, Anak Muda.” Jev melambaikan tangannya
menolak memberikan informasi dan langsung membalikkan badan menuju
ruangannya.

“Tapi kami butuh informasi itu Jev.” Mohon Reyn kepada Jev.

Anda mungkin juga menyukai