GANGGUAN PENDENGARAN
Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS
1
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Gangguan Pendengaran
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 11 November – 16
Desember 2019.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gangguan Pendengaran” sebagai
salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Abla Ghanie,
Sp.T.H.T.K.L(K), FICS selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan bimbingan
dan nasihat dalam penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini
menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga referat ini bisa membawa manfaat bagi
semua orang dan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh
masyarakat. Gangguan pendengaran dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dalam
berbagai aspek. Pada orang dewasa, dampak dari adanya gangguan pendengaran dapat
dikaitkan dengan penurunan kognitif, depresi dan penurunan fungsi sosial, terutama bila
perubahan pendengaran terjadi tanpa disadari oleh individu tersebut.1
Menurut data WHO, pada tahun 2012, sekitar 360 juta (5,3%) penduduk dunia
mengalami gangguan cacat pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah orang dewasa
(183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak.2 Berdasarkan
data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi gangguan pendengaran atau
tuli meningkat seiring dengan adanya pertambahan usia. Prevalensi tuli pada umur 25-34
tahun yaitu 1% dan melonjak ketika umur 55-64 tahun (5,7%), 65-74 tahun (17,1%) serta
umur lebih dari 75 tahun (36,6%).2 Terdapat 9 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi
tuli pada umur lebih dari 5 tahun melebih prevalensi nasional (2,6%) pada 2013, antara lain
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.2
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, kompetensi seorang
dokter umum adalah dapat mendiagnosis gangguan pendengaran dan menentukan rujukan
yang paling tepat ke layanan kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, referat ini dibuat
agar seorang dokter umum dapat mengetahui dasar dalam mendiagnosis dan mengetahui
tatalaksana awal untuk gangguan pendengaran sebagai bahan untuk memberikan informasi
dan edukasi kepada keluarga pasien.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf ”S”, dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam
rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm. Pada sepertiga bagian luar
kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.3
6
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga
sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen
stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang
telinga, dan berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis.4
b. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah rongga berisi udara di dalam tulang temporalis yang terbuka
melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama
mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi
gendang telinga seimbang.5
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani, batas
depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus jugularis), batas
belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis. Batas atas yaitu tegmen
timpani (meningens/otak), dan batas dalam berturut-turut dari atas kebawah yaitu kanalis
semisirkularis horizontal, kanalis facialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window) dan promontorium.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke
dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga saling
berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang
7
disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan
telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan dengan daerah nasofaring.4
c. Telinga Dalam
Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan, terletak
pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan labirin bagian
membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea.
Labirin bagian membran terletak didalam labirin bagian tulang, dan terdiri dari kanalis
semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta koklea.
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut.
Yang menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia,
dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis
yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan
membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.6
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang
tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus.
Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan
mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa.
Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang
selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut
reseptor.
8
Gambar 2.5 Anatomi Telinga Dalam
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis
dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri
vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina
spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe.
Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh
membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung
perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana
basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah
ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dkenal sebagai helikotrema.
Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada
rendah).
Organ of corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran membrana basiler. Organ of corti terletak pada permukaan serat basilar dan
membrana basilar. Terdapat dua tipe sel rambut yang merupakan reseptor sensorik yang
sebenarnya dalam organ corti yaitu baris tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3.500
dan dengan diameter berukuran sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut
eksterna, berjumlah 12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan
samping sel rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95
persen, ujung-ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam yang memperkuat peran
khusus sel ini untuk mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini mengarah ke
ganglion spiralis corti yang terletak didalam modiolus (pusat) koklea.
9
2.2 Fisiologi Pendengaran
Gelombang suara yang memasuki telinga melalui kanalis auditorius eksterna
menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran
(maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh "oval
window" dan diteruskan ke rongga koklea serta dikeluarkan lagi melalui "round window".
