Anda di halaman 1dari 8

64

POTENSI JAMUR FUSARIUM SP. SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI GULMA ECENG
GONDOK (Eichhornia crassipes)

(POTENCY OF FUSARIUM SP AS A BIOLOGICAL CONTROL AGENT OF WATER HYACINTH


(Eichhornia crassipes)

Mohamad Taufik Fauzi1, Murdan1, Irwan Muthahanas1


1
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram
E-mail: taufikfz@telkom.net

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk menguji potensi jamur Fusarium sp. sebagai agen pengendali
hayati gulme eceng gondok telah dilakukan di rumah plastik Fakultas Pertanian Universitas Mataram,
Percobaan faktorial dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAK) yang terdiri dari dua faktor yaitu
lama kebasahan dan waktu aplikasi. Perlakuan lama kebasahan terdiri dari 0, 3, 6, 9, atau 12 jam dan aplikasi
dilaksanakan pada pagi atau sore hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh
Fusarium sp. pada eceng gondok lebih parah dan berkembang lebih cepat ketika eceng gondok dipaparkan
pada suhu yang lebih tinggi segera setelah inokulasi, dan tidak tergantung pada lama kebasahan ketika
diaplikasikan pada pagi hari. Jamur ini tidak dapat menginfeksi beberapa tanaman budidayam sehingga aman
digunakan sebagai agen pengendali hayati gulma eceng gondok.

Kata kunci: Fusarium sp., agen pengendali hayati, Eichhornia crassipes

ABSTRACT

A research aimed at investigating the potency of a fungal species (Fusarium sp.) as a biological
control agent of water hyacinth had been conducted in a glasshouse of Faculty of Agriculture the University
of Mataram. These factorial experiments were designed according Randomized Completely Design (CRD)
and consisted of wetness duration and time of application. Wetness duration treatments consisted of 0, 3, 6,
9, or 12 hours applied either in the morning or in the afternoon. The results showed that the disease
produced by Fusarium sp. on water hyacinth was severer and progressed faster when exposed to higher
temperature soon after inoculation, and was not depended on wetness duration when applied in the morning.
This fungus could not infect several crop plants; thereby it is safe to be applied as a biological control agent
of water hyacinth.

Key words: Fusarium sp., biological control agent, Eichhornia crassipes

PENDAHULUAN karbon dioksida yang mengakibatkan efek negative


pada komunitas dari vertebrata air, invertebrate dan
Eceng gondok (Eichhornia crassipes tanaman. Gulma ini juga merupakan habitat yang
(Martius) Solms-Laubach) merupakan gulma sesuai bagi vector penyakit seperti malaria, kolera,
tahunan, yang berasal dari Amazonia dan tidak Sistosomiasis dan Filariasis. Tumbuhan ini juga
tersebar luas di Indonesia, tetapi menjadi gulma dilaporkan sebagai inang alternatif beberapa
yang sangat penting jika telah muncul atau penyakit tanaman.
menyebar (Waterhouse, 1994). Gulma ini bersifat Pengendalian eceng gondok telah berhasil
persisten dan populasinya akan berkembang dengan dilakukan dengan menggunakan diquat, amine dan
sangat cepat pada habitat air tawar (Rao, 2000). 2,4-D (Wright dan Purcell, 1995), namun dampak
Wright dan Purcell (1995) melaporkan dari negatif dari penggunaan herbisida ini adalah resiko
berbagai hasil penelitian bahwa eceng gondok deoksigenasi dan resiko pada organisme bukan
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan sasaran. Tambahan lagi, pengendalian gulma ini
rapat sehingga dapat merubah lingkungan mikro di dengan herbisida akan mengurangi kualitas air,
bawah permukaan air. Padatnya populasi ini akan terutama jika diaplikasaikan di sumber-sumber air
dapat menyebabkan penurunan pH, pengurangan darat. Pengendalian secara mekanik hanya dapat
masuknya sinar matahari, pengurangan tingkat berhasil dengan baik pada areal yang sempit,
kelarutan oksigen serta peningkatan kandungan sedangkan pada areal yang luas sering tidak efisien

