Anda di halaman 1dari 90

RESUME TUTORIAL

SKENARIO 1 : BAYIKU TIDAK BISA BERAK

Dosen Pengampu:

dr. Supangat, M.Kes., Sp.Ba., Ph.D

OLEH:

KELOMPOK TUTORIAL C

Endang Pratiwi 162010101123

Muhammad Luthfi Fakhruddin 172010101055

Nur Hasyimiyah M. S. 172010101093

Dwika Rizki Millenesa Pratiwi 192010101030

Muhammad Izzuddin Amin 192010101037

Latiefah Noer Widiastuti 192010101044

Julio Andrea Wijaya 192010101050

Leni Alfiani 192010101067

Pradistya Artamevia Putri 192010101071

Dimas Hibatullah Ridlwan 192010101089

Akbar Fakhrudin Kholid 192010101112

Annisa Kalma Athalia 192010101148

Tuhfatul Hilmits Tsania 192010101168

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER

2021

SKENARIO 1

Bayiku Tidak Bisa Berak

KLARIFIKASI ISTILAH

1) Apgar score
Skor Apgar atau nilai Apgar (bahasa Inggris: Apgar score) adalah sebuah metode yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Dr. Virginia Apgar sebuah metode
sederhana untuk secara cepat menilai kondisi kesehatan bayi baru lahir sesaat setelah
kelahiran.

Skor Apgar dihitung dengan menilai kondisi bayi yang baru lahir menggunakan lima kriteria
sederhana dengan skala nilai nol, satu, dan dua. Kelima nilai kriteria tersebut kemudian
dijumlahkan untuk menghasilkan angka nol hingga 10. Kata "Apgar" adalah jembatan keledai
sebagai singkatan dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration (warna kulit,
denyut jantung, respons refleks, tonus otot/keaktifan, dan pernapasan).
Secara Prinsip APGAR score menilai kemampuan Hemodynamic seorang bayi baru lahir,
penilaian apgar bersifat subjektif sehingga kesalahan inter-rater dapat terjadi, penilaian
APGAR ini bertujuan untuk mempersiapkan tindakan resusitasi sewaktu-waktu

Cara Penilaian Skor APGAR

Penilaian skor APGAR dilakukan dengan cara memeriksa warna kulit, denyut jantung,
refleks terhadap stimulus taktil, tonus otot, dan pernapasan. Masing-masing aspek akan
diberikan poin yang bervariasi antara 0-2 poin tergantung kondisi bayi.
Penilaian Apgar score dilaksanakan dari menit 1 hingga menit 5 dan terdapat ekstensi 5 menit
selanjutnya dengan score dibawah (<7). Penilaian apgar dibagi menjadi 3 dimulai dari 0-5
(perlu pengawasan ketat) 5-7 (pengulangan tes), 7-10 (baik)

2) Tidak punya lubang anus


Malformasi anorektal adalah spektrum luas penyakit yang meliputi defek anus dan rektum,
serta juga dapat meliputi traktus urinarius dan genital. Teradapat beberapa sistem klasifikasi
yang membagi dari tipe malformasi anorektal. Atresia ani atau anus imperforata merupakan
salah satu bentuk dari malformasi anorektal tanpa fistula. Cirinya adalah ditemukannya
distensi abdomen akibat mekonium yang tidak dapat keluar. Keadaan ini diakibatkan dari
perkembangan abnormal hindgut, allantois, dan duktus Mulleri.

3) Celah pada bibir sampai langit-langit mulut


Kelainan celah bibir dan langit-langit ini merupakan kasus yang banyak dijumpai kasusnya
pada saat kelahiran bayi yang mengakibatkan penampilan wajah yang abnormal dan
gangguan berbicara pada saat masa pertumbuhan anak. kelainan ini biasanya disebut dengan
labiopalatoskisis yang artinya celah pada bibir dan palatum. kelainan sumbing ini dibedakan
menjadi 2 bagian, yaitu bagian anterior dan posterior. bagian sumbing anterior terdiri atas
bibir sumbing lateral/unilateral, rahang atas sumbing, sumbing antara palatum primer dan
palatum sekunder, penyebab dari kelainan ini adalah karena tidak menyatunya sebagian atau
seluruh prominensia maksilaris dan prominensia nasalis mediana pada satu atau kedua sisi.
bagian sumbing posterior terdiri dari langit-langit sumbing, dan uvula sumbing, penyebab
dari kelainan ini adalah akibat ukuran bilang yang kecil, gagalnya bilah untuk meninggi, atau
terhambatnya proses penyatuan bilah itu sendiri.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana interpretasi bb, panjang badan, dan apgar pada bayi baru lahir?

● Laki – laki =lebih beresiko

● BBL 2800 gr = normal (2,5-4 kg)

● Panjang 46 cm = normal (45,6 - 53,4 cm)

● APGAR score 8/10 = normal (7-10)

● Lahir cukup bulan (38 minggu) = normal aterm (37-40 minggu)

2. Apa saja penyulit yang terjadi pada proses kelahiran ?

Banyak penyebab yang mengakibatkan sulitnya proses persalinan seperti:

- Distosia adalah total waktu melahirkan yang lama. menurut American Pregnancy
Assosiation, untuk ibu yang pertama kali melahirkan dikatakan distosia apabila
selama 20 jam tidak ada kemajuan, tetapi untuk ibu yang menjalani proses melahirkan
kedua atau seteruskan, dikatakan distosia apabila 14 jam proses kelahiran tidak ada
kemajuan.

- Cephalopelvic dispropostion (CPD) adalah kondisi dimana ukuran bayi yang terlalu
besar atau panggul ibu yang terlalu kecil.

Macam-macam distosia adalah

1. Distosia karena kelainan presentasi


2. Distosia karena kelainan posisi janin
3. Distosia karena tenaga atau his
4. Distosia karena alat kandungan atau jalan lahir
5. Distosia karena kelainan janin

3. Apakah ada factor yg meyebabkan bayi dengan celah bibir sampai langit dan tanpa
lubang anus ? kenapa ?

Faktor penyebab bayi mengalami kelainan bawaan seperti celah pada bibir hingga langit-
langit :
a. Nutrisi

ibu yang kekurangan asam folat dari nutrisinya dapat menyebabkan janinnya lahir dengan
cacat pada tabung saraf (neural tube defect). Kadar asam folat yang dibutuhkan oleh ibu
hamil agar janinnya terhindar dari cacat tabung saraf adalah 400 mikrogram per hari.
(10)Kadar ini bisa diperoleh dengan mengonsumsi satu tablet asam folat per hari atau
dengan mengonsumsi makanan tinggi asam folat misalnya kacang-kacangan, buah jeruk,
brokoli, dan bayam.

