Anda di halaman 1dari 9

Begini Awal Terungkapnya Keberadaan Vaksin Palsu

RABU, 29 JUNI 2016 | 15:42 WIB

Contoh vaksin palsu yang disita polisi, 23 Juni 2016. TEMPO/Rezki

TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin palsu yang diungkap Badan Reserse


Kriminal Mabes Polri berawal dari laporan masyarakat dan
pemberitaan media massa tentang bayi yang meninggal dunia setelah
diimunisasi.

Praktik pembuatan vaksin palsu itu disebut-sebut telah berlangsung


selama 13 tahun. Orang tua yang pernah mengimunisasi anaknya
dalam rentang 13 tahun belakangan ini tentu risau, jangan-jangan
anaknya termasuk yang mendapatkan vaksin palsu.

Soal vaksin palsu ini betul-betul membikin masyarakat resah.

Keresahan para orang tua itulah yang kemudian mendorong sebuah


petisi daring dimulai di laman change.org. Adalah Niken Rosady
dengan mengatasnamakan Orang Tua Sadar Imunisasi Indonesia
yang memulai petisi tersebut.
Pada Selasa, (28 Juni 2016) atau hanya satu hari sejak petisi itu
dimulai, sudah ada belasan ribu orang yang mendukung. Hingga
pukul 11.15 WIB, pendukung petisi itu mencapai 17.942 orang.

"Setiap orang tua akan berusaha memberikan yang terbaik bagi


anaknya, termasuk dalam hal kesehatan dengan memberikan
imunisasi sejak bayi baru lahir," tulis Niken dalam petisinya.

Imunisasi lengkap dan teratur akan menimbulkan kekebalan spesifik


yang mampu mencegah penularan wabah, sakit berat, cacat atau
kematian akibat penyakit.

Hingga saat ini, 194 negara telah menyatakan imunisasi terbukti


aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan
kematian akibat penyakit berbahaya.

Namun, rasa aman di balik penggunaan vaksin terusik dengan


pengungkapan kasus pemalsuan vaksin di Bekasi.

"Yang lebih mengerikan, ternyata tindakan pemalsuan ini telah


dilakukan sejak 2003. Artinya, sindikat pemalsu vaksin ini telah
beroperasi selama 13 tahun dan telah tersebar ke beberapa daerah di
Indonesia," tulisnya.

Karena itu, dalam petisinya Niken mengajak para orang tua Indonesia
untuk mendukung penyidikan kasus tersebut dan meminta Polri
mengusut tuntas tindakan pemalsuan vaksin serta menindak tegas
para pelaku.

Petisi tersebut juga meminta pemerintah, Bareskrim dan pihak


berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini beredar
dan menggantinya dengan vaksin yang asli dan aman guna menjamin
keamanan dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia.
Niken juga meminta nama-nama distributor, rumah sakit, klinik dan
institusi kesehatan yang terindikasi dan terbukti menggunakan vaksin
palsu diumumkan serta vaksinasi ulang terhadap anak-anak yang
lahir antara 2003 hingga 2016 untuk menjamin generasi yang sehat
dan bebas penyakit berbahaya.

Selain itu, Niken juga mendesak Badan Pengawas Obat dan


Makanan lebih agresif dalam mengawasi distribusi vaksin dan obat-
obatan pada umumnya.

Tanggung Jawab
Pengungkapan pembuatan vaksin palsu itu pada akhirnya menyeret
Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan
untuk dimintai pertanggungjawaban. Dua lembaga itu dinilai tidak
optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan.

"Praktik pemalsuan sampai 13 tahun dan sudah beredar di seluruh


Indonesia. Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak
menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimilikinya," kata
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) Tulus Abadi.

"Anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya, berpotensi menjadi


korban vaksin palsu. YLKI siap memfasilitasi gugatan class action
tersebut, guna memberikan pelajaran kepada pemerintah karena lalai
tidak melakukan pengawasan, dan masyarakat menjadi korban akibat
kelalaiannya itu," katanya.

Tenaga Kesehatan
Kasus vaksin palsu itu juga mengarahkan kecurigaan masyarakat
kepada keterlibatan tenaga kesehatan yang masih aktif bertugas di
institusi kesehatan. Apalagi, salah satu tersangka yang pertama kali
ditangkap polisi diketahui pernah bekerja sebagai perawat di salah
satu rumah sakit swasta di Bekasi.
"Komisi IX secara resmi telah meminta Kementerian Kesehatan dan
Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk menuntaskan masalah ini
sampai ke akar-akarnya, termasuk proses produksi dan distribusi
vaksin palsu," kata anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan setidaknya ada


dua fakta yang mengindikasikan keterlibatan tenaga kesehatan yang
masih aktif bertugas di institusi kesehatan.

Fakta pertama adalah pelaku dengan mudah mendapatkan bahan


baku, termasuk kemasan vaksin asli bekas yang merupakan limbah
medis di rumah sakit. Kedua, pelaku dengan mudah memasarkan
produksinya ke berbagai institusi kesehatan.

Saleh menduga kasus vaksin palsu itu melibatkan pihak lain selain
para tersangka yang sudah ditangkap polisi. Sangat mungkin banyak
orang yang terlibat dalam pembuatan dan penyaluran vaksin palsu.

"Bisa saja sudah ada jaringan khusus yang membantu para pemalsu
menyediakan kemasan vaksin asli bekas," tuturnya.

Fakta bahwa pelaku pemalsu vaksin menggunakan kemasan vaksin


asli bekas juga menunjukkan pengelolaan limbah medis di rumah
sakit masih sangat buruk. Lagi-lagi Kementerian Kesehatan disorot
karena lemah dalam pengawasan.

