1, 2011
Katakunci: Gladiolus hybridus; Fusarium oxysporum f. sp. gladioli; Pengendalian; Pengasapan; Biopestisida.
ABSTRACT. Nuryani, W., E. Silvia Yusuf, I Djatnika, Hanudin, and B. Marwoto. 2011. Control of Fusarium
Wilt on Gladiolus by Using Fumigation and Biopesticide. Gladiolus (Gladiolus hybridus L) is one of the most
economically important cut flowers in Indonesia. The crops is commonly cultivated in the highland. Cultivations
of the crops in the production centers have faced various problems especially wilt disease caused by Fusarium
oxysporum f. sp. gladioli as the most important one. Based on the field observations, it was known that the disease
can reduce plant production and its yield quality up to 100%. The experiment was aimed to determine the effect of
fumigation by using smoke produced by burned up coconut shell and biopesticide on gladioulus bud growth and
fusarial wilt incidence. The expereiment was carried out at the Laboratory, Glasshouse and the field of Indonesian
Ornamental Crops Research Institute (1,100 m asl.) since January to December 2009. A randomized block design
with nine treatments and three replications was used. The results indicated that fumigation by using smoke of burned
up coconut shell combined with biopesticide Prima BAPF stimulated gladiolus bud growth, but did not suppress
infection of the bulb and fusarial disease intensity at the storage. Base on the field trial, fumigation by smoke of
burned up coconut shell combined with sulphur and Prima BAPF was proven to be the best treatment. Application of
the treatment significantly reduced disease intensity, AUDPC value, and increased flower production. This research
result is expected to be adopted by farmers in order to widely control the F. oxysporum f. sp. gladioli.
Keywords: Gladiolus hybridus; Fusarium oxysporum f. sp. gladioli; Control; Fumigation; Biopesticide
40
Nuryani, W. et al.: Pengendalian Penyakit Layu
Fusarium pada Subang Gladiol dengan ...
Setelah selesai pengasapan, subang dibiarkan tanam lalu ditutup dengan tanah. Pemupukan
di tempat penyimpanan selama 2 bulan sampai kedua dilakukan setelah daun kedua atau ketiga
siap untuk ditanam. Aplikasi belerang dilakukan terbentuk, menggunakan pupuk Urea sebanyak
dengan cara material perlakuan (tempurung 5 g per tanaman, dengan cara dimasukkan ke
kelapa atau sekam padi) di bakar, kemudian dalam lubang di sekitar tanaman. Pemupukan
taburkan belerang sebanyak 2% pada bara api. ini dilakukan setelah penyiangan gulma, yaitu
Asap yang terbentuk pada perlakuan tersebut 30 hari setelah tanam (HST). Pemupukan
ditampung dalam cerobong perlakuan yang di ketiga dilakukan pada saat primordia bunga
atasnya terdapat subang glaodiol yang diperlukan. muncul (60 HST), menggunakan pupuk Urea
Subang yang mendapatkan perlakuan biopestisida dan K 2O masing-masing sebanyak 5 g per
Prima BAPF atau fungisida Benomil dicelupkan tanaman dengan cara sama seperti pemupukan
ke dalam suspensi tersebut selama 15 menit. kedua. Pemupukan ini dilakukan pada saat
Pencelupan dilakukan 1 hari sebelum proses penyiangan gulma kedua. Pemupukan keempat
pengasapan. menggunakan Urea sebanyak 5 g per tanaman
yang dilakukan 1 hari setelah semua bunga
Percobaan di Lapangan dipanen (Badriah et al. 2007). Pengendalian hama
Petak percobaan berukuran 1 x 1 m, jarak dilakukan dengan menyemprotkan insektisida
tanam 20 x 20 cm dengan seluk tanam 10 cm berbahan aktif abamektin 18 EC (0,2 ml/l) sesuai
dan jarak antarpetak 50 cm. Populasi bibit gladiol keperluan, terutama untuk pengendalian kutudaun
yang digunakan 25 subang/plot, sehingga total Rophalosiphum sanbornii dan trips.
bibit yang digunakan 675 subang.
