1. Pendahuluan
Kendaraan-kendaraan yang bergerak lebih cepat dapat menyalip jika arus lalu lintas
yang berlawanan mempunyai ’jarak antara’ (headway) yang cukup besar. Tetapi
dengan meningkatnya arus dan kepadatan arus lalu lintas yang bergerak pada arah
yang berlawanan, maka ’jarak antara’ dan kesempatan-kesempatan untuk menyalip
akan berkurang, dan kendaraan-kendaraan yang bergerak lebih lambat mempunyai
pengaruh yang lebih besar dalam menghambat arus lalu lintas. Dan berkurangnya
’jarak antara’ ini akan menyebabkan pengemudi untuk mengurangi kecepatanny
demi alasan keselamatan.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan para peserta dapat memahami
konsep jarak atau waktu antara kendaraan didalam arus lalu lintas.
4. Uraian
Waktu antara kendaraan (time headway) adalh waktu yang diperlukan antara satu
kendaraan dengan kendaraan berikutnya untuk melalui satu titik tertentu yang tetap.
1
Waktu antara kendaraan rata-rata (Mean Time Headway) = -------------------
Kepadatan
Jarak antara kendaraan (Distance Headway) adalah jarak antara bagian depan satu
kendaraan dengan bagian depan kendaraan berikutnya
1
Jarak antara kendaraan rata-rata
1
(Mean Distance Headway) = --------------------
Kepadatan
Keamanan dan kenyamanan pengemudi untuk dapat melihat dengan jelas dan
menyadari situasinya pada saat mengemudi, sangat tergantung pada jarak yang dapat
dilihat dari tempat duduknya. Panjang jalan didepan kendaraan yang masih dapat
dilihat diukur dari titik tempat duduk pengemudi, disebut jarak pandang. Jarak
pandang berguna :
Jarak pandang henti, yaitu jarak pandang yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan.
Jarak pandang menyalip, yaitu jarak pandang yang dibutuhkan untuk meyalip
kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur
untuk arah yang berlawanan.
Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat
menghentiksn kendaraan. Guna untuk memberikan keaman pada pengemudi
kendaraan, maka pada setiap panjang jalan haruslah dipenuhi paling sedikit jarak
pandang sepanjang jarak panjang henti minimum.
2
Jarak pandang henti minimum adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk
menghentikan menghentikan kendaraannya yang bergerak setelah melihat adanya
rintangan pada lajur jalannya. Rintangan itu dilihat dari tempat dari tempat duduk
pengemudi dan setelah menyadari adanya rintangan, pengemudi mengambil
keputusan untuk berhenti.
dt = kecepatan x waktu
d1 = V x t
Jika :
V = ke cepatan km/jam
Maka :
d1 = 0,278 V.t
Jarak mengerem (d2) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan dari menginjak
pedal rem sampai kendaraan itu berhenti. Jarak pengereman itu sendiri, kondisi
muka jalan dan kondisi perkerasan jalan.
3
roda. Untuk perencanaan hanya diperhitungkan akibat asanya gesekan antara ban
dan muka jalan.
GV²
G.fm.d2 = -----------
2g
d2 = V²
-------------
2g.fm
jika :
fm = koefisiensi gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang
jalan.
d2 = jarak mengerem, m
G = 9,81 m²/det
Maka :
V²
Jarak menegerem, d2 = -------------------
254 fm
V²
D = 0,278 V.t + -----------
254 fm
AASHTO ’90 memberikan nilai koefisien gesekan untuk perencanaan seperti pada
gambar 4.1. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh jarak pandang henti seperti pada
tabel 4.1
4
Gambar 4.1. Koefisien gesekan memanjang jalan
Kecepatan Kecepatan d d d
Rencana Jalan perhitungan perhitungan desain
Fm
km/jam km/jam untuk Vr untuk Vj m
m m
30 27 0,400 29,71 25,94 25-30
40 36 0,375 44,60 38,63 40-45
50 45 0,350 62,87 54,05 55,65
60 54 0,330 84,65 72,32 75,85
70 63 0,313 110,28 93,71 95-110
80 72 0,300 139,59 118,07 120-140
100 90 0,285 207,64 174,44 175-175-210
120 108 0,280 285,87 239,06 240-285
Pada umumnya untuk jalan 2 lajur 2 arah kendaraan dengan kecepatan tinggi sering
mendahului kendaraan lain dengan kecepatan yang lebih rendah sehingga pengemudi
tetap dapat mempertahankan kecepatan sesuai dengan yang diinginkannya. Gerakan
menyalib dilakukan dengan mengambil lajur jalan yang diperuntukan untuk
kendaraan dari arah yang berlawanan. Jarak yang bibutuhkan pengemudi sehingga
dapat melakukan gerakan menyalib dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari
arah depan dengan bebas dinamakan jarak pandng menyalib.
