Anda di halaman 1dari 30

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Oktober 2021 Vol.

26 (4): 521529
ISSN 0853-4217 http://journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI
EISSN 2443-3462 DOI: 10.18343/jipi.26.4.521

Identifikasi dan Efektivitas Berbagai Teknik Pengendalian Hama Baru Ulat


Grayak Spodoptera frugiperda J. E. Smith pada Tanaman Jagung
Berbasis PHT-Biointensif
(Identification and Effectiveness of Various Control Techniques of Fall
Armyworm Spodoptera frugiperda J. E. Smith on Corn Plants with
Biointensive IPM-Based)
Rizki Darmawan Septian1*, Lutfi Afifah1, Tatang Surjana1, Nurcahyo Widyodaru Saputro1, Ultach Enri2

(Diterima Desember 2020/Disetujui Juli 2021)

ABSTRAK
Keberadaan hama baru Spodoptera frugperda J. E. Smith berpotensi dalam menurunkan produksi jagung
sehingga keberadaannya perlu untuk dikendalikan. Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan teknik pengendali-
an yang dapat menekan intensitas serangan hama S. frugiperda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga
Oktober 2020. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 9 ulangan
dan 3 perlakuan yang terdiri atas: non-pengendalian (NP), PHT-biointensif (BI), dan pestisida sintetik. Pada perlakuan
BI digunakan ekstrak daun mimba (25 mL/plot) dan Beauveria bassiana (6,25 g/plot). Sementara itu, pada perlakuan
PS digunakan bahan aktif deltametrin (3,125 mL/plot). Volume semprot yang digunakan adalah 1,25 L. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa teknik pengendalian PS memberikan hasil terbaik dalam menekan intensitas serangan hama
ulat grayak S. frugiperda (0,57%7,04%) diikuti oleh perlakuan BI (0%6,89%) dan NP (0,97%8,29%). Populasi hama
tertinggi secara keseluruhan terdapat pada perlakuan NP dan terendah pada perlakuan PS. Perlakuan PS memberikan
hasil produksi tertinggi dengan bobot tongkol sebesar 18,56 kg/petak (24,81 ton/ha), sedangkan perlakuan BI sebesar
17,00 kg/petak (22,72 ton/ha) dan NP sebesar 15,44 kg/petak (20,64 ton/ha). Hasil uji korelasi antara intensitas
serangan hama dan hasil produksi menunjukkan bahwa semakin tinggi serangan hama, maka semakin rendah bobot
panen yang dihasilkan. Dengan demikian, pengendalian hama dengan menggunakan pestisida sintetik berbahan aktif
deltametrin dinyatakan efektif dalam menekan intensitas serangan dan populasi hama ulat grayak S. frugiperda serta
mampu memberikan hasil produksi yang tinggi.

Kata kunci: intensitas serangan, jagung, Spodoptera frugiperda

ABTRACT
The presence of new pest Spodoptera frugperda J. E. Smith has the potential to reduce corn production, so its
existence needs to be controlled. The aim of this research is to obtain control techniques that could reduce the
intensity of S. frugiperda pest’s attack. The research was conducted from June to October 2020. The experiment was
designed in a randomized block design (RBD) with 9 replications and 3 treatments consisting of non-control (NP),
PHT-biointensive (BI), and synthetic pesticides. In BI treatment, neem leaf extract (25 mL/plot) and Beauveria
bassiana (6,25 g/plot) were used. Meanwhile, the PS treatment used deltametrin active ingredient (3,125 mL/plot). The
volume of spray used was 1,25 L. The results showed that PS control techniques gave the best results in suppressing
the intensity of fall armyworm S. frugiperda attacks (0,57%7,04%) followed by BI treatment (0%6,89%) and NP
(0,97%8,29%). The highest pest populations overall were found in NP treatment and the lowest in PS treatment. PS
treatment provided the highest production result with a cob weight of 18,6 kg/plot (24,81 tons/ha), while BI treatment
of 17,00 kg/plot (22,72 tons/ha) and NP of 15,44 kg/plot (20,64 tons/ha). The results of the correlation test between the
intensity of pest attacks and production results showed that the higher the pest attack, the lower the harvest weight
produced. Therefore, pest control by using synthetic pesticides made from active deltametrin is declared effective in
suppressing the intensity of attacks and populations of fall armyworm S. frugiperda and able to provide high
production results.

Keywords: corn, intensity of attack, Spodoptera frugiperda

1
PENDAHULUAN
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Singaperbangsa, Jl. HS. Ronggo Waluyo,
Puseurjaya, Karawang, Jawa Barat, 41361 Jagung merupakan salah satu komoditas pangan
2 Program Studi Teknologi Informasi Fakultas Ilmu yang penting kedua setelah padi dan menjadi prioritas
Komputer Universitas Singaperbangsa, Jl. HS. Ronggo utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di
Waluyo, Puseurjaya, Karawang, Jawa Barat, 41361 Indonesia. Akan tetapi, dalam upaya pengembangan-
* Penulis Korespondensi: E-mail: rizkidseptian@gmail.com nya masih terdapat kendala salah satunya adalah
522 JIPI, Vol. 26 (4): 521529

faktor biotik, yaitu tingginya serangan hama dan dalam menekan intensitas serangan hama ulat grayak.
penyakit (Fattah & Hamka 2011). Menurut Sastrosiswojo et al. (1989) pestisida sintetik
Ulat grayak (Spodoptera frugiperda J.E. Smith) dengan bahan aktif Betasiflutrin, Imidakloprid, dan
merupakan serangga daerah tropis yang berasal dari Deltametrin dapat berpengaruh pada perkembangan
Amerika Serikat hingga Argentina. S. frugiperda serangga. Jika pestisida ini diaplikasikan secara
dianggap sebagai hama berbahaya karena mampu intensif maka dapat membunuh serangga tersebut.
menyerang lebih dari 80 spesies tanaman, salah Adanya dampak negatif yang ditimbulkan akibat
satunya adalah tanaman jagung. Hama ini dapat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, maka
mengakibatkan kehilangan hasil yang signifikan petani perlu disadarkan untuk mulai menerapkan
apabila penanganan yang dilakukan tidak tepat sistem PHT (pengendalian hama terpadu) sehingga
(Kementan 2019). Di negara Afrika dan Eropa, dapat menurunkan penggunaan pestisida. Pengendali-
kerugian akibat serangan hama ini mencapai 8,320,6 an hama terpadu biointensif (PHT-biointensif)
juta ton per tahun dengan nilai kerugian ekonomi merupakan salah satu solusi atas masalah hama yang
antara US$ 2,56,2 milyar per tahun (FAO & CABI semakin berat dari tahun ke tahun. Salah satu strategi
2019). PHT-biointensif yang dapat dilakukan antara lain
Ulat grayak S. frugiperda telah dilaporkan masuk ke adalah seperti penggunaan agen hayati dan bio-
Indonesia, tepatnya di Kabupaten Pasaman Barat, pestisida (Widjayanti 2012).
Sumatera Barat pada awal tahun 2019. S. frugiperda Pemanfaatan pestisida nabati dan cendawan
ditemukan merusak tanaman jagung dengan tingkat entomopatogen dapat menjadi solusi dalam usaha
serangan yang berat dan populasi larva yang berkisar pengendalian hama ulat grayak tanpa merusak eko-
antara 210 ekor pertanaman. Sampainya hama ini di sistem pertanian. Menurut Indianti dan Marwoto
Indonesia berkaitan dengan karakteristik imagonya (2008), serbuk biji mimba berpotensi untuk me-
yang khas, yaitu dapat terbang hingga 100 km dalam ngendalikan hama kutu kebul (Bemisia tabaci), ulat
satu malam (Kementan 2019). grayak (S. litura), dan penggerek polong (Maruca
Penelitian yang dilakukan oleh Maharani et al. testulalis) pada tanaman kacang-kacangan. Rosmiati
(2019) juga telah melaporkan bahwa S. frugiperda di- et al. (2018) juga mengatakan bahwa penggunaan
temukan di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten cendawan B. bassiana efektif dalam mengendalikan
Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten larva S. litura. B. bassiana mampu tumbuh pada tubuh
Sumedang. Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni larva kemudian mengeluarkan enzim dan toksin yang
hingga Juli 2019 tersebut menemukan hama S. dapat menurunkan aktivitas makan larva. Penurunan
frugiperda yang menyerang tanaman jagung pada aktivitas makan larva disebabkan oleh terganggunya
umur muda (vegetatif) hingga fase pembungaan jaringan tubuh larva oleh infeksi B. bassiana.
(generatif). Populasi hama yang cukup tinggi terdapat Penelitian mengenai teknik pengendalian hama S.
di Kabupaten Sumedang, sedangkan untuk Kabupaten frugiperda belum banyak dilaporkan. Dengan
Bandung dan Kabupaten Garut populasi hama demikian, perlu dilakukan penelitian mengenai peng-
tersebut masih rendah. Hal ini juga memungkinkan aruh beberapa teknik pengendalian pada intensitas
bahwa S. frugiperda telah sampai di Kabupaten serangan hama S. frugiperda dengan harapan dapat
Karawang. menjadi solusi pengendalian bagi petani.
Adanya hama baru yang berpotensi dalam
menurunkan produksi jagung menyebabkan perlu
adanya solusi pengendalian yang tepat sehingga METODE PENELITIAN
keberadaan hama menjadi tidak merugikan. Dalam
upaya mengatasi serangan hama pada tanaman Tempat dan Waktu
jagung, umumnya petani masih menggunakan Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan
pestisida sintetik dengan harapan hasil produk Peruri, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten
pertanian dapat meningkat. Penggunaan pestisida Karawang. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan
sintetik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Akan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2020.
tetapi, tingginya penggunaan pestisida tidak diimbangi
dengan tingkat pemahaman petani dalam meng- Metode Penelitian
aplikasikannya. Dengan demikian, penggunaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
pestisida yang tidak tepat mengakibatkan terjadinya Kelompok (RAK) dengan 9 kali ulangan dan 3
pencemaran air, tanah, udara, dan berpengaruh pada perlakuan yang terdiri atas non-pengendalian (NP),
kesehatan petani, keluarga petani, serta konsumen PHT-biointensif (BI), dan pestisida sintetik. Dosis dan
lainnya (Yunarti et al. 2013). waktu aplikasi perlakuan disajikan pada Tabel 1. Pada
Pestisida sintetik dengan bahan aktif deltametrin saat aplikasi perlakuan, setiap petak ditutup meng-
merupakan pestisida yang sering digunakan oleh gunakan terpal plastik dengan tinggi 2 m untuk
petani dalam mengendalikan hama ulat grayak menghindari adanya percikan pestisida pada
Spodoptera litura. Hal ini dikarenakan bahan aktif perlakuan lain. Penelitian ini menggunakan benih
deltametrin memiliki efektivitas yang cukup tinggi jagung manis varietas Bonanza 9 F1. Petak percobaan
JIPI, Vol. 26 (4): 521529 523

Tabel 1 Dosis dan waktu aplikasi masing-masing perlakuan

Volume Waktu aplikasi


Perlakuan Bahan aktif Dosis
semprot 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pestisidas sintetik (PS) Deltametrin 3,125 mL/petak 1,25 L √ √ √ √ √ √ √ √ √
Biointensif (BI) B. bassiana 6,25 g/petak 1,25 L √ - - √ √ - - √ √
Azadirachtin 25 mL/petak 1,25 L - √ √ - - √ √ - -
Non pengendalian (NP) - - - - - - - - - - - -
berukuran 5x5 m dengan jarak antarpetak adalah 1,5 HASIL DAN PEMBAHASAN
m. Total semua petak percobaan adalah 27 petak.
Jumlah sampel yang diamati setiap petak percobaan Hasil Identifikasi Ulat Grayak (S. frugiperda)
sebanyak 10 tanaman dengan formasi diagonal. Hasil pengamatan menggunakan mikroskop
Data dosis yang digunakan pada masing-masing menunjukkan adanya beberapa ciri khusus pada larva
perlakuan diperoleh dari konsentrasi rekomendasi ulat grayak (Spodoptera frugiperda). Larva ulat grayak
pada setiap kemasan produk. Konsentrasi rekomen- instar pertama berwarna kehijauan dengan kepala
dasi Deltametrin adalah 2,5 mL/L sehingga setiap berwarna hitam. Sementara itu, pada larva instar akhir
petak perlakuan memperoleh dosis 3,125 mL/petak. memiliki kepala berwarna abu-abu gelap dan tubuh
Pada perlakuan B. Bassiana, konsentrasi rekomen- abu-abu kusam. Pada bagian kepala larva dewasa
dasinya adalah 5 g/L sehingga setiap petak perlakuan terdapat bentukan Y terbalik berwarna putih (Gambar
mendapatkan 6,25 g/petak. Sementara itu, pada 1A). Pada bagian tubuh terdapat bintik hitam yang
perlakuan Azadirachtin, konsentrasi rekomendasi membentuk persegi pada abdomen segmen ke-8 dan
adalah sebesar 20 mL/L sehingga setiap petak membentuk trapesium pada segmen ke-9 (Gambar 1B)
perlakuan mendapatkan dosis 25 mL/petak. Masing- (Shylesha et al. 2018). Selain itu, terdapat tiga garis
masing perlakuan diencerkan dengan air sebanyak kuning di bagian atas tubuh larva (Gambar 1C). Setiap
1,25 L. Kemudian, perlakuan diaplikasikan dengan bintik hitam pada tubuh larva memiliki rambut pendek
cara disemprotkan pada bagian daun tanaman atau (Gambar 1D) (Kementan 2019). Memiliki empat
bagian yang memungkinkan adanya hama. pasang tungkai palsu (proleg) pada bagian abdomen
(Gambar 1E), serta pinacula berwarna gelap pada
Pengamatan Intensitas Serangan Hama bagian dorsal (Gambar 1F) (Maharani et al. 2019).
Pengamatan intensitas serangan hama ulat grayak
dilakukan sejak tanaman berumur 1 MST sampai 10 Gejala Kerusakan Tanaman oleh Ulat Grayak (S.
MST dengan interval 7 hari. Pengamatan populasi Frugiperda)
dilakukan dengan mengamati 10 tanaman sampel Larva muda biasanya makan di bagian bawah
yang telah dipilih secara diagonal kemudian meng- permukaan daun. Bagian daun yang dimakan biasanya
hitung jumlah ulat grayak yang terdapat pada tanaman berwarna semitransparan (windows) (Gambar 2A).
sampel. Menurut Hendrival et al. (2013), untuk Selain itu, bekas gerekan larva menyebabkan adanya
intensitas serangan hama tersebut dihitung berdasar- serbuk kasar menyerupai serbuk gergaji pada
kan gejala yang muncul pada tanaman contoh yang permukaan atas daun atau di sekitar pucuk tanaman
diamati dengan rumus: jagung (Gambar 2B). Larva instar akhir dapat
5 menyebabkan kerusakan berat yang sering kali hanya
(ni × vi ) menyisakan tulang daun dan batang tanaman jagung.
I =∑ × 100% Jika larva merusak pucuk, daun muda, atau titik
ZN
1=1 tumbuh tanaman, hal ini dapat menyebabkan kematian
pada tanaman (Gambar 2C). Pada saat memasuki
Keterangan: instar 36, larva akan masuk ke bagian yang
n : jumlah daun dalam tiap kategori serangan (14) terlindungi (daun muda yang menggulung) dan
v : nilai skala dari tiap kategori serangan membuat kerusakan sehingga calon daun akan
Z : nilai skala dari kategori serangan tertinggi berlubang (Gambar 2D). Daun muda yang masih
N : jumlah daun yang diamati menggulung merupakan tempat favorit di mana larva
Nilai skala untuk tiap kategori serangan hama S. terlindungi dan berkembang pada makanan favoritnya,
frugiperda menurut Hendrival et al. (2013) disajikan yakni daun jagung muda yang empuk. Selain
pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai skala untuk seitap kategori gejala serangan
hama S. Frugiderda
Analisis Data
Skala Kategori tingkat serangan hama
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis
0 Tidak ada serangan
varians (ANOVA). Jika hasil analisis sidik ragam 1 Luas daun yang dimakan 125%
menujukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata 2 Luas daun yang dimakan 2650%
(signifikan), data diuji lanjut dengan menggunakan uji 3 Luas daun yang dimakan 5175%
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%. 4 Luas daun yang dimakan 76100%
524 JIPI, Vol. 26 (4): 521529

memakan bagian daun tanaman, hama ini juga dapat karena penggunaan varietas hibrida, seperti Pioneer,
menyerang bagian tongkol jagung (Gambar 2E) BISI, NK, dan Nasa 29. Dengan demikian, pada
(Kementan 2019). penelitian ini penggunaan varietas hibrida Bonanza 9
F1 juga mempengaruhi tingginya intensitas serangan
Intensitas Serangan Hama Ulat Grayak (S. hama.
frugipeda) Efek perlakuan pengendalian OPT pada intensitas
Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya serangan hama ulat grayak jagung (S. frugiperda)
serangan hama ulat grayak (S. frugiperda) adalah memberikan pengaruh nyata pada minggu ke-510
penggunaan varietas hibrida. Menurut hasil pemantau- MST. Pada 5 dan 7 MST, perlakuan NP tidak berbeda
an Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu nyata dibandingkan dengan BI, namun berbeda nyata
Tumbuhan (BBPOPT), peningkatan serangan terjadi dibandingkan dengan PS. Sementara itu, pada minggu