"Pengawasan terhadap pengelolaan limbah medis di rumah sakit


merupakan salah satu hal yang perlu disorot dalam kasus vaksin
palsu," ujarnya.

Karena itu, kasus vaksin palsu juga harus menjadi pemicu


Kementerian Kesehatan untuk memperketat pengawasan
pengelolaan limbah medis di rumah sakit. Selain meminimalkan
bahaya yang mungkin muncul dari limbah media, pengawasan ketat
juga untuk menghilangkan potensi pemanfaatan untuk tujuan lain.

Pengusutan kasus vaksin palsu juga harus menyentuh kemungkinan


pihak lain yang menyediakan limbah medis berupa kemasan vaksin
asli bekas kepada para pelaku. Pihak lain itu bisa saja petugas
kebersihan, petugas administrasi, perawat bahkan dokter. 

"Bila ada keterlibatan pihak lain tersebut, semua harus dihukum


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata
Saleh.

ANTARA
Referensi Berita 2 resolusi
Liputan6.com, Jakarta - Jajaran Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse
Kriminal (Bareskrim) Polri, menahan 10 orang pemalsu vaksin untuk balita. 

Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Komisaris Besar Agung Setya,
mengatakan, mereka terbagi tiga kelompok. Yakni produsen, distributor, dan kurir.

"Kita fokus di pembuatan vaksin (produsen) palsunya dan distributor," ucap Agung saat
dikonfimasi, Jumat (24/6/2016).

Sementara, Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan jajarannya juga
akan menyelidiki rumah sakit mana yang telah menggunakan vaksin palsu itu.

"Ya akan diselidiki sampai ke sana, pemasarannya," jelas dia.

Boy menjelaskan, pengungkapan kasus vaksin palsu ini bermula adanya keluhan masyarakat


yang mengaku balita mereka tetap sakit meski sudah divaksin. Berbekal laporan itu, polisi
langsung menyelidiki.

Terbukti, vaksin tersebut didapat di apotek AM di Bekasi, Jawa Barat pada Kamis 16 Mei 2016.
Polisi akhirnya menahan J, selaku distributor.

Tak hanya di Bekasi, polisi juga menemukan vaksin palsu di Apotek IS di kawasan Kramatjati,
Jakarta Timur. Penggerebekan ini dilakukan pada 21 Juni 2016 dan menangkap MF.

Selanjutnya, polisi mengembangkan kasus pemalsuan ini ke pembuat vaksin palsu di kawasan
Puri Hijau Bintaro, Tangerang, dengan tersangka P dan istrinya, S.

Tak berhenti di situ, polisi terus melakukan pengembangan. Rumah di Jalan Serma Hasyim dan
Kemang Regency, Bekasi, Jawa Barat pun digerebek. 

Ternyata, dua tempat tersebut digunakan untuk memproduksi vaksin palsu oleh tiga tersangka,
yakni HS, R, dan H.

Selain distributor dan produsen, penyidik juga menangkap kurir dan pihak percetakan. Kurir yang
membantu penjualan yakni T, yang ditangkap di Jalan Manunggal Sari dan S di Jalan Dilampiri
Jatibening, Bekasi.

Para tersangka pembuat vaksin palsu terancam Pasal 197 UU No 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan dan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Mereka juga akan dikenakan
Pasal 62 jo Pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Referensi 3:

Merdeka.com - Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek memaparkan bagaimana para


tersangka membuat dan mendistribusikan vaksin palsu. Hal tersebut dia sampaikan
dalam rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR. 

Awalnya menurut Nila, ada kecurigaan karena adanya kelangkaan vaksin tertentu di
pasar yang bukan merupakan vaksin program pemerintah. Kemudian ditemukan vaksin
nonprogram pemerintah dengan harga murah.

Nila berujar, kemudian ditemukan 3 botol bekas dari Rumah Sakit Hermina di Bekasi,
Rumah Sakit Betesda di Jogja, dan Rumah Sakit Harapan Bunda di Jakarta Timur. Dua
rumah sakit awal tersebut didistribusikan melalui Sugiyanti sebagai pengumpul botol
bekas. 

"Dimulai diketemukan adanya pengumpulan dari botol bekas di 3 rumah sakit.


Dikumpulkan saudara S, I dan E. Pengumpul botol bekas ini diberikan ke 4 produsen,
kemudian ada yang membuat percetakan," kata Nila dalam RDP dengan komisi IX DPR
di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7). 

Sedangkan Rumah Sakit di Jakarta Timur diawali oleh Irna dan Enday sebagai
pengumpul botol bekas. Di situ pula ada percetakan yang dikelola oleh Sutanto. 

"Vaksin diperoleh dari pemerintah. Sedangkan rumah sakit atau swasta dapat
memperoleh dari pemerintah, atau dapat melakukan pengadaan sendiri, membeli dari
distributor resmi. Tapi ada vaksin yang berasal dari sumber tidak resmi, bisa asli atau
palsu," ujarnya. 

Sedangkan pembuat vaksin palsu ialah Nuriani, Syafrizal, Iin Sulastri, Rita Agustina,
Hidayat, dan Agus Priyanto. Kemudian vaksin didistribusikan kepada Ryan pemilik
Apotek Cahaya Medika. Ada pula Farid melalui Apotek Ibnu Sina. Lalu Mirza, Pius,
Sutarman melalui Apotek Ciledug dan Rawa Bening Jati Negara. Selain itu distributor
lain ialah Thamrin melalui toko obat CV Azka Medical. 

Selain Nila, dalam RDP ini hadir juga Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto.
Kemudian ada perwakilan BPOM, PT Bio Farma, IDAI, dan Satgas Penanggulangan
Vaksin Palsu.

Anda mungkin juga menyukai