Anda di halaman 1dari 19

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)


Kantor: Rektorat UNNES Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229
Rektor: (024)8508081 Fax (024)8508082, Warek I: (024) 8508001
Website: www.unnes.ac.id - E-mail: rektor@mail.unnes.ac.id
FORMULIR MUTU
BAHAN AJAR/DIKTAT
No. Dokumen No. Revisi Hal Tanggal Terbit
FM-01-AKD-07 02 1dari 123 17 Februari 2017

BAB II
KONSEPSI TAUHID
Pertemuan kedua

A. Deskripsi singkat
Bagian ini menjelaskan pengertian iman dan konsepsi tauhid
dalam Islam.

B. Capaian pembelajaran pertemuan:


1. Kognitif : mahasiswa mampu menjelaskan materi rukun iman dan
konsepsi tauhid dengan cerdas dan santun.
2. Proses: mahasiswa mampu membuat artikel rukun iman dan
konsepsi tauhid dengan cerdas dan toleran.
3. Skil: mahasiswa mampu mendiskusikan materi rukun iman dan
konsepsi tauhid dengan cerdas, toleran dan demokratis.
4. Afektif: mahasiswa mampu menerima dan mengaktualisasikan
esensi materi rukun iman dan konsepsi tauhid dengan toleran dan
santun.

C. Isi Materi perkuliahan


KONSEPSI TAUHID

1. Tauhid sebagai Poros Aqidah Islam


Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai
suatu keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid
yang merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang di saat
kemusyrikan sedang merajalela di segala penjuru dunia. Tak ada seorangpun
yang menyembah Allah kecuali segelintir manusia dari golongan hunafa’
(pengikut nabi Ibrahim as.) dan sisa-sisa penganut ahli kitab yang selamat dari
pengaruh tahayul animisme dan paganisme yang telah menodai agama Allah.
Sebagai contoh bangsa Arab jahiliyah telah tenggelam jauh ke dalam
paganisme, sehingga Ka’bah yang semula dibangun untuk menyembah Allah
telah dikelilingi oleh 360 berhala. Dan bahkan setiap rumah penduduk Makkah
ditemukan berhala sesembahan penghuninya.

1
Imam Bukhari sempat merekam suatu peristiwa yang ditelusurinya lewat
Abu Raja’ al-Atharidy :

“Kami pernah menyembah batu, bila kami menemukan batu yang lebih
baik daripadanya , kami buang batu itu dan mengambil batu yang lain. Bila kami
tidak menemukan batu maka kami menumpukan debu kemudian mengambil
seekor kambing untuk diperas susunya di atas (tumpukan debu itu) kemudian
kami thawaf mengelilinginya”.

Oleh karena itu al-Qur’an mencela paganisme maupun politheisme yang


merupakan simbol dari segmentasi masyarakat. Bahkan secara keseluruhan
risalah-risalah yang diturunkan Allah Swt. pada para nabi dan rasul pada
dasarnya memiliki kesatuan hidayah atau misi, the unity of guidance, yakni
menyeru umat manusia agar mengesakan Allah. Karenanya tauhid merupakan
tugas utama para nabi dan rasul untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
paham monotheisme. Hal ini sudah tercermin dalam beberapa ayat yang
merekam inti tugas para nabi tersebut. Berikut adalah gambaran inti dakwah para
nabidan rasul :

1. Inti dakwah nabi Nuh as :

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia


berkata) : “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu,
agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu
akan ditimpa azab yang sangat menyedihkan. (Q.S. Hud : 25-26)

2. Inti dakwah nabi Hud as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud. Ia berkata :
“hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Q.S. al-A’raf : 65)

3. Inti dakwah nabi Yusuf as. :

“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)


nama-nama kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”. (Q.S. Yusuf : 40)

4. Inti dakwah nabi Shaleh as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka,


Shaleh. Ia berkata : “hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari
Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia
makan dibumi dan janganlah kamu menganggunya dengan gangguan apapun,
(yang karenanya) kamu ditimpa siksaan yang pedih. Q.S. al-A’raf : 73)

5. Inti dakwah nabi Syu’aib as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka


Syu’aib. Ia berkata : hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan
selain-nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan
bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhanmu memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu betul-betul orang yang beriman”.
Q.S. Al-A’raf : 85)

6. Inti dakwah nabi Ibrahim as :

“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah


olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui” (Q.S. al-Ankabut : 16)

