Anda di halaman 1dari 8

5

TINJAUAN PUSTAKA

Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Bakteri


R. solanacearum adalah bakteri Gram negatif yang semula dikenal sebagai
Pseudomonas solanacearum. Bakteri ini termasuk dalam kelompok beta
Proteobacteria (Sequira,1992). Ralstonia solanacearum merupakan patogen
penting pada tanaman kentang. Bakteri ini menyerang akar tanaman melalui luka
yang diantaranya disebabkan oleh munculnya akar lateral. Di dalam tanaman
inang yang rentan, bakteri ini berkembang biak dengan cepat di jaringan korteks
untuk selanjutnya menyerang bagian xylem. Dalam beberapa jam, terjadi
kolonisasi R. solacearum secara agresif di tabung xylem, lalu melalui sistem
jaringan pembuluh menyebar ke bagian tajuk dan batang mengikuti aliran
transpirasi dan akhirnya menyebabkan kelayuan yang mematikan. Gejala penyakit
layu bakteri meliputi kekuningan dan layu, diikuti dengan nekrosis dan kematian
tanaman (Vasse et al. 1995; Tan-Kersten et al. 2001).
R. solacearum adalah salah satu patogen tanaman yang sulit dikendalikan
karena bakteri ini memiliki kisaran inang yang luas. Lebih dari 200 famili
tumbuhan telah diketahui sebagai inang R. solacearum (Hayward, 1990). Di
daerah penanaman kentang di Pangalengan Jawa Barat telah diketahui lebih dari
70 gulma yang menjadi inang R. solacearum (Gunawan, 2006). Selain itu, bakteri
ini memiliki persistensi yang tinggi di dalam tanah walaupun tanpa tanaman inang
(Jackson dan Gonzales, 1979).
Genom R. solanacearum strain tropis GMI1000 terdiri dari 1 kromosom
sirkuler berukuran 3.7 Mb dan 1 megaplasmid berukuran 2.1 Mb. Megaplasmid
mengandung gen-gen yang berperan penting untuk kebugaran dan kemampuan
adaptasi bakteri ini pada berbagai kondisi serta semua gen hrp yang diperlukan
dalam proses kolonisasi relung ekologi spesifik serta patogenesis. Analisis sekuen
genom menunjukkan keberadaan struktur mozaik yang membuktikan adanya gen-
gen yang diperoleh dari transfer gen secara horizontal. Ada 10 gen yang diduga
terlibat dalam detoksifikasi ROS, 6 gen haemolysin-like, beberapa gen peptide
atau polyketide synthase, gen toxin syringomycin synthase, gen pengkode protein
pelekat AttM dan AttZ, serta puluhan gen yang terkait dengan biogenesis dan
struktur berbagai pili. Tingginya jumlah dan variasi gen pengkode pili serta faktor
pelekat lainnya sangat mendukung kemampuan adaptasi yang tinggi dari bakteri
ini (Salanoubat et al. 2002). Berdasarkan analisis genom, diperkirakan patogen
ini mengekresikan ratusan protein yang berperan sebagai efektor dalam proses
patogenisitasnya terhadap inang (Poueymiro dan Genin 2009).

Bakteri Endofit
Deskripsi awal tentang mikroorganisme nonpatogenik dalam jaringan akar
tanaman pertama kali dilaporkan oleh Perotti pada 1926 dan berikutnya Hennig
dan Villforth pada tahun 1940 melaporkan keberadaan bakteri di dalam 28 jenis
daun, batang, dan akar tanaman sehat. Namun penelitian tentang bakteri endofit
pada berbagai tanaman mulai banyak dilakukan sejak Hollis dari Universitas
Nebraska USA melaporkan keberadaan bakteri endofit pada tanaman kentang
(Mano dan Morisaki 2008). Bakteri endofit didefinisikan sebagai bakteri yang
dapat diisolasi dari dalam jaringan tanaman atau dari jaringan yang telah
6

disterilisasi permukaannya serta tidak membahayakan tanaman (Hallmann et al.


1997).
Dewasa ini, perkembangan bidang mikrobiologi dan bioteknologi telah
membuktikan bahwa keberadaan bakteri endofit berperan penting bagi
pertumbuhan dan ketahanan tumbuhan terhadap cekaman biotik dan abiotik.
Beberapa bakteri endofit diketahui dapat berperan sebagai penambat nitrogen,
penghasil fitohormon, biokontrol patogen, serta penginduksi ketahanan tumbuhan
terhadap cekaman biotik dan abiotik (Andreotte et al. 2010, Mano dan Morisaki
2008). Penemuan bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman
gramineae pada tahun 1980 telah memicu berbagai penelitian tentang aplikasi
bakteri endofit yang mampu menambat nitrogen pada tanaman-tanaman tidak
berbintil dari golongan serealia diantaranya padi.
Bakteri endofit juga terbukti berperan dalam meningkatkan pasokan Fe
bagi tanaman inang. Percobaan inplanta menggunakan bakteri endofit
Streptomyces sp. GMKU 3100 dan mutan gen desD-like (penyandi enzim kunci
pada akhir lintasan biosintesis siderofor) membuktikan bahwa tanaman padi dan
kacang hijau yang diinokulasi Streptomyces sp. GMKU 3100 tipe liar memiliki
biomasa tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tanaman yang
diinokulasi dengan Streptomyces sp. GMKU 3100 mutan (Siriwan et al. 2012).
Sebelumnya, Dimkpa et al. (2009) juga telah mempublikasikan hasil
penelitiannya yang membuktikan bahwa pemberian supernatan bebas sel
Streptomyces sp. tipe liar pada tanaman kacang tunggak (cowpea) dapat
meningkatkan penyerapan Fe, kadar klorofil, dan menghindari efek peroksidasi
lemak pada daun walaupun ditanam pada media tanam yang mengandung Al, Cu,
Mn, Ni dan U dalam konsentrasi cukup tinggi. Pemberian siderophore tersebut
juga menurunkan pembentukan radikal bebas sehingga melindungi auksin yang
diproduksi mikroba dari degradasi dan pada akhirnya dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Uji penyerapan kompleks Fe-pyoverdin menggunakan
tanaman kacang hijau juga membuktikan bahwa tanaman mampu menyerap
komplek tersebut (Vansuyt et al. 2007). Percobaan menggunakan tanaman
tembakau transgenik over ekspresi ferritin menunjukkan bahwa kadar Fe pada
tanaman transgenik lebih tinggi dibandingkan tanaman non-transgeniknya (Robin
et al. 2006). Hasil-hasil penelitian tersebut secara tidak langsung membuktikan
bahwa selain meningkatkan penyerapan Fe, ekspresi siderofor di dalam jaringan
tanaman juga tidak berbahaya bagi tanaman.
Kemampuan bakteri endofit dalam melarutkan fosfat diduga juga berperan
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain meningkatkan ketersedian
nutrisi seperti Nitrogen Fe, dan Fosfat untuk tumbuhan, berbagai senyawa bioaktif
seperti fitohormon dan vitamin yang diproduksi oleh beberapa bakteri endofit juga
berguna dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya (Ryan et al. 2008;
Tsavkevlova et al. 2006; Rosenblueth dan Romero 2006).

Peran Bakteri Endofit dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman


Tumbuhan memiliki sistem imunitas basal dan respon pertahanan berlapis
yang dapat di picu secara sistematik untuk menurunkan tingkat kejadian dan
keparahan penyakit. Berdasarkan agen penginduksinya, sistem resistensi pada
tumbuhan dapat dibedakan atas Systemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced
Systemic Resistance (ISR). Infeksi patogen akan mengaktifkan sistem ketahanan
7