Beberapa bahan pangan mengandung insektisida. Bila insektisida ini terkonsumsi oleh
calon ibu secara rutin dan dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin sehingga janin kemungkinan lahir dengan kecacatan bawaan.

b. konsumsi obat

ibu hamil sering menderita keputihan dan diobati dengan obat antifungal. Namun,
konsumsi obat antifungal Fluconazole diketahui dapat menimbulkan celah bibir dan
langit-langit (cleft lip and palate) serta kelainan pembuluh darah besar

c. usia orang tua

penelitian yang menggunakan data dari The National Birth Defects Prevention Study
mendapatkan hasil bahwa peningkatan usia ayah meningkatkan risiko timbulnya cleft
palate, hernia diafragma, dan kelainan kongenital pada jantung janin

d. Ibu merokok

ibu hamil yang merokok dapat menyebabkan timbulnya kelainan kongenital pada janin
yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian di Brazil dimana
ditemukan hubungan antara ibu yang merokokdengan timbulnya cleft lip palate pada
janinnya. Mekanisme mengapa merokok dapat menyebabkan kelainan kongenital pada
janin masih belum dimengerti. Ada dugaan bahwa paparan komponen rokok pada janin
dalam kandungan dapat menginduksi gen-gen dengan jalur metabolism tertentu, misalnya
glutathione S-transferase theta(GSTT1) atau nitric oxide synthase-3(NOS3). Induksi
GSTT1 kemungkinan menyebabkan defisiensi pada jalur detoksifikasi sehingga
menimbulkan kelainan kongenital
e. ibu obesitas

Obesitas adalah keadaan di mana ibu memiliki jaringan adiposa yang berlebihan.
Jaringan adiposa memiliki adipokin dan makrofag yang berasal dari sumsum tulang di
mana jumlah makrofag tersebut sangat berkaitan dengan berat badan, indeks massa
tubuh, dan total lemak tubuh. Meningkatnya adipokin dan makrofag dalam jaringan
adiposa akibat obesitas mengakibatkan terekspresikannya faktor inflamasi yang
menunjang inflamasi sistemik kronis dan resistensi insulin. Keadaan inflamasi kronis
akan mengganggu keseimbangan tubuh dan tidak optimalnya perkembangan janin.
Jaringan adiposa yang berlebihan juga dapat menjadi tempat bioakumulasi teratogen atau
polutan-polutan yang dapat mengganggu organogenesis, salah satunya adalah dioxin,
yaitu senyawa persisten sangat toksik yang sering dijumpai sehari-hari. Dioxin dapat
berasal dari hasil pembakaran, asap kendaraan bermotor dan produk samping herbisida
pada sayur hingga produk hewan.

f. ibu diabetes

Ibu yang positif mengalami defisiensi insulin yang tidak memungkinkan metabolisme
glukosa secara optimal. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia pada ibu.
Glukosa maternal dapat menembus plasenta namun insulin maternal tidak memiliki
kemampuan tersebut sehingga janin dapat turut mengalami hiperglikemia. Akibat keadaan
hiperglikemia, janin akan mulai memproduksi insulinnya sendiri, hal ini kemudian dapat
mengarah pada keadaan hiperinsulinemia. Keadaan hiperglikemia dan hiperinsulinemia
kemudian akan memacu peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen tingkat
seluler (meningkat hingga 30%) oleh janin. Namun, plasenta janin sendiri memiliki
kemampuan transpor oksigen yang terbatas hingga mengarahkan keadaan ini pada
hipoksia janin. Hipoksia akan mengganggu proses organogenesis karena tidak terdapat
oksigen yang cukup sebagai sumber energi metabolic.

Selain itu, tingginya glukosa maternal akan berpengaruh pula pada tingginya produk akhir
glikasi (AGE). AGE merupakan hasil dari ikatan karbohidrat dan protein dalam proses
yang disebut glikasi. Substansi ini bersifat pro-inflamasi dan dapat mempercepat
kerusakan oksidatif pada sel hingga berujung pada kerusakan DNA. Kerusakan
aktivasi faktor transkripsi dalam DNA ibu mengakibatkan janin menjadi sangat rentan
mengalami kelainan kongenital.
g. Faktor geografis, penduduk asia (17/1000) memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan
wilayah amerika (3/1000) dan afrika (0,4/1000)

h. Faktor keturunan

· Seorang anak dari orang tua yang terkena memiliki risiko 3%-6%. Untuk orang tua
dengan satu anak yang terkena, risiko anak lainnya adalah 4%, dan dengan dua anak yang
terkena adalah 9%.

Faktor yang mempengaruhi atresia ani

Etiology dari ARM ( anorectal malformation) merupakan multi faktorial :

1. Faktor keluarga merupakan salah satu faktor dengan kemungkinan yang kecil
2. Faktor inheritance autosomal dominan dengan insidensi lebih tinggi yaitu 1 : 100

ARM berkorelasi dengan mutasi dari chromosome tertentu pada saat pembentukan organ,
kelainan ini berhubungan dengan chromosome 7q39 dengan 3 loci yang penting, yang salah
satunya mempengaruhi terjadinya anorectal malformation, gen ini antara lain SHH, EN2 dan
HLXB9. terjadinya anorectal malformation juga dapat dipengaruhi dengan berbagai macam
syndrome seperti townes-brockes syndrome, curarinos syndrome dan syndactyly association
syndrome, sehingga insidensi dari ARM ini biasa diikuti oleh kelainan lain terutama townes-
brockes dan curarinos dengan kelainan gen yang sama.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital

1. Kelainan Genetik dan Kromosom.

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan
kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel
biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan
(dominant traits) atau kadang-kadang sebagai unsur resesif.

Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindrom Down


(mongolisme), kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner

2. Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan
bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi
dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ.
Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus,
talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (club foot).

3. Infeksi

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode
organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam
periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ
tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital
dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus
ialah :

- Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada
trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan
pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

- Infeksi virus sitomegalovirus (bulan ketiga atau keempat), kelainan-kelainan kongenital yang
mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti
hidrosefalus, retardasi mental, mikrosefalus, atau mikroftalmia pada 5-10%.

- Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah


hidrosefalus, retardasi mental, korioretinitis, mikrosefalus, atau mikroftalmia. Ibu yang
menderita infeksi toksoplasmosis berisiko 12% pada usia kehamilan 6-17 minggu dan 60%
pada usia kehamilan 17-18 minggu.

- Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau
selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy,
gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi.

- Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak,
kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.

4. Faktor Radiasi
Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua
dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gen yang mungkin sekali dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.

4. Bagaimana interpretasi TTV pada bayi dan factor yg mempengaruhi apa ?

Kondisi tanda vital bayi pada scenario :

 Heart rate 132x/menit : normal (100-160x/menit)


 Respiratory rate 30x/menit : normal (30-60x/menit)
 Body temperature 36.2 C : sedikit dingin (36.5-37) sehingga harus
mempertahankan kehangatan bagi bayi dengan cara memakaikan baju atau selimut
pada bayi, tidak meletakkan bayi pada permukaan yang dingin, memastikan
kehangatan selama prosedur yg dilakukan ke bayi misalnya menggunakan pemanas
radian, dll.
Suhu tubuh bayi ideal diukur melalui rektal tetapi pada skenario tidak dapat
dilakukan pengukuran dengan cara ini karena bayi mengalami atresia ani. Pada
skenario juga tidak dituliskan secara spesifik pengukuran body temperature bayi
dilakukan pada aksila, oral, maupun telinga. Hasil pengukuran suhu tubuh yang
dilakukan melalui aksila lebih rendah 1 derajat celcius dibanding oral dan suhu
tubuh yang diukur melalui telinga lebih tinggi 0.8 derajat celcius daripada oral
sehingga interpretasi penilaian suhu tubuh bayi masih belum bisa dilakukan karena
informasi yang tertulis masih belum lengkap.