Pemupukan pertama menggunakan K2O dan Rancangan Percobaan dan Perlakuan
P2O sebanyak 5 g per lubang tanam, kemudian Percobaan menggunakan rancangan acak
bibit subang gladiol dimasukkan ke dalam lubang kelompok dengan sembilan perlakuan dan tiga
42
Nuryani, W. et al.: Pengendalian Penyakit Layu
Fusarium pada Subang Gladiol dengan ...
100 ATK
(Fusarium wilt disease intensity), %
Intensitas penyakit busuk Fusarium
90 ATK+BAPF
80 ATK+S
ATK+S+BAPF
60
ASP+S
70
ASP+S+BAPF
50
BAPF
40 Benomil
1 2 3 4 5 6
Minggu setelah perlakuan (Weeks after treatments)
44
Nuryani, W. et al.: Pengendalian Penyakit Layu
Fusarium pada Subang Gladiol dengan ...
Tabel 2. Waktu tumbuh tunas, jumlah tunas, jumlah subang terinfeksi, dan intensitas penya-
kit busuk subang (Time of gladioulus bud growth, number of bud infected, number of
bulb infected, and disease intensity at gladiolus bud)
Subang gladiol di tempat penyimpanan (Gladiolus bulb at storehouse)
Perlakuan Jumlah subang
Waktu tumbuh Jumlah tunas Intensitas penyakit
(Treatments) terinfeksi
(Time of growth) (Number of gladiolus busuk subang
(Number of bulb
Hari/days buds)* (Disease intensity)*
infected)*
ATK 11,67 bcd 53,00 ab 97,33 a 50,67 a
ATK+BAPF 19,00 ab 59,00 a 81,33 abc 38,67 ab
ATK+S 8,33 d 57,00 a 74,67 bc 39,11 ab
ATK+S+BAPF 18,33 abc 55,33 ab 86,67 abc 36,89 ab
ASP+S 10,00 cd 22,17 cd 94,97 ab 43,11 ab
ASP+S+BAPF 20,67 a 44,00 abc 92,00 ab 41,78 ab
Prima BAPF 8,33 d 27,00 bcd 52,00 d 20,89 b
Benomil (kontrol positif) 21,33 a 10,67 d 50,67 d 23,56 b
Kontrol (kontrol negatif) 22,33 a 16,00 cd 65,33 d 31,11 ab
KK (CV), % 32,22 65,67 16,30 36,07
*Angka rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada
taraf nyata 5% (Means followed by the same letters are not significantly different at 5% level according to Duncan Multiple
Range Test)
* * Diamati pada 6 minggu setelah perlakuan (Observed at 6 weeks after applications)
memperlihatkan jumlah subang terinfeksi dan Prima BAPF dan tempurung kelapa+sulfur
intensitas penyakit terendah, masing-masing menunjukkan jumlah tunas terbanyak (53,00-
sebanyak 21,78 dan 24,44% (Gambar 4). 59,00), pada kurun waktu 8,33-19 hari. Jumlah
tunas terbanyak kedua ditunjukkan oleh perlakuan
Waktu tumbuh tunas subang gladiol, jumlah Prima BAPF (27,00), dengan waktu yang paling
tunas, jumlah subang terinfeksi, dan intensitas cepat 8,33 hari (Tabel 2). Pemberian sulfur
penyakit busuk Fusarium pada asap tempurung kelapa dilakukan dengan
Pengasapan dengan bahan bakar tempurung cara material perlakuan (tempurung kelapa atau
kelapa yang dikombinasikan dengan biopestisida sekam padi) di bakar, kemudian taburkan belerang
60
(Fusarium wilt disease intensity), %
Intensitas penyakit busuk Fusarium
ATK
50
ATK+BAPF
40 ATK+S
ATK+S+BAPF
30
ASP+S
20 ASP+S+BAPF
BAPF
10
Benomil
0 Kontrol
1 2 3 4 5 6
Minggu setelah perlakuan (Weeks after treatments)
Tabel 3. Luas areal di bawah kurva perkembangan jumlah subang gladiol terinfeksi dan
intensitas penyakit busuk Fusarium pada sembilan jenis perlakuan pengasapan (Area
under diseases progres curve and infection rate for the mean of nine composition of
biopesticides formulations)
AUDPC subang gladiol (Gladiolus bulb AUDPC) Penekanan
Perlakuan
Jumlah terinfeksi Intensitas penyakit (Suppression)
(Treatments)