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


65

karena membutuhkan tenaga dalam jumlah yang di tempat gulma tersebut menjadi masalah, tetapi
besar. Oleh karena itu, pengendalian dengan tidak dapat formulasikan karena patogen yang
kombinasi berbagai perlakuan seperti penggunaan digunakan bersifat obligat parasit; dan
herbisida dalam dosis rendah, pengendalian secara penerapannya dilakukan dengan melepaskan spora
fisik, dan pengendalian hayati (biokontrol) perlu dalam jumlah yang banyak dan pada saat yang
diterapkan. konduksif bagi perkembangan jamur tersebut
Biokontrol gulma, terutama dengan (Charudattan, 1985; Phatak, et al, 1983).
menggunakan jamur-jamur patogen tumbuhan, Jamur patogenik merupakan kandidat bahan
akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari biokontrol yang mempunyai prospek yang baik
peneliti-peneliti di negara-negara maju, karena untuk mengendalikan gulma, karena mampu
selain cukup mempan sebagaimana pengendalian menyebabkan kerusakan yang berat pada gulma
secara kimia juga mempunyai efek samping negatif (Evans, 1995). Penggunaan jamur patogenik untuk
yang sangat kecil terhadap lingkungan. mengendalikan gulma eceng gondok masih banyak
Pengendalian gulma secara hayati akan menjadi yang dalam tahap penelitian dan pengembangan di
tambah penting bagi gulma eceng gondok karena beberapa negara. Beberapa jamur patogenik yang
sulitnya dikendalikan secara mekanik ataupun berpotensi untuk diterapkan sebagai agen
kimia. Pengendalian gulma secara hayati pengendali hayati eceng gondok meliputi Uredo
(biokontrol gulma) adalah penggunaan musuh- eichorniae yang cocok diterapkan dengan
musuh alami (organisme hidup) selain manusia pendekatan kelasik, Acremonium zonatum,
untuk mengurangi populasi dari gulma (Watson, Alternaria eichorniae, Cercospora piaropi,
1991). Myrothecium roridum, dan Rhizoctonia solani yang
Penggunaan patogen dibanding dengan dapat diterapkan dengan pendekatan bioherbisida.
serangga, untuk pengendalian gulma termasuk Jamur-jamur patogenik tersebut terbukti sangat
relatif baru, dimana perhatian serius untuk virulen dan mampu mengendalikan eceng gondok
memanfaatkan patogen ini baru dilakukan pada 2-3 Selain itu, jamur-jamur patogen lain seperti
dekade terakhir ini (Templeton dan Trujjilo, 1991). Bipolaris sp., Drechslera sp, dan Fusarium sp.
Di antara patogen tumbuhan untuk pengendalian merupakan jamur-jamur yang menjanjikan untuk
gulma, jamur adalah organisme yang paling banyak diterapkan sebagai bioherbisida untuk
dipelajari dan digunakan, karena jamur: 1) paling mengendalikan eceng gondok, namun perlu study
umum ditemukan pada tumbuhan, 2) mempunyai lebih lanjut untuk mengkonfirmasikan kegunaannya
sifat merusak, 3) dapat diproduksi dalam jumlah (Charudattan, 2001).
banyak, dan 4) dapat diformulasikan (Smith, 1982), Beberapa jamur patogenik secara alami
serta 5) dapat mempenetrasi tumbuhan secara ditemukan menyerang gulma eceng gondok di
langsung (Charudattan, 1985). Penggunaan jamur Bendungan Batujai di Lombok Tengah, dan dapat
patogen tumbuhan mendapat perhatian yang cukup menimbulkan kerusakan pada eceng gondok
luas karena cukup mempan sebagaimana herbisida (Obsevasi Personal). Jamur-jamur tersebut meliputi
dan juga layak secara kormersil, sebagaimana Fusarium sp., Curvularia sp., Drechslera sp. dan
ditunjukkan oleh beberapa produk yang telah Cercospora sp. (Wayanti, 2003). Oleh karena itu,
beredar di pasaran seperti Collego, DeVine, dan Lu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi
Boa (Templeton, 1992), dan BIOMAL (Auld, jamur Fusarium sp. sebagai agen pengendali hayati
1997). gulma eceng gondok yang sangat sulit dikendalikan
Pengembangan dan penerapan bahan baik secara kimia maupun mekanik.
biokontrol gulma dapat melalui tiga pendekatan,
yaitu : 1) pendekatan kelasik, dimana patogen yang METODE PENELITIAN
digunakan adalah patogen yang diimpor dari
Penelitian ini merupakan experimental
willayah dari mana gulma yang akan dikendalikan
murni yang dilaksanakan di Rumah Plastik dan
berasal (Watson, 1991). Pada pendekatan ini,
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian
patogen dibiarkan tumbuh dan berkembang
Universitas Mataram pada bulan September sampai
berdasarkan kemampuan dirinya sendiri setelah
dengan Desember 2009.
diaplikasikan (Fauzi, 1998); 2) Pendekatan
bioherbisida, dimana patogen yang digunakan
diperoleh di tempat gulma tersebut menjadi masalah Percobaan 1. Patogenisitas Jamur Fusarium sp.
dan diformulasikan ke bentuk sebagaimana
Isolasi Jamur – Gulma yang sakit diperoleh dari
herbisida dan diterapkan juga sebagaimana
Bendungan Batujai di Kecamatan Praya, Kabupaten
penggunaan herbisida (Templeton et al., 1979); dan
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dimana
3) pendekatan augmentasi, dimana patogen yang
populasi eceng gondok yang cukup tinggi selalu
digunakan juga merupakan patogen yang diperoleh
Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.
66