tumbuhan yang akan melindunginya dari berbagai mikroorganisme (broad


spectrum) untuk jangka panjang. Ketahanan tumbuhan yang timbul akibat infeksi
patogen ini dikenal sebagai Systemic Acquired Resistance (SAR) (Francis et al.
2010). Lintasan SAR bersifat salicylic acid (SA) dependent (Choudhary dan Johri
2009; Kloepper dan Ryu 2006) (Gambar 5). Sebagai respon terhadap patogen,
tumbuhan akan memproduksi reactive oxygen species (ROS), protein-protein
terkait patogenesis (PR- proteins), penebalan dinding-dinding sel, serta produksi
fitoaleksin. Fitoaleksin adalah metabolit sekunder berberat molekul rendah yang
memiliki aktivitas antimikroba. Kelompok senyawa ini merupakan salah satu
marka untuk ketahanan tumbuhan terhadap penyakit. Berbagai fitoaleksin telah
berhasil diisolasi dan didentifikasi dari berbagai tumbuhan, namun sampai saat ini
mekanisme dan lintasan biosintesisnya belum diketahui dengan pasti. Capsidiol
dan scopoletin adalah senyawa fitoaleksin utama yang dihasilkan oleh tumbuhan
Solanaceae. (Ahuja et al. 2011).
Berbeda dengan SAR yang diaktifkan oleh patogen, ISR dapat diaktifkan
diantaranya oleh kolonisasi bakteri kelompok Plant Growth Promoting (PGP)
(Francis et al. 2010). Sebagian besar laporan penelitian menunjukkan bahwa ISR
diinduksi oleh strain-strain bakteri akar yang hidup bebas. Tetapi akhir-akhir ini
berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit juga dapat
merangsang Induced Systemic Resistance (ISR) sebagaimana kelompok bakteri
PGP (Jimtha et al. 2014; Choudhary dan Johri 2009; Ryan et al. 2008; Compant et
al. 2005). Berbeda dengan SAR yang bersifat salicylic acid (SA) dependent,
lintasan ISR bersifat salicylic acid (SA) independent dan etilen (ET) dependent
(Choudhary dan Johri 2009; Kloepper dan Ryu 2006; Vallad dan Goodman 2004;
Pieterse et al. 1998) (Gambar 2).

Gambar 2. Lintasan induksi resistensi tanaman oleh bakteri patogen


dan rhizobacteria (Vallad dan Goodman 2004).
8

Analisa transkriptomik pada tanaman A. thaliana yang diinokulasi secara


ganda menggunakan bakteri akar non-fitopatogenik P. fluorescens WCS417r dan
P. syringae pv. tomato DC3000 membuktikan bahwa aktivasi lintasan SAR dan
ISR dapat terjadi secara paralel. Berdasarkan hasil analisa transkriptomik tersebut
dibuat suatu model hipotetik lintasan aktivasi paralel SAR dan ISR (Gambar 3)
(Saskia et al. 2000). Hasil-hasil penelitian menggunakan metode transkriptomik,
genetika molekuler, dan proteomik yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
berikutnya (Chi et al. 2013; Ma dan Berkowitz 2011; Thomma et al. 2011)
memperkuat bukti yang mendukung model hipotetik yang disusun oleh Saskia et
al. (2006). Model hipotetik tersebut menghilangkan dikotomi yang kaku antara
lintasan ISR dan SAR. Selain itu, walaupun sederhana model ini juga
mengakomodir kemungkinan peran ganda dari senyawa-senyawa dan atau protein
pada kedua lintasan resistensi tersebut serta kompleksitas hubungan berbagai
senyawa dan atau protein yang terlibat di dalamnya.

Gambar 3 Model induksi ISR dan SAR secara paralel (Saskia et al. 2000)

Flagelin, lipopolosakarida, asam salisilat, siderofor, pyochelin, pyocianin,


dan senyawa volatil 2,3-butanediol merupakan contoh komponen sel atau
senyawa yang dihasilkan bakteri yang mampu menginduksi ketahanan tanaman
(Tabel 1) (Choudhary dan Johri 2009; Compant et al. 2005; Ryu et al. 2005).
Selain berperan dalam merangsang ketahanan tanaman, sebagian diantara
senyawa-senyawa tersebut juga berperan ganda sebagai faktor pengendali
patogen (Ryan et al. 2008) dalam mekanisme biokontrol. Mekanisme biokontrol
9

oleh bakteri endofit mirip dengan mekanisme biokontrol oleh populasi bakteri
rizosfer dan epifit yaitu melalui kompetisi kolonisasi relung ekologi dan atau
nutrisi yang sama dengan pathogen serta produksi senyawa-senyawa allelokimia
diantaranya siderofor, antibiotik, biocidal volatiles, enzim-enzim pendegradasi,
dan atau senyawa pendetoksifikasi (Chernin et al. 2011; Compant et al. 2005;
Francis et al. 2010).