(Bulb number of infected) (Disease intensity) %
ATK 3.238,59 a 1.563,38 b -
ATK+BAPF 2.202,62 bc 1.127,39 b -
ATK+S 3.593,45 a 1.132,36 b -
ATK+S+BAPF 2.998,10 b 1.213,35 ab -
ASP+S 3.138,35 a 1.331,84 b -
ASP+S+BAPF 3.068,14 a 1.325,42 b -
Prima BAPF 1.722,07 c 661,08 b 30,97
Benomil (kontrol positif) 1.722,07 c 766,85 b 22,54
Kontrol (negatif) 2.244,66 b 925,44 b -
sebanyak 2% pada bara api. Asap yang terbentuk bahan organik mengandung ZPT yang dapat
pada perlakuan tersebut ditampung dalam menginduksi perkecambahan tanaman. Hasil
cerobong perlakuan yang di atasnya terdapat percobaan Abella (2006) menunjukkan bahwa
subang gladiol yang diperlakukan. asap cair mempercepat biji pinus berkecambah
43% lebih baik dibandingkan dengan kontrol.
Asap yang dihasilkan dari tempurung kelapa
Selanjutnya hasil percobaan Burne et al.
(pembakaran kayu keras), memiliki komposisi
(2003) memperlihatkan bahwa asap cair yang
yang berbeda dengan asap yang dihasilkan
disemprotkan pada tanah merangsang terjadinya
dari pembakaran kayu lunak (Tranggono et al.
perkecambahan biji Gravillea rudis yang berasal
1997 dalam Pranata 2009). Selain itu, diduga
dari bank benih.
bahwa asap pembakaran merupakan sumber
asetilen. Senyawa kimia tersebut dapat berfungsi Luas Areal di Bawah Kurva Perkembangan
dengan baik sebagai pemecah dormansi dari Penyakit dan Persentase Penekanannya
suatu jaringan tanaman apabila ditambah Pengasapan dengan ABK memberi pengaruh
dengan belerang, sehingga menghasilkan tunas yang lebih untuk pertunasan. Hal tersebut ditandai
gladiol yang banyak, bila dibandingkan dengan dengan banyaknya tunas yang tumbuh (59 tunas)
perlakuan lainnya. Selain itu perlakuan tersebut bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
berdampak positif terhadap jumlah subang Namun perlakuan tersebut tidak dapat menekan
terinfeksi dan intensitas penyakit. Sejalan jumlah subang terinfeksi dan intensitas penyakit
dengan hal tersebut Flementii et al. (2004) busuk Fusarium di gudang penyimpanan.
melaporkan bahwa senyawa asap cair tempurung
Pada Tabel 3 tampak bahwa perlakuan yang
kelapa dapat berperan sebagai perangsang dalam
dapat menekan jumlah subang terinfeksi dan
perkecambahan tunas karena adanya senyawa
intensitas penyakit busuk Fusarium di gudang
butenolide yang dikandung oleh asap tersebut.
penyimpanan ditunjukkan oleh BAPF. Perlakuan
Perlakuan ATK yang dikombinasikan dengan tersebut menunjukkan slope yang paling rendah
BAPF atau belerang menghasilkan jumlah tunas (Gambar 3 dan 4) dan angka AUDPC yang paling
gladiol yang lebih banyak bila dibandingkan rendah pula. AUDPC jumlah subang terinfeksi dan
dengan perlakuan ASP yang dikombinasikan intensitas penyakit pada perlakuan tersebut masing-
dengan belerang atau BAPF serta kontrol masing sebesar 1.722,07 dan 661,08. Perlakuan
positif dan negatif. Hal ini diduga bahwa ATK BAPF dapat menekan intensitas penyakit sebesar
mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT). 30,97%, walaupun persentase jumlah tunas subang
Sejalan dengan hal tersebut Todorovic et al. gladiol pada perlakuan tersebut dikategorikan
(2005) melaporkan bahwa asap hasil pembakaran terendah kedua (22,54%). Hal ini berarti bahwa
46
Nuryani, W. et al.: Pengendalian Penyakit Layu
Fusarium pada Subang Gladiol dengan ...
