Anda di halaman 1dari 13

APLIKASI HERBISIDA SEJENIS PADA PROSES RESISTENSI

GULMA

Oleh :
Siti Hanifah Nur Apriliani (B1A016007)
Fajar Ariyanto (B1A016008)
Jauza Ulya Zahra (B1A017028)
Tinton Andrianto (B1A015002)
Kelompok : 1
Rombongan : I
Asisten : Dr. Murni Dwiati, M.Si.

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HERBISIDA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gulma merupakan tumbuhan yang keberadaannya dapat mengganggu


dalam proses budidaya pertanian baik pada tanaman hortikultura, pangan,
ataupun perkebunan. Secara garis besar gulma merupakan salah satu faktor
biotik yang menyaingi tanaman dalam perebutan cahaya, ruang tumbuh serta
penyerapan unsur hara dan air sehingga dapat menyebabkan penurunan hasil
panen (Umiyati et al., 2018). Gulma berdaun lebar merupakan golongan gulma
yang mempunyai ciri-ciri umum, yaitu batang tubuh tegak dengan
percabangannya, ada pula yang tumbuh merambat. Daun tunggal maupun
majemuk, helaian daun bulat atau bulat telur. Bertulang daun melengkung atau
menjari dan tepi daun rata, bergerigi atau bergelombang. Duduk daun
berhadapan atau berselangseling. Bunga tunggal atau majemuk tersusun dalam
suatu karangan bunga. Gulma daun lebar lebih banyak menyerap unsur N dan
lebih banyak menggunakan air sehingga pertumbuhannya lebih cepat. Gulma ini
tergolong jenis golongan daun lebar yang cenderung tumbuh dengan habitat
agak ternaungi dan ternaungi, selain itu merupakan tumbuhan C4 yang tidak
tahan terhadap intensitas cahaya yang tinggi (Riry, 2008).
Herbisida merupakan bahan kimia yang dapat digunakan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma karena dapat mematikan pertumbuhan atau
menghambat pertumbuhan normalnya. Penelitian mengenai herbisida kimia
telah dimulai pada awal abad ke-20 dengan herbisida pertama yang disintesis
adalah 2,4-D dan MCPA. Sifat herbisida yang efektif, selektif, dan sistemik
membuat petani dengan cepat menerima penggunaan herbisida dalam kegiatan
pengendalian gulma (Wati et al., 2014). Penggunaan herbisida sejenis secara
terus menerus dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan resistensi gulma.
Cara untuk mengatasi resistensi gulma yang telah terjadi dapat dilakukan dengan
mengubah formulasi dari herbisida tersebut atau dengan cara melakukan
pencampuran herbisida. Pencampuran herbisida dapat memperluas spektrum
pengendalian gulma serta dapat menekan dosis herbisida lebih rendah dibanding
dosis herbisida yang diaplikasi secara terpisah (Sumekar et al., 2017).
Secara umum metode aplikasi herbisida yang paling banyak digunakan
adalah metode penyemprotan (spraying), baik secara konvensional di darat
(ground spraying) maupu di udara (aerial spraying). Metode penyemprotan
juga dilakukan dengan cara pengabutan (mist blowing). Penyemprotan
menggunakan berbagai macam alat penyemprot (sprayer), sedangkan
pengabutan (mist blowing) menggunakan alat pengabut (mist blower)
(Djojosumarto, 2008). Resistensi herbisida adalah kemampuan yang diturunkan
pada suatu tumbuhan untuk betahan hidup dan bereproduksi yang pada kondisi
penggunaan dosis herbisida secara normal mematikan jenis populasi gulma
tersebut. Populasi resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi oleh
penggunaan herbisida sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama.
Sedangkan gulma toleran herbisida tidak melalui proses tekanan seleksi (Manik,
2019).

B. Tujuan

Mengamati awal proses terjadinya resistensi gulma Ageratum conyzoides


terhadap herbisida MCPA.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah polybag, sprayer,


penggaris, gelas ukur dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah herbisida MCPA
(dengan konsentrasi 0, 250, 500, 750 ppm), air, tanah, gulma daun lebar
Ageratum conyzoides.