Tabel 1. Beberapa senyawa dan determinan bakteri penginduksi ketahanan pada


beberapa tumbuhan (Chodhary dan Johri 2009)

Strain Bakteri Spesies Senyawa atau


Tumbuhan Determinan

B. amyloliquefaciens IN937a Arabidopsis 2,3-butenadiol


B. subtilis GB03 Arabidopsis 2,3-butenadiol
Kacang polong SA
Tembakau SA
Tomat Pyocelin & pyocyanin
P. fluorescens CHA0 Arabidopsis 2,4 DAPG
Tembakau Siderofor
Tomat 2,4 DAPG
P. fluorescens Q2-87 Arabidopsis 2,4 DAPG
P. fluorescens WCS 374 Lobak LPS
Siderofor & Fe regulated compouns
P. fluorescens WCS 417 Arabidopsis LPS
Carnation LPS
Lobak LPS
Fe regulated compouns
P. fluorescens WCS 358 Arabidopsis LPS, siderofor, flagela
Kacang polong LPS, siderofor
Tomat LPS, siderofor
P. fluorescens GRP3 Padi Siderofor
Rhizobium etli G12 Kentang LPS
S. marcescens 90-166 Tembakau Fe regulated compouns

Siderofor merupakan senyawa pengkelat besi yang diproduksi oleh berbagai


bakteri dan fungi pada lingkungan yang kekurangan besi. Beberapa bakteri PGP
mampu menghasilkan variasi siderofor yang memiliki afinitas tinggi
dibandingkan dengan bakteri dan fungi lainnya sehingga kemampuan
kompetisinya dalam mendapatkan dan menyerap unsur besi lebih kuat
dibandingkan mikroba lainnya (Compant et al. 2005). Selain siderofor, beberapa
jenis antibiotik telah ketahui terlibat dalam mekanisme pengendalian patogen oleh
10

bakteri PGP. Antibiotik tersebut diantaranya adalah amphisin, 2,4-


diacetylphloroglucinol (DAPG), higrogen sianida, oomycin A, phenazine,
pyoluterin, pyrronitrin, tensin, tropolone, ecomycin (lipopeptida siklik),
oligomycin A, kanosamin, zwittermicin A, dan xanthobaccin. Beberapa antibiotik
yang dihasilkan oleh bakteri PGP tersebut juga telah digunakan pada berbagai
percobaan farmasi (Compant et al. 2005; Ryan et al. 2008).
Beberapa jenis bakteri PGP juga menunjukkan aktivitas hiperparasit
terhadap fungi fitopatogenik dengan cara memproduksi enzim-enzim pelisis
dinding sel fungi, misalnya kitinase. Kitinase yang dihasilkan oleh Serratia
plymuthica dapat menghambat pemanjangan tabung kecambah B. cinerea.
Produksi kitinase oleh S marcescens menyebabkan bakteri ini bersifat antagonis
terhadap S. rolfsii, sedangkan pada Paenibacillus sp. strain 300 dan Streptomyces
sp. strain 385 kitinase bersama β-1-3 glukanase menimbulkan sifat antagonis
terhadap F. oxysporum f. sp. cucumerinum. Pada S plymutica IC14, enzim
protease terlibat dalam aktivitas antagonisme terhadap S. rolfsii dan B. cinerea.
Degradasi senyawa autoinduser (AHL) oleh enzim laktonase dan asiklase yang
dihasilkan oleh bakteri PGP juga mampu memblok ekspresi faktor-faktor
virulensi bakteri fitopatogen sehingga menurunkan atau menghilangkan
patogenisitasnya (Compant et al. 2005).
Pengendalian fitopatogen oleh bakteri PGP juga dapat terjadi melalui
mekanisme detoksifikasi atau degradasi faktor-faktor virulensi. Bakteri Klebsiella
oxytoca dan Alcaliges denitrificans memproduksi protein yang dapat mengikat
toksin albicidin yang dihasilkan oleh X. albilineans. Albicidin juga dapat
didegradasi oleh enzim esterase yang dihasilkan oleh Pantoea dispersa (Compant
et al. 2005).
Ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri patogen dapat dihambat melalui
mekanisme quorum quenching (penghambatan proses Quorum Sensing). Chernin
et al. (2011) melaporkan bahwa produksi senyawa-senyawa organik volatile oleh
P fluorescens B-4117 dan S plymuthica IC1270 mampu menghambat produksi
senyawa signal autoinduser QS (AHL) pada Agrobacterium, Chromobacterium,
Pectobacterium, dan Pseudomonas. Beberapa enzim mikroba telah diketahui
berperan dalam proses quorum quenching bakteri fitopatogen melalui inaktivasi
senyawa signal autoinduser QS. B. cereus, B. mycoides, B. thuringiensis (Dong
et al. 2000; Dong et al. 2001), P. aeruginosa PAI-A, Arthrobacter sp., K.
pnemoniae, A. tumefaciens, dan Rhodococcus sp.( Uroz et al. 2003, Carlier et al.
2003; Park et al. 2003; Huang et al. 2003) menghasilkan enzim yang dapat
membuka cincin lakton pada molekul AHL. Enzim β-hidroksipalmitat metil ester
hidrolase juga dilaporkan dapat menghambat ekspresi faktor-faktor virulensi pada
R. solanacearum. Enzim ini menghidrolisis senyawa signal QS (3
hidroksipalmitat metil ester) yang dihasilkan oleh R. solanacearum (Shinohara et
al. 2007).