Gambar 1 Morfologi S. frugiperda. (A) huruf Y terbalik di kepala, (B) 4 titik hitam membentuk persegi pada segmen ke-8 dan
trapesium pada segmen ke-9, (C) tiga garis kuning di atas tubuh larva, (D) rambut pada setiap penula, (E) empat
pasang tungkai, (F) penula berwarna hitam

Gambar 2 Gejala kerusakan tanaman. (A) daun terserang berwarna semitransparan (windows), (B) bekas gerekan
menyerupai serbuk gergaji, (C) kerusakan pada titik tumbuh tanaman, (D) larva bersembunyi di dalam daun yang
menggulung, (E) larva menyerang bagian tongkol
JIPI, Vol. 26 (4): 521529 525

ke-6, 8, 9, dan 10 perlakuan PS memberikan pengaruh kan dampak yang sama pada bahan aktif deltametrin
terbaik dalam menekan intensitas serangan hama dan terhadap S. frugiperda. Oleh karena itu, PHT
berbeda nyata pada perlakuan BI dan NP (Tabel 3). (Pengendalian Hama Terpadu) berbasis biointensif
Intensitas serangan hama yang rendah pada masih perlu diutamakan.
perlakuan PS disebabkan oleh pestisida sintetik Perlakuan BI menunjukkan hasil yang tidak berbeda
berbahan aktif deltametrin yang mampu menekan nyata dibandingkan dengan NP disebabkan oleh
intensitas serangan dan populasi hama ulat grayak (S. pestisida nabati dan agen hayati yang memberikan
frugiperda). Sastrosiswojo et al. (1989) mengatakan respons lambat dalam menekan intensitas serangan
bahwa pestisida sintetik berbahan aktif Betasiflutrin, dan populasi hama ulat grayak (S. frugiperda). Peng-
Imidakloprid, dan Deltametrin berpengaruh pada per- gunaan azadirachtin dan B. bassiana mampu menekan
kembangan serangga dan apabila diaplikasikan secara intensitas serangan hama, walaupun penurunan per-
intensif maka dapat membunuh serangga tersebut. sentase serangan cenderung lebih kecil dibandingkan
Menurut Bhanu et al. (2011) Deltametrin merupakan dengan perlakuan PS. Hal tersebut sesuai dengan
insektisida berspektrum luas yang bertindak sebagai hasil yang dilaporkan oleh Rusdy (2009) bahwa ekstrak
racun kontak dan racun perut. Deltametrin mampu mimba efektif dalam menekan kerusakan daun yang
mengendalikan hama dari kelompok Lepidoptera, diakibatkan oleh hama ulat grayak. Sayuthi (2011) juga
Hemiptera, Coleoptera, dan Diptera. Deltametrin mengatakan bahwa ekstrak mimba efektif dalam
bekerja dengan cara mem-pengaruhi sistem periferal mengendalikan hama ulat grayak (S. litura) sehingga
dan saraf pusat serangga melalui kerja saluran sodium, mampu menekan intensitas serangan pada tanaman
memperpanjang pembukaan saluran sodium, men- budi daya. Azadirachtin dapat bertindak sebagai
stimulasi sel saraf untuk menghasilkan repetitive antifeedant, ecdysone blocker, serta penyebab adanya
discharge, yang menyebab-kan paralis (knockdown gangguan perkembangan dan reproduksi serangga.
pada serangga) dan akhirnya serangga mati. Menurut Ramya & Jayakumararaj (2009) efek
Penggunaan insektisida berbahan aktif yang sama antifeedant akan menghasilkan stimulan penolak
yang dilakukan secara terus menerus dikhawatirkan makan sehingga persepsi rangsangan untuk makan
dapat menimbulkan berbagai masalah yang serius. Hal menjadi terganggu. Lebih lanjut Dewi et al. (2017)
ini dikarenakan sifat hama yang mempunyai menyatakan bahwa efek ecdysone blocker menyebab-
kemampuan untuk berkembang menjadi resistan kan serangga terganggu pada proses pergantian kulit,
terhadap insektisida. Masalah resistansi hama ter- ataupun proses perubahan dari telur menjadi larva,
hadap insektisida dapat terjadi apabila petani meng- larva menjadi kepompong, dan kepompong menjadi
gunakan bahan aktif yang sama secara terus menerus dewasa. Biasanya kegagalan pada proses ini sering
sehingga dosis dan frekuensi penggunaan semakin kali mengakibatkan kematian serangga.
meningkat (Udiarto & Setiawati 2007). Deltametrin Cendawan entomopatogen B. bassiana diketahui
termasuk dalam insektisida piretroid sintetik. Salah juga mampu mengendalikan hama ulat grayak. Hasil
satu kelemahan insektisida dari golongan piretroid tersebut sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh
sintetik adalah cepatnya resistansi hama terhadap Nurani et al. (2018) bahwa penggunaan B. bassiana
golongan ini. Kasus resistansi hama terhadap pada tanaman tembakau mampu menekan intensitas
deltametrin pernah dilaporkan pada tahun 1988 pada kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat grayak
hama Plutella xylostella. Walaupun insektisida tersebut dibandingkan dengan tanpa aplikasi yang dapat meng-
relatif baru digunakan pada tanaman kubis, hama P. akibatkan kerusakan daun hingga 95%. Menurut
xylostella telah menunjukkan indikasi adanya re- Karolina et al. (2008), ulat grayak yang terinfeksi oleh
sistansi (Sastrosiswojo et al. 1989). Hal serupa juga B. bassiana akan mengalami gangguan metabolisme,
dilaporkan oleh Yu (1991) bahwa hama S. frugiperda sistem pernapasan dan pencernaan sehingga ulat
mengalami resistansi terhadap insektisida golongan grayak mengalami penurunan nafsu makan dan
piretroid (permethrin, cypermethrin, cyhalothrin, menjadi kurang aktif. Oleh karena itu, penurunan
fenvalerate, tralomethrin, bifenthrin, tetramethrin, dan aktivitas ulat grayak akan berpengaruh pada intensitas
fluvalinate) yang berkisar antara 2 hingga 216 kali lipat. kerusakan tanaman.
Dengan demikian, hal tersebut diduga akan menimbu-
Tabel 3 Rata-rata intensitas serangan ulat grayak jagung S. frugiperda pada 2 MST sampai dengan 10 MST pada tanaman
jagung manis varietas Bonanza 9 F1 dengan berbagai teknik pengendalian

Rata-rata intensitas serangan (%) MST


Perlakuan
2 3 4 5 6 7 8 9 10
PS 0,57a 2,11a 7,04a 2,82a 2,86a 2,40a 2,06a 2,10a 2,06a
BI 0,00a 3,73a 5,76a 5,44ab 6,61b 5,84ab 6,89b 6,68b 6,55b
NP 0,97a 4,42a 8,05a 6,49b 6,70b 7,41b 8,05b 8,29b 8,13b
Keterangan: Nilai rata-rata yang dinotasikan dengan huruf yang sama pada setiap kolom yang sama menunjukkan bahwa
perlakuan tidak berbeda nyata BNT 5%. MST = minggu setelah tanam; PS = pestisida sintetik; BI = biointensif;
NP = non pengendalian
526 JIPI, Vol. 26 (4): 521529

Minggu ke-4 menjadi puncak intensitas serangan perkembangannya berlangsung dalam waktu yang
hama ulat grayak (S. frugiperda). Hal ini diduga karena lebih cepat.
pada minggu ke-2 imago pertama kali menemukan Populasi larva S. frugiperda pada semua perlakuan
inang dan meletakkan telurnya. Seekor ngengat betina mulai menurun pada minggu ke-5 hingga minggu ke-7
dapat bertelur 6 hingga 10 kelompok telur yang terdiri dan kembali mengalami peningkatan pada minggu ke-
atas 100 hingga 300 butir atau mencapai 1.500 hingga 8 hingga ke-10 (Gambar 4). Pada minggu ke-5
2.000 telur selama masa hidupnya (Kementan 2019). penurunan populasi berkaitan dengan sifat kanibal
Dengan demikian, setelah telur menetas pada minggu pada larva S. frugiperda. Menurut Kementan (2019),
ke-3 dan ke-4, populasi larva terus bertambah sejalan larva S. frugiperda mempunyai sifat kanibal sehingga
dengan peningkatan persentase intensitas serangan larva yang ditemukan pada satu tanaman jagung
hama (Gambar 3). hanya berkisar antara 12 ekor per tanaman, dan
Pada perlakuan NP, intensitas serangan hama perilaku kanibal ini dimiliki oleh larva instar 2 dan 3.
menurun pada minggu ke-5, namun terus meningkat Penurunan populasi hama pada 67 MST berkaitan
hingga 10 MST. Hal ini disebabkan tidak adanya teknik dengan ketersediaan makanan bagi larva. Menurut
pengendalian yang dilakukan pada petak tersebut Rondo et al. (2016), dinamika populasi hama utama
sehingga intensitas serangan hama dapat terus tanaman jagung dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan
meningkat hingga menjelang masa panen. Sama tanaman. Populasi hama akan tinggi apabila kondisi
halnya dengan perlakuan NP, pada perlakuan BI terjadi organ tanaman (daun) masih berada pada usia muda
penurunan intensitas serangan hama pada minggu ke- yang sesuai dengan peruntukan pakannya. Kemudian,
5, namun nilai intensitas serangan terus berfluktuasi populasi kembali meningkat pada 810 MST dikarena-
hingga minggu ke-8 dan stabil menurun pada minggu kan adanya sumber makanan yang baru, yaitu tongkol
ke-9 dan 10 walaupun persentase penurunannya relatif jagung. Menurut Kementan (2019), ulat grayak S.
kecil. Sementara itu, pada petak PS terjadi penurunan frugiperda selain menyerang bagian daun tanaman
intensitas serangan hama yang sangat signifikan pada juga dapat meyerang bagian tongkol jagung. Oleh
minggu ke-5 dan stabil menurun hingga minggu ke-10. karena itu, ketersediaan sumber makanan yang baru
menyebabkan populasi hama menjadi terus
Fluktuasi Populasi Ulat Grayak (S. frugiperda) meningkat.
Hama ulat grayak (S. frugiperda) pertama kali
muncul pada minggu ke-2 dan terus meningkat secara
signifikan hingga minggu ke-4 dengan total ulat grayak
NP PS BI
yang ditemukan pada petak NP sebanyak 22 ekor,
(%)

sedangkan pada BI dan PS sebanyak 19 ekor (Gambar 10


Serangga (%)

4). Hal ini diduga karena pada minggu ke-2 adalah fase 8
SERANGAN

awal ketika imago mulai menemukan inang dan 6


meletakkan telurnya. Kemudian, setelah telur menetas 4
populasi terus meningkat pada minggu ke-3 hingga 2
minggu ke-4. Populasi larva yang tinggi sejalan dengan 0
persentase serangan hama yang tinggi pada minggu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ke-4 yang pada perlakuan NP rata-rata intensitas MINGGU SETELAH TANAM (MST)
Minggu setelah tanam (MST)
serangan mencapai 8,05% lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan PS (7,04%) dan BI (5,76%). Gambar 3 Intensitas serangan (%) hama ulat grayak jagung
Kemunculan hama ini juga diduga karena keadaan S. frugiperda selama pengamatan 2-10 MST pada
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan petak perlakuan pestisida sintetik (PS), biointensif
perkembangannya. Selama masa percobaan, rata-rata (BI), dan non-pengendalian (NP)
suhu harian adalah 31,7°C. Suhu tersebut cocok untuk
perkembangan bagi larva ulat grayak. Hal tersebut
NP PS BI
Populasi (ekor/petak)

sesuai dengan laporan Ali et al. (1990) bahwa kisaran


suhu yang cocok untuk perkembangan larva ulat 30
grayak berkisar antara 2133°C. Lebih lanjut Plessis et
al. (2020) menyatakan kisaran suhu yang sesuai untuk 20
perkembangan larva ulat grayak S. frugiperda dari telur 10
hingga imago berkisar antara 2632°C. Pada kisaran
suhu tersebut, semakin tinggi suhu akan mem- 0
pengaruhi kecepatan perkembangan larva. Pada suhu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
18°C, periode perkembangan S. frugiperda (telur ke Minggu setelah tanam (MST)
dewasa) berlangsung selama 71,44 hari. Sementara
itu, pada suhu 32°C perkembangan hanya ber- Gambar 4 Kurva jumlah populasi hama ulat grayak jagung S.
langsung selama 20,27 hari. Dengan demikian, pada frugiperda selama pengamatan 2-10 MST pada
penelitian ini keadaan suhu yang sesuai mem- petak perlakuan pestisida sintetik (PS), biointensif
pengaruhi populasi S. frugiperda karena proses (BI), dan non-pengendalian (NP)
JIPI, Vol. 26 (4): 521529 527