tersedia sepanjang tahun. Jamur diisolasi dari pertumbuhan dan perkembangan eceng gondok.
bagian daun terinfeksi dengan cara memotong daun Intensitas penyakit ditentukan berdasarkan luas
dengan ukuran kurang lebih 1 cm2. Potongan dipilih daun yang terinfeksi yang diamati selama 30 hari
dari bagian antara yang sakit dan sehat, kemudian dengan selang pengamatan selama 5 hari.
disterilkan permukaannya dengan direndam di Perkembangan penyakit dianalisa berdasarkan luas
dalam larutan sublimate 0,1 N selama satu menit area yang terbentuk dari grafik pengamatan
kemudian dibilas dengan air steril. Setelah intensitas penyakit dengan interval waktu tertentu
dikeringkan di atas kertas saring steril secara (dengan menghitung 'area under the disease
aseptis, potongan daun diletakkan pada permukaan progress curve = AUDPC), dengan menggunakan
medium Potato Dextrose Agar (PDA) di dalam rumus:
cawan Petri secara aseptis. Jamur Fusarium sp. , dimana n
dipisahkan dari jamur-jamur yang tumbuh pada
medium, dan selanjutnya ditumbuhkan pada media merupakan banyaknya kali pengamatan, t
agar miring (agar slant) sebagai stock culture untuk merupakan waktu pada saat pengamatan dilakukan
keseluruhan penelitian ini. dan Y merupakan intensitas penyakit pada setiap t
(Cambell and Madden, 1990). Pertumbuhan eceng
Penyiapan tanaman, spora dan inokulasi – gondok yang diamati adalah jumlah individu baru
Tanaman yang diinokulasi adalah eceng gondok eceng gondok yang terbentuk. Hasil variabel yang
yang sehat. Gulma ditumbuhkan di dalam ember- diamati dianalisi dengan mengunakan Analisis
ember yang berisi air dan ditambahkan dengan Sidik Ragam (Steel and Torrie, 1981), dan jika
tanah sebanyak 100 gr yang kira-kira setinggi 20 cm terdapat adanya perbedaan variasi di antara
dari dasar ember. Spora diperbanyak dengan perlakuan atau kombinasi perlakuan maka
Seedling Culture Methods, dimana jamur dilanjutkan dengan uji BNJ pada taraf 5 persen.
ditumbuhkan dalam kultur biakan (PDA), yang
selanjutnya dilakukan penguasan miselium untuk Percobaan 2. Uji Lingkup Tanaman Inang
merangsang terbentuknya spora. Selanjutnya
ditambahkan dengan 10 ml aquadest steril. Untuk Persiapan spora, tanaaman, dan inokulasi.--
merangsang sporulasi, media tersebut diinkubasi Spora disiapkan sebagaimana percobaan terdahulu.
selama 24 jam (12 jam terang dan 12 jam gelap). Tanaman-tanaman penting yang diuji meliputi