VOCs Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman


Secara umum, kemampuan mikroba dalam memproduksi senyawa organik
yang mudah menguap (VOCs) sudah lama diketahui. Aroma segar dari kultur
murni mikroba seperti khamir dan bakteri asam sitrat atau laktat, serta aroma
menyengat pada berbagai produk fermentasi adalah bukti sederhana keberadaan
senyawa-senyawa dari kelompok asam organik (sitrat, asam asetat, asam laktat,
11

propionat, dsb.), alkohol, ester, merkaptan, pentilfuran dan sebagainya yang


merupakan produk metabolisme mikroba. Namun bukti ilmiah tentang aktivitas
VOCs sebagai penginduksi pertumbuhan dan resistensi tanaman baru mulai
dipublikasikan pada tahun 2003 (Ryu et al. 2003a; Ryu et al. 2004). Sejak itu,
peran kelompok senyawa VOCs dalam induksi ketahanan tumbuhan mulai
mendapat banyak perhatian dan menarik minat peneliti-peneliti lainnya untuk
mengeksporasi dan mengkaji potensi pengembangan serta aplikasinya.
Percobaan menggunakan tanaman A. thaliana mutan dan transgenik
membuktikan bahwa ketahanan tanaman tersebut dapat diinduksi oleh senyawa
volatil acetoin dan 2,3-butenadiol yang diemisikan oleh Bacillus GB-03. Induksi
sistem ketahanan A. thaliana tersebut terjadi melalui aktivasi lintasan Induce
Systemic Resistance (ISR) dan berhubungan dengan lintasan etilen (Ryu et al.
2004). Bukti peran kedua senyawa tersebut dalam meningkatkan ketahanan
tanaman diperkuat oleh hasil penelitian berikutnya yang dilakukan dengan
menggunakan galur Bacillus GB-03 mutan (BSIP1173 dan BSIP1174) yang tidak
mampu mensintesis kedua senyawa volatil tersebut. Berbeda dengan A. thaliana
yang diinokulasi dengan Bacillus GB-03, tanaman A. thaliana yang diinokulasi
dengan kedua BSIP1173 atau BSIP1174 tidak mampu meningkatkan kapasitas
ISR-nya setelah diinfeksi dengan bakteri patogen Erwinia carotovora (Ryu et al.
2005).
Selain kemampuannya dalam menginduksi ketahanan tanaman, VOCs yang
diemisikan oleh bakteri seperti seperti benzothiazole, cyclohexanol, n-decanal,
dimetil trisulfit, 2-etil-1-hexanol dan nonanal juga memiliki aktivitas antimikroba.
Sifat antimikroba dari senyawa-senyawa tersebut dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan fitopatogen (Fernando et al. 2005). Menurut (Song dan Ryu
2013), selain dapat menginduksi ketahanan tumbuhan, VOCs merupakan kandidat
yang potensial dan menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendalian
dalam pengelolaan hama dan penyakit karena efektivitasnya tinggi, tidak mahal,
dan hanya memerlukan konsentrasi yang relatif rendah dibandingkan senyawa
agrokimia lainnya.
Percobaan lapangan yang dilakukan menggunakan senyawa organik volatil
3-pentanol dan 2-butanon pada konsentrasi 0.1 mM dan 0.1 nM berturut-turut
untuk kedua senyawa tersebut menunjukkan kedua senyawa tersebut secara nyata
mampu menginduksi ketahanan tanaman mentimun terhadap Pseudomonas
syringae pv. lachrymans. Penurunan nilai Disease severity yang dihasilkan oleh
aplikasi kedua senyawa volatil tersebut sama dengan penurunan nilai Disease
severity yang disebabkan oleh aplikasi 1 mM senyawa agrokimia benzotiadizol
(Actigard®, Syngenta). Selain itu menginduksi ketahanan terhadap P. syringae
pv. lachrymans kedua senyawa tersebut juga terbukti mampu melindungi tanaman
mentimun terhadap serangan hama aphid pengisap Myzus persicae (Song dan Ryu
2013).