Rongga koklea terbagi oleh dua sera menjadi tiga ruangan, yaitu skala vestibuli, skala
tympani dan skala perilimfe dan endolimfe. Antara skala tympani dan skala medial terdapat
membran basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen dan efferen nervus cochlearis. Getaran
suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian
basal dan nada rendah diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka
akan menggerakkan sel-sel rambut sensitif di dalam organ corti. 10
Organ corti kemudian merubah getaran mekanis di dalam telinga dalam menjadi
impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantar melalui akson atau cabang saraf sel-sel ganglion
pada ganglion spiralis telinga dalam. Akson dari ganglion spiralis menyatu, membentuk
nervus auditorius atau koklearis yang membawa impuls dari sel-sel di dalam organ corti
telinga dalam ke otak untuk diinterpretasi.10
Gambar 2.6 Pola getaran membran basiler untuk frekuensi suara yang berbeda
Terdapat perbedaan pola tranmisi untuk gelombang suara dengan frekuensi suara yang
berbeda. Setiap gelombang relatif lemah pada permulaan tetapi menjadi kuat ketika mencapai
bagian membran basilar yang mempunyai keseimbangan resonansi frekuensi alami terhadap
masing-masing frekuensi suara. Pada titik ini, membran basilar dapat bergetar ke belakang
dan ke depan dengan mudahnya sehingga energi dalam gelombang dihamburkan. Akibatnya,
gelombang berhenti pada titik ini dan gagal berjalan sepanjang membran basilar yang tersisa.
Jadi gelombang suara frekuensi tinggi hanya berjalan singkat sepanjang membran basilar
10
sebelum gelombang mencapai titik resonansinya dan menghilang. Gelombang suara
frekuensi sedang berjalan sekitar setengah perjalanan dan kemudian menghilang. Dan
akhirnya, gelombang suara frekuensi sangat rendah menjalani seluruh jarak sepanjang
membran basiler.
a. Jalur Pendengaran
Gambar 2.7 menggambarkan jaras pendengaran utama. Jaras ini menunjukkan bahwa
serabut dari ganglion spiralis corti memasuki nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang
terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini, semua sinaps serabut dan neuron berjalan
terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior.
Beberapa serat juga berjalan secara ipsilateral ke nukleus olivarius superior, jaras
pendengaran kemudian berjalan ke atas melalui lemniskus lateralis. Beberapa serat berakhir
di nukleus leminiskus lateralis. Banyak yang memintas nukleus ini dan berjalan ke kolikulus
inferior, tempat semua atau hampir semua serat ini berakhir. Dari sini, jaras berjalan ke
nukleus medial thalamus, tempat semua serabut bersinaps. Dan akhirnya, jaras berlanjut
melalui radiasio auditorius ke korteks auditorius yang terutama terletak pada girus superior
lobus temporalis.9
11
pendengaran (tuli parsial) secara bilateral, yang lebih berat akibatnya pada telinga
kontralateral. 9
2.3.2 Etiologi
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal
dari genetik maupun didapat.
a. Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan
pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin bersifat statik maupun
progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X
12
(contoh: Hunter’s syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria
(contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa
organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal sering dihubungkan
dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).
b. Faktor Didapat
1. Infeksi
Rubela kongenital, cytomegalovirus, toksoplasmosis, virus herpes simpleks,
meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta, mastoiditis, endolabrintitis, sifilis
kongenital. Toksoplasma, rubela, cytomegalovirus menyebabkan gangguan pendengaran
dimana gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi cytomegalovirus sebesar 50%
dan toksoplasma konginetal 10-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar
10%. Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi cytomegalovirus kongenital
mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada
meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukkan
adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, namun proses patologi yang terjadi
tidak begitu diketahui sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat
dipastikan.
2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah golongan
antibiotika; erythromycin, gentamicin, streptomycin, netilmicin, amikacin, neomycin
(pada pemakaian tetes telinga), kanamycin, etiomycin, vancomycin. Golongan diuretika;
furosemide.
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi
osikular, trauma suara.
4. Neoplasma
Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2), cerebellopontine tumor, tumor
pada telinga tengah (contoh : rhabdomyosarcoma, glomustumor).
2.3.3 Klasifikasi
13
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Gangguan Pendengaran Konduktif
Gangguan pendengaran konduktif adalah gangguan pendengaran yang disebabkan
oleh kondisi patologis yang terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Kelainan telinga luar
yang dapat menyebabkan tuli konduktif yaitu atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen,
otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelianan di telinga tengah yang
menyebabkan tuli konduktif yaitu sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis,
timpanisklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran. Penyebab tersering
gangguan pendengaran jenis ini adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius akibat otitis
media stadium supurasi (pada anak) dan sumbatan seruman (pada dewasa).