Sebelum inokulasi, dilakukan persiapan suspensi tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan
spora. Spora yang telah diperbanyak, dicampur kacang hijau. Tanaman tersebut ditanam pada pot-
dengan air suling steril untuk memperoleh pot berdiameter 20 cm. Tanaman pada umur 1 bulan
konsentrasi spora sesuai dengan perlakuan diinokulasi dengan jamur Fusarium sp. dengan
percobaan, yang selanjutnya ditambahkan dengan 2 kepadatan spora 35 x 105 spora/ml.
tetes perekat dan perata Primakol®.
Perlakuan percobaan -- Segera setelah inokulasi,
Perlakuan percobaan -- Segera setelah inokulasi, tanaman ditutup dengan plastik lembab
ember yang berisi tanaman disungkup/ditutup sebagaimana pada percobaan terdahulu selama 24
dengan plastik hitam yang sebelumnya telah jam dan diinkubasikan di suhu kamar. Setelah itu
dibasahi bagian dalamnya dengan air yang pot-pot diatur di bangku-bangku di rumah kaca.
disemprotkan denagan 'hand sprayer' untuk Percobaan dirancang dengan RAL dengan empat
memberikan lingkungan yang berkelembaban ulangan. Reaksi dari tanaman-tanaman tersebut
tinggi. Inokulasi dilakukan pada pagi hari dan sore setelah diinokulasi diamati dan intensitas penyakit
hari untuk mengekspos gulma yang telah yang terjadi pada tanaman budidaya tersebut
diinokulasi pada suhu panas (inokulasi pagi hari) diestimasi. Reaksi tanaman diberikan skore mulai
dan suhu dingin (inokulasi sore hari) dan plastik dari 0 (immune/kebal) sampai 4 (sangat peka,
dibuka setelah 0, 3, 6, 9, atau 12 jam (untuk dengan intensitas penyakit lebih besar dari 50%).
memberikan kelembaban tinggi dengan periode Observasi ditunjukkan pada munculnya gejala,
waktu yang berbeda). Setelah itu ember-ember intensitas penyakit, pembentukan miselia, dan spora
diatur di bangku di rumah kaca. pada jaringan tanaman. Pengamatan pembentukan
Percobaan faktorial dengan faktor suhu dan miselia dan spora pada jaringan tanaman dilakukan
lama penyungkupan (lama kelambaban tinggi atau dengan menggunakan teknik pengecatan menurut
kebasahan daun) ini dirancang dengan RAL dengan Fernando et al. (1993). Hasil observasi dianalisis
empat ulangan. Parameter yang diamati meliputi secara kuantitatif dan kualitatif untuk menunjukkan
saat timbulnya gejala, intensitas penyakit dan bahwa jamur Fusarium sp. berpotensi untuk
menginfeksi tanaman pertanian yang diuji.