Bobot Tongkol Per Petak hama yang tinggi dan tidak dilakukannya pengendali-
Perlakuan PS berbeda nyata dibandingkan dengan an. Ulat grayak (S. frugiperda) selain merusak bagian
perlakuan BI dan NP. Perlakuan PS memberikan bobot daun tanaman, hama ini juga dapat menyerang bagian
tertinggi dengan rata-rata bobot tongkol 18,56 tongkol sehingga apabila tidak dilakukan pengendalian
kg/petak, diikuti oleh perlakuan BI dengan bobot 17,00 akan menyebabkan penurunan hasil produksi. Menurut
kg/petak, dan NP dengan bobot 15,44 kg/petak (Tabel Kementan (2019), kepadatan rata-rata populasi
4). Hasil produksi yang lebih tinggi pada perlakuan PS 0,20,8 larva per tanaman dapat mengurangi hasil
disebabkan oleh persentase serangan hama yang 520%. Selain itu, infestasi ulat grayak pada tanaman
rendah. Dengan demikian, bobot tongkol yang dihasil- jagung pada saat daun muda yang masih menggulung
kan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan menyebabkan kehilangan hasil 1573% jika populasi
lainnya. tanaman terserang 55100%.
Menurut Prawiranata et al. (1995), serangan hama
akan mempengaruhi hasil produksi karena serangan Korelasi Intensitas Serangan Hama dengan Hasil
hama berdampak pada kualitas suatu tanaman. Hal Produksi
tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Nilai korelasi menggambarkan hubungan antara
Puspitasari et al. (2016) pada tanaman kedelai yang variabel serangan hama dengan variabel produksi.
menyatakan bahwa keberadaan hama mempengaruhi Nilai korelasi berkisar antara -1 sampai dengan +1,
pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya akan mem- semakin mendekati -1 atau +1 maka hubungan X
pengaruhi produktivitas. Pengelolaan hama berbasis dengan Y semakin kuat atau semakin mendekati
PHT, kimiawi, dan non-kimiawi memberikan hasil sempurna (Prawiranata et al. 1995). Nilai korelasi
produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa serangan hama dengan produksi pada penelitian ini
pengendalian. adalah negatif (Tabel 5), yang menunjukkan bahwa
Intensitas serangan hama yang rendah pada hubungan antara serangan hama dengan bobot
perlakuan PS disebabkan oleh pestisida sintetik produksi bertolak belakang. Artinya, semakin tinggi
berbahan aktif deltametrin yang mampu menekan intensitas serangan suatu hama, maka akan semakin
intensitas serangan hama ulat grayak. Hal ini sejalan rendah produksi buahnya.
dengan hasil penelitian Bagariang et al. (2020) yang Nilai korelasi yang negatif pada penelitian ini sesuai
melaporkan bahwa perlakuan dengan aplikasi dengan penelitian Merta et al. (2017) bahwa semakin
pestisida sintetik berbahan aktif klorantraniliprol tinggi serangan hama maka semakin rendah bobot
mampu menekan intensitas serangan hama ulat panen yang dihasilkan. Menurut Prawiranata et al.
grayak (S. frugiperda) sehingga memberikan hasil ter- (1995), tanaman yang terserang hama akan menurun-
baik pada bobot tongkol jagung dibandingkan dengan kan bobot buah. Penurunan bobot tersebut dikarena-
tanpa aplikasi. kan tanaman yang daunnya terserang oleh hama akan
Perlakuan BI menunjukkan hasil yang lebih tinggi mempengaruhi laju fotosintesis. Serangan hama ulat
dibandingkan dengan perlakuan NP karena pengaruh grayak jagung (S. frugiperda) pada tanaman meng-
aplikasi ekstrak mimba dan B. bassiana yang mampu akibatkan daun berlubang, sehingga luas permukaan
menekan intensitas serangan hama. Hal ini sejalan daun yang digunakan untuk proses fotosintesis ber-
dengan hasil penelitian Tarigan et al. (2012) pada kurang dan mengakibatkan hasil fotosintat menjadi
tanaman sawi yang menyatakan bahwa penggunaan rendah.
pestisida nabati ekstrak mimba yang dikombinasikan
dengan kulit jeruk manis mampu menekan intensitas
serangan hama S. litura sehingga produksi yang KESIMPULAN
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
tanpa pengendalian. Teknik pengendalian PS memberikan hasil terbaik
Perlakuan NP memberikan hasil produksi paling dalam menekan intensitas serangan hama ulat grayak
rendah yang disebabkan oleh intensitas serangan S. frugiperda (0,57%7,04%) diikuti oleh perlakuan BI
Tabel 4 Rata-rata bobot tongkol per petak pada tanaman jagung manis dengan berbagai teknik pengendalian

Perlakuan Bobot tongkol per petak (kg) Bobot tongkol (ton/ha)


PS 18,56a 24,81
BI 17,00b 22,72
NP 15,44c 20,64
Keterangan: Nilai rata-rata yang dinotasikan dengan huruf yang sama pada setiap kolom yang sama menunjukkan bahwa
perlakuan tidak berbeda nyata BNT 5%. MST = minggu setelah tanam; PS = pestisida sintetik; BI = biointensif;
NP = non pengendalian

Tabel 5 Koefisien korelasi dan determinasi antara intensitas serangga hama dan bobot produksi

Peubah pengamatan Koefisien korelasi (r) Nilai determinasi (R2)


Serangan ulat grayak -0,023278 0,0005
528 JIPI, Vol. 26 (4): 521529

(0%6,89%) dan NP (0,97%8,29%). Populasi hama Wallingford (UK): Food and Agriculture
tertinggi secara keseluruhan terdapat pada perlakuan Organization of the United Nations and CAB
NP dan terendah pada perlakuan PS. Perlakuan PS International.
memberikan hasil produksi tertinggi dengan bobot
Fattah A, Hamka. 2011. Tingkat Serangan Hama
tongkol sebesar 18,56 kg/petak (24,81 ton/ha),
Penggerek Tongkol, Ulat Grayak, dan Belalang
sedangkan perlakuan BI sebesar 17,00 kg/petak
pada Jagung di Sulawesi Selatan. In: Prosiding
(22,72 ton/ha) dan NP sebesar 15,44 kg/petak (20,64
ton/ha). Hasil uji korelasi antara intensitas serangan Seminar Nasional Serelia; 34 Oktober 2011.
hama dan hasil produksi menunjukkan bahwa semakin Maros (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
tinggi serangan hama, maka semakin rendah bobot Sulawesi Selatan.
panen yang dihasilkan. Dengan demikian, pengendali- Hendrival, Latifah, Hayu R. 2013. Perkembangan
an hama dengan menggunakan pestisida sintetik Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) pada
berbahan aktif deltametrin dinyatakan efektif dalam kedelai. Jurnal Floratek. 8(2): 88100.
menekan intensitas serangan dan populasi hama serta
mampu memberikan hasil produksi yang tinggi. Indianti SW, Marwoto. 2008. Potensi ekstrak biji mimba
sebagai insektisida nabati. Buletin Palawija. (15):
914.
UCAPAN TERIMA KASIH Karolina E, Mahfud MC, Rahmawati D, Sarwono,
Fatimah. 2008. Pengkajian efektivitas cendawan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Beauveria bassiana terhadap perkembangan hama
Lembaga Penelitian & Pengabdian Kepada dan penyakit tanaman krisan. Di dalam: Prosiding
Masyarakat (LPPM) Universitas Singaperbangsa Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Melalui
Karawang atas dukungan pendanaan selama kegiatan Informasi dan Teknologi Pertanian; 16 Juli 2008.
penelitian melalui skema Hibah Prioritas LPPM Unsika Mojosari (ID): Kerjasama BPTP Jatim, Faperta
Surat Perjanjian Nomor: 1713.94/SP2H/UN64/LL/2020 Universitas Brawijaya, Dinas Pertanian Provinsi,
Tanggal: 07 Desember 2020. Bappeda.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2019. Pengenalan
Fall Armywarm (Spodoptera frugiperda J. E. Smith)
DAFTAR PUSTAKA Hama Baru pada Tanaman Jagung di Indonesia.
Jakarta (ID): Balai Penelitian Tanaman Serelia.
Ali A, Luttrell RG, Schneider JC. 1990. Effects of
temperature and larval diet on development of the Maharani Y, Dewi VK, Puspasari LT, Rizkie L, Hidayat
fall army worm (Lepidoptera: Noctuidae). Annals of Y, Dono D. 2019. Cases off fall army warm
The Entomological Societyof America. 83(4): Spodoptera frugiperda J. E. Smith (Lepidoptera:
725733. https://doi.org/10.1093/aesa/83.4.725 Noctuidae) attack on maize in Bandung, Garut, dan
Sumedang District, West Java. Jurnal Cropsaver.
Bagariang W, Tauruslina E, Kulsum U, Murniningtyas 2(1): 3846. https://doi.org/10.24198/cropsaver.v
T, Suyanto H, Surono, Cahyana NA, Mahmuda D. 2i1.23013
2020. Efektivitas insektisida berbahan aktif
klorantraniliprol terhadap larva Spodoptera Merta INM, Darmiati NN, Supartha IW. 2017.
frugiperda (JE Smith). Jurnal Proteksi Tanaman. perkembangan populasi dan serangan Thrips
4(1): 2937. https://doi.org/10.25077/jpt.4.1.29 parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada
37.2020 fenologi tanaman cabai besar di tiga ketinggian
tempat di Bali. Jurnal Agroekoteknologi Tropika.
Bhanu S, Archana S, Ajay K, Bhatt JL, Bajpai SP, 6(4): 414422.
Singh PS, Vandana B. 2011. Impact of
deltamethrin, us as an insecticide and its bacterial Nurani AR, Sudiarta IP, Darmiati NN. 2018. Uji
degradation–a preliminary study. International efektivitas jamur Beauveria bassiana Bals. terhadap
Journal of Environmental Sciences. 1(5): 976985. ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman
tembakau. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 7(1):
Dewi AALN. Karta IW, Wati NLC, Dewi NMA. 2017. Uji 1123.
efektivitas larvasida daun mimba (Azadirachta
indica) terhadap larva lalat Sarcophaga pada Plessis HD, Schlemmer ML, Berg JVD. 2020. The
daging untuk Upakara Yadnya di Bali. Jurnal Sains effect of temperature on the development of
dan Teknologi. 6(1): 126135. https://doi.org/10 Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae).
.23887/jst-undiksha.v6i1.9233 Insects. 11(228): 111. https://doi.org/10.3390/in
sects11040228
[FAO & CABI] Food and Agriculture Organization, CAB
International. 2019. Community-based fall Puspitasari M, Hidayat P, Pudjianto, Marwoto,
armywarm (Spodoptera frugiperda) monitoring, Rahardjo BT. 2016. Pengaruh pola pengelolaan
early warning and management. Training of hama terhadap populasi serangga hama pada
Trainers Manual, First Edition. Rome (IT) and lahan kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis. Jurnal
JIPI, Vol. 26 (4): 521529 529

Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 16(1): pertanaman kedelai (Glycine max L.). Biospecies.
2534. https://doi.org/10.23960/j.hptt.11625-34 4(2): 1117.
Prawiranata WS, Harran, Tjandronegoro P. 1995. Shylesha AN, Jalali SK, Gupta A, Varshney R,
Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan II. Bogor (ID): Venkatesan T, Shetty P, Ojha R, Ganiger PC, Navik
Fakultas Pertanian IPB. O, Subaharan K, Bakthavatsalam N, Ballal CR,
Raghavendra A. 2018. Studies on new invasive
Ramya S, Ja yakumararaj R. 2009. Antifeedant Activity
pest Spodoptera frugiperda (J. E. Smith)
of selected ethnobotanicals used by tribals of vattal
(Lepidoptera: Noctuidae) and Its natural enemies.
hills on Helicoverpa armigera (Hubner). Journal of
Journal of Biological Control. 32(3): 145151.
Pharmacology Research. 2(8): 14141418.
Tarigan R, Tarigan MU, Oemry S. 2012. Uji efektivitas
Rondo SF, Sudarma IM, Wijana G. 2016. Dinamika
larutan kulit jeruk manis dan larutan daun nimba
populasi hama dan penyakit utama tanaman jagung
untuk mengendalikan Spodoptera litura F.
manis (Zea mays saccharata Sturt) pada lahan
(Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman sawi di
basah dengan sistem budidaya konvensional serta
lapangan. Jurnal Online Agroteknologi. 1(1):
pengaruhnya terhadap hasil di Denpasar-Bali.
172182.
Agrotrop: Journal on Agriculture Science. 6(2):
128136. Udiarto BK, Setiawati W. 2007. Suseptibilitas dan
kuantifikasi resistensi 4 strain Plutella xylostella L.
Rosmiati A, Hidayat C, Firmansyah E, Setiati Y. 2018.
terhadap beberapa insektisida. Jurnal Hortikultura.
Potensi Beauveria bassiana sebagai agens hayati
17(3): 277284.
Spodoptera litura Fabr. pada tanaman kedelai.
Jurnal Agrikultura. 29(1): 4347. https://doi.org/ Widjayanti T. 2012. Pengaruh varietas kedelai, mulsa
10.24198/agrikultura.v29i1.16925 jerami dan aplikasi PGPR terhadap penyakit pustul
bakteri dan kelimpahan bakteri rizosfer. [Tesis].
Rusdy A. 2009. Efektivitas ekstrak mimba dalam
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.)
pada tanaman selada. Jurnal Floratek. 4: 4154. Yu SJ. 1991. Insecticide resistance in the fall
armyworm, Spodoptera frugiperda (J. E. Smith).
Sastrosiswojo S, Koestoni T, Sukwida A. 1989. Status Pesticide Biochemistry and Physiology. 39(1):
resistensi Plutella xylostella L. Strain Lembang
8491. https://doi.org/10.1016/00483575(91)902
terhadap beberapa jenis insektisida golongan
16-9
organofosfat, piretroid sintetik dan benzoil urea.
Buletin Penelitian Hortikultura. 18(1): 8593. Yunarti MGC, Widiarnako B, Sunoko HR. 2013. Tingkat
Pengetahuan Petani dalam Menggunakan
Sayuthi M. 2011. Ekstrak biji nimba (Azadirachta indica Pestisida. In: Prosiding Seminar Nasional
A. Juss) sebagai insektisida nabati berpotensi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
terhadap hama ulat grayak (Spodoptera litura F.) di Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Oktober 2021 Vol. 26 (4): 499510
ISSN 0853-4217 http://journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI
EISSN 2443-3462 DOI: 10.18343/jipi.26.4.499

Potensi Bahan Alami dalam Menekan Produksi CH4 dan N2O dari Tanah
Sawah
(The potency of Natural Materials for Reducing CH4 and N2O Productions
from Paddy Soils)
Helena Lina Susilawati1*, Anicetus Wihardjaka1, Nurhasan2, Prihasto Setyanto3

(Diterima Januari 2021/Disetujui Juli 2021)

ABSTRAK
Efisiensi pupuk urea yang rendah menyumbang lepasnya gas rumah kaca (GRK) dari lahan sawah. Salah satu
upaya menekan emisi dinitrogen oksida (N2O) dan metana (CH4) dari lahan sawah adalah dengan menggunakan
penghambat nitrifikasi (NI). Selain mahalnya harga bahan NI komersial di pasaran, perlu dicari bahan yang mudah,
murah, dan efektif dalam menurunkan emisi kedua gas tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
bahan NI alami pada potensi produksi CH4 dan N2O dari tanah sawah. Penelitian dikerjakan di laboratorium dengan
rancangan percobaan secara faktorial 2 × 7 dengan 3 ulangan. Faktor ke-1 adalah jenis tanah (inseptisol dan vertisol),
faktor ke-2 adalah jenis bahan alami (kontrol, limbah sabut kelapa, limbah teh, limbah kopi, daun kenikir, rimpang
kunyit, dan gulma babandotan (Ageratum conyzoides). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran rata-rata
produksi CH4 yang dihasilkan dari ketujuh perlakuan adalah 0,0141,710 mg CH4 g tanah-1 pada tanah inseptisol dan
0,0020,337 mg CH4 g tanah-1 pada tanah vertisol. Rata-rata produksi CH4 dari kedua jenis tanah dari aplikasi keenam
jenis bahan alami mampu menekan 3269% dibandingkan kontrol. Produksi CH4 yang dihasilkan berbeda-beda
karena karena kandungan bahan alami juga berbeda. Potensial redoks berpengaruh pada produksi CH4. Produksi
N2O di tanah inseptisol dari penggunaan limbah kopi, sabut kelapa, limbah teh, dan daun/bunga babandotan lebih
rendah dibandingkan kontrol dengan persentase berturut-turut 60,71; 54,61; 64,83; dan 64,16%. Aplikasi bahan NI
mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi di tanah sawah sehingga berkontribusi positif dalam
menyelamatkan lingkungan melalui penurunan produksi GRK.

Kata kunci: bahan alami, gas rumah kaca, inkubasi, inseptisol, vertisol

ABTRACT
Low nitrogen efficiency is one of the sources of greenhouse gas (GHG) emissions from rice fields. Methane (CH 4)
and nitrous oxide (N2O) emissions could be controlled by nitrification inhibitors (NI). However, NI that has been
commercialized is expensive. Therefore, some natural materials should be developed as NI that is low cost, easy to
use, low N2O and CH4, and eco-friendly. The objective of this study was to observe the effect of natural NI on the
production potential of CH4 and N2O from paddy soil. The experiment in the laboratory was arranged in a factorial
design (2 × 7 × 3 replication). The first factor was soil types (inceptisols and vertisols), and the second factor was
natural NI (control, Cocos nucifera, Camellia sinensis, Coffea robusta, Curcuma domestica, Ageratum conyzoides).
The results showed that the average CH4 production from the natural NI in the inceptisols and vertisols ranged
0,0141,710 mg CH4 g soil-1 and 0,0020,337 mg CH4 g soil-1, respectively. Application of natural NI reduced 3269%
CH4 production compare to control. Redox potential affected CH4 production. The chemical compound of the natural
NI affected CH4 production in the soil. The application of coffee waste, coconut husk, tea waste, and Ageratum
conyzoides reduced 60,71; 54,61; 64,83 dan 64,16% of N2O production in Inceptisols compare to control, respectively.
Application of natural NI could contribute to save the environment because it decreased GHG production in paddy
soil.