Jarak pandang menyalib setandar dihitung berdasarkan atas panjang jalan yang
diperlukan untk dapat melakukan gerakan menyalib suatu kendaraan dengan
sempurna dan aman berdasarkan asumsi yang diambil. Apabila dalam suatu
kesempatan dapat menyalib dua kendaraan sekaligus, tidaklah merupakan dasar dari
perencanaan suatu jarak pandang manyalib total.
Jarak pandang menyalib standar pada jalan dua lajur 2 arah dihitung berdasarkan
beberapa asumsi terhadap sifat arus lalu lintas yaitu :
5
Sebelum melakukan gerakan menyalib, kendaraan harus mengurangi
kecepatannya dan mengikuti kendaraan yang akan disiap dengan kecepatan yang
sama.
Apabila kendaraan sudah berada pada lajur untuk menyalib, maka pengemudi
harus mempunyai waktu untuk menentukan apakah gerakan menyalib dapat
diteruskan atau tidak.
Kecepatan kendaraan yang menyalib mempunyai perbedaan sekitar 15 km/jam
dengan kecepatan kendaraan yang disiap pada waktu melakukan gerakan
menyalib.
Pada saat kendaraan menyalib telah berasa kembali pada lajur jalannya, maka
harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang bergerak dari arah yang
berlawanan.
Tinggi mata pengmudi diukur dari permukaan perkerasan menurut AASHTO’90
=1.06 m (3.5 ft) dan tinggi obyek yaitu kendaraan yang akan disiap adalah 1.25 m
(4.25 ft) sedangkan Bina Marga (urban) mengambil tinggi mata pengemudi sama
dengan tinggi obyek yaitu 1.00 m.
Kendaraan yang bergerak dari arah yang berlawanan mempunyai kecepatan yang
sama dengan kendaraan yang menyalib.
Jarak pandang menyalib standar untuk jalan 2 lajur dua arah terdiri dari dua tahap
yaitu :
Dimana :
6
d1 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyalib selama 1 waktu reaksi
oleh kendaraan yang hendak menyalib dan membawa kendaraannya yang
hendak membelok ke lajur kanan
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menylib selama berada pada lajur sebelah
kanan
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyalib dengan kendaraan
yang berlawanan arah setelah gerakan menyalib dilakukan
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah 4 selama 2/3 dari
waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang menyalib berada pada lajur sebelah
kanan atau sama dengan 2/3xd2
dimana :
at1
d1 = 0,278 t1 ( V – m+ -------------- )
2
d2 = 0,278 V t1
7
dimana :
d2 = Jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyalib berada pada lajur kanan.
t2 = Waktu dimana kendaraan yang menyalib berada pada lajur kanan yang
dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi
t2 = 6,56+0,048 V
d3 = diambil 30-100 m
d4 = 2/3 d2
Di dalam perencanaan sering kali kondisi jarak pandang menyalib ini dibatasi oleh
kekurangan biaya, sehingga jarak pandang menyalib yang dipergunakan dapat
mempergunakn jarak pandang menyalib minimum (dmin).
dmin = 2/3 d2 + d3 + d4
Pada gambar 4.3 dapat dilihat jarak pandang menyalib standar yang disarankan
Frekwensi pengadaan jarak pandang menyalib pada seluruh panjang jalan akan
sangat mempengaruhi volume pelayanan dari jalan tersebut. Keadaan topografi dan
kecepatan rencana mempengaruhi pengadaan jarak pandang menyalib. Seorang
perencana akhirnya haruslah membandingkan effisiensi dari pemenuhan jarak
pandang menyalib dan biaya pembangunan jalan yang disesuaikan dengan fungsi
jalan.
8
Bina Marga (luar kota) menyarankan sekurang-kurangnya 10% panjang seluruh jalan
harus mempunyai jarak panjang menyalib.
Pandangan pada malam hari dibatasi oleh kemampuan penyinaran dan ketinggian
letak lampu besar, serta hal-hal lain seperti sifat pemantulan dari benda-benda. Jadi
keadaan yang menentukan pada malam hari adalah jarak pandang henti, sedangkan
jarak pandang menyalib, diamana bahay yang timbul diakibatkan oleh kendaraan dari
arah lawan tidak lagi menentukan, karena sorotan lampu kendaraan yang datang
akan terlihat nyata. Dengan demikian faktor yang paling menentukan pada malam
hari adalah faktor lampu besar. Penurunan kemampuan untuk melihat pada malam
hari terutama adalah akibat kesilauan lampu besar dari kendaraan yang berlawanan
arah.
5. Daftar Pustaka
1. Pembinaan Jalan Kota, Indonesian Highway Capacity Manual, Part I :Urban and
Semi-urban Traffic Fasilities, Jakarta, 1993
5. Matson, Smith & Hurd, Traffic Engineering, Mc Graw-Hill Book Company, New
York, 1955
6. Pignatoro L. J., Traffic Engineering Theory and Parctice, Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey