Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul "Perawatan Untuk Populasi Rentan" pada
mata kuliah di Keperawatan Bencana.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,
ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati
rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas
misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga
akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang
yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu
anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan
baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan
lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan
penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan
social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Konteks kerentanan
merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat mempengaruhi atau
membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat
yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang
cacat. Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai perawatan
kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang
berjudul ‘Perawatan Pada Kelompok Rentan’.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
1.3.2 Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
1.3.3 Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan
1.4 Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu
masyarakat maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada
kelompok rentan karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari sebagai dan dalam mitigasi bencana
BAB II
PEMBAHASAN
2.2.2 Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, &
Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski
tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang
hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara
fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction,
and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima
dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena
badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati
jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses
mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
2.2.3 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
2.2.4 Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan
di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80%
diantaranya tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di
bidang kesehatan (Klynman et al., 2007).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota
pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh
korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana
kebakaran di California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran
tidak memahani level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang
mereka fahami (Powers & Daily, 2010).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat
rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan
intervensi penanganan bencana (Klynman et al., 2007).
2.3.4 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan
kecacatan dan penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang
dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di
tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai
kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur
dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah
berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun manajemen
penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di
pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-
orang yang memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang
disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit
kronis seperti diabetes mellitus dan gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang
merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi
dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi
lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat
BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat
yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka
informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan
kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone
yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag
dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah
sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan
menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu
bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek
keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan
bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu
menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak, atau
genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di
depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi,
ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut
lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya dapat menggunakan
bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat
mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama dengan
lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti
(Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana
adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang
paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk
menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat dan
mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui
latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang
berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses
pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan
jantung, ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang
kontrol kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien
penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar
peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat
dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan
didistribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko
bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat
tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-
individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang
cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut,
dan tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan
adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air
bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik,
sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan
persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum
obat untuk menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll)
atau tidak, dan identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau
infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala
infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui
kartu penyakit diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan
yang tepat, dan memberikan pedoman mengenai manajemen
makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk
pemakaian tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan
aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen
karena takut peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi
jika pasien tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara
panas/dingin, dan debu)
2.4 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok –
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka
panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
3.1 Simpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang
mereka hadapi. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Untuk mengurangi dampak
bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan diatas, petugas-
petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu
Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan
pemetaan kelompok-kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi
untuk mengatasi hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan
transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat
bencana yang dapat diakses.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para
pembaca agar memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan
dalam makalah ini, karena dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat
bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.
Daftar Pustaka