Keywords: greenhouse gas, inceptisols, incubation experiment, natural nitrification inhibitors, vertisols

PENDAHULUAN
1 Kelompok Peneliti Emisi dan Absorpsi Gas Rumah Kaca,
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Raya Jakenan- Pupuk nitrogen (N) berperan penting dalam
Jaken KM 5 Pati 59182 meningkatkan produksi tanaman, dan konsumsi dunia
2 Kelompok Peneliti Evaluasi dan Penanggulangan akan pupuk N di lahan sawah terus meningkat (Yang
Pencemaran Pertanian, Balai Penelitian Lingkungan
et al. 2012). Salah satu penggunaan pupuk N terbesar
Pertanian. Jl. Raya Jakenan-Jaken KM 5 Pati 59182
3 Direktorat Jenderal Hortikultura. Jl. AUP No. 3 Pasar di dunia adalah urea, yang penggunaannya di
Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12520 Indonesia mencapai 2,3 × 109 kg tahun-1 pada tahun
* Penulis Korespondensi: 2016 (IFA 2019). Hampir setengah dari pupuk urea
E-mail: helenalina_s@yahoo.com yang diaplikasikan pada tanah hilang melalui
500 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

volatilisasi amonia, denitrifikasi, aliran permukaan, dan mengembang, lengket saat basah, dan mengkerut dan
pencucian, mengakibatkan kerugian ekonomi dan keras jika kering. Sementara itu, tanah yang termasuk
lingkungan. Kerugian lingkungan terjadi dari hidrolisis ordo inseptisol bertekstur kasar, yaitu pasir hingga
pupuk N menjadi amonium (NH4+) dan kemudian lempung berdebu, struktur remah, konsisten tanah
berubah menjadi nitrat (NO3) yang mudah hilang dalam lepas sampai gembur (Dharmawijaya 1992). Per-
proses nitrifikasi maupun denitrifikasi dan menghasil- bedaan sifat tersebut diperkirakan memengaruhi
kan produk antara berupa dinitrogen oksida (N2O) kemampuan tanah dalam memproduksi GRK. Oleh
(Hartmann et al. 2020). Penggunaan pupuk N, baik karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengetahui
kimia maupun organik, serta fiksasi N2 secara hayati pengaruh bahan NI alami pada potensi produksi CH4
berkontribusi 60% dari total N2O antropogenik (Mosier dan N2O dari tanah sawah inseptisol dan vertisol.
et al. 1996). Selain berpengaruh pada kandungan NH4+
dalam tanah, aplikasi pupuk N juga berpengaruh pada
oksidasi metana (CH4). Penelitian Willison et al. (1995) METODE PENELITIAN
melaporkan bahwa pemupukan N berupa NH4+ jangka
panjang menyebabkan penurunan oksidasi CH4 Jenis Tanah dan Lokasi Pengambilan
sedangkan aplikasi pupuk NO3--N tidak mengakibatkan Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan 2
hal yang serupa. jenis tanah, yaitu inseptisol dan vertisol. Tanah
Penggunaan bahan penghambat nitrifikasi (NI) inseptisol diambil di Desa Malangan Kecamatan
merupakan salah satu cara untuk menekan produksi Pucakwangi Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dan tanah
N2O dan CH4 dari tanah (Braatz et al. 1997; Byrne et vertisol diambil di Desa Ngawi Kecamatan Ngawi
al. 2020). Beberapa bahan NI seperti nitrapirin, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tanah diambil secara
asetilena, kalsium karbida, disiandiamida (DCD), metil acak pada kedalaman 020 cm di lahan padi sawah
fluorida, dimetil eter, dan tiosulfat dapat untuk me- saat bera setelah panen. Karakteristik tanah terlihat
nurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) (Topp & pada Tabel 1.
Knowles 1984; Knowles 1979; McTaggart et al. 1997;
Skiba et al. 1993). Bahan NI tersebut di pasaran masih Perlakuan
mahal, untuk itu perlu dicari bahan alami yang mudah Percobaan dilaksanakan di laboratorium dengan
diperoleh, murah, dan efektif dalam menekan emisi metode inkubasi tanah. Percobaan disusun secara
CH4 dan N2O. Beberapa bahan tanaman dapat ber- faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah
fungsi sebagai bahan NI seperti rimpang kunyit jenis tanah sawah sentra padi, yaitu tanah inseptisol
(Curcuma domestica), daun randu (Ceiba pentandra), (T1) dan tanah vertisol (T2). Faktor kedua adalah
daun bakau (Rhizophora conjugata), mimba bahan alami yang digunakan sebagai NI, yakni urea
(Azadirachta indica), belimbing wuluh (Averrhoa tanpa bahan NI sebagai kontrol (N0), limbah daun teh
bilimbi), sabut kelapa (Cocos nucifera), limbah daun (N1), sabut kelapa (N2), limbah kopi (N3), daun/bunga
teh (Camellia sinensis), daun kopi (Coffea robusta), babandotan (N4), daun kenikir (N5), dan rimpang
daun/bunga babandotan (Ageratum conyzoides), dan kunyit (N6). Bahan alami sebagai NI dalam bentuk
daun kenikir (Cosmos caudatus) (Upadhyay et al. bahan kering yang telah dihaluskan diaplikasikan
2011). Berdasarkan kajian Thomas dan Prasad (1982), bersamaan dengan urea dengan takaran yang sama,
kandungan yang terdapat dalam biji mimba dapat yaitu 10 ppm, dan takaran urea 100 ppm.
menekan emisi N2O. Kandungan metabolit sekunder
berupa polifenol atau lemak takjenuh tertentu dapat Analisis Kandungan Bahan Penghambat Nitrifikasi
bertindak sebagai penghambat nitrifikasi dengan cara Semua bahan alami dianalisis kandungan tanin,
memengaruhi kerja bakteri dan mempertahankan sulfur, dan polifenol di laboratorium Balai Besar
nitrogen dalam bentuk NH4+. Akan tetapi informasi Pascapanen Bogor. Kandungan tersebut diduga
mengenai penggunaan bahan alami lainnya sebagai NI sebagai salah satu yang menghambat aktivitas
untuk menekan produksi CH4 dan N2O masih sangat mikroba dalam menghasilkan CH4 dan N2O. Hasil
terbatas. analisis terlihat pada Tabel 2.
Inseptisol, oksisol, vertisol, dan andisol berturut-
turut dengan luasan sekitar 70,52 juta ha (37,5%), Inkubasi Tanah dan Pengambilan Gas CH4 dan N2O
14,11 juta ha (7,5%), 2,12 juta ha (1,1%), dan 5,40 juta Contoh tanah sebanyak 20 gram dimasukkan ke
ha (2,9%) merupakan jenis tanah yang cukup pros- dalam gelas inkubasi volume 120 mL bersamaan
pektif dalam pengembangan pertanian di Indonesia dengan urea dan bahan NI alami masing-masing
(Puslittanak 2000). Tanah vertisol merupakan tanah dengan takaran 100 dan 10 ppm. Air suling (akuades)
yang mengandung liat tinggi (lebih dari 30%), bersifat sebanyak 40 mL dan 1 batang magnet dimasukkan ke
Tabel 1 Karakteristik tanah inseptisol dan vertisol
Liat Debu Pasir pH Total C Total N Festd Stot
Jenis Tanah C/N
(%) (%) (%) (H2O) (%) (%) (ppm) (%)
Inseptisol 11 48 41 4,52 0,87 0,08 10,88 140 2,28
Vertisol 62 26 12 6,44 1,45 0,10 14,50 40 2,60
JIPI, Vol. 26 (4): 499510 501

Tabel 2 Kandungan tanin, sulfur, dan polifenol yang diduga dapat digunakan sebagai penghambat nitrifikasi di dalam bahan
alami

Bahan penghambat nitrifikasi Tanin Sulfur Polyphenol


% ---------ppm---------
Limbah daun teh (N1) 19,02 66,60 39,45
Sabut Kelapa (N2) 52,42 160,66 20,88
Limbah kopi (N3) 18,88 56,78 29,51
Daun/bunga babandotan (N4) 20,33 49,61 17,38
Daun kenikir (N5) 25,64 59,04 50,38
Rimpang kunyit (N6) 18,24 73,81 27,11
dalam gelas inkubasi. Air ditambahkan untuk membuat Analisis Statistik
kondisi anaerobik pada tanah sehingga diharapkan Data yang diperoleh dianalisis dengan program
tercipta metanogenesis dan denitrifikasi berturut-turut statistik SAS 9.1. Data dianalisis menggunakan sidik
sebagai proses pembentukan CH4 dan N2O. Gelas ragam untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan;
ditutup dengan penutup karet, dan dikuatkan dengan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji
lem perekat (silikon) untuk menghindari kebocoran. jarak berganda Duncan taraf 5% untuk membanding-
Setelah itu gelas inkubasi dimasukkan ke dalam kan nilai tengah perlakuan dari tiga ulangan.
inkubator sehari sebelum diambil contoh gasnya.
Inkubator diatur pada suhu 30°C.
Setelah 1 hari penggenangan, sampel gas dari HASIL DAN PEMBAHASAN
gelas inkubasi diambil dengan cara membuka penjepit
selang dan gas N2 dimasukkan ke headspace dengan Potensial Redoks (Eh) dan Hubungannya dengan
kecepatan 150 mL menit-1 untuk membuat suasana Potensi Produksi CH4-N2O
bebas CH4 dan N2O pada gelas inkubasi. Gelas Potensial redoks (Eh) dan potensi produksi CH4 dari
inkubasi diletakkan di atas pengocok magnetik selama aplikasi berbagai bahan penghambat nitrifikasi alami
2 menit sambil mengalirkan gas N2, kemudian selang pada tanah inseptisol dan vertisol terlihat pada Gambar
ditutup (Wang et al. 1999). Sampel gas diambil dengan 1 dan 2. Nilai Eh tanah inseptisol pada perlakuan
menggunakan jarum suntik. Potensial redoks (Eh) kontrol berkisar (-95)(-282) mV sedangkan dengan
tanah diamati dan diukur dengan menggunakan pH-Eh tambahan bahan NI alami berkisar 134(-288) mV. Eh
meter yang dihubungkan dengan elektrode platina. pada tanah vertisol bernilai lebih positif dibandingkan
Konsentrasi gas dalam jarum suntik tersebut dianalisis pada tanah Inseptisol. Hal ini karena komposisi mineral
dengan gas kromatografi (GC). Konsentrasi gas utama vertisol 2:1 masih memungkinkan ruangan
dihitung pada saat konsentrasi gas pada jam ke 0 (C0). untuk oksigen setelah penggenangan, sehingga
dan setelah 24 jam (C24). kondisinya lebih oksidatif dibandingkan tanah
inseptisol (Nursyamsi & Suprihati 2005). Eh pada
Perhitungan Data Produksi CH4, N2O, dan Potensi perlakuan kontrol ialah (-34)(-157) sedangkan
Pemanasan Global (GWP)
dengan aplikasi bahan nitrifikasi alami berkisar 264
Laju produksi gas rumah kaca dihitung mengguna-
(-167) mV. Potensial redoks berhubungan dengan
kan persamaan yang digunakan oleh Susilawati et al.
tekstur dan produksi GRK.
(2020), sebagai berikut:
Potensial redoks dan potensi produksi N2O dari
Vh mW 273,2 berbagai aplikasi bahan NI alami di tanah inseptisol
E = (C24 − C0 ) x x x (273,3 +T)
(1)
20 mV dan vertisol disajikan pada Gambar 3 dan 4. Pola Eh
pada hampir semua perlakuan pada awal peng-
dimana: genangan bernilai positif setelah itu menurun. Eh di
E = produksi CH4 atau N2O (mg kg tanah-1 hari-1) tanah Inseptisol hampir pada semua perlakuan ber-
C0 = konsentrasi CH4 atau N2O pada saat 0 jam banding terbalik dengan potensi produksi CH4. Pada
(ppm) saat nilai Eh turun, potensi produksi CH4 yang dihasil-
C24 = konsentrasi CH4 atau N2O saat 24 jam setelah kan meningkat, demikian sebaliknya. Hal ini sama
inkubasi (ppm) dengan yang disampaikan oleh Susilawati et al. (2015)
Vh = volume headspace dalam gelas piala inkubasi bahwa produksi CH4 meningkat dengan menurunnya
(mL) potensial redoks. Akan tetapi, ini tidak terjadi pada
mW = bobot molekul CH4 atau N2O (g) aplikasi rimpang kunyit, yang sangat berfluktuasi. Pada
mV = volume molekul CH4 atau N2O (22,4 l pada suhu perlakuan kontrol di tanah vertisol, nilai Eh turun tetapi
dan tekanan standar/STP dalam mol liter-1) potensi produksi CH4 yang dihasilkan meningkat. Pada
T = suhu rata-rata inkubator (°C) aplikasi bahan nitrifikasi alami di tanah vertisol,
perubahan potensial redoks kurang mempengaruhi
Berdasarkan IPCC (2001), nilai GWP 1 kg ha-1 dari potensi produksi CH4 karena produksi CH4 yang di-
N2O dan CH4 ialah berturut-turut 296 dan 23 kg ha-1. hasilkan relatif kecil. Berbeda halnya dengan potensi
502 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

Gambar 1 Potensi produksi CH4 dan potensial redoks pada tanah inseptisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan
nitrifikasi alam
produksi CH4, hubungan antara potensial redoks dan Derajat Keasaman (pH)
potensi produksi N2O sangat beragam. Hal ini di- Nilai pH tanah inseptisol dan vertisol terdapat pada
mungkinkan karena kandungan bahan NI berpengaruh Gambar 5. Pada penelitian ini, pH tanah inseptisol
pada proses denitrifikasi dan nitrifikasi, sehingga berada dalam kisaran 5,816,40 sedangkan pH tanah
kondisi reduksi dan oksidasi tidak akan mempengaruhi vertisol adalah 6,577,00. Pada umumnya, aktivitas
besarnya produksi N2O. Akan tetapi, pada akhir bakteri metanogen optimum pada nilai pH mendekati
pengamatan potensi produksi N2O hampir di semua normal dan bakteri tersebut sangat sensitif terhadap
perlakuan meningkat baik di tanah inseptisol maupun perubahan pH. pH tanah inseptisol lebih rendah
vertisol. daripada pH tanah vertisol. Potensi produksi yang di-
JIPI, Vol. 26 (4): 499510 503

Gambar 2 Potensi produksi CH4 dan potensial redoks pada tanah vertisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan nitrifikasi
alami
hasilkan pada tanah inseptisol lebih tinggi dibanding- vertisol tidak berpengaruh nyata pada kenaikan atau
kan pada tanah vertisol. Hal ini berkebalikan dengan penurunan pH.
laporan Neue dan Sass (1994) bahwa produksi CH4
meningkat dengan meningkatnya kemasaman tanah. Potensi Produksi CH4 dan N2O
Hal ini dapat disebabkan pH bukanlah satu-satunya Potensi produksi harian CH4 dan N2O dari tanah
parameter yang memengaruhi produksi CH4 dan N2O. inseptisol dan vertisol yang telah diberi bahan NI alami
Apabila dibandingkan dengan kontrol, aplikasi bahan terdapat pada Gambar 6. Fluks potensi produksi harian
penghambat NI alami pada tanah inseptisol dan CH4 dari tanah inseptisol dan vertisol meningkat pada
504 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