B. Metode

Cara kerja dalam praktikum kali ini adalah :


1. Disiapkan gulma Ageratum conyzoides yang telah membentuk enam buah
daun dan seragam pertumbuhannya.
2. Disiapkan larutan herbisia MCPA dalam sprayer dengan konsentrasi 0, 250,
500, 750 ppm kemudian dikalibrasikan volumenya.
3. Gulma disemprot menggunakan herbisida MCPA dengan konsentrasi 0, 250,
500, 750 ppm.
4. Gulma dipelihara dan diamati setiap minggu selama 3 minggu.
5. Dilakukan pengamatan pada masing-masing perlakuan.
6. Ditentukan persentase gulma yang mati dan perlakuan herbisida yang cepat
memunculkan resistensi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Persentase kematian gulma akibat pemberian herbisida

Persentase Kematian Gulma (%)


Perlakuan
1 2 3 4
KONTROL - - - -
2,4 D 250 100% 100% 100% 100%
2,4 D 500 100% 100% 100% 100%
2,4 D 750 100% 100% 100% 100%

B C A
Gambar 1. Gulma A. conyzoides Minggu ke-0. (A) 250 ppm, (B) 500 ppm (C) 750 ppm

C B A

Gambar 2. Gulma A. conyzoides Minggu ke-1. (A) 250 ppm, (B) 500 ppm (C) 750 ppm
A B C

Gambar 3. Gulma A. conyzoides Minggu ke-2. (A) 250 ppm, (B) 500 ppm (C) 750 ppm
B. Pembahasan