14
gangguan pendengaran sensorineural adalah presbikusis, gangguan pendengaran akibat
bising (NIHL), penyakit ménière, dan lesi retrokoklear seperti schwannoma vestibular.16,17
15
Gangguan pendengaran berat dapat mempengaruhi kualitas suara.
f. Tuli sangat berat (>90 dB)
Pada gangguan pendengaran sangat berat, kemampuan bicara dan bahasa akan
memburuk.16
Menurut American National Standard Institute, derajat tuli terbagi atas: (10)
Derajat Gangguan
ISO ASA
Pendengaran
Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat >90 dB >80 dB
16
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar,
perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar
atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat
gangguan pada rantai tulang pendengaran.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar
suara bisik pada jarak 5 meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada
rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan menggunakan garputala 250
Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati
lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach
didapati Schwabach memanjang.
2. Tipe Sensorineural
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada
gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang
dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara
yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya
otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam
suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat
ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang
telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak
dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan).
Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang.
Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran
tulang.
3. Tipe Campuran
17
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan
pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-
tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes
bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar
mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala
Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek.
18
2.3.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu gangguan pendengaran dilakukan dengan berbagai cara
antara lain menanyakan riwayat kesehatan. Dapat dilakukan pemeriksaan telinga secara
menyeluruh untuk dapat menyingkirkan penyebab-penyebab umum dari kehilangan
pendengaran, seperti adanya cairan di telinga atau penyumbatan. Pemeriksaan pendengaran
meliputi pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan menggunakan garpu
tala atau audiometri nada murni.
1. Anamnesis
Anamnesis menunjukkan gejala penurunan pendengaran, baik yang terjadi secara
mendadak maupun yang terjadi secara progresif. Gejala klinis sesuai dengan etiologi
masing-masing penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Penderita tuli sensorineural cenderung berbicara lebih keras dan mengalami gangguan
pemahaman kata sehingga pemeriksa sudah dapat menduga adanya suatu gangguan
pendengaran sebelum dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pada pemeriksaan
otoskop, liang telinga dan membrana timpani tidak ada kelainan.
3. Pemeriksaan lain yang biasa digunakan adalah tes bisik, tes penala, merupakan tes
kualitatif dengan menggunakan garpu tala 512 Hz. Terdapat beberapa macam tes
penala, seperti tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach, lalu audiometri, Brainstem
Evoked Respone Audiometry (BERA) untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi
N.VIII dan juga otoacustic emittion/OAE (Emisi Otoakustik).
a. Tes Bisik
Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa
kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak
pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih
dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6.
19
digunakan adalah pemeriksaan garputala dengan frekuensi 512 Hz karena
penggunaan garputala pada frekuensi ini tidak dipengaruhi oleh suara bising di
sekitarnya. Terdapat berbagai macam tes garputala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes
Schwabach, tes Bing, dan tes Stenger.
Tes Rinne
Tes rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang. Caranya penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid,
setelah tidak terdengar, penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila masih
terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).
20
Gambar 2.9 Tes Weber
Tes Schwabach
Tes untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal. Caranya dengan menggetarkan penala,
kemudian tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar
bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa.
Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa
tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu penala
diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa terlebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut Schawabach memanjang. Bila pasien dan pemeriksa sama-
sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.16
Sama dengan
+ Tidak ada Lateralisasi Normal
Pemeriksa
21
+ Leteralisasi sisi sehat Memendek Tuli sensonural
Tes Stenger
Tes ini digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura
tuli). Cara pemeriksaan yaitu menggunakan prinsip Masking. Misalnya pada
seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang identik
digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan
cara yang tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan
diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar.
Kemudian penala yang kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga
yang kiri (yang pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek masking,
hanya telinga kiri yang mendengar bunyi, jadi telinga kanan tidak akan mendengar
bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.
d. Audiometri Khusus
22
Untuk mempelajari audiometri khusus di perlukan pemahaman istilah recruitment dan
decay. Recruitment ialah suatu fenomena terjadi sensitifitas pendengaran yang berlebihan di
atas ambang dengar keadaan ini khas untuk tuli koklea. Pada kelainan koklea pasien dapat
membedakan bunyi 1 db sedangkan pada orang normal baru bisa membedakan ya pada 5 db.
Decay (kelelahan) merupakan adaptasi abnormal merupakan tanda khas pada tuli
retrokoklea, saraf pendegaran cepat lelah bila dirasang terus menerus. Bila dibeli istirahat
akan pulih kembali.