Gambar 3 Potensi produksi N2O dan potensial redoks pada tanah inseptisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan
nitrifikasi alami
awal inkubasi dan menurun pada akhir inkubasi. kan oleh Setyanto (2000), bahwa penurunan tersebut
Peningkatan potensi produksi CH4 diawal inkubasi disebabkan oleh bakteri metanogenik yang muncul
diduga karena kondisi yang masih oksidatif, yakni tidak hanya pada saat setelah kondisi anaerobik tetapi
masih tersedianya oksigen sebagai sumber respirasi juga pada awal penggenangan. Kondisi anaerobik
bagi bakteri yang terdapat dalam tanah sehingga CH4 akan menyebabkan kondisi reduksi. Untuk mengganti
yang dihasilkan masih sedikit. Selain itu menurut Yao tidak tersedianya oksigen maka mikroorganisme
dan Conrad (1999), peningkatan itu disebabkan oleh menggunakan bahan-bahan tereduksi dalam tanah
produksi H2 oleh fermentasi bakteri. Penurunan potensi dan metabolit-metabolit organik sebagai penerima
produksi di akhir inkubasi serupa dengan yang dijabar- elektron dalam respirasinya (Naharia 2004). Pada
JIPI, Vol. 26 (4): 499510 505

Gambar 4 Potensi produksi N2O dan potensial redoks pada tanah vertisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan nitrifikasi
alami
penelitian Setyanto (2000) disebutkan bahwa penurun an dan terus menurun sampai pada akhir kecuali pada
an potensi produksi CH4 terjadi setelah 9 hari setelah kontrol. Potensi produksi CH4 tertinggi pada kontrol
penggenangan (HSP). terdapat pada 11 HSP. Potensi produksi CH4 pada
Semua perlakuan menghasilkan potensi produksi tanah inseptisol lebih tinggi dibandingkan pada tanah
CH4 tertinggi pada 11 HSP di tanah inseptisol kecuali vertisol. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya per-
pada aplikasi daun kenikir. Potensi produksi CH4 bedaan mineral utama pembentuk tanah inseptisol dan
tertinggi pada aplikasi daun kenikir terdapat pada 16 vertisol. Pada tanah inseptisol dengan mineral utama
HSP. Setelah itu potensi produksi CH4 di tanah haloisit yang memungkinkan terdapatnya dua atau
inseptisol pada semua perlakuan menurun sampai lebih antar-lapisan air (water interlayer). Setelah peng-
akhir. Akan tetapi, potensi produksi CH4 di tanah genangan tanah, molekul-molekul air terikat bersama-
vertisol tinggi pada hari pertama setelah penggenang- sama menurut pola heksagonal, molekul air ini
506 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

7,50 Kontrol Limbah daun teh Sabut kelapa


Limbah Kopi Daun/bunga Babandotan Daun Kenikir
Rimpang Kunyit
7,00 Vertisol

Inseptisol
6,50
pH

6,00

5,50

5,00
1 6 11 1621 26 31 1 6 11 16 21 26 31
Hari setelah pengenangan (HSP)
Gambar 5 Derajat keasaman (pH) pada tanah inseptisol dan vertisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan nitrifikasi
alami

Gambar 6 Potensi produksi CH4 dan N2O pada tanah inseptisol dan vertisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan
nitrifikasi alami
selanjutnya terikat dengan lapisan-lapisan kristal organik yang terdapat dalam bahan alami sehingga
melalui ikatan hidrogen. Kondisi ini akan menyebabkan kandungan bahan alami tersebut dapat menghambat
tanah menjadi kondisi reduksi yang memungkinkan proses nitrifikasi. Potensi produksi N2O pada awal
produksi CH4-nya lebih tinggi (Susilawati et al. 2015). penggenangan sampai dengan 16 HSP di tanah
Potensi produksi N2O pada tanah inseptisol dan vertisol terlihat sangat rendah dan setelah itu mulai
vertisol berkebalikan dengan CH4. Hal ini sejalan naik. Pada akhir penggenangan masih terdapat
dengan penelitian Wassman (2004), bahwa pola emisi potensi produksi N2O dari aplikasi beberapa bahan
N2O pada umumnya bertolak belakang dengan emisi penghambat nitrifikasi yang terlihat naik kecuali pada
CH4. Potensi produksi N2O pada tanah inseptisol pada daun/bunga babandotan dan sabut kelapa.
semua perlakuan lebih rendah daripada potensi Gambar 7 memperlihatkan kumulatif dari produksi
produksi N2O di tanah vertisol. Hal ini karena tanah CH4 dan N2O. Kumulatif dari potensi produksi CH4 di
inseptisol mempunyai ikatan antar-lapisan yang relatif tanah inseptisol tertinggi terlihat pada limbah daun teh
lemah dan mempunyai ruang antar-lapisan yang me- diikuti kontrol, limbah kopi, daun kenikir, rimpang
mungkinkan untuk menyerap dan memfiksasi senyawa kunyit, sabut kelapa, dan daun/bunga babandotan.
JIPI, Vol. 26 (4): 499510 507

Gambar 7 Kumulatif produksi CH4 dan N2O pada tanah inseptisol dan vertisol dengan berbagai perlakuan aplikasi bahan
nitrifikasi alami
Selain limbah daun teh, tambahan bahan nitrifikasi diikuti oleh kontrol, limbah kopi, daun kenikir, rimpang
mampu menekan potensi produksi CH4 di tanah kunyit, sabut kelapa, dan daun/bunga babandotan
inseptisol sedangkan di tanah vertisol semua aplikasi dengan nilai berturut-turut 0,737; 0,680; 0,637; 0,520;
bahan penghambat nitrifikasi mampu menekan emisi 0,329 dan 0,323 mg CH4 g tanah-1. Dibandingkan
CH4. Hal ini diduga bahwa bahan alami yang me- dengan kontrol, aplikasi limbah daun teh meningkatkan
ngandung metabolit sekunder berupa polifenol atau rata-rata 9,9% produksi CH4 yang disebabkan oleh
lemak tak jenuh tertentu yang dapat bertindak sebagai asam-asam organik dan protein atau asam amino yang
penghambat nitrifikasi dengan cara menghambat kerja merupakan sumber energi bagi bakteri metanogen,
bakteri dalam pembentukan CH4 dan mempertahankan sedangkan aplikasi limbah kopi, daun kenikir, rimpang
nitrogen dalam bentuk NH4+. Menurut Wihardjaka et al. kunyit, sabut kelapa, dan daun/bunga babandotan
(2012), tannin dan polifenol dapat menghambat kerja mampu menekan produksi CH4 masing-masing 7,7%;
bakteri metanogen. Kumulatif potensi produksi N2O 13,6%; 29,4%; 55,6% dan 56,2%. Semua aplikasi
pada tanah inseptisol lebih rendah daripada pada bahan nitrifikasi alami di tanah vertisol mampu
tanah vertisol. Pada tanah inseptisol, aplikasi rimpang menekan rata-rata produksi CH4 dibandingkan dengan
kunyit dan daun kenikir menghasilkan kumulatif potensi kontrol. Potensi produksi rata-rata terendah pada tanah
produksi lebih besar daripada kontrol akan tetapi pada Inseptisol adalah dari limbah kopi adalah 1,76 µg N2O
tanah vertisol kedua bahan alami tersebut mampu g tanah-1 diikuti daun/bunga babandotan, limbah daun
menekan produksi N2O. Kandungan C total yang tinggi teh, sabut kelapa, kontrol, rimpang kunyit, dan daun
pada tanah vertisol dimungkinkan dapat menekan atau kenikir masing-masing 1,79; 2,0; 2,3; 5,0; 7,2 dan 7,7
menghambat potensi produksi karena kandungan µg N2O g tanah-1. Penurunan produksi N2O di tanah
polifenol yang tinggi yang terdapat di kedua bahan inseptisol dari limbah kopi, daun/bunga babandotan,
alami tersebut sehingga mampu mengoksidasi amonia limbah daun teh, sabut kelapa berturut-turut 54,6%;
menjadi nitrit (Ishikawa 1998). Berbeda dengan tanah 60,7%; 64,2%; dan 64,8% dibandingkan dengan
inseptisol yang kandungan C totalnya rendah, kontrol. Potensi produksi rata-rata terendah pada
penurunan tidak terjadi. Reduksi NO3- menjadi NO2-, vertisol terdapat pada aplikasi limbah kopi adalah 42,5
N2O menjadi N2, Mn4+ menjadi Mn2+, Fe3+ menjadi Fe2+, µg N2O g tanah-1 diikuti oleh daun kenikir, rimpang
SO42- menjadi S2-, dan CO2 menjadi CH4 dapat terjadi kunyit, kontrol, daun/bunga babandotan, sabut kelapa,
jika bahan organik-C tersedia (Wang et al. 1993). dan limbah daun teh masing-masing 48,4; 54,2; 70,7;
Produksi CH4 dan N2O dari aplikasi bahan peng- 87,2; 113,6; dan 131,2 µg N2O g tanah-1.
hambat nitrifikasi alami terlihat pada Tabel 3. Rata-rata Potensi produksi N2O sangat dipengaruhi oleh jenis
produksi CH4 yang mampu ditekan di tanah inseptisol tanah tetapi tidak dipengaruhi oleh aplikasi bahan
berbeda nyata satu dengan yang lain. Nilai tertinggi alami. Rata-rata potensi produksi CH4 di tanah
terlihat pada aplikasi limbah daun teh adalah 0,810 mg Inseptisol lebih besar dibandingkan pada vertisol,
508 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

Tabel 3 Potensi produksi CH4, N2O dan potensi pemanasan global (GWP) pada tanah inseptisol dan vertisol dengan berbagai
perlakuan aplikasi bahan nitrifikasi alami
Jenis CH4 N2O GWP
Bahan NI
Tanah mg CH4/g tanah µg N2O/g tanah g CO2-eq
Inseptisol Kontrol 0,737 ab + 0,2641 5,0 f + 1,35 0,018 dc + 0,0060
Limbah daun teh 0,810 ab + 0,2075 2,0 fe + 0,86 0,019 dc + 0,0050
Sabut kelapa 0,329 dc + 0,1565 2,3 f + 0,91 0,008 d + 0,0034
Limbah kopi 0,680 ab + 0,2901 1,8 f + 0,84 0,016 dc + 0,0069
Daun/bunga babandotan 0,323 dc + 0,1277 1,8 f + 0,79 0,008 d + 0,0027
Daun kenikir 0,637 ab + 0,2824 7,7 fe + 10,52 0,016 dc + 0,0065
Rimpang kunyit 0,520 bc + 0,1008 7,2 fe + 1,97 0,014 dc + 0,0017
Vertisol Kontrol 0,093 de + 0,1294 70,5 cd + 8,02 0,023 bc + 0,0045
Limbah daun teh 0,021 e + 0,0106 131,2 a + 54,96 0,039 a + 0,0164
Sabut kelapa 0,013 e + 0,0040 113,6 ab + 58,46 0,034 ab + 0,0173
Limbah kopi 0,020 e + 0,0036 42,5 dfe + 13,77 0,014 dc + 0,0042
Daun/bunga babandotan 0,023 e + 0,0049 87,2 bc + 37,27 0,026 bc + 0,0111
Daun kenikir 0,035 e + 0,0129 48,4 dce + 19,54 0,015 dc + 0,0058
Rimpang kunyit 0,024 e + 0,0124 54,2 dc + 31,97 0,017 dc + 0,0092
Anova Jenis tanah ** ** **
Bahan NI * NS *
Interaksi NS * **
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%
* : signifikan pada taraf uji 5%
** : signifikan pada taraf uji 1%
NS : tidak signifikan
meskipun potensi produksi N2O berkebalikan dengan Bahan penghambat nitrifikasi alami yang mampu
potensi produksi CH4. Potensi produksi N2O yang menurunkan nilai GWP di tanah vertisol adalah
dihasilkan oleh tanah inseptisol lebih kecil daripada rimpang kunyit, daun kenikir, dan limbah kopi dengan
tanah vertisol. Pada tanah inseptisol, aplikasi daun persentase berturut-turut 27,8%; 34,2%; dan 37,7%.
kenikir dan rimpang kunyit menghasilkan potensi Hal ini karena keragaman peran bahan alami dalam
produksi N2O rata-rata lebih besar daripada kontrol menghambat nitrifikasi dengan menurunkan produksi
dengan nilai masing-masing 7,7 dan 7,2 µg N2O g metana dan dinitrogen oksida akibat pengaruh
tanah-1 sedangkan aplikasi sabut kelapa, limbah daun kandungan senyawa tertentu dalam bahan alami
teh, daun/ bunga babandotan, dan limbah kopi, mampu tersebut terutama kandungan polifenol berupa tanin,
menekan produksi N2O berturut-turut 56,1%; 60,7%; lipid, dan sulfur. Kandungan senyawa-senyawa ter-
64,2% dan 64,8% dengan nilai masing-masing 2,3; 2,0; sebut diduga menghambat aktivitas mikrob yang
1,79 dan 1,76 µg N2O g tanah-1. Pada tanah vertisol mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat pada proses
tidak semua bahan mampu menurunkan produksi N2O. nitrifikasi, dan menghambat aktivitas mikrob meta-
Yang mampu menurunkan produksi N2O rata-rata nogen dalam menghasilkan gas metana (Ishikawa
adalah rimpang kunyit, daun kenikir, dan limbah kopi 1998; Wassman et al. 2000).
dengan penurunan berturut-turut 23,2%; 31,4% dan
39,8% dengan nilai 54,2; 48,4 dan 42,5 µg N 2O g
tanah-1. Kandungan polifenol dalam tanah dapat KESIMPULAN
menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi dan bakteri
denitrifikasi. Berdasarkan aplikasi bahan alami yang digunakan
Potensi pemanasan global dari aplikasi redoks sebagai NI di tanah inseptisol dan vertisol, produksi
bahan penghambat nitrifikasi alami tertinggi di tanah CH4 dipengaruhi oleh aplikasi bahan alami NI dan jenis
Inseptisol terlihat pada aplikasi limbah daun teh diikuti tanah, sedangkan produksi N2O dipengaruhi oleh
oleh kontrol, aplikasi daun kenikir, limbah kopi, rimpang interaksi bahan alami NI dan jenis tanah. Kandungan
kunyit, sabut kelapa, dan daun/bunga babandotan metabolit sekunder dalam bahan NI alami dan sifat
dengan nilai GWP masing-masing 0,019; 0,018; fisika dan kimia tanah berpengaruh pada potensi
0,0163; 0,0161; 0,014; 0,0088, dan 0,0080 g CO2-eq. produksi CH4 dan N2O. Penurunan GWP di tanah
Bahan alami yang dapat menurunkan GWP di tanah inseptisol tertinggi dihasilkan oleh aplikasi daun/bunga
Inseptisol adalah aplikasi daun kenikir, limbah kopi, babandotan ialah 56,8% diikuti oleh aplikasi sabut
rimpang kunyit, sabut kelapa, dan daun/bunga kelapa, rimpang kunyit, limbah kopi, dan daun kenikir
babandotan berturut-turut 11,8%; 12,5%; 23,7%; berturut-turut 55,3; 23,7; 12,5; dan 11,8%. Sementara
55,3%; dan 56,8%. Pada tanah Vertisol, GWP tertinggi itu, di tanah vertisol penurunan GWP tertinggi dijumpai
dihasilkan dari aplikasi limbah daun teh disusul sabut pada aplikasi daun kenikir dan rimpang kunyit masing-
kelapa, daun/bunga babandotan, kontrol, rimpang masing 34,2 dan 27,8%. Kandungan senyawa dalam
kunyit, dan daun kenikir dengan nilai masing-masing NI alami dapat menurunkan emisi GRK (CH4 dan N2O)
0,039; 0,034; 0,026; 0,023; 0,017; dan 0,015 g CO2-eq. untuk tanah yang memiliki potensi emisi GRK tinggi.
JIPI, Vol. 26 (4): 499510 509