Tabel 4. Jumlah tanaman tumbuh dan layu Fusarium pada sembilan jenis perlakuan peng-
asapan (Number of plant growth and wilted plants of nine composition of biopesticides
formulations)
Tanaman tumbuh
Tanaman layu
Perlakuan (Plant growth)
(Wilted plants)
(Treatments) %
12 MST (WAT)
4 MST (WAT) 8 MST (WAT) 12 MST (WAT)
ATK 0,00 c** 1,33 b* 26,67 c 82,67 a*
ATK+BAPF 6,66 abc 0,00 b** 12,00 c 81,33 a
ATK+S 2,66 bc 6,66 ab 54,67 b 86,67 a
ATK+S+BAPF 1,33 bc 0,00 b** 18,67 c 81,33 a
ASP+S 5,33 abc 37,33 a 76,00 ab 86,67 a
ASP+S+BAPF 8,00 abc 57,33 a 78,67 a 92,00 a
Prima BAPF 14,67 ab 17,33 ab 61,33 ab 84,00 a
Benomil (kontrol positif) 8,00 abc 20,00 a 72,00 ab 92,00 a
Kontrol (kontrol negatif) 18,67 a 21,33 a 68,00 ab 85,33 a
KK (CV), % 20,64 19,67 18,00 14,56
** Hasil pengamatan data ditransformasi ke dalam √x + 0,5 % (The observation data was transformed to √x + 0,5 %)
Prima BAPF merupakan perlakuan terbaik untuk penghambatan perkembangan populasi dan
menekan serangan penyakit busuk Fusarium di penyakit yang ditimbulkan oleh Gaeumannomyces
gudang penyimpanan. Menurut Hanudin (2010) graminis var. tritici (Gurusidaiah et al. 1986,
biopestisida Prima BAPF berbahan aktif B. subtilis Thomashow dan Weller 1988), Thielaiopsis
dan P. fluorescens. Selain perlakuan Prima BAPF basicola (Keel et al. 1992), R. solanacearum
dan benomil, intensitas penyakit dan jumlah (Mulya 1997, Hartman et al. 1993), R.
subang terinfeksi Fusarium menunjukkan nilai solanacearum dan Plasmodiophora brassicae
yang tinggi, hal tersebut berakibat pada nilai (Hanudin dan Marwoto 2003), F. oxysporum
AUDPC yang tinggi dan berbeda nyata dari kedua f. sp. dianthi (Hanudin 2007a), Xanthomonas
perlakuan tersebut. campestris pv. dieffenbachiae (Hanudin 2007b),
Prima BAPF adalah biopestisida berbahan aktif dan Pseudomonas syringae pv. phaseolicola
B. subtilis dan P. fluorescens. Adapun mekanisme (Teliz dan Brukholder 1960).
penekanan kedua isolat bakteri tersebut terhadap Di samping mampu menekan perkembangan
F. oxysporum f. sp. gladioli berupa kolonisasi populasi dan aktivitas patogen tanaman, P.
dan antibiosis. Kolonisasi B. subtilis terbukti fluorescens juga dapat menginduksi ketahanan
efektif terhadap penyakit karat tanaman buncis tanaman terhadap penyakit. Mulya et al. (1996)
(Uromyces phaseoli Art.). Adapun mekanisme menemukan bahwa P. fluorescens strain G32R
kolonisasi tersebut berupa bahan eksudat yang dapat menginduksi aktivitas enzim phenil alanine
terdiri atas asam amino, asam organik, vitamin, amoliase, enzim yang terlibat dalam ekspresi
alkaloid, substansi fenolik, dan unsur anorganik ketahanan tanaman tembakau.
seperti kalium, kalsium, magnesium, dan mangan Pengujian di Lapangan
yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan
Jumlah tanaman tumbuh dan tanaman layu
perkembangan, sehingga kesempatan teliospora
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa
patogen memanfaatkan eksudat tersebut untuk
semua perlakuan tidak menunjukkan pengaruh
perkecambahan, infeksi, dan perkembangannya
nyata terhadap persentase jumlah subang tumbuh.
menjadi berkurang (Baker et al. 1985).