5. Apakah ada hub pekerjaan ortu dengan gejala pada bayi ? jelaskan !

Jalur masuk (portal of entry) pestisida ke dalam tubuh manusia bisa melalui beberapa
jalur. Ketika Ibu dan Bapak pada skenario tidak menggunakan APD yang sesuai pada saat
penyemprotan, pestisida bisa masuk melalui kulit. Residu pestisida bisa juga ditemukan di air
tanah yang digunakan untuk minum dan bahan memasak, ataupun pada pakaian bekas
penyemprotan. Paparan yang lama dan terus menerus akan menimbulkan akumulasi toksin
pada tubuh Bapak dan Ibu tersebut.
Berbagai agen kimia yang tergantung dalam pestisida menyebabkan kerusakan
DNA melalui mekanisme pembentukan bahan reactive oxidative stress (ROS). Kerusakan
DNA bisa berupa perubahan struktur kimia dan urutan DNA. Paparan pestisida juga
menghasilkan lesi DNA yang mengakibatkan pemblokiran replikasi dan transkripsi
genom. Jika lesi ini tidak diperbaiki atau diperbaiki secara tidak benar, akan
menyebabkan mutasi atau penyimpangan genom skala luas yang mengancam
kelangsungan hidup sel atau organisme. Mutasi gen inilah yang akan berkontribusi dalam
timbulnya kelainan kongenital pada anak.
Pekerjaan kedua orang tua bayi memiliki resiko besar untuk terpapar dengan pestisida.
Paparan pestisida yang kontinu dan kronik mempengaruhi kondisi kesehatan orang tua
bayi di masa pra konsepsi dan pasca konsepsi. Gangguan pada kedua masa tersebut
menyebabkan abnormalitas embriogenesis dan organogenesis sehingga menyebabkan
anak mengalami kelainan kongenital

Paparan janin terhadap OP terjadi karena OP dapat melewati batas plasenta. Dengan
demikian janin lebih rentan terhadap OP. Paparan OP tingkat rendah dapat mempengaruhi
perilaku emosional dan pengembangan sel neuronal melalui berbagai mekanisme
nonkolinergik seperti terganggunya berbagai jenis proses selular, pengaturan regulasi
neurotransmiter serotonin dan stress oksidatif. Karena organofosfat bersifat lipofilik dan
dengan cepat dimetabolisme dalam tubuh melalui hidrolisis atau oksidatif desulfurisasi.

Meskipun tidak semua ibu hamil melakukan kegiatan penyemprotan tanaman, namun ibu
tetap berisiko terkena paparan pestisida melalui aktivitas pertanian lainnya, seperti
menyiapkan perlengkapan menyemprot, mencampur pestisida yang akan digunakan, mencuci
pakaian dan peralatan menyemprot, serta berada dalam satu area dengan penyemprot.

6. Bagaimana risiko atau dampak ke depannya bagi bayi pada scenario?

Terdapat beberapa faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya morbiditas pada


malformasi anorektal, seperti abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem
otot perineal yang tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon

Dampak psikologis

Dampak jangka panjang yang mungkin akan dialami oleh bayi yang mengalami
kelainan kongenital ini salah satunya adalah kesulitan dalam berbicara, hal ini akan
menjadikan mereka merasa kurang percaya diri. Kemudian anak-anak dengan kelainan
kongenital ini dapat mengalami perundungan, intimidasi atau bullying di lingkungannya.
Anak-anak ini dilaporkan mengalami kesedihan dan depresi yang berkepanjangan karena
intimidasi yang disebabkan oleh perundungan, yang juga mempengaruhi tingkat kehadiran
dan pendidikan mereka di sekolah akhirnya, setengah dari anak-anak ini mengulang beberapa
tahun pertama mereka di sekolah dasar. Durasi rawat inap yang lama tampaknya berdampak
negatif pada anak. Anak-anak yang gelisah lebih cenderung menunjukkan masalah perilaku
dan lebih tertutup dalam mengungkapkan penilaian mereka tentang dokter. Oleh karena itu,
mereka akan lebih sulit diobati. Efek psikologis tidak hanya dikaitkan dengan anak-anak
dengan celah bibir sampai langit-langit, tetapi juga meluas ke keluarga mereka yang
menghadapi berbagai tingkat kecemasan dan depresi.

Bayi dengan labiopalatoskizis dapat mengalami beberapa gangguan diantaranya:


1. Kesulitan makan

Bayi dengan palatoschisis mengalami kesulitan untuk makan karena adanya rongga
antara oronasal. Rongga ini membuat tekanan negatif tidak terbentuk sehingga
kemampuan menghisap puting menurun. Selain itu rongga ini juga menyebabkan
udara terlalu banyak masuk, regurgitasi nasal, meningkatnya frekuensi sendawa, dan
memperlama waktu pemberian makan. Seluruh hal tersebut dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada anak karena ketidakseimbangan kebutuhan dan asupan
nutrisi.

2. Gangguan telinga

Penderita labiopalatoskizis mengalami gangguan pada tuba eustachius karena adanya


kelumpuhan otot levator palatini dan tensor vili palatini, kedua otot ini terinsersi
dengan daerah di tepi palatum dan mengontrol pembukaan serta penutupan tuba
eustachius sehingga penderita labiopalatoskizis lebih mudah mengalami infeksi pada
telinga, misalnya otitis media.

3. Gangguan bicara

Gangguan bicara pada anak dengan labiopalatoskizis disebabkan oleh disfungsi


velopharyngeal sehingga suara nasal lebih dominan (suara sengau). Suara sengau
dapat timbul karena adanya celah di mulut tersebut. Suara manusia timbul karena
campuran getaran dari pita suara dan artikulasi serta resonansi dari rongga mulut yang
membentuk pelafalan huruf atau kata. Pada penderita labiopalatoskizis dapat
ditemukan gangguan penutupan velofaringeal yang mengakibatkan tidak ada
pemisahan resonansi suara oral (rongga mulut) dan nasal (hidung). Pada orang normal
suara nasal dapat terdengar hanya di pengucapan konsonan seperti M, N, atau NG.
Sedangkan pada penderita labiopalatoskizis, konsonan seperti D pun dapat bercampur
dengan suara nasal yang mengakibatkan terdengar seperti N. Begitu pula dengan
konsonan lain yang seharusnya menggunakan resonansi mulut seperti P, B, T akan
tercampur dengan resonansi nasal pada penderita labiopalatoskizis.

7. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada bayi tsbt?

Kemungkinan dari Skenario yang terjadi adalah penyakit Kongenital. Dari Skenario yang
disebutkan terlihat terjadi Labiopalatoscizis dan Malformasi anorektal (MAR), hal tersebut
hanya masih diketahui dari tampak luar saja. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mengetahui apakah terjadi penyakit kongenital lain pada tubuh bayi ( CT Scan, Rontgen).

Sebagian besar bayi (sekitar 40-50%) dengan malformasi anorektal memiliki satu atau lebih
kelainan yang mempengaruhi sistem organ yang lain antara lain:

● Fistula Tracheo-esophageal.

● Atresia duodenal.

● Undescended testis.

● Hypospadia.

● Down syndrome.

● Refluks Vesicoureteral.

● VACTERL (Vertebra, Anal, Cardiac, Tracheal, Esophageal, Renal, Limb)

8. Bagaimana Tx yg tepat pada bayi?

● Tatalaksana Labiopalatoschizis

- Perbaiki cara menyusu.

a. Posisikan bayi dengan kepala membentuk sudut 45 derajat agar tidak tersedak.

b. Dua puluh menit sebelum menyusu pijat pelan payudara dan kompres air hangat
payudara ibu.
c. Selama menyusu, ibu memastikan bibir bawah bayi menempel dengan baik ke
areola agar membantu bayi menghisap.

d. Bisa dibantu dengan dot khusus, tapi sebaiknya langsung dari payudara ibu.

- Pembedahan/rekonstruksi bibir sumbing/labioplasty (usia 3 bulan) dan celah


palatum/palatoplasty (mulai usia 6 bulan). Kriteria rekonstruksi harus memenuhi
‘rule of ten’ yaitu berat badan : 10 pon, hemoglobin : 10 gr %, leukosit : < 10.000 /
mm3.

- Tindakan rekonstruksi dilakukan sedini mungkin, diharapkan luka bisa sembuh


sebelum anak aktif berbicara.

- Setelah anak berusia 4-6 tahun, perlu dilakukan evaluasi fungsi dan terapi bicara.

● Tatalaksana Atresia ani

Tata laksana operatif

Pasien dengan kasus malformasi anorektal dirujuk ke spesialis bedah anak untuk
mendapatkan tata laksana defenitif. Tata laksana operatif pada bayi laki-laki dan
perempuan berbeda bergantung kepada jenis dan atau letak lesi.

a. Bayi laki-laki

i. Apabila pada pemeriksaan fisis didapatkan lesi letak rendah (fistula perineum,
bucket handle, stenosis anal, anal membran, dan fistula midline raphe), kolostomi
tidak diperlukan. Anak hanya memerlukan tindakan PSARP (Posterior Sagittal
Anorectoplasty) minimal. Pada tindakan ini dilaukan pemisahan rectum dan hanya
otot sfingter eksternus yang di belah.

ii. Apabila didapatkan pasien dengan flat bottom atau ada mekonium di dalam urin
atau udara pada kandung kemih, koostomi diperlukan sebelum operasi defenitif.
Empat sampai delapan minggu setelahnya, PSARP dapat dikerjakan.

iii. Apabila dari pemeriksaan klinis masih meragukan, dilakukan invertogram terlebih
dahulu. Apabila jarak kulit dan usus >1 cm, kolostomi perlu dilaukan sebelum
PSARP.

b. Bayi perempuan
i. Adanya kloaka pada bayi perempuan merupakan kondisi yang sangat serius dan
diperlukan tindakan segera. Kolostomi, vesikostomi, dan vaginostomi mungkin
dikerjakan. Apabila bayi tumbuh dengan keadaan baik, PSARVUP (Posterior
Anorectoplasty & Vaginal-urethroplasty) akan dikerjakan enam bulan kemudian.

ii. Pasien dengan fistula agina/vestibular akan menjalani kolostomi diikuti dengan
PSARP 4-8 minggu kemudian.

iii. Pasien dengan fistula kutaneus/perineum menjalani minimal PSARP tanpa


kolostomi pada masa nenonatus sebagai terapi.

iv. Pasien tanpa fistula yang tidak terhubung dengan genital atau perineum
memerlukan invertogram.

Penanganan awal atresia ani di klinik :

berikan dukungan emosional dan tenangkan ibu, pasang selang IV dan berikan cairan
rumatan sesuai dosis umur bayi. Pastikan bayi puasa, kemudian pasang selang
lambung untuk mengosongkan lambung dari udara dan sekresi serta pastikan bebas
drainase. Atur pemindahan dan rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau pusat
spesialisasi untuk pembedahan jika memungkinkan.

Sumber : buku manajemen masalah bayi baru lahir


Learning Objective

1. Anatomi gastrointestinal

a. Mulut

• Bibir sampai ke isthmus faucium (peralihan dari mulut dengan pharynx).


• Mulut dibagi dalam
• vestibulum oris: bagian antara bibir dan pipi (sebelah luar); gusi dan gigi-
geligi (sebelah dalam);
• cavitas propia : terletak di dalam arcus alveolaris, gusi dan gigi-geligi.
• Vestibulum oris : ruang sempit mirip celah yang berhubungan keluar melalui
rima oris.
• Pipi : dinding lateral vestibulum oris : m.buccinator.
• Atap cavitas oris propia: palatum durum (anterior) & palatum molle
(posterior).
Bibir

• Labium superior dan labium inferior bertemu di angulus oris,


• Alur sudut mulut ke hidung: sulcus nasolabialis.
• Menghilang : kelumpuhan otot wajah/ kelumpuhan facialis yang perifer.
• Sulcus mentolabialis. Terletak tepat di tengah bawah bibir.
• Sulcus labiomarginalis. Terletak dari angulus oris hingga kebawah
• Otot- otot pengunyah:
• M. masseter
• M. temporalis
• M. pterygoidea medialis/internus
• M. pterygoidea lateralis/externus
• Pergerakan mulut: rahang bawah.
• Inervasi otot pengunyah: portio minor dari nerves mandibularis, cabang ketiga
( N. Trigemini V3 ).
• Atap mulut diinervasi : n.palatina major dan n.nasopalatinus.
• Serabut-serabut saraf berjalan di dalam n. maxilaris (V/2).
• Dasar mulut diinervasi : n.lingualis (cabang dari n.mandibularis).
• Serabut-serabut pengecap berjalan di dalam chorda tympani, cabang dari
n.fascialis.
• Pipi dipersarafi oleh n.buccalis, cabang dari n.mandibularis.

Gigi geligi

• Gigi decidua (gigi susu) dan gigi tetap (gigi permanen).


• Gigi decidua berjumlah 20 buah: 4 incivus, 2 caninus, dan 4 molar pada
setiap rahang.
• Gigi tetap berjumlah 32 buah: 4 incivus, 2 caninus, 4 premolar, dan 6
molar pada setiap rahang.
• Persyarafannya gigi geligi
i. Rahang atas : n. V/2 ( n. Maxillaris).
ii. Rahang bawah : : n. V/3 ( n. Mandibularis).