7. Inti dakwah nabi Isa as :

Sesungguhnya telah kafir orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah


ialah al-Masih putera Maryam”, padahal al-Masih sendiri berkata: “hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya prang yang
mempersekutukan Allah , maka pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga,
dan tempatnya ialah neraka tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolong pun. (Q.S. al-Maidah : 72

8. Inti dakwah nabi Muhammad SAW :

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (Q.S.
ali Imran : 64)

Dari kedelapan ayat diatas semuanya mengarah pada penegakan poros


tauhid sebagai acuan utama kehidupan. Allah menciptakan manusia agar
mereka menyembah-Nya semata (Q.S. adz-Dzariyat : 56) dan menghindarkan
diri dari thagut (Q.S. an-Nahl : 36). Hanya Allah yang patut disembah dan jangan
sampai kita menyekutukan Allah dengan sesuatu (Q.S. an-Nisa’ : 36), karena
menyekutukan Allah adalah sesuatu yang diharamkan bagi manusia (Q.S. al-
An’am: 151. Inilah tauhid, merupakan perintah Allah yang tertinggi dan terpenting
dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Allah untuk mengampuni dosa kecuali
pelanggaran terhadap tauhid, karena pelanggaran ini merupakan dosa besar
(Q.S. an-Nisa’ : 48). Oleh karena itu tauhid menjadi pranata yang tertinggi dan
menjadi penyebab kebaikan dan pahala terbesar (Q.S. al-An’am : 82).

2. Makna Kalimat Syahadat


Secara tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid adalah
keyakinan dan kesaksian bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah “, la ilaha illa
Allah. Kalimat ini merupakan lambang tauhid. Kalimah ini biasa disebut kalimah
tauhid. Kalimat yang agung ini terdiri dari dua makna yakni :

a. la ilah atau makna nafi (negasi) yang berarti peniadaan semua


ketuhanan lain selain Allah.
b. illa Allah atau makna itsbat (afirmasi) yang berarti pernyataan bahwa
ketuhanan itu semata-mata hanya untuk Allah. Dia-lah satu-satunya
Tuhan yang sebenarnya sedangkan tuhan-tuhan lain yang disembah
manusia adalah tuhan-tuhan palsu dan batil, yang diciptakan oleh
kejahilan dan takhayul.
Kalimat ini dimulai dengan pengingkaran la ilaha (tiada tuhan) dan disusul
oleh illa Allah (kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui kebenaran itu
apabila ia berusaha menyingkirkan terlebih dahulu segala macam ide, teori dan
data yang tidak benar dari benaknya, persis seperti yang dilakukan oleh
pengucap syahadah tersebut.

Kalimah tauhid disebut juga kalimah thayyibah atau kalimah ikhlas.


Kalimah la ilah illa Allah ini mencakup pengertian komprehensif sebagai berikut :

a. La Khaliqa illa Allah (tiada pencipta selain Allah).


b. La Raziqa illa Allah (tiada pemberi rizki selain Allah).
c. La Khafidza illa Allah (tiada pemelihara selain Allah).
d. La Mudabbira illa Allah (tiada pengatur selain Allah).
e. La Malika illa Allah (tiada penguasa selain Allah).
f. La Waliya illa Allah (tiada pemimpin kecuali Allah).
g. La Hakima illah Allah (tiada Hakim selain Allah)
h. La Ghayata illa Allah (tiada yang maha menjadi tujuan selain Allah).
i. La Ma’buda illa Allah (tiada yang maha disembah selain Allah)

Tauhid menjadi landasan dasar dan inti ajaran Islam, yang membedakan
manusia menjadi muslim atau kafir, musrik atau dahriyyin (orang yang tidak
percaya adanya tuhan). Tetapi perbedaan antara yang percaya dan yang tidak
percaya bukan hanya terletak pada kalimah syahadah. Kekuatan sesungguhnya
terletak pada penerimaan secara sadar dan mutlak terhadap ajaran Islam dan
penerapannya di dalam kehidupan nyata. Tanpa itu manusia tidak akan dapat
menyadari pentingnya ajaran Islam. Jika manusia mengerti makna tauhid, maka
akan membuat manusia dapat menghindari setiap bentuk keingkaran, atheisme
dan polytheisme.