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


67

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu mempengaruhi perkembangan


penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp.
Jamur Fusarium sp. yang dikoleksi dari pada gulma eceng gondok, dimana terdapat
gulma eceng gondok di Bendungan Batujai, kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu maka
Lombok bersifat patogenik pada gulma tersebut perkembangan penyakit akan semakin cepat. Hal ini
(Gambar 1). dapat dilihat pada nilai AUDPC dari penyakit yang
Suhu dan lama kebasahan daun terjadi pada gulma eceng gondok yang
mempengaruhi tingkat intensitas penyakit yang diinokulasikan pada pagi hari (suhu tinggi)
disebabkan oleh jamur Fusarium sp. pada gulma cenderung lebih tinggi dari pada nilai AUDPC dari
eceng gondok. Suhu yang ditunjukkan dengan penyakit yang terjadi pada gulma eceng gondok
perlakuan inokulasi pada waktu yang berbeda (pagi yang diinokulasikan pada sore hari (suhu rendah)
dan sore) menunjukkan pada suhu bagaimana (Gambar 2). Hal ini berbeda dengan yang
tanaman terekspose (terpapar) segera setelah dilaporkan pada gulma parthenium di Australia
inokulasi. Inokulasi pagi hari, akan menyebabkan (Fauzi et al., 1999), maupun pada gulma teki
tanaman terpapar pada suhu panas (tinggi) siang (Fauzi, 2009) yang terinfeksi oleh jamur karat
segera setelah inokulasi, sedangkan inokulasi sore cenderung lebih cepat berkembangnya pada suhu
hari akan menyebabkan tanaman terpapar pada suhu rendah dibandingkan dengan suhu tinggi.
malam yang dingin (rendah) segera setelah
inokulasi.

A B C

Gambar 1. Koloni (A), makrokonidia (B) jamur Fusarium sp. dan gejala yang ditimbulkan pada gulma
eceng gondok (C).

Gambar 2. Perkembangan penyakit yang ditunjukkan dengan nilai AUDPC jamur Fusarium sp. pada gulma
eceng gondok pada lama kebasahan daun dan suhu yang berbeda

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


68

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada suhu tinggi jamur ini dapat berkembang
perkembangan penyakit dipengaruhi oleh suhu dengan baik.
segera setelah inokulasi, dimana gulma yang Sebagaimana dilaporkan oleh Fauzi et al.,
terpapar pada suhu rendah cenderung penyakitnya (1999), Fauzi (2009) dan Murdan dan Fauzi (2007)
berkembang lebih lambat dibandingkan dengan bahwa perkembangan penyakit yang terjadi pada
penyakit pada gulma yang terpapar pada suhu gulma yang disebabkan oleh jamur karat sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Fusarium dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban tinggi (lama
sp. lebih sesuai untuk tumbuh dan berkembang pada kebasahan daun), dimana jamur karat akan
suhu tinggi dibandingkan dengan suhu rendah. berkembang dengan pesat pada suhu rendah dan
Beberapa penelitian tentang kebutuhan suhu jamur pada kebasahan daun yang lebih lama (12 jam).
Fusarium sp. menunjukkan hasil yang sama dengan Pada percobaan dengan jamur Fusarium sp. yang
penelitian yang dilaporkan ini. Misalnya, suhu dilaporkan pada penelitian ini menunjukkan juga
rendah akan menyebabkan tanaman chickpea bahwa perkembangan penyakit dipengaruhi oleh
cultivar Ayala menjadi lebih tahan terhadap suhu dan kebasahan daun. Pada suhu rendah,
serangan jamur Fusarium oxysporum f.sp. ciceris, terlihat peranan lama kebasahan daun sangat
sedangkan pada suhu tinggi akan menyebabkan menentukan perkembangan penyakit, dimana
cultivar tanaman tersebut menjadi sangat peka semakin lama kebasahan daun maka intensitas
terhadap jamur ini (Landa et al., 2006). Hal yang penyakit akan semakin tinggi (Gambar 2). Tetapi,
sama juga dilaporkan oleh Scott et al., (2010), pada suhu tinggi, peranan lama kebasahan daun
bahwa untuk menghindari kerusakan tanaman tidak begitu menentukan, dimana semua perlakuan
lettuce akibat Fusarium oxysporum f.sp. lactuce lama kebasahan daun tidak berpengaruh secara
maka pada saat suhu yang lebih tinggi agar nyata terhadap perkembangan penyakit, meskipun
menghindari penggunaan cultivar yang peka, karena ada kecenderungan kebasahan daun yang lebih lama
akan memacu perkembangan penyakit (Tabel 1)