UCAPAN TERIMA KASIH Naharia O. 2004 Teknologi pengairan dan pengolahan


tanah pada budidaya padi sawah untuk mitigasi gas
Penulis mengucapkan terima kasih kepada metana (CH4). Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana
Kementerian Riset dan Teknologi atas dukungan dana IPB.
sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Neue HU, Sass RL. 1994. Trace gas emission from rice
Terima kasih kepada peneliti dan teknisi Emisi dan fields. Global Atmospheric-Biospheric Chemistry,
Absorbsi Gas Rumah Kaca, Balai Penelitian 119147. https://doi.org/10.1007/978-1-4615-2524-
Lingkungan Pertanian atas bantuannya dalam 0_8
pelaksanaan kegiatan penelitian.
Nursyamsi D, Suprihati. 2005. Sifat-sifat Kimia dan
Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan
DAFTAR PUSTAKA Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oryza sativa),
Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max).
Braatz BV, Hogan KB. 1997. Sustainable Rice Buletin Agronomi. 33(3): 4047.
Productivity and Methane Reduction Research Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi
Plan. U.S: Environmental Protection Agency Indonesia skala 1:1.000.000. Bogor (ID):
Byrne MP, Tobin JT, Forrestal PJ, Danaher M, Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
Nkwonta CG, Richards K, Cummins E, Hogan SA, Setyanto P, Makarim AK, Fagi AM, Wassmann R,
O’Callaghan TF. 2020. Urease and nitrification Buendia LV. 2000. Crop management practices
inhibitors—as mitigation tools for greenhouse gas affecting methane emissions from irrigated and
emissions in sustainable dairy systems: a review. rainfed rice in Central Java, Indonesia. Nutrient
Sustainability. 12: 6018. https://doi.org/10.3390/su Cycling in Agroecosystems. 58: 8595. https://doi.
12156018 org/10.1007/978-94-010-0898-3_8
Darmawidjaya ML. 1992. Klasifikasi Tanah. Dasar Skiba U, Smith KA, Fowler D. 1993. Nitrification and
Teori Bagi Peneliti dan Pelaksana Pertanian di denitrification as sources of nitric oxide and nitrous
Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada oxide in a sandy soil. Soil Biology and Biochemistry.
University Press. 25: 15271536. https://doi.org/10.1016/0038-0717
Hartmann TE, Guzman-Bustamante I, Ruser R, Müller (93)90007-X
T. 2020. Turnover of urea in a soil from the North Susilawati HL, Setyanto P, Makarim AK, Ariani M, Ito
China Plain as affected by the urease inhibitor K, Inubushi K. 2015. Effects of steel slag
NBPT and wheat straw. Agronomy. 10: 857. https://
applications on CH4, N2O and the yields of
doi.org/10.3390/agronomy10060857 Indonesian rice fields: a case study during two
IFA. 2019. International Fertilizer Association [internet] consecutive rice-growing seasons at two sites. Soil
[diunduh 2019 September 11]. Tersedia pada Science and Plant Nutrition. 61: 704718.
https://www.ifastat.org/databases/plant-nutrition. https://doi.org/10.1080/00380768.2015.1041861
Ishikawa T. 1998. Suppression of nitrification and Susilawati HL, Wihardjaka A, Setyanto P. 2020.
nitrous oxide emission by a tropical grass. JIRCAS Methane and nitrous oxide productions affected by
1998 Annual Report. p.5. natural nitrification inhibitors under different soil
types. IOP Conference Series: Earth and
Knowles R. 1979. Denitrification, acetylene reduction,
Environmental Science 423 012050. https://doi.org
and methane metabolism in lake sediment exposed
/10.1088/1755-1315/423/1/012050
to acetylene. Applied and Environmental
Microbiology. 38: 486493. https://doi.org/10.1128/ Thomas J, Prasad R. 1982. Studies on mineralization
aem.38.3.486-493.1979 of neem and sulfur coated and N-serve treated
urea. Fertilizer News. 27: 3953.
McTaggart IP, Clayton H, Parker J, Swan L, Smith KA.
1997. Nitrous oxide emissions from grassland and Topp E, Knowles R. 1984. Effect of nitrapyrin [2-chloro-
spring barley following N fertilizer application with 6(tricloromethyl)pyridine] on the obligate
and without nitrification inhibitors. Biology and methanotroph methylosinus trichosporium OB3b.
Fertility of Soils. 25: 261268. https://doi.org/10. Applied and Environmental Microbiology. 47:
1007/s003740050312 258262. https://doi.org/10.1128/aem.47.2.258-26
2.1984
Mosier AR, Duxbury JM, Freney JR, Heinemeyer O,
Minami K. 1996. Nitrous oxide emissions from Upadhyay RK, Patra DD, Tewari SK. 2011. Natural
agricultural fields: assessment, measurement and nitrification inhibitors for higher nitrogen use
mitigation. Plant and Soil. 181: 95108. efficiency, crop yield, and for curtailing global
https://doi.org/10.1007/BF00011296 warming. Journal of Tropical Agriculture. 49 (12):
1924.
510 JIPI, Vol. 26 (4): 499510

Wang B, Xu Y, Wang Z, Li Z, Ding Y, Guo Y. 1999. Wihardjaka A, Tandjung SD, Sunarminto BH, Sugiharto
Methane production potentials of twenty-eight rice E. 2012. Methane emission from direct seeded rice
soils in China. Biology and Fertility of Soils. 29: under the influences of rice straw and nitrification
7480. https://doi.org/10.1007/s003740050527 inhibitor. Indonesian Journal of Agricultural Science.
13(1): 111. https://doi.org/10.21082/ijas.v13n1.20
Wang Z, Lindau CW, DeLaune RD, Jr. Patrick HW.
12.p1-11
1993. Methane emission and entrapment in flooded
rice soils as affected by soil properties. Biology and Willison TW, Webster CP, Goulding KWT, Powlson DS.
Fertility of Soils. 16: 163168. https://doi.org/10. 1995. Methane oxidation in temperate soils: Effects
1007/BF00361401 of land use and the chemical form of nitrogen
fertilizer. Chemosphere. 30: 539546. https://doi.
Wassmann R, Lantin RS, Neue HU, Buendia LV,
org/10.1016/0045-6535(94)00416-R
Corton TM, Lu Y. 2000. Characterization of
Methane Emissions from Rice Fields in Asia. III. Yang Y, Zhang M, Li Y, Fan X, Geng Y. 2012.
Mitigation Option and Future Research Needs. Controlled Release Urea Improved Nitrogen Use
Nutrient Cycling in Agroecosystems. 58: 2336. Efficiency, Activities of Leaf Enzymes, and Rice
https://doi.org/10.1007/978-94-010-0898-3_3 Yield. Soil Science Society of America Journal.
76(6): 2307. https://doi.org/10.2136/sssaj2012.01
Wassmann R, Neue HU, Ladha JK, Aulakh MS. 2004. 73
Mitigating greenhouse gas emissions from rice–
wheat cropping systems in Asia. Journal of Yao H, Conrad R. 1999. Thermodynamics of methane
Environment and Sustainable Development. 6: production in different rice paddy soils from China,
6590. https://doi.org/10.1007/978-94-017-3604-6 the Philippines and Italy. Soil Biology and
_4 Biochemistry. 31: 463473. https://doi.org/10.1016
/S0038-0717(98)00152-7
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Oktober 2021 Vol. 26 (4): 490498
ISSN 0853-4217 http://journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI
EISSN 2443-3462 DOI: 10.18343/jipi.26.4.490

Keanekaragaman Serangga Fitofag pada Sengon Falcataria moluccana


(Miq.) Barneby & J. W. Grimes dari Jawa dan Hawaii di Persemaian di
Bogor
(The Diversity of Phytophagous Insects on Albizia Falcataria moluccana
(Miq.) Barneby & J. W. Grimes from Java and Hawaii in Seedling in Bogor)
Yendra Pratama Setyawan1*, Purnama Hidayat2, Hermanu Triwidodo2, Kenneth Puliafico3

(Diterima Februari 2021/Disetujui Mei 2021)

ABSTRAK
Sengon (Falcataria moluccana) banyak dibudidayakan di Indonesia karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi,
akan tetapi sengon juga dikategorikan sebagai invasive alien species, khususnya di Kepulauan Hawaii yang
mengakibatkan kerugian ekonomi maupun ekologi. Pengendalian tumbuhan invasif yang berbasis pengendalian
hayati merupakan metode yang efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi serangga fitofag pada
pembibitan sengon yang berasal dari Jawa dan Hawaii. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Carangpulang, Kecamatan
Dramaga, Bogor. Desain percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan asal tanaman sebagai
perlakuan (sengon dari Jawa dan Hawaii) serta 4 ulangan. Total tanaman sampel adalah 160 tanaman. Pengamatan
serangga dilakukan setiap 2 minggu hingga tanaman umur 32 minggu setelah tanam. Identifikasi serangga dilakukan
di Laboratorium Biosistematika Serangga IPB. Hasil pengamatan menunjukkan 67 spesies serangga fitofag ber-
asosiasi dengan sengon. Sebanyak 57 spesies berasosiasi dengan sengon dari Jawa dan 54 spesies berasosiasi
dengan sengon dari Hawaii. Tidak terdapat perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman serangga fitofag yang
berasosiasi dengan sengon di kedua lokasi tersebut. Larva Eurema blanda (Lepidoptera: Pieridae) menjadi hama
penting pada persemaian sengon yang mengakibatkan defoliasi. Beberapa serangga seperti Hulodes caranea
(Lepidoptera: Noctuidae), Margarodes sp. (Hemiptera: Margarodidae), Choristoneura sp. (Lepidoptera: Tortricidae),
serta Adoxophyes sp (Lepidoptera: Tortricidae) merupakan hama pada persemaian sengon yang belum dilaporkan
sebelumnya.

Kata kunci: Fabaceae, hama penting, sengon, serangga defoliator, tanaman invasive

ABTRACT
Albizia (Falcataria moluccana) cultivated in Indonesia for timber plantations can increase the farmer’s income,
even though albizia became an invasive alien species that can cause the economic and ecological losses. The
controlling of invasive species using biological control is an effective method. The purpose of this study was to
determine the phytophagous insects on albizia from Java and Hawaii in seedling in Bogor. The experiment was
conducted in Carangpulang, Dramaga, Bogor. The experiment was arranged in a completely randomized block design
using seed origin as a treatment (albizia Java and Hawaii) with 4 replicates. Total number of tree sample was 160
trees. Observations were conducted every 2 weeks until 32 weeks after planting. Identification of insects was
conducted in the Laboratory of Insect Biosystematics, IPB. A total of 67 phytophagous insects were collected, 57
species in albizia from Java and 54 species in albizia from Hawaii. There was no difference in abundance and diversity
of phytophagous insects on albizia from Java and Hawaii. Larvae of Eurema blanda (Lepidoptera: Pieridae) became
an important pest causes leaf defoliation. Furthermore, Hulodes caranea (Lepidoptera: Noctuidae), Margarodes sp.
(Hemiptera: Margarodidae), Choristoneura sp. (Lepidoptera: Tortricidae), and Adoxophyes sp. (Lepidoptera:
Tortricidae) identified as important pests that have not been reported in the other research.

Keywords: albizia, defoliator insect, Fabaceae, important pests, invasive alien species

1
PENDAHULUAN
Pest & Entomology Section, Crop Protection Department,
SMART Research Institute, Jl. Teuku Umar 19, Pekanbaru, Falcataria moluccana termasuk famili Fabaceae
Riau 28112 Indonesia dan lebih dikenal dengan nama sengon merupakan
2 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
tanaman asli Indonesia (Maluku), Papua New Guinea,
Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680 Indonesia
dan Kepulauan Solomon (Nair 2007). Tanaman ini
3 USDA Forest Service, Institute of Pasific Islands Foresty, dapat ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia
60 Nowelo St, Hilo HI, 96720 USA Tenggara serta banyak dibudidayakan karena memiliki
* Penulis Korespondensi: nilai ekonomi yang tinggi (Siregar et al. 2007;
E-mail: yendrapratama2@gmail.com Surachman et al. 2014). Sengon juga dilaporkan
JIPI, Vol. 26 (4): 490498 491

terdapat di beberapa pulau kecil di kawasan Samudra respons serangga fitofag terhadap kedua sengon dari
Pasifik, seperti di Kepulauan Hawaii (Starr et al. 2003; asal yang berbeda dengan menggunakan percobaan
Haines et al. 2011; Krisnawati et al. 2011). kebun (garden experiment) (Joshi & Vrieling 2005; Zou
Sengon pada awalnya dimanfaatkan untuk et al. 2008b). Lebih lanjut lagi, penelitian mengenai
keperluan reboisasi di kawasan hutan Kepulauan inventarisasi serangga fitofag pada sengon yang
Hawaii sejak tahun 1917 yang dibawa dari Jawa dan ditumbuhkan dari benih asal Jawa dan Hawaii juga
Kalimantan karena tergolong fast growing species belum pernah dilaporkan sebelumnya. Berdasarkan
(Murdiyarso et al. 1992; Starr et al. 2003; Hughes et al. hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk
2013). Reboisasi tersebut telah berhasil sehingga per- mengetahui jenis serangga fitofag yang menyerang
sebaran sengon merata di seluruh Kepulauan Hawaii tanaman muda (persemaian) sengon yang berasal dari
(Hughes et al. 2013). Keberhasilan persebaran Jawa dan Hawaii serta menentukan serangga fitofag
tersebut menyebabkan sengon dikategorikan sebagai yang menjadi hama penting pada persemaian sengon.
salah satu tanaman asing (exotic plants) yang mampu
menginvasi berbagai lokasi kawasan hutan hingga
taman kota di Hawaii (Starr et al. 2003; BIISC 2015). METODE PENELITIAN
Kemampuan menginvasi ini juga dapat menimbulkan Waktu dan Tempat Penelitian
dampak negatif, seperti kerugian ekonomi, bio- Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016
diversitas lokal, dan ekologi (Richardson et al. 2000; hingga Juli 2017 di rumah kaca Cikabayan dan lahan
Vila et al. 2011; Wong 2012; Chandler et al. 2016). percobaan Departemen Proteksi Tanaman di Desa
Dampak ekologi antara lain memengaruhi ekosistem Carangpulang, Dramaga, Bogor. Identifikasi serangga
perairan di daerah tepi sungai dan memicu invasi dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga,
gulma, seperti Psidium cattleianum (Hughes et al. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
2013). Institut Pertanian Bogor.
Keberhasilan pertumbuhan tumbuhan asing di
tempat barunya terjadi akibat perubahan pola alokasi Rancangan Percobaan
biomassa dan seleksi genotipe yang mendukung Rancangan percobaan yang digunakan adalah
pertumbuhan (Cappuccino & Carpenter 2005; Zou et rancangan acak kelompok lengkap dengan 4 ulangan
al. 2008a). Perubahan tersebut mengakibatkan (blok), pengacakan menggunakan program Edgar II
peningkatan kemampuan kompetitif dengan peningkat- Randomization (Kleunen et al. 2010). Perlakuan yang
an pertumbuhan vegetatif tanaman (Lieurance 2012). digunakan adalah asal tanaman sengon dari Jawa dan
Hal tersebut sesuai dengan hipotesis Blossey dan sengon dari Hawaii. Jumlah tanaman sampel adalah
Notzold (1995) dan didukung oleh Frenzel dan Brandl 80 untuk setiap perlakuan sehingga total tanaman
(2003) yang menyatakan bahwa tumbuhan pendatang adalah 160 tanaman. Benih sengon dari Jawa didapat-
mampu meningkatkan resistansinya terhadap kan dari petani sengon Leuwisadeng, Kabupaten
serangga herbivora dan meningkatkan pertumbuhan Bogor, sedangkan benih sengon dari Hawaii didapat-
atau reproduksinya karena jarang diserang oleh kan dari Taman Nasional Hawaii Volcanoes.
herbivora.
Sejauh ini, pengendalian dilakukan dengan cara Penyemaian dan Pemindahan Sengon ke
mekanik dan kimia untuk menekan persebaran sengon Lapangan
di Kawasan Hawaii (Hughes et al. 2013; Chandler et al. Benih terlebih dahulu direndam di dalam larutan
2016). Pengendalian hayati diperlukan untuk mengen- klorin 10% selama 10 menit. Setelah itu benih di-
dalikan persebaran populasi dan melindungi bio- rendam kembali ke dalam air selama 24 jam. Selanjut-
diversitas hayati asli kepulauan tersebut (Kolar & nya benih disemai pada media tanah, kompos, dan
Lodge 2001; Blumenthal 2005). Eksplorasi serangga sekam bakar (1:2:2) yang sudah disterilkan (Nusantara
fitofag dari daerah asal introduksi diperlukan untuk 2002; Soeparno & Dwiyono 2013). Penyapihan dilaku-
mendapatkan musuh alami yang sesuai, terutama kan pada tanaman berumur 4 minggu setelah tanam
pada fase sebelum tumbuhan tersebut tumbuh besar (MST) dengan memindahkan bibit ke polibag ber-
dan mengakibatkan kerugian lebih lanjut (BIISC 2015). ukuran 20 cm x 20 cm. Media tanam yang digunakan
Penelitian serangga fitofag yang berasosiasi dengan adalah tanah, kompos, dan sekam bakar (5:3:2)
sengon pada tahap persemaian merupakan salah satu (Budiawan et al. 2012). Polibag yang telah berisi bibit
upaya yang dapat digunakan untuk mengetahui jenis kemudian diletakkan di dalam rumah kaca.
serangga fitofag yang dapat mengakibatkan kerusakan Sengon yang sudah berumur 12 MST dipindahkan
pada fase awal pertumbuhan. ke dalam polibag berukuran 40 cm x 40 cm (Nusantara
Pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui 2002). Lahan percobaan berada di lahan tanam Desa
perbedaan serangga fitofag yang berasal dari kedua Carangpulang, Dramaga, Bogor. Lahan percobaan
daerah yang berbeda, yaitu digunakan sengon dari berukuran 86 m x 8 m. Terdapat 4 blok di dalam lahan,
daerah Jawa (asal introduksi) (Starr et al. 2003; masing-masing blok berukuran 10 m x 8 m (antar blok
Hughes et al. 2013) dan tanaman sengon yang diambil berjarak 8 m). Jumlah tanaman sampel setiap blok
dari daerah Hawaii (tujuan introduksi). Penelitian ini adalah 20 tanaman untuk setiap asal sengon (total
sangat penting dilakukan untuk mengidentifikasi sengon per blok adalah 40 tanaman). Penyusunan
tanaman sampel setiap perlakuan terdiri atas 2 baris
492 JIPI, Vol. 26 (4): 490498