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan


manusia. Kehadiran gulma pada lahan budidaya mengakibatkan terjadinya kompetisi
unsur hara, air, cahaya matahari, dan ruang tumbuh sehingga menyebabkan turunnya
produksi tanaman (Gemilang et al., 2017). Ageratum conyzoides adalah spesies
gulma yang umumnya ditemukan tumbuh sangat cepat dan mengganggu tanaman
legum sehingga berpotensi menyebabkan masalah agronomi yang serius. Sebanyak
3.000 benih siap tumbuh dapat diproduksi oleh tanaman tunggal, karena mereka
tidak berdormansi dan pada akhirnya menghasilkan variabilitas yang tinggi. Ketika
individu tanaman yang beragam ini dikendalikan dengan fomesafen dosis lethal,
berbagai resistensi melawan herbisida akan muncul, dan aplikasi dalam jangka waktu
yang lama secara berulang mungkin juga dapat meningkatkan tingkat resistensi
(Dwiati & Susanto, 2015). Di Indonesia, bandotan (Ageratum conyzoides) termasuk
tumbuhan liar yang sering ditemukan di kebun ataupun ladang. Gulma ini juga
seringkali ditemukan di pekarangan rumah, sekitar tanggul dan saluran air, hingga
tepi jalan. Karena kandungan aleopatinya, bandotan sebenarnya memiliki potensi
sebagai bioherbisisda. Potensi ini nampak juga dari dominannya bandotan
dibandingkan gulma lain dalam suatu lahan (Isda, Fatonah, & Fitri, 2013). Selain itu,
bandotan juga mampu meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah sehingga juga
berpotensi sebagai pupuk (Izah, 2010). Herbisida yang sering digunakan adalah
herbisida auksin sintesis seperti MCPA. Herbisida tersebut merupakan
phytohormones yang terlibat dalam berbagai proses fisiologis penting untuk
pertumbuhan tanaman yang tepat. Prinsip kerjanya dengan meniru asam indole-3-
asetat (IAA). Auksin bertindak dalam organisme tanaman pada konsentrasi rendah
secara spesifik mengikat reseptor AFB dan ABP1 yang terletak di membran sel lipid.
Mereka menstimulasi perkembangan tanaman dengan pembelahan sel dan
pemanjangan, diferensiasi vaskular, pembentukan akar dan dominasi apikal. Di sisi
lain, konsentrasi herbisida tinggi secara signifikan mengganggu pertumbuhan
tanaman yang tepat dan memicu proses kerusakan yang mengarah ke perusakan
tanaman (Skiba et al., 2017).
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui hasil yang
terlihat dari pemberian herbisida MCPA pada gulma Ageratum conyzoides yang
diberi beberapa perlakuan seperti pemberian herbisida MCPA konsentrasi 0 ppm
atau kontrol, pemberian herbisida MCPA konsentrasi 250 ppm, pemberian herbisida
MCPA konsentrasi 500 ppm dan pemberian herbisida MCPA konsentrasi 750 ppm.
Pada gulma A. conyzoides dengan perlakuan kontrol terlihat tanaman dalam setiap
minggunya tetap hidup dan tidak mengalami layu ataupun kematian. Pada gulma A.
conyzoides dengan perlakuan pemberian herbisida MCPA konsentrasi 250 ppm
terlihat persentase kematian meningkat dalam setiap minggunya pada hingga pada
minggu terakhir yaitu sebesar 0% pada minggu ke-0, 50% pada minggu ke-1 dan
100% pada minggu ke-3. Pada gulma Ageratum conyzoides dengan perlakuan
pemberian herbisida MCPA konsentrasi 500 ppm terlihat persentase kematian juga
meningkat dalam setiap minggunya hingga minggu terakhir yaitu 0% pada minggu
ke-0, 40% pada minggu ke-1, dan 100% pada minggu ke-2. Pada gulma A.
conyzoides dengan perlakuan pemberian herbisida MCPA konsentrasi 750 ppm
terlihat persentase kematian juga meningkat dalam setiap minggunya hingga minggu
terakhir yaitu 0% pada minggu ke-0, 85% pada minggu ke-1, dan 100% pada minggu
ke-2. Setelah dianalisis dapat terlihat bahwa pada awal pemberian herbisida dengan
konsentrasi yang masih tergolong rendah yaitu 250 ppm persentase kematian gulma
di minggu ke-2 dan ke-3 cukup tinggi. Tetapi ketika dosis ditambah menjadi 500
ppm persentase kematian gulma pun menurun pada minggu kedua, hal ini sesuai
dengan pernyatan dari Sumekar et al. (2017) bahwa penggunaan herbisida sejenis
secara terus menerus dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan resistensi gulma.
Selain itu Hendarto (2017) juga menambahkan bahwa ketika terjadi resistensi pada
gulma maka kemampuan yang diturunkan dari biotipe gulma atau tanaman tersebut
untuk bertahan hidup dari aplikasi herbisida yang dosisnya biasanya akan
mempengaruhi atau mematikan populasi yang normal juga semakin meningkat.
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, maka dapat diketahui bahwa dosis
herbisida yang mulai menunjukan resistensi adalah dosis 500 ppm.
Herbisida adalah senyawa kimia baik organik maupun anorganik yang
digunakan untuk mengendalikan atau membunuh gulma. Efektivitas herbisida salah
satunya dipengaruhi oleh dosis herbisida (Prasetio & Wicaksono, 2017). Penggunaan
herbisida sebagai pengendali gulma memiliki kelemahan pada tanaman pertanian.
Penggunaan herbisida sejenis secara terus menerus dalam waktu yang lama, dapat
menyebabkan resistensi gulma (Sumekar et al., 2017). Resistensi herbisida
didefinisikan sebagai kemampuan yang diturunkan dari biotipe gulma atau tanaman
untuk bertahan hidup dari aplikasi herbisida yang dosisnya biasanya akan