Namun, perlakuan asap sekam padi + belerang, asap
Berbagai jenis antibiotik diproduksi sekam padi + belerang + Prima BAPF, dan benomil
oleh P. fluorescens seperti pyuloteorin, menunjukkan persentase jumlah subang tumbuh
oomycin, phenazine-1-carboxylic acid atau yang paling tinggi. Persentase subang tumbuh pada
2,4-diphloroglucinol. Produksi antibiotik ini ketiga perlakuan tersebut, masing-masing sebesar
telah dibuktikan sebagai faktor utama dalam 92% (Tabel 4). Hal ini memperlihatkan bahwa
47
J. Hort. Vol. 21 No. 1, 2011
perlakuan pengasapan cenderung berpengaruh BAPF. Jumlah tanaman layu perlakuan tersebut
positif jika dikombinasikan dengan perlakuan pada pengamatan minggu ke-12 sebesar 1,33%
Prima BAPF. Pada kombinasi tersebut diduga bahan dan tidak berbeda nyata dengan jumlah tanaman
aktif yang terkandung dalam Prima BAPF dapat layu pada perlakuan asap tempurung kelapa
berperan membantu meningkatkan pertumbuhan (Tabel 4).
tanaman. Leeman et al. (1995) menyatakan bahwa Asap tempurung kelapa dapat menghasilkan
siderofor P. fluorescens WCS374 dapat berperan senyawa asam lebih tinggi, senyawa-senyawa
sebagai perangsang pertumbuhan dan menekan asam tersebut dapat membunuh mikroorganisme
pertumbuhan F. oxysporum f. sp. raphani penyebab termasuk Fusarium (Girard 1992 dalam Pranata
penyakit layu Fusarium pada lobak. 2009). Dengan demikian, apikasi perlakuan
Gejala awal serangan Fusarium pada gladiol tersebut cenderung menurunkan jumlah tanaman
yaitu nekrosis pada ujung daun, kemudian diikuti layu bila dibandingkan dengan perlakuan
dengan perubahan warna daun menjadi hijau lainnya.
kekuningan. Gejala selanjutnya pertumbuhan
tanaman terhambat dan bagian daun memilin Luas Areal di Bawah Kurva Perkembangan
(Nuryani et al. 2001). Pada serangan berat, Jumlah Tanaman Layu, Persentase Penekan-
pangkal batang membusuk berwarna kehitaman, annya, dan Produksi Bunga Gladiol
kemudian tanaman layu, roboh, dan mati. Agrios Hasil perhitungan AUDPC jumlah tanaman
(1982) melaporkan bahwa kerusakan pangkal layu dicantumkan pada Tabel 5. Perlakuan
batang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh pengasapan dengan bahan bakar tempurung
floem oleh patogen. kelapa menunjukkan nilai AUDPC yang paling
Pengaruh perlakuan pengasapan terhadap rendah (0), dengan persentase penekanan dan
persentase jumlah tanaman layu dicatat pada produksi bunga gladiol masing-masing 100 dan
umur 12 MST. Perlakuan asap tempurung kelapa 14,33%. Dilihat dari produksi bunga, penekanan
menunjukkan yang paling efektif mengendalikan tertinggi kedua, dan nilai AUDPC terendah kedua,
layu Fusarium. Hal ini ditunjukkan oleh maka perlakuan gabungan antara perlakuan
rendahnya persentase jumlah tanaman layu pada asap tempurung kelapa yang ditambah dengan
perlakuan tersebut (0%). Persentase jumlah belerang dan Prima BAPF, merupakan perlakuan
tanaman layu terendah kedua ditunjukkan oleh terbaik.