Maka tauhid adalah merupakan pengetahuan, kesaksian, keyakinan dan


keimanan manusia terhadap ke-esaan tuhan dengan segala sifat kesempurnaan
dan ke-Esaan, diikuti dengan keyakinan bahwa ia tidak berpasangan, sempurna
tiada tara, penyandang atribut ke-Tuhanan dan kekuasaan mutlak atas seluruh
makhluk.
3. Tingkatan Tauhid.
Tauhid menurut Islam ialah tauhid I’tiqad-‘ilmi (keyakinan teoritis) dan
tauhid amali-suluki (tingkah laku praktis). Dengan kata lain ketauhidan antara
yang teoritis dan praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain ; yakni tauhid
dan bentuk makrifat (pengetahuan). Itsbat (pernyataan), I’tiqad (keyakinan), qasd
(tujuan) dan iradah (kehendak). Dan ini semua tercermin dalam empat tingkatan
atau tahapan tauhid.

a. Tauhid Rububiyah.
Secara etimologis kata rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb
ini sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan,
mengembangkan, mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki dna
lain-lain. Maka secara terminologis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa
Allah Swt. adalah Tuhan pencipta semua makhluk dan alam semesta. Dialah
yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan serta mengendalikan segala
urusan. Dialah yang memberikan manfaat dan mafsadat, penganugerah
kemuliaan dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini tergambar dalam ayat-ayat al-
Qur’an antara lain:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan


orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air
(hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Q.S. al-Baqoroh :21-22)

“katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb manusia” (Q.S. an-Naas : 1)

coba perhatikan juga urat Luqman : 25 dan Fathir : 3 dan masih banyak
yang lainnya.

b. Tauhid Mulkiyah.
Kata mulkiyah berasal dari akar kata malaka. Isim failnya dapat dibaca
dengan dua macam cara 1) Malik dengan huruf mim dibaca panjang ; berarti
yang memiliki. 2) Malik dengan huruf mim dibaca pendek; yang menguasai.
Syekh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa
kata malik dengan huruf mim panjang berati yang memiliki adalah lebih sempit
maknanya dari pada kata malik dengan huruf mim pendek, berarti yang
menguasai. Karena memiliki belum tentu mengasai, sedangkan menguasai
sudah barang tentu juga memiliki.

Maka secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan bahwa


Allah Swt. adalah satu-satunya Tuahn yang memliki dan menguasai seluruh
makhluk dan alam semesta. Oleh karena itu Allah disebut sebagai Raja alam
semesta. Ia berhak dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya
terhadap alam semsta tersebut. Keyakinan Tauhid Mulkiyah terekam dalam
ayat-ayat al-Qur’an seperti berikut ini :

“Yang mengauasai hari pembalasan” (Q.S. al-Fatihah : 4)

“Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah


kepunyaan Allah ? Dan bagimu selain Allah seorang pelindung maupun
seorang penolong” (Q.S. al-Baqarah : 107).

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu “ (Q.S. al-Maidah: 120).

Dan apabila manusia meyakini bahwa Allah sebagai pemilik dan


Penguasa alam semesta ini maka konsekuensinya ia harus menjadikan Allah
sebagai Pemimpin yang memiliki wewenang untuk menentukan sesuatu.
Firman Allah :
“ Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir
pemimpinya adalah taghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
(Q.S. al-Baqarah : 257).

At-Taghut dalam ayat di atas adalah segala sesuatu yang dipertuhan selain
Allah Swt. dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sayyid Quthub
dalam tafsir Fi Dzilal al-Qur’an menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan at-Taghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan
melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya. At-
Taghut itu bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang
tidak berlandaskan ajaran Allah.

c. Tauhid Uluhiya
Kata uluhiyah adalah mashdar dari kata alaha yang mempunyai arti tentram,
tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar
adalah ‘abada, yang hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah),
yang mulia dan agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada bih). Jadi
seseorang yang menghambankan diri kepada Allah maka ia harus mengikuti,
mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepada-Nya serta
bersedia untuk mengorbankan kemerdekaannya. Dengan demikian Tauhid
Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan
yang patut dijadikan ilah yang harus dipatuhi, ditaati, diagungkan dan
dimuliakan. Hal ini tersurat dalam ayat-ayat berikut ini :

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu” (Q.S. at-Thaha :
14).
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-
laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat tinggalmu’ (Q.S. Muhammad : 19)

d. Tauhid Ubudiyah.
Kata ubudiyah berasal dari akar kata ‘abada yang berarti menyembah,
mengabdi, menjadi hamba sahaya, taat, patuh, memuja, yang diagungkan (al-
ma’bud). Dari akar kata di atas maka diketahui bahwa Tauhid ubudiyah adalah
suatu keyakinan bahwasannya Allah Swt. merupakan Tuhan yang patut
disembah, ditaati, dipatuhi, dipuja manusia melainkan Allah semata. Dia
adalah tempat semua makhluk menghambakan diri dan beribadah kepada-
Nya. Tauhid Ubudiyah ini tercermin dalam ayat-ayat di bawah ini :

“hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau (pula)
kami mohon pertolongan” (Q.S. al-Fatihah : 5).

“dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat


(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah taghut itu, maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antara orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah
kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul)’. (Q.S. an-Nahl : 36)

Kemudian untuk memahami keterkaitan keempat tingkatan tauhid di atas,


maka berlaku dua teori atau dalil : 1) Dalil at-Talazum; kemestian. Artinya
bahwa seseorang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya ia meyakini
Tauhid Mulkiyah, dan meyakini Tauhid Mulkiyah sudah semestinya meyakini
Tauhid Uluhiyah, dan meyakini Tauhid Uluhiyah juga semestinya meyakini
Tauhid Ubudiyah. Dengan kata lain Tauhid Ubudiyah adalah konsekuensi
dari Tauhid Uluhiyah, Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi dari Tauhid
Mulkiyah, dan Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi dari Tauhid Rububiyah. 2)
Dalil at-Tadhamun; ketercakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah
sampai ke tingkat Tauhid Ubudiyah tentunya sudah melalui tiga tingkatan
sebelumnya. Mengapa ia beribadah kepada Allah semata ? Karena Dia
adalah ilah yang patut diagungkan. Mengapa Dia adalah ilah yang patut
diagungkan ? Sebab Dia adalah pemilik dan penguasa alam semesta yang
harus ditaati dan dijadikan pimpinan ? Tiada lain karena Dia adalah Tuhan
yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta segala isinya..

Apabila kita menyimak ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan


tauhid selalu bergandengan dengan syirik yang merupakan kontradiksi dari
tauhid. Hal ini menandakan bahwa al-Qur’an sendiri langsung turun tangan untuk
membimbing umat manusia agar menjauhi syirik ini sejauh-jauhnya. Jika
daikatakan bahwa tauhid adalah sumbu dalam menggapai ridha Allah, maka
syirik merupakan pemicu keengganan Allah meridhai hambanya. Hal lain yang
dapat dipetik dari permasalahan tersebut adalah bahwa jika kita membicarakan
masalah tauhid maka kita secara reflek harus menjauhkan dari sikap syirik ini.
Itulah makanya gandengan itu menjadi sangat penting dimunculkan.

4. Tauhid dan Pembebasan Diri.


Huston Smith pernah menyinggung permasalahan bahwa keengganan
manusia untuk menerima kebenaran ialah antara lain karena sikap menutup diri
yang timbul dari refleks agnostik atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran
yang diperkirakan justeru akan lebih tinggi nilainya daripada apa yang sudah ada
pada kita. Padahal kalau saja kita membuka diri untuk kebenaran itu maka
mungkin kita akan memperoleh kebaikan dan energi yang kita perlukan.
Halangan kita menerima kebenaran ialah keangkuhan kita sendiri dan belenggu
yang kita ciptakan untuk diri kita sendiri.

Belenggu itu ialah apa yang kita kenal dengan sebutan “hawa nafsu” yang
berarti ‘keinginan diri sendiri’. Inilah sumber pribadi untuk penolakan kebenaran,
kesombongan dan kecongkakan. Kita menghadapi hal-hal dari luar yang kita
rasakan tidak sejalan dengan kemauan atau pandangan kita sendiri, betapapun
benarnya hal dari luar itu. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-
pandangan subyektif dan biased, yang juga menghalangi kita dari kemungkinan
melihat kebenaran. Gambaran ini terlihat jelas pada redaksi ayat al-Qur’an :
“Pernahkah engkau (Muahammad) saksikan orang yang menjadikan keinginan
(hawa nafsu) nya sendiri sebagai Tuhannya, kemudian Allah membuat mereka
sesat secara sadar, lalu Dia tutup pendengaran dan hatinya, dan dikenakan oleh-
Nya penutup pada pandangannya ?! Maka siapa yang sanggup memberi
petunjuk selain Allah ? Apakah kamu tidak merenungkan hal itu ?. (Q.S. al-
Jatsiyah : 23).