Tabel 1. Perkembangan penyakit Fusarium sp. pada eceng gondok yang ditunjukkan dengan luas Area di
Bawah Curve Perkembangan Penyakit (AUDPC)

Lama kebasahan AUDPC pada tanaman yang diinokulasi pada


(jam) Pagi (suhu tinggi) Sore (suhu rendah)
0 645,5 254,8
3 602,5 282,1
6 646,5 294,9
9 835,9 507,8
12 737,3 667,0
LSD0.05 167.9

Gambar 3. Masa inkubasi penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. pada gulma eceng gondok
yang diinokulasikan pada suhu rendah dan suhu tinggi, pada berbagai lama kebasahan daun.

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


69

Suhu dan lama kebasahan daun tidak dipapar pada suhu rendah segera setelah inokulasi
berpengaruh secara nyata terhadap masa inkubasi jamur Fusarium sp. (Tabel 2). Hal ini kemungkinan
dari jamur Fusarium sp. pada gulma eceng gondok. disebabkan oleh tingginya intensitas dan
Hal ini menunjukkan bahwa baik pada suhu rendah perkembangan penyakit yang terjadi pada eceng
maupun suhu tinggi, pada kebasahan daun yang gondok yang terpapar pada suhu tinggi segera
singkat maupun kebasahan daun yang lama, jamur setelah aplikasi jamur Fusarium sp. Tingginya
Fusarium sp. mempunyai virulensi yang cukup penyakit ini bahkan ditunjukkan dengan matinya
tinggi terhadap gulma eceng gondok (Gambar 3). gulma yang diinokulasi jamur Fusarium sp.,
Tingginya virulensi jamur Fusarium sp. ini sehingga jumlah anakan yang terbentuk dan tersisa
menunjukkan bahwa jamur ini mempunyai potensi menjadi lebih sedikit.
yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai agen Jamur patogenik Fusarium sp. yang
pengendali hayati gulma eceng gondok. dikoleksi dari jaringan eceng gondok yang sakit
Ketidaktergantungan jamur ini pada diuji reaksinya terhadap beberapa tanaman
kebasahan daun yang lama juga menunjukkan budidaya yang biasa diusahakan pada areal di
potensinya yang sangat baik sebagai agen sekitar dimana eceng gondong menjadi masalah
pengendali hayati, karena jamur ini mampu yang serius. Tanaman bididaya tersebut meliputi:
mengatasi penghambat utama dalam pengembangan padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang
jamur sebagai agen pengendali hayati gulma yaitu hijau.
kebasahan yang cukup lama (Auld and Morin, Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur
1995). Fusarium sp. ini tidak mampu menimbulkan gejala
Jumlah anakan yang terbentuk tidak pada semua tanaman budidaya yang diuji (Tabel 3).
dipengaruhi oleh lama kebasahan setelah inokulasi Dari Tabel 3 terlihat bahwa indeks
baik yang diinokulasi pada suhu rendah maupun keparahan penyakit yang terjadi pada tanaman
suhu tinggi. Tetapi ada kecenderungan bahwa eceng budidaya yang diinokulasikan dengan Fusarium sp.
gondok yang dipapar pada suhu tinggi segera adalah 0 (tidak terjadi gejala), sementara pada
setelah inokulasi menunjukkan jumlah anakan yang gulma eceng gondok, indeks keparahan penyakit
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anakan adalah 4 (keparahan penyakit >50%).
yang dihasilkan oleh gulma eceng gondok yang

Tabel 2. Jumlah anakan eceng gondok yang diinokulasi jamur Fusarium sp. pada suhu dan lama kebasahan
yang berbeda

Jumlah anakan eceng gondok yang diinokulasi pada


Lama kebasahan (jam)
Sore Pagi
0 15,75 10,50
3 22,25 9,50
6 20,25 10,50
9 21,50 10,75
12 18,25 10,25
LSD 0,05 NS NS

Tabel 3. Respon tanaman budidaya terhadap serangan jamur Fusarium sp.