perlakuan gabungan antara pengasapan dengan Asap cair tempurung kelapa grade 2
menggunakan bahan bakar tempurung kelapa dengan konsentrasi 60% sangat baik menekan
yang ditambah dengan belerang dan Prima perkembangan penyakit layu Fusarium dan tidak
Tabel 5. Luas areal di bawah kurva perkembangan jumlah tanaman layu, persentase pene-
kanannya, dan produksi bunga pada sembilan jenis perlakuan pengasapan dan
biopestisida (Area under diseases progres curve, its suppresing, and yield for the mean
of nine composition of fumigation and biopesticides treatments)
AUDPC jumlah tanaman Persentase penekanan Produksi bunga
Perlakuan
layu (Number of wilted dibanding kontrol (Yield),
(Treantments)
plant AUDPC) (Suppresing), % %
ATK 0,00 d 100,00 a 14,33 ab
ATK+BAPF 60,62 b 64,32 b 12,67 ba
ATK+S 23,28 c 85,75 a 15,33 ab
ATK+S+BAPF 18,62 c 92,88 a 18,67 ab
ASP+S 27,98 c 71,45 b 20,00 ab
ASP+S+BAPF 70,00 b 57,15 b 19,33 ab
BAPF 130,70 a 21,42 c 16,33 ab
Benomil 74,66 b 57,15 b 20,00 ab
Kontrol 140,00 a - 18,33 ab
KK (CV), % - - 24,55
48
Nuryani, W. et al.: Pengendalian Penyakit Layu
Fusarium pada Subang Gladiol dengan ...
49
J. Hort. Vol. 21 No. 1, 2011
12. Flementii, G.R., E.L. Guesalberti, K.W. Dixon, and 24. Littrell, R. H. and W. E. Waters. 1967. Influence of
D. Trengovoce. 2004. A Compound from Smoke that Nitrogen and Lime Fertilization on Gladiolus Corm and
Promotes Seed Germination. Science 305:977. Flower Production and Iternational Microflora of Corms.
13. Gunadi, N., T.K. Moekasan, L. Prabaningrum, H. Florida Agric. Exp. Stations J. Series. 2852:405-408.
de Putter, Arij Everaarts. 2006. Budidaya Paprika di 25. Magie R.O. 1971. Effectiveness of Teratment With Hot
Rumah Plastik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Water Plus Benzemidazoles and Ethaphon in Controlling
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Bekerjasama Fusarium Disease of Gladiolus. Plant. Dis. Rep. 55:82-
dengan Applied Plant Reseach, Wageningen University 85.
and Research Centre, the Netherlands. 77 pp. 26. Mulya, K. Takikawa, and S. Tsuyumu. 1996. The
14. Gurusidaiah, S., D. M. Weller, A. Sarkar, and R. J. Presence of Homologous to hrp Cluster in Pseudomonas
Cook. 1986. Characterization of Antibiotic Produced fluorescens PfG32R. Ann. Phytopathol. Soc. Japan. 62(4):
by Strain of Pseudomonas fluorescens Inhibitory to 355-359.
Gaeumannomyces gramminis var tritici and Pythium spp. 27. _________, 1997. Penekanan Perkembangan Penyakit
Antimicrob. Agent and Chemoter. 29:488-495. Layu Bakteri Tomat oleh Pseudomonas fluorescens. J.
15. Hanudin dan Marwoto, B. 2003. Pengendalian Layu Hort. 7(2):685-691.
Bakteri dan Akar Gada pada Tanaman Tomat dan Caisin 28. Nawangsih, A.A., Hanudin, dan K. Sanjaya. 2009.
Menggunakan Pseudomonas fluorescens. J. Hort. 13 (1): Pengendalian Erwinia carotovora pada Anggrek
58-66. Menggunakan Biopestisida Mikrobial Berbahan
16. _______, B. Marwoto, A. Saefullah, K. Mulya, dan Aktif Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens.
Machmud, M. 2004. Formula Cair dan Pseudomonas Laporan Hasil Penelitian KKP3T Tahun Anggaran 2009.
fluorescens untuk Mengendalikan Penyakit Layu Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangn
Fusarium pada Anyelir. J. Hort. (Ed. Khusus) 14:403- Pertanian dan Institut Pertanian Bogor, 27 Hlm.
409. 29. Nuryani W, I. Djatnika, D.S, dan H.J. Luffler. 2001.