Aplikasi Bakteri Endofit untuk Meningkatkan Resistensi, Pertumbuhan


dan Produktivitas Tanaman

Bakteri endofit yang memiliki karakter unggul dapat diisolasi dari alam dan
berpotensi digunakan sebagai inokulan untuk diaplikasikan pada bibit tanaman
sebagai salah satu cara untuk melindunginya dari infeksi fitopatogen (Jie et al.
12

2010) serta meningkatkan resistensi dan pertumbuhannya (Choudhary dan Johri


2009; Ryan et al. 2008; Hoon et al. 2007; Tsavkelova et al. 2006; Compant et al.
2005) Kemampuan bakteri endofit dalam menghasilkan fitohormon dan
meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi inang secara langsung dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Kemampuannya untuk beradaptasi
dan berkembang di dalam jaringan tumbuhan inang tanpa menimbulkan efek
negatif merupakan kelebihan bakteri endofit. Oleh karena itu, aplikasi bakteri
endofit secara dini dapat melindungi tanaman inangnya dari infeksi dan kolonisasi
patogen. Secara tidak langsung, kondisi tanaman yang sehat dan terlindung dari
fitopatogen akan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitasnya.
Percobaan menujukkan bahwa plantlet kentang yang ditumbuhkan bersama-
sama dengan bakteri endofit mengalami peningkatan pertumbuhan yang dramatis
dibandingkan dengan plantlet yang ditumbuhkan tanpa bakteri endofit.
Peningkatan pertumbuhan tersebut diturunkan pada plantlet hasil perbanyakan
pada generasi berikutnya (Frommel, 1991). Efek peningkatan pertumbuhan juga
teramati pada planlet anggur yang diinokulasi dengan bakteri endofit (Compant et
al. 2005).
Hasil penelitian Krechel et al.(2002) dan Sessitsch et al. (2004)
menunjukkan bahwa isolat bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kentang
memiliki aktivitas antagonis terhadap berbagai patogen asal tanah diantaranya
Erwinia carotovora, Phytophtora cactorum, R. solani, V. dahlia, Sclerotium
sclerotium, and M. incognita. Percobaan inokulasi Pseudomonas fluorescens B1
dan Serratia plymuthica B4 secara bersama-sama pada plantlet kentang terbukti
dapat menurunkan hilangnya berat kering dan nilai keparahan penyakit (Disease
Severity) yang disebabkan oleh R. solani. Efektivitas tertinggi bakteri endofit
dalam menekan penyakit kentang dilapangan dilaporkan oleh Faitlin dkk.
Inokulasi P. florescens B1 dapat menekan timbulnya penyakit yang disebabkan
oleh R. solani Kuhn di lapangan sampai 37% dan meningkatkan produksi umbi
kentang sampai 12%. Sedangkan inokulasi Serratia plymuthica B4 meningkatkan
produksi umbi kentang sampai 17% (Faitlin et al. 2004).
Inokulasi bakteri endofit juga terbukti berhasil menginduksi ketahanan
sistemik plantlet pisang terhadap virus buncy top (Kavino et al. 2007). Bahkan
plantlet pisang yang telah diinokulasi bakteri endofit dan ditanam di rumah kaca
selama 5 bulan menunjukkan peningkatan ketahanan hingga 67% terhadap
penyakit layu yang disebabkan oleh F.oxysporum f. sp. cubense ras 4. Selain
peningkatan resistensi terhadap penyakit, pertumbuhan planlet pisang yang
dinokulasi endofit juga terlihat lebih baik. Hasil-hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa inokulasi bakteri endofit dapat dimanfaatkan sebagai dasar
pengkayaan ekologis untuk mengendalikan penyakit dan pertumbuhan tanaman.

Anda mungkin juga menyukai