Tanaman Indeks keparahan penyakit Keterangan


Padi 0 Tidak ada gejala
Jagung 0 Tidak ada gejala
Kedelai 0 Tidak ada gejala
Kacang tanah 0 Tidak ada gejala
Kacang hijau 0 Tidak ada gejala
Eceng gondok 4 Intensitas > 50%

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


70

Untuk melihat apakah jamur Fusarium sp. Charudattan, R. 1985. The use of natural and
yang diuji mampu mempenetrasi dan genetically altered strains of pathogens for
mengkolonisasi jaringan daun tanaman budidaya, weed control. In M.A. Hoy and D.C. Herzogs
maka daun yang telah diinokulasi dengan Fusarium (Eds.): Biological Control in Agricultural
sp. dicat menurut cara Fernando et al., (1994). Hasil IPM Systems. Academic Press, Inc. Orlando,
pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa pada Florida.
jaringan daun tanaman budidaya, tidak ditemukan Charudattan, R., 2001. Biological Control of Water
adanya hifa maupun spora. Sehingga dapat Hyacinth by using Pathogens: Opportunities,
dikatakan bahwa jamur ini mempunyai inang yang Challenges, and Recent Developments. In
sangat spesifik, yaitu hanya menginfeksi gulma Julien, M.H., M.P. Hill, T,D. Center and
eceng gondok. Hal ini mengindikasikan bahwa Ding Jianqing (Eds.): Biological and
jamur Fusarium sp. ini aman digunakan sebagai Integrated Control of Water Hyacinth,
agen pengendali hayati gulma eceng gondok, Eichhornia crassipes. Proceedings of the
sehingga jamur ini sangat berpotensi dikembangkan Second Meeting of the Global Working
sebagai agen pengendali hayati gulma tersebut. Group for the Biological and Integrated
Control of Water Hyacinth. Beijing, China, 9-
KESIMPULAN 12 Oktober 2000. ACIAR Proceedings No.
102. Canberra
1. Jamur Fusarium sp. lebih mampu Evans, H.C., 1995. Pathogen-weed relationship: the
menimbulkan penyakit pada suhu tinggi dan practice and problems of host range
tidak begitu tergantung pada lama kebasahan screening. In E.S. Delfosse and R.R. Scott
daun ketika diinokulasikan pada pagi hari. (Eds.): Proceeding of the Eight Intrnational
2. Jamur Fusarium sp. tidak dapat menginfeksi Symposium on Biological Control of Weeds.
tanaman budidaya seperti padi, jagung, DSIR/CSIRO, Melbourne.
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau Fauzi, M.T., 1998. Biological Control of
sehingga aman digunakan sebagai agen Parthenium Weed by Puccinia abrupta var.
pengendali hayati gulma eceng gondok. partheniicola. Ph.D. Thesis, The University
of Queensland, Brisbane.
UCAPAN TERIMA KASIH Fauzi, M.T., 2009. Patogenisitas jamur karat
(Puccinia philippinensis Syd.) pada Gulma
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih Teki (Cyperus rotundus L.). J HPT Tropika
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 9: 141-148
Departemen Pendidikan Nasional atas hibah yang Fauzi, M.T., A.J. Tomley, P.J. Dart, H.J. Ogle, and
diberikan untuk melaksanakan penelitian ‘Hibah S.W. Adkins, 1999. The rust Puccinia
Penelitian Strategi Nasional’ ini melalui Dana DIPA abrupta var. partheniicola, a potential
Universitas Mataram Tahun Anggaran 2009, biocontrol agent of parthenium weed:
Nomor: 0234.0/023-04.2/XXI/2009 Tanggal 31 Environmental requirements for disease
Desember 2008. progress. Biological Control, 14: 141-145
Fernando, W.G.D., A.K. Watson, and T.C. Paulitz,
DAFTAR PUSTAKA 1994. A simple technique to observe conidial
germination on leaf surfaces. The
Auld, B.A., 1997. Bioherbicide. In Julien, M. and Mycologist, 7: 188-189
W. Graham (Eds.): Biological Control of Landa, B.B., J.A Vavas-Cortés, M. del Mar
Weeds: theory and practical application. Jimenez-Gasco, I. Katan, B. Retig, and R.M.
ACIAR Monograph No. 49. Canberra, Jimenez-Diaz, 2006. Temperature response
Australia. of chickpea cultivars to races of Fusarium
Auld, B.A. and L. Morin, 1995. Constraints in oxysporum f.sp. ciceris, causal agent of
development of bioherbicides. Weed fusarium wilt. Plant Disease 90: 365-374.
Technology, 9: 638-652 Murdan dan Fauzi, M.T., 2007. Pengaruh suhu dan
Campbell, C.L. and L.V. Madden, 1990. kelembaban terhadap infektivitas dan
Introduction to Plant Disease Epidemiology. perkembangan penyakit yang disebabkan oleh
John Wiley & Sons, New York. jamur karat Puccinia sp., jamur potensial
pengendali hayati gulma teki (Cypeurus
rotundus L.). Oryza 6: 243-252