17. ______. 2007a. Kemangkusan Bacillus sp. dan Skrining Kultivar Gladiol terhadap Patogenisitas Tiga
Pseudomonas fluorescens dalam Formula Cair Untuk Isolat Fusarium oxysporum f. sp. gladioli. J. Hort. 11(2)
Pengendalian Fusarium oxysporum f. sp. dianthi pada :119-124.
Tanaman Anyelir. J. Hort. (Ed. Khusus) (1): 61-71. 30. __________ dan E. Silvia Yusuf. 2007. Kompatibilitas
18. ______. 2007b. Pengaruh pH, dan Formula Cair antar Pseudomonas fluorescens, Trichoderma harzianum,
Biopestisida Pseudomonas fluorescens terhadap dan Gliocladium sp. terhadap Fusarium oxysporum f. sp.
Kemangkusan Serta Viabilitas Xanthomonas campestris gladioli pada Gladiol. J. Hort. (Eds. Khusus)1:79-85.
pv. dieffenbachiae pada Anthurium. J. Hort. (Ed. Khusus) 31. Pranata, J. 2009. Pemanfaatan Sabut dan Tempurung
(1):72-78. Kelapa serta Cangkang Sawit untuk Pembuatan Asap
19. Hartman, G. L,W. F. Hong, Hanudin, and A. C. Hayward. Cair. 31 Hlm. Http.www.Scrib.com.doc/5008374/
1993. Potential of Biological and Chemical Control of pemanfaatan sabut dan tempurung kelapa. [17 Desember
Bacterial Wilt. In Hartman, G. L, and A. C. Hayward, 2010].
(Eds). Bacterial Wilt. Proceeding of an International 32. Thomashow, L.S. and D.M. Weller. 1988. Role of
Conference ACIAR. No. 45: 305-311. Penazine Antibiotic from Pseudomonas fluorescens in
20. Hersanti, R. T. Rupendi, A. Purnama, Hanudin, B. Biological Control of Gaeumannomycetes graminis var.
Marwoto, dan O. S. Gunawan. 2009. Penapisan Beberapa tritici. J. Bacterial. 170:3499-3508.
Isolat Bacilllus subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan 33. Teliz, O. M., and W. H. Brukholder. 1960. A. Strain of
Trichoderma harzianum yang Bersifat Antagonistik Pseudomonas fluorescens Antagonistic to Pseudomonas
terhadap Ralstonia solanacerum pada Tanaman Kentang. phaseicola and Other Bacterial Plant Pathogen.
Agrikultura. 20(3):198-203. Phytopatol. 50:11-123.
21. Jeger, M.J., and S.L.H. Viljanen-Rollinson. 2001. The Use 34. Todorovic, S., Z. Giba S. D. Grubisic, and R. Konjevic.
of the Area Under Disease-Progress Curve (AUDPC) to 2005. Stimulation of Express Tree Seed Germination
Assess Quantitative Disease Resistance in Crop Cultivars. by Liquid Smoke. J. Plant Growth Regulation. 47(2-3):
Theor. Appl. Genet. 102:32-40. 141-148.
22. Keel, C., U. Schneider, M. Maurhoper, C. Voisard, J. 35. Waggoner, P.E., and A.E. Dimond. 1985. Production
Lavile, U. Burger, P. Wirhner, D Haas, and G. Defago. an Role of Extracellular Dimon, Dectic Enzymer of
1992. Suppression of Root Disease by Pseudomonas Fusarium oxysporum. Phytopathol. 45: 79-87.
fluorescens CHO: Importance of Bacterial Secondary
Metabolite 2,4- Diacetylphloglucinol. Plant-Microbe 36. Yulistiani. P, P. Darmadji, dan E. Harmayani, 1997.
Interact. 5:4-13. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap
Pertumbuhan Bakteri Pembusuk pada Lidah Sapi. J.
23. Leeman, M., J.A .Van Pelt, F.M. De Ouden, M. Teknol. Pangan. Http.www.scrib.com/33075/29028422.
Heinsbroek, P.A.H.M. Bakker, and B. Schippers. 1995. [10 Desember 2010].
Introduction of Systemic Resistance Against Fusarium
Wilt of Radish by Lipopolysaccharides of Pseudomonas
flourescens. Phytopathol. 85:1021-1027.
50