Fenomena tersebut dapat dilacak dengan pemeriksaan sebagai berikut
1. Tes SISI ( Short sensitivity Index)
2. Tes ABLB (Alternate Binaural loudness)
3. Test kelelahan (Tone Decay)
4. Audiometri tutur
5. Audiometri bekesay
e. Audiometri Obyektif
Terdapat 3 cara pemeriksaan, yaitu :
Audiometri Impedans
Electrokokleografi
Envoke response Audiometri
2. Elektrokokleografi
23
Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang–gelombang yang khas dari
evoke electro potensial koklea. Caranya dengan elektroda jarum, membran timpani
ditusuk sampai ke promontorium kemudian dilihat grafiknya.
24
2.3.8 Pencegahan
1. Gunakanlah pelindung pendengaran, jika berada di lingkungan yang memiliki
tingkat kebisingan tinggi gunakanlah pelindung pendengaran seperti penutup
telinga. Alat ini juga bisa digunakan saat melakukan kegiatan sehari-hari seperti
memotong rumput.
2. Waspadai kebisingan, kapan pun waktunya usahakan untuk mengecikan volume
radio, televisi atau speaker.
3. Berhati-hatilah menggunakan earphone. Jika menggunakan earphone maka
aturlah volume agar tidak terlalu keras, jika orang yang disebelah Anda bisa
mendengar suara dari earphone maka volumenya sudah terlalu keras.
4. Berikan waktu bagi telinga untuk beristirahat, semakin sering seseorang terpapar
suara maka bisa mempengaruhi gangguan pendengaran, bahkan suara dengan
volume rendah sekalipun jika terpapar dalam jangka waktu lama bisa jadi
berbahaya. Untuk itu berilah waktu bagi telinga untuk beristirahat dengan berada
di dalam ruangan yang tenang.
5. Periksalah telinga secara teratur, tes pendengaran dan pemeriksaan telinga
sebaiknya menjadi kegiatan kesehatan yang rutin, karena semakin cepat gangguan
diketahui maka penanganannya akan menjadi lebih mudah dan mencegah
kerusakan lebih lanjut.
2.3.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab ketulian. Tuli karena
pemakaian obat-obatan yang bersifat ototoksik, diatasi dengan penghentian obat. Jika
diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising.
Bila tidak memungkinkan dapat menggunakan alat pelindung telinga terhadap bising,
seperti sumbat telinga (ear plug), tutup teling (ear muff) dan pelindung kepala (helmet).
Apabila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi bisa
menggunakan alat bantu dengar.
a. Alat Bantu Dengar (ABD)
Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan
dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Memasang suatu alat bantu dengar
merupakan suatu proses yang rumit yang tidak hanya melibatkan derajat dan tipe ketulian,
namun juga perbedaan antar telinga, kecakapan diskriminasi dan psikoakustik lainnya. Selain
itu pertimbangan kosmetik, tekanan sosial dan keluarga. Peraturan dari Food and Drug
25
Administration mengharuskan masa uji coba selam 30 hari untuk alat bantu dengr yang baru,
suatu masa untuk mengetahui apakah alat tersebut cocok dan efektif bagi pemakai.
Alat bantu dengar merupakan miniatur dari sistem pengeras untuk suara umum. Alat ini
memiliki mikrofon, suatu amplifier, pengeras suara dan baterei sebagai sumber tenaga.
Selanjutnya dilengkapi kontrol penerimaan, kontrol nada dan tenaga maksimum. Akhir-akhir
ini dilengkapi pula dengan alat pemproses sinyal otomatis dalam rangka memperbaiki rasio
sinyal bising pada latar belakang. Komponen-komponen ini dikemas agar dapat dipakai
dalam telinga (DT), atau dibelakang telinga (BT) dan pada tubuh. ABD dibedakan menjadi
beberapa jenis :
- Jenis saku (pocket type, body worn type)
- Jenis belakang telinga (BTE = behind the ear)
- Jenis ITE (In The Ear)
- Jenis ITC (In The Canal)
- Jenis CIC (Completely In the Canal)
Tipe dalam telinga yang terkecil adalah alat bantu dengar ’kanalis’ dengan beberapa
komponen dipasang lebih jauh didalam kanalis dan lebih dekat dengan membrana timpani.
Alat bantu tipe kanalis ini sangat populer karena daya tarik kosmetiknya. Alat ini dapat
membantu pada gangguan pendengaran ringan sampai sedang. Akan tetapi alat ini kurang
fleksibel dalam respon frekuansi dan penerimaannya dibanding alat bantu DT dan BT.
Kanalis juga tidak cocok untuk telingan yang kecil karena ventilasi menjadi sulit.
b. Implan Koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi
pada pasien tuli sensorineural berat dan total bilateral. Indikasi pemasangan implan koklea
adalah :
- Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa)
yang tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.