mempengaruhi atau mematikan populasi yang normal. Sebuah biotipe didefinisikan
sebagai kelompok tanaman dalam satu spesies yang memiliki sifat biologis yang
tidak umum dari spesies secara keseluruhan. Ada dua jenis resistensi herbisida yaitu
Resistensi Silang (Cross Resistance) dan Resistensi Ganda (Multiple Resistance).
Resistensi silang terjadi ketika biotipe gulma telah memperoleh resistensi terhadap
lebih dari satu herbisida dengan bahan aktif yang sama tetapi mekanisme kerja
berbeda. Resistensi Ganda (Multiple Resistance) terjadi ketika biotipe gulma resisten
terhadap herbisida yang berbahan aktif berbeda dan mempunyai mekanisme kerja
yang berbeda (Hendarto, 2017). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengeleminasi resistensi gulma adalah dengan melakukan pencampuran beberapa
bahan aktif herbisida. Disamping itu pencampuran herbisida dapat memperluas
spektrum pengendalian gulma serta dapat menekan dosis herbisida lebih rendah
dibanding dosis herbisida yang diaplikasi secara terpisah (Sumekar et al., 2017).
Herbisida 2,4-D dan MCPA merupakan herbisida yang mempunyai tingkat
selektivitas yang tinggi. Herbisida ini dapat membunuh gulma dan relatif tidak
mengganggu tanaman budidaya. Herbisida 2,4-D dan MCPA banyak digunakan
karena harganya yang relatif murah, keselektivitasannya yang tinggi, lebih efektif
dan tingkat keracunannya rendah. Mekanisme aksi dari herbisida 2,4- D dan MCPA
berupa gangguan dalam pembentukan klorofil dan asam-asam amino tertentu,
dengan gejala-gejala visual awal berupa daun yang menguning dan diikuti dengan
klorosis (Schulz et al., 2010). Senyawa 2,4-D dan MCPA diserap oleh akar 18 lalu
ditranslokasikan dalam tanaman dan diakumulasi saat pertumbuhan akar sehingga
akan menghambat pertumbuhan akar. Herbisida 2,4-D dan MCPA berbentuk kristal
putih tidak berbau dan mempunyai titik lebur 140,50 C. Herbisida ini dapat
digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar maupun teki pada padi di
sawah (Budiyanto, 2017).
Menurut Wayne Hendarto (2017) mekanisme resistensi herbisida mampu
menjawab pertanyaan apa yang terjadi dalam tanaman resisten yang memungkinkan
untuk bertahan hidup setelah aplikasi herbisida. Tanaman resisten memiliki
karakteristik tertentu dibandingkan tanaman rentan herbisida. Keempat mekanisme
yang dikenal resistensi terhadap herbisida adalah yang pertama adalah berubahnya
target-site. Herbisida memiliki target aksi tertentu di mana ia bertindak untuk
mengganggu proses atau fungsi tertentu dalam tanaman (cara kerja) . Jika target aksi
ini agak diubah , herbisida tidak lagi terikat ke lokasi aksi dan tidak dapat
mengerahkan efek phytotoksiknya. Ini adalah mekanisme yang paling umum dari
resistensi herbisida. Kedua, peningkatan metabolisme, metabolisme dalam tanaman
merupakan salah satu mekanisme tanaman yang digunakan untuk mendetoksifikasi
senyawa asing seperti herbisida . Sebuah gulma dengan kemampuannya dengan
cepat menonaktifkan herbisida yang berpotensi toksik sebelum dapat mencapai
target-site di dalam tanaman. Ketiga, kompartementalisasi atau penyerapan beberapa
tanaman yang mampu membatasi pergerakan senyawa asing (herbisida) dalam sel
atau jaringan tanaman dapat mencegah senyawa yang menyebabkan efek berbahaya
bagi tanaman. Dalam hal ini, herbisida dapat dinonaktifkan baik melalui mengikat
(seperti pada molekul gula tanaman) atau dihapus dari daerah aktif secara metabolik
dari sel ke daerah-daerah yang tidak aktif , dinding sel , misalnya, di mana herbisida
menjadi tidak berpengaruh . Dan yang keempat yaitu over- ekspresi protein target,
jika protein target, di mana herbisida bertindak, dapat diproduksi dalam jumlah besar
oleh tanaman, maka efek herbisida menjadi tidak signifikan.
Resistensi herbisida merupakan hasil seleksi alam yang normal terjadi dan
dapat diprediksi. Resistensi herbisida terjadi akibat penggunaan herbisida secara
terus menerus ke titik di mana populasi gulma tidak lagi dikendalikan oleh herbisida
pada dosis yang direkomendasikan. Selain mekanisme resistensi diatas, ada lima
mekanisme utama resistensi herbisida menurut Foresman dan Glasglow (2008),
yaitu adanya mutasi yang menyebabkan lokasi target resistensi berubah atau
mengurangi kemampuan herbisida untuk mengikat lokasi target. Selanjutnya,
peningkatan metabolisme adalah peningkatan kemampuan tanaman mendegradasi
herbisida sebelum membunuh tanaman. Yang ketiga penurunan absorpsi dan /atau
translokasi dapat menyebabkan terhambatnya laju herbisida ke lokasi target sehingga
memungkinkan tanaman menjadi resisten. Kelima, sequestrasi herbisida ke dinding
sel atau ke dalam vakuola mengurangi konsentrasi herbisida dalam menjangkau
lokasi target dan mengakibatkan terjadinya resistensi. Dan yang terakhir, amplifikasi
gen meningkatkan produksi enzim target sehingga menyebabkan herbisida
membutuhkan konsentrasi lebih tinggi untuk menghambat enzim target dan
menyebabkan kematian pada tumbuhan.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa awal proses