Seorang disebut menuhankan dirinya sendiri jika dia memutlakkan diri


dan pandangan atau pikirannya sendiri. Biasanya orang seperti itu mudah
terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang amat cepat bereaksi
negatif kepada sesuatu yang datang dari luar, tanpa sempat bertanya atau
mempertanyakan kemungkinan segi kebenarannya dalam apa yang datang dari
luar itu. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau perbudakan oleh tiranivested
interest. Gambaran tentang ini dari masa lalu dapatkan dalam firman Allah
:“….Apakah setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa
kebenaran) dengan sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu menjadi
congkak, sehingga sebagian (dari para rasul itu) kamu dustakan, dan sebagian
lagi kamu bunuh ?! Mereka (yang menolak kebenaran) itu bertanya, “hati kami
telah tertutup (dengan ilmu) !. Sebaliknya, Allah telah mengutuk mereka karena
penolakan mereka (terhadap kebenaran), maka sedikit saja mereka percaya”.
(Q.S. al-Baqarah : 87).

Meskipun ayat suci itu menggambarkan kelakuan kalangan tertentu dari


Bani Israil (bangsa Yahudi), namun “the moral behind the story” jelas berlaku
untuk semua golongan. Pelajaran moral itu berada disekitar bahaya penolakan
kebenaran (kufr) karena kecongkakan (istikbar) dan sikap tertutup karena
merasa telah penuh berilmu (ghulf). Hanya dengan melawan itu semua melalui
proses pembebasan diri (self liberation) seseorang akan mampu menangkap
kebenaran itu seseorang akan dapat berproses untuk pembebasan dirinya. Inilah
sesungguhnya salah satu makna esensial kalimat syahadat yang bersusunan
negasi-konfirmasi “la ilah illa Allah” itu dipandang dari sudut efeknya kepada
peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan pribadi seseorang.
Pembebasan pribadi yang diperolehnya yang membuat seorang manusia
merdeka sejati, akan menghilangkan dari dirinya sendiri setiap halangan untuk
melihat yang benar adalah benar dan yang salah sebagai salah. Bentuk-bentuk
subyektifisme, baik yang positif ataupun negatif, yaitu perasaan senang ataupun
benci kepada kepada sesuatu atau seseorang, tidak akan menjadikan
pandangannya kabur dan kehilangan wawasan tentang apa yang sungguh-
sungguh benar atau salah, dan yang baik atau buruk. Orang yang serupa itu
mampu mengalahkan kekuatan tiranik (taghut), terutama kecenderungan tiranik
diri sendiri pada saat ia menjadi sombong karena merasa tidak perlu kepada
orang lain (Q.S. al-Alaq : 7). Orang yang terbebas itu juga selalu sanggup
kembali kepada yang benar, tanpa terlalu peduli dari mana datangnya kebenaran
itu. Maka ia termasuk yang mendapatkan “kabar gembira” (kebahagiaan) dan
dinamakan ‘Ulul Albab”, ‘mereka yang berakal pikiran’ atau kaum terpelajar

Konsep keesaan tuhan atau tauhid di dalam Islam mempunyai kedudukan


tersendiri yang sangat penting. Ia mempunyai implikasi yang sangat luas
terhadap konsep dan ajaran Islam yang lain. Untuk dapat memahami hak ini, kita
harus memahami kedudukan tuhan dalam Agama Islam, berdasarkan pada
keterangan dari kitab al-Qur’an.

Paling tidak terdapat tiga pokok pikiran yang mendasar, sebagai landasan
pijak dalam memahami sentralisasi posisi tuhan dalam ajaran al-Qur’an.

Pertama bahwa segala sesuatu selain tuhan, termasuk keseluruhan alam


semesta dengan segala aspek metafisis dan moral adalah tergantung kepada
tuhan. Tuhan adalah pangkal yang sekaligus ujung dari keberadaan alam raya
ini. Yang mencipta alam ini dengan firman-Nya : “jadilah” (Q.S. 2 : 117; 3 : 47, 59;
6 : 73; 16 : 40; 19 : 35; 36 : 82; 40 : 68). Dalam menciptakan alam, tuhan sudah
menetapkan ukuran, qadar, dari masing-masing ciptaannya. Yang dengan itu
alam berjalan mengikuti aturan main tertentu yang sangat rapi. Sehingga
seringkali al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta itu bersifat tunduk, muslim
kepada tuhan (Q.S. 7 : 206; 13 : 15; 18 : 55; 15 : 16; 21 : 19; 49 : 22; 57 : 1; 59 :
1; 61 : 1). Keterangan alam yang seakan cacat itu juga tergantung kepada daya
dan kekuasaan tuhan, tanpa pemeliharaan dari tuhan alam semesta itu akan
hancur berantakan (13 : 22; 34 : 9; 50 : 6; 51 : 47, dan lain-lain).