- Usia 12 bulan – 17 tahun
- Tidak ada kontra indikasi medis
- Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik
Kontra Indikasi pemasangan implan koklea antara lain :
- Tuli akibat kelainan pada jalur pusat (tuli sentral)
- Proses penulangan koklea
26
- Koklea tidak berkembang
Adapun cara kerja implan koklea adalah impuls suara ditangkap oleh mikrofon dan
diteruskan menuju speech processor melalui kabel penghubung. Speech processor akan
melakukan seleksi informasi suara yang sesuai dan mengubahnya menjadi kode suara yang
akan disampaikan ke transmitter. Kode suara akan dipancarkan menembus kulit menuju
stimulator. Pada bagian ini kode suara akan dirubah menjadi sinyal listrik dan akan dikirim
menuju elektrode-elektrode yang sesuai di dalam koklea sehingga menimbulkan stimulasi
serabut-serabut saraf. Pada speech processor terdapat sirkuit khusus yang berfungsi untuk
meredam bising lingkungan. Keberhasilan implan koklea ditentukan denga menilai
kemampuan mendengar, pertambahan kosa kata dan pemahaman bahasa.
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Alda Chelsea R., Hadi Suryono dan Demes Nurmayanti. Pengaruh Umur, Masa Kerja,
dan Pemakaian APD Terhadap Ambang Pendengaran Tenaga Kerja Konstruksi Kapal.
GEMA Lingkungan Kesehatan. 2019. Hal. 31-37.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2013. Jakarta: Kemenkes RI.
3. Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Adams L, George dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.
5. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi 10.
Jakarta: EGC.
6. Choo DI, Richter GT. 2009. Development of the ear. Dalam: Snow JB, Wackym PA,
editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th edition.
Shelton, Connecticut: People’s Medical Publishing House/BC Decker. p. 17-27.
7. Wareing MJ, Lalwani AK, Jackler RK. 2006. Development of the Ear. Dalam: Bayron
J Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott: Williams & Wilkins.
1870-1881.
8. Wright, C.G. 1997. Development of the Human External Ear. J Am Acad Audiol. 8:379-
382.
9. Drake R, Vogl AW, Mitchell AWM. 2009. Gray's Anatomy for Students. London:
Churchill Livingstone.
10. Liston SL, Duvalu AJ. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, GL, Boeis, LR & Highler, PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.
27-45.
11. Barrett, KE, Ganong, WF. 2010. Ganong's Review of Medical Physiology. 23rd. New
York: McGraw-Hill.
12. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed. Philadelphia,
PA, USA: Elsevier Saunders.
13. Moller AR. 2006. Hearing Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory System
2nd ed. Texas: Elsevier. p 41- 56.
14. Gillespie PG, Müller U. 2009. Mechanotransduction by Hair Cells: Models, Molecules,
and Mechanisms. Cell. Oct 2; 139(1): 33–44.
29
15. Nagashima R1, Sugiyama C, Yoneyama M, Ogita K. 2005. Transcriptional factors in
the cochlea within the inner ear. J Pharmacol Sci. Dec; 99(4):301-6.
16. Pawlowsky KS, Kikkawa YS, Wright CG, Alagramam KN. 2006. Progression of inner
ear pathology in Ames waltzer mice and the role of protocadherin 15 in hair cell
development. J. Assoc. Res. Otolaryngol. 7: 83-94.
17. Rappaport JM, Provençal C. 2002. Neuro-otology for audiologists. Dalam: Katz J
Burkard RF, Medwetsky editors. Handbook of clinical audiology edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p.9-30.
18. Gacek RR. 2009. Anatomy of the Auditory and Vestibular System. Dalam: Snow jr JB
& Wackym PA. Ballenger’s. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17,
Centennial edition. Philadhelpia: People’s Medical Publishing House. p. 1- 157.
19. Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J. 2014. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga. Dalam: Soepardi, EA, dkk. (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
Indonesia, hal. 10-22.
20. Lassman FM., Levine SC., Greenfield DG. 2015. Audiologi. Dalam: Adams GL., Boies
LR., Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. EGC, Jakarta, Indonesia,
hal. 50-55.
21. Bielecki I1, Horbulewicz A, Wolan T. 2011. Risk factors associated with hearing loss
in infants: an analysis of 5282 referred neonates. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
Jul;75(7):925-30. doi: 10.1016/j.ijporl.2011.04.007.
30