Anda di halaman 1dari 4

Najmia Amira Tazkiya / 2018-0500-0134

DHU= 28

Ilmu Perundang-Undangan Seksi C

A. Empat konsekuensi apabila pembentukan suatu peraturan perundang-undangan


tanpa Naskah Akademik
1. Perumusan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan menjadi tidak akurat karena
tujuan Naskah Akademik antara lain menjawab permasalahan yang telah
diidentifikasi sebelumnya.
2. Permasalahan yang dihadapi sebagai alasan pembentukan rancangan peraturan
sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah (solusi) dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat menjadi tidak lengkap.
3. Perumusan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan
peraturan menjadi tidak komprehensif.
4. Perumusan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan dalam rancangan peraturan menjadi tidak komprehensif karena
Naskah Akademik berfungsi mengarahkan  ruang lingkup materi muatan. Materi
muatan itu setidaknya meliputi ketentuan umum, materi yang akan diatur, ketentuan
sanksi, dan ketentuan peralihan.

B. Di mana Naskah Akademik bisa didapatkan?


Naskah akademik bisa didapatkan bergantung dari siapa pemrakarsa dan
pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan undang-undang yang bersangkutan.
Sebagai contoh, untuk naskah akademik rancangan undang-undang perpustakaan (RUU
Perpustakaan) bisa kita dapatkan dari laman Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
kemudian untuk Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) bisa kita dapatkan dari laman Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN).
C. Naskah Akademik RUU Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Tuliskan Alasan Yuridis, Sosiologis dan Filosofisnya
1. Alasan Yuridis: Perkawinan bukan hanya merupakan hak setiap warga negara yang
dilindungi oleh konstitusi melainkan juga termasuk dalam hak asasi yang melekat
sejak dia dilahirkan. Sebagai hak konstitusional berarti hak untuk kawin terlihat
dengan dicantumkannya hak tersebut dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD. NRI Tahun
1945,43 sedangkan sebagai pencerminan hak asasi manusia, hak untuk kawin masuk
dalam Bab Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Bab XA UUD NRI Tahun 1945.
Dalam melaksanakan hak untuk kawin, tentunya memerlukan adanya kesamaan
dalam pemenuhan hak dan kewajiban dalam lembaga perkawinan dengan
memperhatikan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.44 Sebagai bentuk
konsistensi negara dalam menjamin penghormatan, pemenuhan, perlindungan,
pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia, disusunlah UU Perkawinan yang
berlaku sejak 2 Januari 1974. Sepanjang perjalanannya, UU Perkawinan tentunya
tidak lepas dari pengaruh perkembangan hukum, sosial, dan budaya masyarakat yang
bergerak secara dinamis. Salah satunya ditandai dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 22/PUU XV/2017 yang salah satu amar putusannya
memerintahkan kepada pembuat undangundang paling lama 3 (tiga) tahun untuk
melakukan perubahan terhadap batas umur untuk kawin khususnya bagi wanita.
Untuk melaksanakan perintah tersebut maka dilakukan penyempurnaan UU
Perkawinan dengan juga mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Alasan Sosiologis: Seiring dengan perkembangan hukum, sosial, dan budaya
masyarakat, tentunya UU Perkawinan membutuhkan penyempurnaan.
Penyempurnaan dilakukan mengingat dalam penyelenggaraan perkawinan ada yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan dari pembentukan UU Perkawinan. Hal tersebut
antara lain terlihat dari adanya perbedaan batas umur untuk kawin bagi pria dan
wanita, ketiadaan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status
seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak
yang dilahirkan hanya karena keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan,
serta ketiadaan perlindungan terhadap hak-hak suami isteri yang sebelumnya belum
melakukan perjanjian perkawinan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap UU Perkawinan.
3. Alasan Filosofis: Keluarga merupakan satuan terkecil dan bersifat dasar bagi
tercapainya kehidupan sosial masyarakat. Jika dalam keluarga tidak tercapai
kebahagiaan kekal dan sejahtera tentunya akan berdampak pada masyarakat secara
luas. Oleh karena nya, negara memberikan perhatian yang khusus terhadap lembaga
perkawinan sebagai pintu gerbang menuju terbentuknya keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera. Salah satu upaya negara dalam mewujudkan keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera adalah dengan menjadikan lembaga perkawinan sebagai suatu
lembaga yang diikat secara lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu negara perlu hadir
untuk memastikan adanya keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan lembaga perkawinan sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai.

D. Tuliskan pemahaman anda terkait Naskah Akademik RUU MD3


Pelaksanan pengaturan tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dalam beberapa peraturan perundang undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU P3) belum memuat seluruh proses
pembentukan undang undang. Secara materiil, dapat dilihat bahwa pengaturan tentang
proses interaksi kelembagaan dalam kerangka pembentukan undang-undang justru diatur
dalam undang-undang yang seharusnya memuat pengaturan tentang kelembagaan (dalam
hal ini UU MD3). Demikian pula dengan proses penyusunan RUU di masing-masing
lembaga (DPR, DPD, dan Pemerintah) yang diatur oleh peraturan lembaga masing-
masing. UU P3 yang saat ini menjadi acuan dalam pembentukan undang-undang dinilai
tidak sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945 yang secara tegas mengamanatkan bahwa
tata cara pembentukan undang-undang seharusnya diatur dengan undang-undang
tersendiri. Secara struktur, dari 104 pasal yang terdapat dalam UU P3 hanya 52 pasal
yang mengatur tentang proses pembentukan undang-undang. Sedangkan selebihnya
mengatur tentang tata cara pembentukan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah sebagai aturan pelaksanaan/aturan otonom yang lebih tepat diposisikan
dalam ranah eksekutif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengubah
paradigma penyusunan legislasi di Indonesia. Dengan demikian, RUU tentang
Pembentukan Undang-Undang harus memperhatikan dan mendasarkan pada Putusan
MK. Selain itu, posisi MK sebagai negative legislator mengakibatkan urgensi untuk
melakukan pembentukan RUU tentang Pembentukan Undang-Undang untuk memenuhi
kewajiban konstitusional. Berdasarkan pokok-pokok dari putusan tersebut, pembentukan
UU mengisyaratkan agar beberapa pokok pengaturan dapat diadopsi dalam RUU tentang
Pembentukan Undang-Undang, yaitu:
1. Pengaturan Kewenangan legislasi DPD RI.
2. Keterlibatan DPD dalam penetapan dan pembahasan Prolegnas.
3. Mekanisme Tripartit pembahasan RUU.

E. Hal-hal atau judul apa saja terkait Naskah Akademik setelah anda nenelusuri
Sosmed
1. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
3. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
4. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
5. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemindahan Narapidana.

Anda mungkin juga menyukai