Kedua, bahwa tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Pencipta tadi adalah
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memelihara alam
ciptaannya dengan belas kasihnya, sebab alam ini diciptakan dengan tujuan
yang tertentu dan bukan sekedar iseng atau main-main (Q.S. 3 : 191; 38 : 27),
sebab : “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada
diantaranya sebagai permainan; jika kami menginginkan permainan maka kami
dapat melakukannya sendiri (tanpa memalui penciptaan kami)- jika kami
menghendaki (Q.S. 21 : 16 – 17).

Ketiga , bahwa aspek-aspek tersebut tentu saja mensyaratkan hubungan


yang tepat diantara tuhan dan manusia, hubungan antara yang diper-Tuhan
dengan hamba-Nya dan sebagai konsekuensinya juga memerlukan
hubungan yang tepat antara manusia dengan sesamanya. Karena tuhan yang
menciptakan alam semesta sekaligus tempat kembali, sedangkan alam semesta
ini tunduk mutlak kepada tuhan dan hanya manusia yang mampu melawan
hukum tuhan –hukum alam bagi manusia bersifat imperatif—maka manusia juga
harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan
tuhan.”Apakah kalian berpikir bahwa kalian kami ciptakan dengan sia-sia dan
bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada kami ? Maha Tinggi Allah” (Q.S.
25 : 115), juga “ Apakah manusia mengira bahwa ia dibiarkan begitu saja
(dengan sekehendak hatinya)” (Q.S. 75 : 36).

Konsep tentang keesaan tuhan ini, selanjutnya menurunkan konsep


tentang kesatuan ummat manusia sebagai sebuah komunitas yang tunggal.
Berulang kali al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia seluruhnya adalah
berasal dari satu keturunan, yang tentu saja mengisyaratkan bahwa seantero
umat manusia sebenarnya adalah saudara. Umat manusia itu pada hakekatnya
adalah satu (Q.S. 2 : 213), meskipun secara lahiriah kondisi manusia sangat
beragam. Perbedaan yang terdapat bukan saja antar individu, melainkan juga
antar suku, ras dan antar bangsa-bangsa. Namun segala macam perbedaan
tersebut bukanlah menjadi halangan bagi kesatuan umat manusia , justeru,
menurut al-Qur’an sendiri, merupakan salah satu tanda kekuasaan tuhan yang
harus dijadikan sebagai jalan menuju persatuan (Q.S. 30 : 22). Sebab ,
bagaimanapun juga perbedaan yang ada hanyalah faktor luas, yang
perkembangannya lebih banyak disebabkan karena lingkungan yang ditempati.

Kesatuan dan persaudaraan ini kemudian mensyratkan adanya kesatuan


hukum moral. Karena manusia itu secara keseluruhan adalah satu, dan punya
kedudukan primordial yang sejajar di hadapan tuhan maka ukuran-ukuran moral
yang diberlakukan di kalangan umat manusia, seharusnya adalah sama. Itulah
sebabnya mengapa Islam sangat menekankan kesamaan derajad antar umat
manusia. Tidak ada orang yang mempunyai derajad lebih tinggi dibanding yang
lain di sisi Allah karena tingkat ketaqwaannya. Kelebihan-kelebihan berupa
wajah, harta, keturunan, kekuasaan dan lain sebagainya tidak menjadikan
hakekat kemanusiaan seseorang menjadi lebih baik.

Demikianlah, karena kedudukan tuhan dalam Agama Islam adalah


sentral, maka doktrin tentang keesaan tuhan menjadi makna yang sangat
mendasar. Keseluruhan bangunan ajaran Islam menjadi ‘Tuhan sentris’, sebab
tuhanlah yang menjadi tempat asal segala sesuatu dan tempat kembalinya.

Konsekuensi logis dari ajaran Islam tersebut adalah segala bentuk


penyimpangan terhadap prinsip dasar ini adalah sebuah kesalahan yang
mendasar. Islam menyebut penyimpangan terhadap prinsip keesaaan keesaan
tuhan itu sebagai syirik, yaitu menduakan terhadap tuhan. Syirik bisa berbentuk
tindakan langsung, yaitu dengan mengakui adanya sesuatu yang mempunyai
kedudukan, kekuasaan ataupun peran sejajar dengan tuhan. Namun bisa juga
dalam wujud tindakan yang tidak langsung, berupa segala macam
penyimpangan terhadap aturan-aturan, prinsi-prinsip dan tatanan nilai yang
merupakan rumus turunan konsep dasar tentang keesaan tuhan. Dan al-Qur’an
menyatakan bahwa syirik adalah ‘unvorgiven sin’ (dosa yang tak termaafkan).