Lidah

• Lidah : massa otot lurik yang ditutupi oleh membran mukosa.


• Lidah 2/3 bagian anteriornya terletak dalam mulut dan 1/3 bagian posteriornya
terletak di pharynx.
• Lidah dibagi menjadi belahan kiri dan kanan oleh septum fibrosum mediana,
dan bertemu di lubang kecil: foramen caecum
• Otot otot lidah
 Ekstrinsik
• Hyoglosus
• Genioglosus
• Styloglosuss
• Palatoglossus
 Intrinsik
• Longitudinal superior dan inferior
• Tranversus
• Verticalis

Kelenjar Ludah

• Kelenjar ludah:
• Ekstrinsik/ mayor
1. Glandula parotis (terbesar): di inferior dari telinga.
2. Glandula submandibula: di inferior mandibula
3. Glandula sublingualis: di inferior lidah.
• Intrinsik/ minor
1. Lingualis
2. Bukalis
4. Labialis
5. Palatinal
6. Glossopalatinal

b. Esophagus
Esofagus adalah suatu tabung otot yang terbentang dari hipofaring (Cervikal 6) sampai ke
lambung (Torakal 11) dengan panjang 23-25 cm pada dewasa. Esofagus pada awalnya
berada di garis tengah kemudian berbelok ke kiri dan kembali ke tengah setinggi
mediastinum (T7) kemudian berdeviasi ke kiri ketika melewati hiatus diafragma.
Lengkungan esofagus dilihat dari sisi anteroposterior mengikuti lengkungan dari vertebra
torakal. Perkembangan esofagus dimulai pada minggu keempat pembuahan, dimana pada
minggu tersebut terbentuk suatu diverticulum laringotrakea pada bagian ventral dari
foregut. Divertikulum tersebut terus berkembang ke arah kaudal kemudian akan
dipisahkan dari tabung laringotrakea oleh septum trakeoesofageal. Rekanalisasi dari
tabung esofagus ini terus berkembang sampai minggu ke delapan.Pada esofagus normal
terdapat 3 penyempitan yaitu pada pertemuan antara faring dan esofagus (Cervikal 6
atau 15 cm dari incisivus atas), pada persilangan arkus aorta dan bronkus kiri
(Torakal 4-5 atau setinggi 25 cm dari incisivus atas) dan pada hiatus diafragma
(Torakal 10 atau 40 cm dari incisivus atas). Lumen esofagus mempunyai diameter yang
berbeda pada tiap-tiap lokasi serta mempunyai kemampuan elastisitas yang tinggi.
Ukuran diameter lumen esofagus pada masing-masing penyempitan digambarkan pada
tabel berikut.

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan dari dalam ke luar yaitu lapisan mukosa,
submukosa, lapisan otot dan lapisan fibrosa. Pada Lapisan mukosa terdapat epitel gepeng
bertingkat tidak berkeratin, lapisan submukosa terdapat serabut kolagen yang tebal dan
serabut elastin serta kelenjer mukus dan plexus Meissner. Lapisan otot terdiri dari otot
polos dan otot lurik. Pada sepertiga atas esofagus terdapat otot lurik dan sepertiga bawah
terdapat otot polos, sedangkan sepertiga tengah terdapat campuran otot polos dan otot
lurik. Otot bagian dalam mempunyai serat sirkuler sedangkan bagian luar mempunyai
serat longitudinal. Serat sirkuler pada bagian bawah esofagus menebal membentuk
spingter kardia. Plexus Myentericus Auerbachterdapat di antara kedua lapisan otot ini.
Esofagus diperdarahi oleh cabang tiroidea inferior dari trunkus tiroservikalis,aorta
torakalis desenden, cabang gastrikus sinistra dari arteri celiac dancabang phrenikus
inferior sinistra dari aorta abdominal. Esofagus dipersarafi oleh serabut parasimpatis
yang berasal dari nervus vagus dan serabut simpatis dari trunkus simpatikus. Aliran limfe
dari esofagus segmen servikal, torakal dan abdominal, masuk ke kelenjer servikal dalam,
kelenjer mediastinum posterior dan kelenjer gastrikus

c. Gaster

Gaster terletak intraperitoneal di hipokondrium kiri, antara lobus hepar dan limpa.
Gaster sebagian besar ditutupi oleh arcus costalis sinister tetapi sebagian kecil berbatasan
langsung dengan dinding abdomen bagian ventral. Bagian dari gaster, yaitu cardia
berproyeksi setinggi vertebra thoracalis X ke arah ventral di bawah processus xiphoideus,
sedangkan bagian kaudal gaster relatif berbeda-beda, setinggi vertebra lumbalis II-III.

Gaster memiliki tiga bagian: (1) pars cardiaca (jalan masuk gaster); (2) corpus gastrikum
(bagian utama dengan fundus gastricus di superior); (3) pars pylorica (tempat keluar dari
gaster yang berlanjut sebagai antrum pyloricum dan canalis pyloricus yang dikelilingi oleh m.
sphincter pyloricus).
Gaster diperdarahi oleh arteri-arteri dan vena-vena yang berjalan beriringan. Tiga cabang
utama Truncus coeliacus, yaitu a. gastrica sinistra, a.hepatika komunis, dan a.splenica secara
bersama-sama memberi cabang ke enam arteri pada gaster.

● Curvatura minor : a. gastrica dextra dan a.gastrica sinistra

● Curvatura major : a. gastroomentalis sinistra dan a.gastroomentalis dextra

● Fundus : Aa. gastrica breves

● Sisi posterior : a. gastrica posterior

d. Duodenum
Duodenum dibagi menjadi:.

1. Bagian superior duodenum,

Panjangnya 3-5 cm (1,5-2 inci). Bagian ini terletak intraperitoneal, disangga oleh
lig. hepatoduodenal, yang merupakan bagian mesenterium ventral dan omentum
minus.