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.


71

Rao, V.S., 2000. Principles of Weed Science, 2nd Templeton, G.E., D.O. TeBeest and R.J. Smith,
Edition. Science Publisher Inc., New 1979. Biological weed control with
Hamphshire. mycoherbicides. Annual Review of
Phatak, S.C., D.R. Sumner, H.D. Wells, D.K. Bells, Phytopathology, 17: 301-310.
and N.C. Glaze, 1983. Biological control of Templeton, G.E. and E.E. Trujilo, 1991. The use of
yellow nutsedge with the indigenous rust plant pathogens in the biological control of
fungus Puccinia canaliculata. Science, 219: weeds. In D. Pimentel (Ed.): Handbook of
1446-1447 Pest Management in Agriculture Vol. II, 2nd
Scott, J.C., T.R. Gordon, D.V. Shaw, and S.T. Edition, CRC Press, Boca Raton, Florida.
Koike, 2010. Effect of temperature on Watson, A.K., 1991. The classical approach with
severity of Fusarium wilt of lettuce caused by plant pathogens. In D.O. TeBeest (Ed.):
Fusarium oxysforum f.sp. lactucae. Plant Microbial Control of Weeds. Routledge,
Disease 94: 13-17. Chapman & Hall, Inc., New York.
Smith, R.J., 1982. Integration of microbial Waterhouse, D.F., 1994. Biological Control of
herbicides with existing pest management Weeds, Southeast Asian Prospects. Brown
programs. In R. Charudattan and H.L. Walker Prior Anderson Pty. Ltd., Canberra.
(Eds.): Biological Control of Weeds with Wayanti, H.S., 2003. Inventarisasi Jamur-jamur
Plant Pathogens. John Wiley & Sons, New Parasitik pada Gulma Eceng Gondok
York. (Eichhornia crassipes (Martius) Solms-
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1981. Principles and Laubach). (Skripsi) Fakultas Pertanian
Procedures of Statistics: a Biometrical Universitas Mataram
Approach, 2nd edition. McGraw-Hill, Inc. Wright, A.D. and M.F. Purcell, 1995. Eichhornia
Sydney. crassipes (Mart) Solms-Laubach. In Groves,
Templeton, G.E., 1992. Potential for developing R.H., R.C.H. Sheperd and R.G. Richardson
and marketing mycoherbicide. In R.G. (Eds.): The Biology of Australian Weeds
Richardson (ed.): Proceedings of the First Volume 1. R.G. and F.J. Richardson,
International Weed Congress. Weed Science Melbourne.
Society of Victoria, Melbourne, Australia.

Mohamad Taufik Fauzi et all: Potensi Jamur fusarium sp.

Anda mungkin juga menyukai