5. bentuk-bentuk Syirik Kepada Allah Dalam al-Qur’an

kalau dikaji ayat-ayat al-Qur’an maka perbuatan syirik merupakan


kontradiksi dari ajaran tauhid (ke-Esaan Tuhan). Dalam al-Qur’an kata syirik
digunakan dalam arti persekutuan Tuhan lain dari Allah, baik dalam dzat-Nya,
sifat-Nya dan af’al-Nya, maupun seluruh aspek kehidupan dan aktifitas yang
dirujukkan selain daripada-Nya. Al-Qur’an menerangkan bahwa syirik merupakan
perbuatan dosa besar yang paling berat sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut ini :

“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada putranya, dikala dia


mengajarinya : Hai anakku ! janganlah mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah sebesar-besar aniaya”. (Q.S. Luqman : 13)

Dalam surat Luqman ayat 13 tersebut diterangkan bahwa dia telah diberi
kemuliaan oleh Tuhan berupa hikmah sehingga ia terlepas dari bahwa
kesesatan. Bahwa ini hikmah yang diberikan kepadanya disampaikan kepada
anaknya sebagai pedoman utama dalam kehidupan yaitu : ajaran tauhid
(mengesakan Allah karena tidak ada tuhan selain Allah), karena selain Allah
yang ada dalam alam ini semua ciptaan, dan dalam penciptaan tersebut tuhan
tidak bekerjasama dengan apapun juga.

Diakhir ayat 13 Allah menerangkan, “sesungguhnya mempersekutukan itu


adalah aniaya yang sangat besar”. Memang aniaya yang sangat besar atas diri
manusia, sebab tuhan mengajak manusia agar membebaskan dirinya dari segala
sesuatu selain Allah. Jiwa manusia adalah mulia. Manusia dijadikan Allah
sebagai khalifa-Nya di muka bumi, sebab itu hubungan manusia dengan Allah
hendaklah langsung. Apabila jiwa yang dipenuhi tauhid adalah jiwa merdeka.
Apabila manusia mempertuhankan selain Allah, maka manusia sendirilah yang
menjadikan jiwanya sebagai budak. Di dalam surat as-Sajadah : 9. Allah
menerangkan bahwa roh/jiwa adalah Tuhan sendiri yang punya, mengapa roh
begitu mulia dapat ditundukan oleh selain Allah. Firman Allah :“Kemudian Dia
(Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) roh (ciptaan-
Nya) dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi
sedikit sekali dari kamu yang bersyukur”. (Q.S. as-Sajadah : 9)

Juga lihat firman Allah :


“Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun bagi orang yang
mempersekutukan-Nya. Dan Dia akan memberi ampun selain yang demikian
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan
Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dusta dan dosa yang besar”. (Q.S. an-
Nisa’ : 48)

Dosa-dosa yang bukan syirik dalam pernyataan Allah tersebut masih


bisa diampuni bagi yang dikehendaki-Nya. Biasanya seseorang mengerjakan
dosa besar, karena syirik telah bersarang dalam jiwanya. Nabi Muhammad SAW.
pernah mengisyaratakan dalam sabdanya : “Tidaklah mencuri seorang pencuri,
melainkan karena musyrik. Tidaklah berzina seorang penzina, melainkan karena
dia syirik”. Kenapa pencuri mencuri penzina berzina, karena ingatannya tidak
satu lagi kepada Allah, telah diduakannya keinginannya yang jahat, sehingga
hawa nafsunyalah yang memerintah dan larangan Allah tiada berarti bagi dirinya,
karena azab Tuhan tidak lagi berpengaruh lagi bagi dirinya.

Walaupun demikian kalau benar-benar bertaubat, dosa syirik sekalipun


dapat diampuni oleh Allah, seperti yang terjadi pada para sahabat. Maka ayat ini
memberi pengertian bahwa perbuatan syirik terlebih dahulu harus disingkirkan,
sebab apabila dosa syirik telah hilang dan jiwa raga sepenuhnya tertuju kepada
Allah, kebaikan, perintah-perintah Allah akan terlaksana dan larangan-
larangannya akan ditinggalkan dengan sendirinya.