(antarbaris berjarak 2 m). Pada setiap baris tanaman Total serangga fitofag yang diidentifikasi ber-
terdiri atas 10 tanaman (antartanaman berjarak 0,75 asosiasi dengan tanaman sengon hingga umur 32 MST
m). Selanjutnya untuk perawatan di lapangan dilakuk- adalah sebanyak 2718 individu, yang terdiri atas 4 ordo
an penyiraman setiap 3 hari sekali apabila tidak ada (ordo Coleoptera, Hemiptera, Lepidoptera, dan
hujan. Tidak ada penambahan kompos maupun pupuk Orthoptera), 30 famili, dan 67 spesies (Tabel 1).
yang digunakan selama di lapangan, hanya penyiang- Jumlah spesies yang ditemukan di sengon yang
an rumput yang berada di dalam polibag dan tanah di berasal dari Jawa adalah sebanyak 57 spesies dengan
sekitar polibag (± 30 cm dari polibag). kelimpahan total 1694 individu, sedangkan pada
sengon yang berasal dari Hawaii didapatkan fitofag
Pengamatan dan Identifikasi Serangga Fitofag sebanyak 54 spesies dengan kelimpahan total 1.024
Pengamatan dilakukan secara berkala, yakni individu.
dengan interval 2 minggu sekali pada umur tanaman Hasil dari perhitungan indeks keanekaragaman
14 MST sampai 32 MST. Pada setiap rotasi pengamat- Shannon Wiener menunjukkan bahwa indeks
an dilakukan sensus serangga pada pagi hari (08.00 keanekaragaman (H’) pada sengon Jawa (H’ = 1,557)
sampai 12.00 WIB). Pengamatan serangga fitofag dan sengon Hawaii (H’ = 1,656) menunjukkan nilai
dilakukan dengan pengamatan langsung pada seluruh yang tidak jauh berbeda. Indeks keanekaragaman
bagian tanaman sampel, yaitu bagian pangkal batang biasanya berkisar di antara 1 sampai 3,5 dan semakin
yang berdekatan dengan permukaan tanah, batang, tinggi nilai H’ semakin tinggi pula keanekaragaman
ranting, dan daun. Pengambilan sampel serangga spesiesnya (Stork 1988). Nilai indeks keaneka-
dilakukan dengan pengambilan langsung dan insect ragaman yang tidak jauh berbeda menandakan bahwa
net. Pengamatan dimulai dari baris selatan hingga keanekaragaman spesies pada sengon dari Jawa dan
baris utara. Sampel serangga yang terkoleksi Hawaii juga tidak jauh berbeda.
kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel ber- Kedua sengon dari asal yang berbeda tersebut me-
ukuran 50 mL yang di dalamnya terdapat alkohol 70% nunjukkan nilai keanekaragaman yang hampir sama
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk identifikasi dan tergolong tingkat keanekaragaman yang sedang.
lebih lanjut. Keanekaragaman serangga fitofag yang berasosiasi
Serangga pradewasa, seperti ulat dan nimfa, dengan tanaman merupakan proses interaksi yang
dipelihara hingga imago. Beberapa sampel yang telah sangat kompleks, tidak hanya satu faktor saja
didapatkan kemudian dibuat awetan basah dan kering. berpengaruh di dalamnya tapi juga faktor-faktor lain
Jenis kutu-kutuan dibuat preparat slide yang selanjut- yang saling berinteraksi (Stam et al. 2014). Keaneka-
nya diidentifikasi. Identifikasi serangga dilakukan ragaman serangga fitofag yang memanfaatkan
dengan pengamatan karakter morfologi hingga tingkat tanaman inangnya erat kaitannya dengan faktor
spesies. Referensi yang digunakan mengacu pada lingkungan dan kondisi vegetasi sekitar (Tscharntke et
kunci identifikasi dikotomi Immature Insect (Stehr al. 2016; Rizali et al. 2017).
1987) maupun multiakses LepIntercept – An identifi- Analisis ANOVA pada pengaruh perlakuan asal
cation resource for intercepted Lepidoptera larvae tanaman pada keanekaragaman jenis dan kelimpahan
(Gilligan & Passoa 2014). individu serangga fitofag (Gambar 1) menunjukkan
Analisis Data hasil yang sama. Keanekaragaman jenis serangga
Data hasil identifikasi kemudian ditabulasi fitofag tidak dipengaruhi oleh asal sengon (Gambar 1A;
menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel 2016. p value = 0,0861), begitu juga dengan kelimpahan
Pengaruh perlakuan asal tanaman dianalisis dengan individu serangga fitofag yang tidak dipengaruhi oleh
ANOVA menggunakan aplikasi SAS 9.4. Perhitungan asal sengon (Gambar 1B; p value = 0,2415). Meskipun
keanekaragaman serangga dilakukan dengan meng- nilai rata-rata keanekaragaman dan kelimpahan
gunakan indeks keanekaragaman Shannon Wiener. serangga fitofag pada sengon dari Jawa cenderung
Lebih lanjut lagi, untuk mengetahui spesies yang menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi dari pada
memiliki kontribusi dalam penyusunan komposisi sengon dari Hawaii, keduanya masih dalam taraf yang
spesies dilakukan uji Simper. Perbedaan komposisi sama.
spesies serangga fitofag dibandingkan dengan analisis Tidak adanya pengaruh asal tanaman pada
kesamaan (ANOSIM) berdasarkan indeks kesamaan keanekaragaman dan kelimpahan serangga pada
Bray-Curtis yang dituangkan dalam pola ordinasi multi- sengon Jawa dan Hawaii dimungkinkan karena
dimensional scaling (MDS) menggunakan program struktur morfologi, nutrisi tanaman, serta senyawa
PAST 2.17. volatil dari keduanya juga sama (Speight et al. 1999;
Wikstrom et al. 2006; White et al. 2008). Hasil yang
sama juga dijelaskan oleh Liu et al. (2006) dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN penelitiannya bahwa spesies Eugenia spp. yang telah
diintroduksikan memiliki kekayaan serangga fitofag
Keanekaragaman Serangga Fitofag pada Sengon yang sama dengan Eugenia spp. dari tempat aslinya.
dari Jawa dan Hawaii Bürki dan Nentwig (1997) juga menjelaskan bahwa
JIPI, Vol. 26 (4): 490498 493

Tabel 1 Keanekaragaman serangga fitofag yang berasosiasi pada sengon dari Jawa dan Hawaii
Bagian Kelimpahan individu
Ordo Famili Spesies
tanaman Jawa Hawaii
Coleoptera Chrysomelidae Arthrotus histrio Daun 2 2
Diapromorpha pinguis Daun 2 1
Gastrophysa viridula Daun 2 0
Podontia affinis Daun 0 1
Coccinellidae Bucolus fourneti Daun 1 1
Curculionidae Dyscheres curtis Daun 10 9
Polydrusus formosus Daun 7 3
Elateridae Melanotus rufipes Ranting 2 3
Lycidae Metriorhynchus sp. Daun 3 4
Scarabaeidae Phyllophaga rugans Batang 1 0
Hemiptera Alydidae Homoeocerus marginellus Daun 2 0
Leptocorisa acuta Daun 17 29
Leptocorisa oratorius Daun 2 1
Riptortus linearis Daun 8 8
Coccidae Parthenolecanium corni Ranting 10 21
Coreidae Amblypelta lutescens Daun 3 1
Cletus trigonus Daun 1 2
Physomerus grossipes Daun 0 2
Flatidae Siphanta patruelis Batang 4 4
Margarodidae Margarodes sp. Ranting 24 16
Membracidae Anchon ulriforme Daun 1 0
Gargara genistae Daun 21 8
Leptocentrus taurus Daun 5 6
Membracidae sp. Daun 1 1
Pseudococcidae Ferrisia virgata Ranting 25 22
Psyllidae Acizzia uncatoides Daun 7 0
Pyrrhocoridae Dysdercus cingulatus Daun 0 1
Ricaniidae Ricania marginalis Batang 4 4
Lepidoptera Amatiidae Amata perixanthia Daun 0 1
Cosmopterigidae Macrobathra anacampta Daun 2 0
Morphotica mirifica Daun 1 1
Erebidae Orgyia detrita Daun 0 1
Orgyia postica Daun 4 1
Geometridae Besma quercivoraria Daun 0 2
Ennominae sp. Daun 0 1
Erannini sp. Daun 1 0
Geometridae sp. 10 Daun 1 0
Geometridae sp. 12 Daun 4 1
Geometrinae sp. 1 Daun 5 5
Hyposidra talaca Daun 4 3
Traminda mundissima Daun 3 1
Traminda prasodes Daun 7 2
Limacodidae Limacodinae sp. Daun 1 2
Lycaenidae Amblypodia narada Daun 1 0
Quercusia quercus Daun 7 7
Noctuidae Hulodes caranea Daun 22 22
Spodoptera litura Daun 1 0
Notodontidae Stauropus sp. Daun 0 1
Nymphalidae Doleschallia bisaltide Daun 1 0
Nymphalidae sp. Daun 1 0
Polyura hebe Daun 4 3
Pieridae Eurema blanda Daun 1253 592
Eurema hecabe Daun 61 22
Psychidae Psychidae sp. 2 Daun 0 2
Psychidae sp. 3 Daun 2 1
Psychidae sp. 4 Daun 4 5
Psychidae sp. 5 Daun 1 0
Psychidae sp. 6 Daun 0 2
Pteroma plagiophleps Daun 35 43
Pyralidae Ephestia kuehniella Daun 6 3
494 JIPI, Vol. 26 (4): 490498

Bagian Kelimpahan individu


Ordo Famili Spesies
tanaman Jawa Hawaii
Tortricidae Adoxophyes sp. Daun 12 3
Choristoneura sp. Daun 26 14
Orthoptera Acrididae Oxya japonica Daun 1 1
Phlaeoba infumata Daun 7 7
Schistocerca nitens Daun 2 3
Schistocerca pallens Daun 33 111
Trilophidia annulata Daun 16 11
Jumlah spesies serangga fitofag 57 54
Total kelimpahan individu 1.694 1.024
Indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) 1,557 1,656

Gambar 1 Perbedaan keanekaragaman spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga fitofag. Huruf yang sama pada
gambar yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%
Heracleum spp. genotipe asli dan genotipe invasif yang didapatkan >0,2 maka dapat dikatakan bahwa
memiliki komposisi serangga herbivora yang sama. Hal model ordinasi yang didapatkan tidak dapat diperguna-
tersebut berlawanan dengan hasil penelitian kan (Clarke 1993). Nilai ANOSIM berdasarkan indeks
Cappuccino dan Carpenter (2005) bahwa tanaman kesamaan Bray-Curtis dari serangga fitofag kedua
pendatang yang dikategorikan menjadi invasif memiliki sengon tersebut ditunjukkan pada nilai R = 0,24 dan p
kekayaan spesies serangga fitofag yang lebih sedikit value = 0,06. Hal tersebut membuktikan bahwa
dari pada tanaman pendatang yang tidak dikategorikan komposisi serangga fitofag pada sengon dari Jawa dan
menjadi invasif. Hawaii tidak menunjukkan perbedaan.
Berdasarkan Gambar 2, pola ordinasi MDS Pada hasil ordinasi MDS tampak bahwa semakin
serangga fitofag ini dinilai layak, dan hal ini terlihat dari dekat jarak antartitik menunjukkan kemiripan kompo-
hasil stress yang didapatkan <0,2. Jika nilai stress sisi spesies. Distribusi titik MDS serangga fitofag pada
masing-masing blok sengon Jawa menunjukkan
kemiripan komposisi serangga fitofag pada sengon
dari Jawa dan Hawaii. Berdasarkan titik ordinasi
masing-masing blok menunjukkan bahwa kemiripan
komposisi serangga fitofag relatif dekat pada tanaman
sengon Jawa blok 3 (JA3), sengon Hawaii blok 2 (HI2),
dan sengon Hawaii blok 3 (HI3). Kemiripan ketiga blok
Koordinat 2

tersebut relatif lebih mirip dibandingkan dengan


komposisi serangga fitofag pada sengon di blok yang
lain.