2. Bagian desenden duodenum,


• Panjangnya 8-10 cm (3,5-4 inci).
• Bagian ini terletak retroperitoneal. Kolon transversum terletak di sebelah
anterior, ginjal kanan di sebelah posterior, dan lobus kanan hepar di sebelah
superior.
• Pada sisi internal, lipat sirkular mukosa (plika semisirkularis) mewarnai
penampilannya, meningkat ukuran dan kerumitannya sampai yeyunum.
• Segmen ini menerima ampula hepatopankreatik/ Ampula Vateri (duktus
koledokus + duktus pankreatikus mayor) dan duktus pankreatikus minor/
asesorius (dari Santorini), jika ada.
• Pada tempat ampula hepatopankreatik memasuki duodenum, terjadi sebuah
tonjolan kecil, yakni papila duodeni mayor.
• Sfingter hepatopankreatik (dari Oddi) mengelilingi papila duodeni mayor.
3. Bagian inferior duodenum (horizontal) meliputi bagian ke tiga dan ke empat
duodenum.
• Panjangnya 2,5-5 cm (1-2 inci).
• Segmen datar ini terletak retroperitoneal.
4. Bagian yang asenden, yakni bagian ke empat
• Panjangnya 2,5-5 cm.
• Segmen ini, juga terletak retroperitoneal, berakhir pada fleksura
duodenoyeyunalis.
• Lig. suspensorium (dari Treitz), sebuah petanda pembedahan, menahan bagian
asenden pada tempatnya. Ikat ini membentang dari segmen keempat duodenum
menuju krus diafragma kanan.
• Pada fleksura duodenoyeyunalis, intestinum tenue yeyunum menjadi terletak
peritoneal, ditopang oleh mesenterium sebenarnya.

e. Jejunum

Jejunum merupakan 3/5 bagian proksimal intestinum tenue bagian peritoneal. jejunum
dan ileum berada dibagian pada intestinum bagian tengah yang tidak ada batas yang jelas
untuk keduanya. Meski demikian ada perbedaan yang spesifik pada keduanya.
Yeyunum memiliki arkade yang lebih besar dengan jerat yang lebih sedikit, vasa
rekta lebih panjang, dan sedikit lemak mesenterium.

f. Ileum

Ileum

merupakan bagian ketiga dari usus halus yang akan berakhir pada ileocecal junction.
Menyusun 3/5 dari distal intestinal tenue. Dibandingkan dengan jejunum, ileum
memiliki dinding yang lebih tipis, lipatan-lipatan mukosa (plika sirkularis) yang lebih
sedikit dan kurang menonjol, vasa recta yang lebih pendek, dan lebih banyak arcade
arteriae.

Ileum bermuara ke dalam intestinum crassum, tempat caecum dan colon ascendens
bertemu. Daerah pertemuan ini dikelilingi oleh dua lipatan yang menonjol ke dalam
lumen intestinum crassum (plica ileocaecale). Lipatan-lipatan plica ileocaecale ini
bertemu pada ujung-ujungnya dan membentuk peninggian. Fungsi plica ileocaecale
termasuk mencegah refluks/kembalinya isi lumen dari caecum ke dalam ileum, dan
mengatur jalannya isi lumen ileum menuju caecum.
Ileum menerima suplai darah dari percabangan arteri mesenterika superior yaitu arteri
ileales dan drainase vena dari vena ileales yang akan bermuara ke vena mesenterika
superior. Ileum menerima persarafan parasimpatis dari N. vagus (N. X) dan persarafan
simpatis dari N . splanknikus minor (T10-T11).
g. Colon
1. Sekum, suatu kantong yang melebar bergelantung di sebelah inferior terhadap batas
ileosekal, merupakan bagian pertama kolon asenden .

Batas ileosekal. Ileum bermuara pada sisi posteromedialsekum dengan beberapa


variasi.

1. Papil ilei merupakan proyeksi berbentuk kerucut pada tempat masuknya.

2. Katup ileosekal dibentuk oleh dua lipatan yang membatasi lubang ileosekal.

2. Mesenterica Penyangga sekum

● Plika ileosekal superior (vaskular), sebuah perluasan mesenterium sebenarnya,


menyangga posisi sekum yang bergelantung, dengan demikian membuat sekum
sebuah struktur peritoneal. Luasnya mesenterium ini sangat beragam, tetapi selalu
berisi A. sekal anterior.

● Fosa sekal. Bagian sekum yang lebih superior, bersama dengan kolon asenden
selebihnya, terletak retroperitoneal. Pada garis penyatuan antara mesokolon
asenden sederhana dengan peritoneum parietal, lipat peritoneum membatasi tiga
fosa sekal .

a. Fosa ileosekal superior terletak antara meseterium sebenarnya dan plika


ileosekal superior .

b. Fosa ileosekal inferior terletak antara mesoapendiks dan plika ileosekal


inferior (tak ada pembuluh darah) .

c. Fosa retrosekal dibentuk oleh penyatuan yang tidak sempurna peritoneum


viseral sekum dan peritoneum parietal dinding posterior abdomen.
Seringkali apendiks ditemukan terbelit di dalam fosa ini.

3. Taenia koli sekum

Taenia koli sekum berkumpul ke arah “apendiks dan memberikan petanda yang
berguna untuk mencari lokasi apendiks selama pembedahan, yang terkadang dapat
menjadi sangat mempersulit.
Apendiks Vermiformis

• Sebuah alat dalaman berlubang sempit, berotot yang muncul dari aspek. posteromedial
sekum, sekitar 2-3 cm di bawah lubang. ileosekal; apendiks ini mewakili ujung sekum,
yang gagal membesar .
• Struktur apendiks. Panjang apendiks rata-rata 9 cm (3,5 inci), tetapi dapat bervariasi
antara 0,5 cm dan 25 cm (0,15 dan 10 inci).
• Penyangga dan pendarahan. Mesoapendiks menggantung apendiks dari dinding
dorsal tubuh, yang membuat organ ini terletak peritoneal.
• Mesoapendiks berisi A. apendikularis, cabang akhir A. ileokolika.

Kolon ascenden

• Kolon asenden sebenarnya terletak sepanjang sisi kanan kavum abdominis .


Panjangnya 15-20 cm (sekitar 8 inci).
• Penyangga. Kolon asenden sebenarnya disatukan dengan dinding posterior abdomen,
yang membuatnya terletak retroperitoneal sekunder.

Kolon transversum

• Segmen kedua dan terpanjang intestinum crasum ini bermula pada fleksura hepatika dan
melintang pada kavum peritonei hingga fleksura lienalis.
• Panjangnya 45-50 cm (18-20 inci) dan digantungkan oleh mesenterium (mesokolon
transversum), yang membuat segmen intestinum ini peritoneal.
• Struktur dan hubungan sekitar kolon transversum. Posisi kolon transversum
beragam dan tergantung pada derajat kepenuhannya.
• Fleksura hepatika (koli kanan), yang terletak di sebelah anterior terhadap kutub
bawah ginjal dan bagian inferior duodenum, menambatkan ujung proksimal kolon
transversum pada kolon asenden yang letaknya retroperitoneal sekunder.
• Fleksura lienalis (koli kiri), yang terletak di sebelah anterior terhadap kutub
ginjal dan inferior terhadap limpa, menambatkan ujung distalnya pada kolon
desenden yang letaknya retroperitoneal sekunder.
• Lig. gastrokolikum dibentuk oleh penyatuan mesokolon transversum dengan
permukaan inferior omentum mayus. Ikat ini menggantungkan kolon transversum
di antara dua fleksura. Ikat ini membagi kavum peritonei menjadi kompartemen-
kompartemen suprakolik dan infrakolik.

Prinsip umum

• Intestinum bagian belakang terdiri atas kolon desenden, kolon sigmoideum dan
rektum.

Vaskularisasi.

• Intestinumbagian belakang ini terutama diperdarahi oleh A. mesenterika inferior.

Persarafan.