Apabila tauhid telah dipegang teguh maka terbukalah hati untuk


menerima wahyu tuhan. Karena tauhid merupakan jalan kelepasan jiwa dari
segala ikatan dan bebas dari pengaruh alam, juga perhambaan secara total
kepada sang pencipta Rabbul ‘Alamin. Sedangkan syirik merupakan pandangan
yang mengakui adanya kekuasaan selain tuhan, jiwa budak. Maka setiap masa
diutus para rasul untuk meluruskan tauhid umat manusia agar terbebas dari dosa
besar seperti Ibrahim menghadapi Namrudz, Musa mengahdapi Fir’aun dan
sebagainya.

Berbagai macam bentuk syirik yang diungkap oleh al-Qur’an, bentuk


penyembahan berhala adalah yang paling dicela, disebabkan adanya kenyataan
bahwa penyembahan terhadap berhala adalah bentuk syirik yang paling
mengerikan dan paling merajalela pada waktu datangnya Islam. Berhala bukan
hanya disembah juga dianggap bisa mendatangkan kemalangan dan
keuntungan. Firman Allah :

Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan mereka supaya mendekatkan kami kepada Allah
sedekat-dekatnya”, “sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka
tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada pendusta dan sangat ingkar”. (Q.S. az-Zumar : 3)

Pada zaman sekarang, sebagian kaum menyembah berhala modern juga


mengemukakan dalih seperti di atas, mereka berkata patung itu hanya digunakan
untuk memusatkan perhatian (konsentrasi). Artinya dengan menghadap patung
itu ia dapat memusatkan pikiran dalam tafakurnya kepada Tuhan. Di samping
penyembahan kepada berhala, al-Qur’an juga melarang memberikan sesaji
dengan anggapan bahwa sesaji itu akan sampai kepada Tuhan, padahal
sebenarnya tidak sampai, melainkan hanya kepada berhala-berhala itu. Firman
Allah :

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan
ternak yang telah diciptakan Alla, lalu mereka berkata sesuai dengan perkiraan
mereka : “ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian yang
diperuntukkan berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah dan sesajen
yang disampaikan kepada Allah, maka sajian itu hanya sampai kepada berhala-
berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka”. (Q.S. al-An’am : 136).

Bentuk syirik yang lain juga diungkapkan dalam al-Qur’an, ialah


penyembahan terhadap benda-benda alam. Firman Allah :
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah ialah malam, siang,
matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan bulan, tetapi
bersujudlah kepada Allah yang menciptakan-Nya, jika kamu hanya kepada-Nya
saja menyembah”. (Q.S. Fushilat : 37)

al-Qur’an melarang penyembahan terhadap matahari dan bulan, ini bukan


saja berlaku bagi benda-benda langit, melainkan bagi semua kekuatan alam
yang sebenarnya sering diungkapkan oleh al-Qur’an untuk melayani kembutuhan
manusia, sebagai khalifah di bumi.

Bentuk syirik yang lain dikecam oleh al-Qur’an ialah bahwa Allah
mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Kaum Arab Jahiliyah mengaku
bahwa Allah mempunyai anak perempuan, sedang agama Nasrani mengajarkan
bahwa Allah mempunyai anak laki-laki . Seperti firman Allah :

“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci


Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai
(yaitu anak laki-laki)’. (Q.S. an-Nahl : 57).

Itulah sebabnya al-Qur’an pada awalnya tidak memperkenalkan Tuhan


kepada nabi Muhammad Saw. bukan sebagai Allah., tetapi sebagai Rabbuka.
Hal ini untuk menggaris bawahi wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat
dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Lebih jauh lagi, tidak
digunakannya kata “Allah” pada pada wahyu-wahyu pertama itu adalah dalam
rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan
kata “Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka tentang
Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam.

Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara “Allah”


dengan jin (Q.S. ash-Shafaat : 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita
(Q.S.al-Isra’ : 40) serta manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog
dengan Allah, karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan
berhala-berhala perlu disembah sebagi perantara-perantara mereka dengan
Allah (Q.S. az-Zumar : 3)
D. Rangkuman
Materi pertemuan kedua ini mempelajari konsepsi tauhid meliputi
pengertian tauhid, tauhid sebagai poros aqidah Islam, tingkatan tauhid,
dan tauhid sebagai pembebasan diri dari hawa nafsu.

E. Pertanyaan/Diskusi
1. Jelaskan pengertian tauhid!
2. Jelaskan alasan tauhid sebagai poros aqidah!
3. Sebutkan tingkatan tauhid beserta penjelasannya secara singkat!
4. Jelaskan alasan tauhid sebagai pembebasan diri dari hawa nafsu!

Anda mungkin juga menyukai