Hama Penting pada Tanaman Sengon


Terdapat 10 spesies yang memiliki urutan tertinggi
dalam penyusunan komposisi serangga (Tabel 2).
Spesies-spesies tersebut adalah Eurema blanda
(Lepidoptera: Pieridae) yang merupakan spesies yang
Koordinat 1 memiliki kontribusi terbesar (58,60%) dibandingkan
Gambar 2 Ordinasi MDS serangga fitofag pada sengon spesies yang lain. Selain E. blanda, terdapat 9 spesies
Jawa (JA) dan sengon Hawaii (HI) (stress value: serangga fitofag lain yang memiliki nilai kontribusi yang
0,024). Angka 1 sampai 4 menunjukkan blok relatif besar. Serangga tersebut adalah Schistocerca
JIPI, Vol. 26 (4): 490498 495

Tabel 2 Hasil uji Simper pada serangga fitofag pada tanaman kan telurnya secara berkelompok pada permukaan
sengon daun sengon dengan jumlah mencapai 300 butir telur
Spesies serangga fitofag1 Kontribusi (%) Stadia per daun. Hal ini didukung dengan laporan Tuhumury
Eurema blanda 58,6 Larva (2007) dan Aprilia (2011) yang menyebutkan bahwa
Schistocerca pallens 8,4 Imago larva E. blanda hidup berkelompok dan makan pada
Eurema hecabe 3,9 Larva tanaman sengon. Faktor lain yang menyebabkan
Pteroma plagiophleps 2,8 Larva dominansi E. blanda adalah fase perkembangan yang
Ferrisia virgata 2,1 Imago relatif singkat. Fase telur 3 sampai 4 hari, larva 17 hari,
Leptocorisa acuta 1,9 Imago pupa 5 sampai 6 hari, imago 10 hari, dan siklus hidup
Hulodes caranea 1,7 Larva serangga tersebut hanya sekitar 36 hari (Nair 2007).
Margarodes sp. 1,6 Imago
Peningkatan dan penurunan populasi suatu spesies
Choristoneura sp. 1,4 Larva
Adoxophyes sp. 1,4 Larva tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bottom-up
1) Ditampilkan 10 spesies dengan urutan kontribusi paling (ketersediaan sumber daya inang), tetapi juga melibat-
tinggi kan top-down (musuh alami), perilaku serangga,
kondisi iklim, serta interaksi dari berbagai faktor lainnya
pallens (Orthoptera: Acrididae), E. hecabe
(Hamback et al. 2007; Thomas & Reid 2007). Penurun-
(Lepidoptera: Pieridae), Pteroma plagiophleps
an populasi E. blanda pada waktu pengamatan 26 dan
(Lepidoptera: Psychidae), Ferrisia virgata (Hemiptera:
28 MST terjadi akibat banyaknya larva yang mati akibat
Pseudococcidae), Leptocorisa acuta (Hemiptera:
parasitoid. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan
Alydidae), Hulodes caranea (Lepidoptera: Noctuidae),
Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae) dari larva E.
Margarodes sp. (Hemiptera: Margarodidae),
Blanda, dan Brachymeria sp. (Hymenoptera:
Choristoneura sp. (Lepidoptera: Tortricidae), dan
Chalcididae) dari kepompong E. blanda. Populasi larva
Adoxophyes sp. (Lepidoptera: Tortricidae).
E. blanda kembali meningkat pada pengamatan 28 dan
Beberapa hama di atas telah dilaporkan oleh
30 MST. Salah satu faktor yang menyebabkan
Surachman et al. (2014) dan Setyawan et al. (2018)
peningkatan populasi E. blanda adalah musim
seperti E. blanda, E. hecabe, dan P. plagiophleps yang
penghujan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
merupakan serangga hama yang dapat menyebabkan
Irianto et al. (1997) yang melaporkan populasi E.
defoliasi pada sengon, bahkan dapat menyebabkan
blanda akan terus meningkat pada musim penghujan
kematian tanaman, terutama tanaman di bawah umur
dan bahkan bisa terjadi ledakan populasi.
2 tahun. Kutu putih F. virgata dan S. pallens juga
dilaporkan menyerang tanaman sengon (Suharti 2002;
Aprilia 2011). Kutu putih F. virgata banyak dijumpai
pada tanaman di stadia pembibitan, dan kutu ini secara KESIMPULAN
berkelompok akan menghisap cairan tanaman, ter-
utama pada jaringan yang masih muda, seperti daun Serangga fitofag yang diidentifikasi berasosiasi
muda dan titik tumbuh. Belalang S. pallens merupakan dengan persemaian sengon yang berumur 14 sampai
jenis belalang generalis yang banyak dijumpai pada 32 MST sebanyak 67 spesies. Pada sengon dari Jawa
tanaman hortikultura, dan kemunculan belalang ini didapatkan 57 spesies, sedangkan pada sengon dari
meningkat pada saat musim kemarau (Nair 2000; Hawaii didapatkan 54 spesies. Tidak terdapat perbeda-
Tuhumury 2007). Sementara untuk H. caranea, an keanekaragaman dan kelimpahan serangga fitofag
Margarodes sp., Choristoneura sp., serta Adoxophyes pada kedua asal sengon. Serangga fitofag yang
sp. merupakan jenis serangga yang belum dilaporkan menjadi hama paling dominan adalah larva E. blanda
sebagai hama penting sengon. yang mengakibatkan defoliasi. Lebih lanjut lagi,
Berdasarkan hasil pengamatan, larva E. blanda beberapa hama yang memiliki kontribusi besar dalam
adalah hama penting yang paling mendominasi pada 70
tanaman sengon. Larva ini merupakan jenis hama Jawa Hawaii
yang memiliki kelimpahan individu tertinggi dibanding- 60
kan dengan spesies serangga fitofag yang lain. Imago
Kelimpahan individu

E. blanda berwarna kuning dengan karakter 3 titik 50


hitam pada bagian ventral sayap depan. Larva E. 40
blanda menjadi hama yang menjadi ancaman besar
untuk tanaman sengon karena menyerang daun muda 30
dan bahkan daun tua hingga menyisakan tulang daun 20
yang kemudian dapat mengakibatkan tanaman ke-
hilangan daun yang dapat mengganggu pertumbuhan 10
hingga akhirnya dapat mengakibatkan kematian.
Populasi E. blanda tercatat menyerang tanaman 0
14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
sengon sejak 18 MST. Populasi larva E. blanda
cenderung mengalami peningkatan seiring dengan Pengamatan ke- (minggu)
pertambahan umur tanaman sengon (Gambar 3). Hal Gambar 3 Populasi larva Eurema blanda (rata-rata ± SD)
tersebut disebabkan karena imago E. blanda meletak- pada setiap pengamatan
496 JIPI, Vol. 26 (4): 490498

menyusun komposisi spesies dan belum dilaporkan Clarke K. 1993. Non-parametric multivariate analyses
sebagai hama pada sengon adalah H. caranea, of change in community structure. Australian
Margarodes sp., Choristoneura sp., serta Adoxophyes Journal of Ecology. 18: 117143.
sp. Hama-hama tersebut tergolong hama pemakan
daun yang dapat mengakibatkan kerusakan hingga Frenzel M, Brandl R. 2003. Diversity and abundance
defoliasi pada sengon. patterns of phytophagous insect communities on
alien and native host plants in the Brassicaceae.
Ecography. 26: 723730.
UCAPAN TERIMA KASIH Gilligan TM, Passoa SC. 2014. LepIntercept - An
identification resource for intercepted Lepidoptera
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Forest larvae. [internet]. [diunduh pada 2016 Okt 14]
Service – United States Department of Agriculture tersedia pada: htpp://idtools.org/id/leps/lepinterce-
(USDA) atas pendanaan dalam penelitian ini. pt/lucidkey.html.
Penelitian ini merupakan bagian dari program Albizia
Haines WP, Barton KE, Conant P. 2011. Defoliation of
Biological Control. Terima kasih juga disampaikan
the invasive tree Falcataria moluccana on Hawaii
kepada Bapak dan Ibu pendamping di Laboratorium
Island by the native koa looper moth (Geometridae:
Biosistematika Serangga dan rumah kaca. Terima
Scotorythra paludicola), and evaluation of five
kasih kepada Ibu Lia Nurulalia, Bapak Herry Marta
Fabaceous trees as larval host plants. Hawaiian
Saputa, Muhammad Lutfi, dan Fitrah Murgianto dalam
Entomological Society. 45: 129139.
bantuannya selama penelitian baik di lapangan
maupun di laboratorium. Hamback P, Vogt M, Tscharntke T, Thies C, Englund
G. 2007. Top-down and bottom-up effects on the
spatiotemporal dynamics of cereal aphids: testing
DAFTAR PUSTAKA scaling theory for local density. Oikos. 116:
19952006.
Aprilia NT. 2011. Studi pustaka hama sengon
Hughes RF, Johnson MT, Uowolo A. 2013. The
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). [Skripsi].
invasive alien tree Falcataria moluccana. Di dalam:
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dennill G, Donnelly D dan Stewart K, editor.
[BIISC] Big Island Invasive Species Committee. 2015. Prospects for Weed Biological Control in Pacific
Albizia in East Hawaii Roadside Hazards. Hawaii Islands XIII. Institute of Pacific Islands Forestry,
(US): Manoa Bc. Hawaii (US): USDA Forest Service. hlm 218223.
Blossey B, Notzold R. 1995. Evolution of increased Irianto RSB, Matsumoto K, Mulyadi K. 1997. The yellow
competitive ability in invasive nonindigenous plants: butterfly species of the genus Eurema hubner
a hypothesis. Journal of Ecology. 83(5): 887889. causing severe defoliation in the forestry plantations
https://doi.org/10.2307/2261425 of Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, in the
western part of Indonesia. Japan International
Blumenthal D. 2005. Interrelated causes of plant Research Center for Agricultural Science. 4(4):
invasion. Science. 310: 243246.
4149.
Budiawan, Arifin H, Suprayogi K. 2012. Manual
Joshi J, Vrieling K. 2005. The enemy release and EICA
Pelatihan-Pelatihan Teknik Persemaian dan
hypothesis revisited: incorporating the fundamental
Silvikultur Volume 3. Jakarta (ID): Kemenhut RI.
difference between specialist and generalist
Bürki CB, Nentwig W. 1997. Comparison of herbivore herbivores. Ecology Letters. 8(7): 704714. https://
insect communities of Heracleum sphondylium and doi.org/10.1111/j.1461-0248.2005.00769.x
H. mantegazzianum in Switzerland (Spermato-
Kleunen M, Weber E, Fischer M. 2010. A meta-analysis
phyta: Apiaceae). Entomologia Generalis. 22:
of trait differences between invasive and non-
147155. invasive plant species. Ecology Letters. 13(2):
Cappuccino N, Carpenter D. 2005. Invasive exotic 235245. https://doi.org/10.1111/j.1461-0248.200
plants suffer less herbivory than non-invasive exotic 9.01418.x
plants. Biology Letters. 1(4): 435438. https://doi. Kolar CS, Lodge DM. 2001. Progress in invasion
org/10.1098/rsbl.2005.0341 biology: predicting invaders. Trends in Ecology &
Chandler MA, Skinner LC, Riper LCV. 2016. Biological Evolution. 16(4): 199204. https://doi.org/10.1016/
Control of Invasive Plants in Minnesota. [Internet]. S0169-5347(01)02101-2
[diunduh pada 2016 Des 23] tersedia pada:
Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011.
www.dnr.state.mn.us/eco/invasives/index.html
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Ekologi,
Silvikultur dan Produktivitas. Bogor (ID): CIFOR.
JIPI, Vol. 26 (4): 490498 497

Lieurance D. 2012. Mechanisms of success: plant- insect herbivores: from community to genes. Annual
herbivore interactions and the invasion of non- Review of Plant Biology. 65: 689713.
native Lonicera species in North America.
[Disertasi]. Ohio (US): Wright State University. Starr F, Starr K, Loope L. 2003. Falcataria moluccana
(Molucca albizia). Hawaii (US): United States
Liu H, Stiling P, Pemberton RW, Pe, xf, a J. 2006. Geological Survey-Biological Resources Division.
Insect Herbivore Faunal Diversity among Invasive,
Non-Invasive and Native Eugenia Species: Stehr FW. 1987. Immature Insect. Iowa (US): Kendall-
Implications for the Enemy Release Hypothesis. Hunt Publishing.
Florida Entomologist. 89(4): 475484. https://doi.or Stork Ne. 1988. Insect diversity: facts, fiction and
g/10.1653/0015-4040(2006)89[475:IHFDAI]2.0.CO speculation. Biological Journal of the Linnean
;2 Society. 35: 321337.
Murdiyarso D, Wahid P, Adelia R. 1992. Status air Suharti M. 2002. Beberapa hama dan penyakit penting
tanaman sengon (Albizia falcataria (L.) Fosberg) pada sengon (Paraserianthes falcataria) dan teknik
tempat tumbuh. Jurnal Agromet. 8(1): 4153. pengendaliannya. Buletin Penelitian Hasil Hutan.
Nair KSS. 2000. Insect Pests and Diseases in 632: 2746.
Indonesian Forests. Bogor (ID): Central of Surachman IF, Indriyanto, Hariri AM. 2014.
International Forestry Research. Inventarisasi hama persemaian di hutan tanaman
Nair KSS. 2007. Tropical Forest Insect Pests. New rakyat Desa Ngambur Kecamatan Bengkunat
York (US): Cambridge University Press. Belimbing Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Sylva
Lestari. 2(2): 716. https://doi.org/10.23960/jsl227
Nusantara AD. 2002. Tanggap semai sengon 16
[Paraserianthes falcataria (L) Nielsen] terhadap
inokulasi ganda cendawan mikoriza Arbuskular dan Thomas MB, Reid AM. 2007. Are exotic natural
Rhizobium sp. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. enemies an effective way of controlling invasive
4(2): 6270. plants? Trends in Ecology & Evolution. 22(9):
44753.
Richardson DM, Pysek P, Barbour MG, Panetta FD,
Rejmánek M, West CJ. 2000. Naturalization and Tscharntke T, Karp DS, Chaplin-Kramer R, Batary P,
invasion of alien plants: concepts and definition. DeClerck F, Gratton C, Hunt L, Ives A, Jonsson M,
Diversity and Distributions. 6: 93107. Larsen A, Martin EA, Martínez-Salinas A, Meehan
TD, O'Rourke M, Poveda K, Rosenheim JA, Rusch
Rizali A, Tscharntke T, Buchori D, Clough Y. 2017. A, Schellhorn N, Wange TC, Wratten S, Zhang W.
Separating effects of species identity and species 2016. When natural habitat fails to enhance
richness on predation, pathogen dissemination and biological pest control – Five hypotheses. Biological
resistance to invasive species in tropical ant Conservation. 204: 449458. https://doi.org/10.10
communities. Agricultural and Forest Entomology. 16/j.biocon.2016.10.001
20(1): 122130. https://doi.org/10.1111/afe.12236
Tuhumury A. 2007. Inventarisasi jenis hama pada
Setyawan YP, Hidayat P, Puliafico KP. 2018. tanaman sengon (Paraserianthes falcataria
Herbivorous insects associated with albizia Nielson) di lokasi hutan kemasyarakatan Waesamu,
(Falcataria moluccana) saplings in Bogor. IOP Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian
Conference Series: Earth and Environmental Barat. Jurnal Agroforestri Indonesia. 2(1): 1418.
Science. 197(1).
Vila M, Espinar J, Hejda M, Hulme P, Jarosik V, Maron
Siregar UJ, Rachmi A, Massijaya MY, Ishibashi N, J. 2011. Ecological impacts of invasive plants: a
Ando K. 2007. Economic analysis of sengon meta-analysis of their effects on species,
(Paraserianthes falcataria) community forest communities and ecosystems. Ecology Letters.
plantation, a fast growing species in East Java, 14(1): 702708. https://doi.org/10.1111/j.14610248
Indonesia. Forest Policy and Economics. 9(7): .2011.01628.x
822829. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2006.03.0
14 White EM, Sims NM, Clarke AR. 2008. Test of the
enemy release hypothesis: the native magpie moth
Soeparno, Dwiyono A. 2013. Modul pelatihan prefers a native fireweed (Senecio pinnatifolius) to
persemaian. Bandung (ID): Citarum Watershed its introduced congener (S. madagascariensis).
Management and Biodiversity Conservation. Austral Ecology. 33(1): 110116. https://doi.org/10
Speight M, Hunter M, Watt A. 1999. Ecology of insects: .1111/j.1442-9993.2007.01795.x
concepts and applications. Oxford (GB): Blackwell Wikstrom SA, Steinarsdottir MB, Kautsky L, Pavia H.
Scientific. 2006. Increased chemical resistance explains low
Stam JM, Kroes A, Li Y, Gols R, van Loon JJ, Poelman herbivore colonization of introduced seaweed.
EH, Dicke M. 2014. Plant interactions with multiple Oecologia. 148(4): 593601.
498 JIPI, Vol. 26 (4): 490498

Wong BJ. 2012. Effects of an invasive tree species invasive plant Sapium sebiferum. Biological
(Falcataria moluccana) on understory diversity in Invasions. 10(3): 291302.
Mo’orea, French Polynesia. Pacific Science. 34(3):
Zou J, Siemann E, Rogers WE, Dewalt SJ. 2008b.
367379.
Decreased resistance and increased tolerance to
Zou J, Rogers WE, Siemann E. 2008a. Increased native herbivores of the invasive plant Sapium
competitive ability and herbivory tolerance in the sebiferum. Ecography. 31(5): 663671.

Anda mungkin juga menyukai