terjadinya resistensi gulma pada Ageratum conyzoides terhadap MCPA adalah
adanya tingkat kemampuan gulma untuk bertahan hidup yang lebih tinggi ketika
gulma diaplikasikan herbisida sejenis secara berulang dengan dosis yang cukup
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, M. A. K. 2017. Herbisida Organik. Malang : Universitas


Muhammadiyah Malang Press.
Djojosumarto, P., 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian Edisi Revisi.
Yogyakarta : Kanisius.
Dwiati, M. & Susanto, A. H. 2015. Molecular Analysis of Synedrella nodiflora (L.)
Gaertn. Resistance Against Fomesafin Using Rapid Markers, Biosfera, 32(1),
pp. 11-18.
Foresman, C. & Glasglow, L. 2008. US Grower Perceptions and Experiences With
Glyphosate-Resistant Weeds. Pest Management Science, Vol. 64, pp. 388–
391.
Gemilang, M. R., Pujisiswanto, H. & Sriyani, N. 2017. Peningkatan efektifitas cuka
dengan penambahan larutan buah lerak terhadap gulma Cyperus rotundus,
Eleusine indica, dan Synedrella nodiflora. J. Agrotek Tropika, 5(2), pp. 80-
87.
Hendarto, H. 2017. Resistensi Gulma Cyperus rotundus, Dactyloctenium aegyptium,
Asystasia gangetica terhadap Herbisida Bromacil dan Diuron pada
Perkebunan Nanas di Lampung Tengah. TESIS. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
Izah, L. 2010. Pengaruh ekstrak beberapa jenis gulma terhadap perkecambahan biji
jagung (Zea mays L.). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
Manik, S. E., 2019. Uji resistensi gulma Eleusine Indica terhadap penggunaan
herbisida berbahan aktif glyphosate. AGRILAND Jurnal Ilmu Pertanian, 7(1),
pp.33-38.
Prasetio, A. A. & Wicaksono, K. P. 2017. Efikasi tiga jenis herbisida pada
pengendalian gulma di tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg. ) belum
menghasilkan. PLANTTROPICA Journal of Agricultural Science, 2(2), pp.
100-107.
Riry, J., 2008. Mengenal Gulma dan Pengelolaannya di Indonesia. Bogor : CV
D’sainku Advertising.
Schulz, B. & Segobye, K. 2010. 2,4-D Transport and Herbicide Resistance in Weeds.
Journal of Experimental Biology, 67(11), pp. 3177-3179.
Skiba, E., Kobylecka, J. & Wolf, W. M. 2017. Influence of 2,4-D and MCPA
herbicides on uptake and translocation of heavy metals in wheat (Triticum
aestivum L. ). Enviromental Pollution, Vol. 220, pp. 882-890.
Sumekar, Y., Riswandi, D. & Widayat, D. 2017. Pengaruh herbisida atrazine +
nicosulfuron terhadap pengendalian gulma dan hasil tanaman Jagung (Zea
mays L.). Jurnal Ilmu Pertanian dan Peternakan, 5(2), pp. 190-197.
Umiyati, U., Deden, D., Widayat, D. & Muhtadi, A., 2018. Uji Sifat Campuran
Herbisida Berbahan Aktif IPA Glifosat dan 2, 4 D Amina Terhadap Beberapa
Jenis Gulma. LOGIKA Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Cirebon, 22(1),
pp.44-49.
Wati, N. R., Sembodo, D. R. J. & Susanto, H., 2017. Uji Efektifitas Herbisida
Atrazin, Mesotrion, dan Campuran Atrazin+ Mesotrion terhadap Beberapa
Jenis Gulma. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 15(1), pp.15-23.

Anda mungkin juga menyukai