• Intestinum bagian belakang me”nerima persarafan parasimpatis dari saraf


splanknikus pelvikus (Sa2-Sa3) dan persarafan simpatis dari saraf splanknikus
lumbalis (L1-L2).

Fungsi.

• Intestinum crasum bagian belakang ini berfungsi untuk menyerap cairan, suatu
proses yang mengeraskan tinja, dan untuk mengangkut, menyimpan dan
mengeluarkan tinja.
• Kolon desenden (kiri). Segmen awal dari intestinumbagian belakang, terletak di
sepanjang sisi kiri rongga abdomen . Panjangnya sekitar 25 cm (10 inci).
• Struktur dan hubungan sekitar kolon desenden
• Penyangga. Kolon desenden disatukan kepada dinding posterior abdomen mulai
dari fleksura lienalis sampai pinggir panggul, yang membuat segmen ini terletak
retroperitoneal sekunder.
• Kolon sigmoideum. Segmen intestinum crasum ini mulai pada saat kolon
kembali terletak peritoneal, biasanya pada pinggir panggul. Rentang panjangnya
dari 25-40 cm (10-15 inci).
• Struktur dan hubungan sekitar kolon sigmoideum. Strukturnya serupa dengan
intestinum crasum selebihnya, kecuali mukosanya yang terutama terdiri atas sel
mukus.
• Penyangga. Kolon sigmoideum terletak peritoneal, digantungkan dari dinding
posterior abdominopelvis oleh mesokolon sigmoideum.
• Hubungan. Di sebelah anterior, kolon sigmoideum berhubungan dengan vesika
urinaria pada pria dan dengan permukaan posterior uterus dan bagian atas vagina
pada wanita. Ke arah posterior, kolon sigmoideum berhubungan dengan pembuluh
iliaka eksterna dan sakrum. Kolon sigmoideum berlanjut sebagai rektum setinggi
vertebra sakral ketiga.

h. Rectum

· Ruangan yg menghubungkan kolon sigmoid (level vertebra S-III) dengan kanalis


analis dan berakhir pada perineum (recto anal angle). Secara anatomi rektum terbentang dari
vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal Panjangnya berkisa 10-15 cm, dibagi menjadi 3,
dimana 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis di depan os sakrum dan os
koksigius dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen. Struktur
rektum serupa dengan yang ada pada colon, tetapi dinding yang berotot lebih tebal dan
membran mukosanya memuat lipatan-lipatan membujur yang disebut kolumna Morgagni.
Secara fungsional, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter,
dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula
terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan
internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.

Rektum disuplai oleh arteri rektal superior (cabang dari arteri mesenterika
inferior), arteri rektal tengah (cabang dari arteri iliaka interna) dan arteri rektal inferior
(cabang dari arteri pudenda interna dari arteri iliaka interna).

Drainase vena rektum dilakukan oleh vena rektal superior, tengah dan inferior. Vena
rektal superior mengalirkan bagian atas rektum ke dalam sistem vena portal (melalui
vena mesenterika inferior); di sisi lain, vena rektal tengah dan inferior mengalirkan
bagian bawah rektum ke vena iliaka interna (sirkulasi sistemik) melalui vena pudenda
interna. Di antara kedua jenis vena yang berbeda (yang mengalir ke sistem portal hepatik
dan yang mengalirkan sirkulasi sistematis) terdapat anastomosis yang secara klinis penting
dalam kasus hipertensi porta. Adanya jalur pembuluh getah bening di sepanjang vena
menyebabkan karsinoma rektal proksimal bermetastasis ke hati sedangkan karsinoma rektal
distal
dapat
bermetastasis ke paru-paru. Persarafan simpatis dibawa oleh pleksus mesenterika inferior
sedangakan persarafan parasimpatis oleh saraf splanknikus pelvis dan pleksus hipogastrik
inferior.

i. Anus

Anus adalah bagian terakhir dari saluran pencernaan. Panjang anus adalah kira-kita 4-
5 cm. Anus memainkan peranan penting untuk defekasi. Sekiranya terjadi kelainan,defekasi
tidak dapat berlangsung normal.Terdapat beberapa otot yang membantu anus agar defekasi
lancar seperti m.puborektal merupakan bagian dari otot levator ani,sfingter ani eksternus (otot
lurik) dan sfingter ani internus (otot polos).

Bagian-Bagian Anus

Adapun bagian anus dan fungsinya yang diantaranya yaitu:

• Anal Canal
Anal Canal “Kanalis Anal” merupakan sebuah saluran dengan panjang sekitar 4 cm yang
dikelilingi oleh sfingter anus. Bagian atasnya dilapisi oleh mukosa glandular rektal. Fungsi
kanal ini merupakan sebagai penghubung antara rektum dengan bagian luar tubuh.

• Rektum

Rektum sebenarnya merupakan organ yang berbeda dengan anus, rektum merupakan ruangan
dengan panjang sekitar 12-15 cm yang terletak setelah kolon “usus besar”. Fungsi rektum
ialah untuk menampung feses sementara, ketika rektum sudah penuh, maka dinding rektum
akan memberikan impuls “rangsangan” ke otak sehingga timbul keinginan untuk buang air
besar “defekasi”.

• Sfingter Anal Internal

Sfingter anal internal merupakan jaringan otot polos yang mengelilingi 2,5 cm bagian kalis
anal. Sfingter anal internal mempunyai ketebalan sekitar 5 mm, karena disusun oleh serat otot
polos, maka kerja dari sfingter ini berlangsung secara tidak sadar dan tidak dapat dikontrol.
Fungsi dari sfingter anal internal ialah untuk mengatur pengeluaran feses saat buang air besar
agar feses tidak kembali masuk ke usus.

• Sfingter Anal Eksternal

Sfingter Anal Eksternal merupakan jaringan otot rangka “lurik” berbentuk elips yang melekat
pada dinding anus. Panjangnya sekitar 8-10 cm. Fungsi dari sfingter anal eksternal ialah
untuk membuka dan menutup kanalis anal. Karena disusun oleh otot rangka “lurik” maka
kerja dari sfingter ini adalah secara sadar. Otot inilah yang membuat kita bisa menahan
proses defekasi “buang air besar” untuk sementara.

• Pectinate Line

Pectinate Line merupakan garis yang berfungsi sebagai garis pembagi antara dua pertiga
“atas” dengan bagian sepertiga “bawah” anus. Fungsi dari Pectinate line termasuk penting
karena bagian yang dipisahkan olehnya membuatnya struktur dan fungsi yang berbeda.

• Kolom Anal

Kolom anal atau yang juga sering disebut dengan kolom Morgagni ialah beberapa lipatan
membran mukosa dan serat otot. Nama Morgagni’s diambil dari penemunya yaitu Giovanni
Battista Morgagni, fungsi dari kolom anal ialah sebagai pembatas dinding anus.
Anatomi dan Fisiologi Anus
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm,
sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus dan rektum ini maka
perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfenya berbeda juga, ini juga berlaku
dengan epitel yang menutupinya.

Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis
dan kulit luar disekitarnya kaya akan persyarafan sensoris somatik dan peka terhadap
rangsang nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka
terhadap nyeri.

Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3cm. Batas antara kanalis anus disebut garis
anorektum, garis mukokutan, linea pektinata atau linea dentata. linea pectinea / linea dentata
yang terdiri dari sel-sel transisional. Dari linea ini kearah rectum ada kolumna rectalis
(Morgagni), dengan diantaranya terdapat sinus rectalis yang berakhir di kaudal sebagai
valvula rectalis.

Didaerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi
yang terjadi disini dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat menimbulkan fistel.
Lekukan antar sfingter sirkuler dapat diraba didalam kanalis analis sewaktu melakukan colok
dubur dan menunjukkan batas antara sfingter interna dan sfingter eksterna (garis Hilton).

Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan sfingter
ekstern. sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter intern, oto longitudinal,
bagian tengah dari otot levator (puborektalis), dan komponen m.sfingter eksternus.
Otot-otot yang berfungsi mengatur mekanisme kontinensia adalah :

1. Pubo-rektal merupakan bagian dari otot levator ani


2. Sfingter ani eksternus (otot lurik)
3. Sfingter ani internus (otot polos)

Vaskularisasi Rektum

Arteri

Arteria rectalis superior mendarahi setengah bagian atas rectum, dan arteria rectalis inferior
mendarahi setengah bagian bawah rectum.

Vena

Setengah bagian atas dialirkan oleh vena rectalis superior ke vena mesenterica inferior;
setengah bagian bawah dialirkan oleh vena rectalis inferior ke sirkulasi sistemik.
Aliran Limfe

Limfe dari setengah bagian atas canalis analis dialirkan ke nodi pararectales dan bergabung
dengan nodi mesenterici inferiores. Limfe dari setengah bagian bawah canalis analis dialirkan
ke kelompok medial nodi inguinales superificiales.

Persarafan

Tunica mucosa setengah bagian atas canalis analis peka terhadap regangan dan disarafi oleh
serabut-serabut yang berjalan ke atas melalui plexus hypogasctricus. Setengah bagian bawah
peka terhadap nyeri, suhu, dan raba dan disarafi oleh nervus rectalis inferior. Musculus
sphincter ani internus disarafi oleh serabut-serabut simpatik dari plexus hypogastricus
inferior. Musculus sphincter ani externus volunter disarafi oleh nervus rectalis inferior.

2. Embriologi gastrointestinal

1. Mulut

Lidah

Lidah muncul di mudigah sekitar usia 4 minggu dalam bentuk dua penebalan lidah
lateral dan satu penebalan medial, tuberculum impar. Ketiga penebalan ini berasal dari arkus
faring pertama. Penebalan medial kedua, kopula, atau eminensia hipobrankialis, dibentuk
oleh mesoderm dari arkus kedua, ketiga dan sebagian arkus keempat. Pada akhirnya,
penebalan medial ketiga, dibentuk oleh bagian posterior arcus keempat, yang menandakan
pembentukan epiglotis. Tepat di belakang penebalan ini terdapat aditus laringis, yang diapit
oleh penebalan arytenoid. Sewaktu bertambah besar, penebalan lidah lateral ini tumbuh
menutupi tuberculum impar dan menyatu, membentuk dua pertiga anterior, atau corpus
linguae Sejak mukosa yang melapisi corpus linguae berasal dari arkus faring pertama,
persarafan sensorik ke area ini diberikan oleh n. mandibularis (cabang n. trigeminus). Corpus
linguae dipisahkan dari sepertiga posterior oleh alur berbentuk huruf V yaitu sulkus
terminalis. Bagian posterior, atau pangkal lidah berasal dari arkus faring kedua, ketiga dan
sebagian arkus keempat serta mendapat persarafan sensorik oleh n. glosofaringeus

Bibir

Bibir bagian atas dibentuk oleh dua prominensia nasalis mediana dan dua prominensia
maksilaris. Prominensia nasalis lateralis tidak ikut membentuk bibir atas. Bibir bawah dan
rahang dibentuk oleh prominensia mandibularis yang menyatu melewati garis tengah.

Segmen antarmaksila
Sebagai hasil dari pertumbuhan medial prominensia maksilaris, dua prominensia
nasalis mediana menyatu tidak hanya di permukaan namun juga di bagian yang lebih dalam.
Struktur yang dibentuk oleh dua prominensia yang menyatu adalah segmen antar maksila.
Struktur ini terdiri dari (1) komponen labia, yang membentuk filtrum bibir atas; (2)
komponen rahang atas, yang membawa empat gigi seri; dan (3) komponen palatum, yang
membentuk palatum primer berbentuk segitiga.

Palatum

Berbeda dengan palatum primer yang berasal dari segmen antar-maksila, bagian
utama dari palatum definitif dibentuk oleh dua pertumbuhan keluar seperti bilah dari
prominensia maksilaris. Pertumbuhan keluar ini, bilah palatum (palatine shelve), muncul di
minggu keenam erkembangan dan mengarah ke bawah secara oblik di kedua sisi lidah.
Namun, di minggu ketujuh, bilah palatum bergerak ke atas untuk memperoleh posisi
horizontal di atas lidah dan menyatu, membentuk palatum sekunder. Di anterior, bilah ini
menyatu dengan palatum primer yang berbentuk segitiga, dan foramen insisivum merupakan
tanda utama garis tengah di antara palatum primer dan sekunder. Pada saat yang sama dengan
menyatunya bilah-bilah palatum, septum nasi tumbuh ke bawah dan bergabung dengan
bagian sefalik palatum yang baru terbentuk.

2. Esophagus
Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah
berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak
di dinding ventral usus depan, di perbatasan dengan faring. Divertikulum ini atau berangsur-
angsur terpisah dari bagian dorsal usus depan melalui sebuah pembatas, yang dikenal dengan
septum esofagotrakealis. Dengan cara ini, usus depan terbagi menjadi bagian ventral, yaitu
primordium pernapasan, dan bagian dorsal, yaitu esophagus.

Pada mulanya esophagus tersebut pendek, tetapi karena jantung dan paru-paru bergerak
turun, bagian ini memanjang dengan cepat. Lapisan otot, yang dibentuk oleh mesenkim di
sekitarnya, bercorak serat lintang pada dua pertiga bagian atasnya dan dipersarafi oleh nervus
vagus; lapisan otot sepertiga bawah adalah otot polos dan dipersarafi oleh pleksus
splangnikus.

3. Gaster
• Mulai minggu ke-4 berupa pelebaran usus depan yang berbentuk kumparan
• Minggu berikutnyaàkedudukan sangat berubah, karena:
• Perbedaan kecepatan pertumbuhan pada berbagai dindingnya
• Perubahan kedudukan alat-alat disekitarnya
• Perubahan kedudukan lambung karena ia berputar sekitar sumbu memanjang
dan sumbu anteroposterior.
• Disekitar sumbu memanjang,lambung melakukan putaran 90 derajat searah
jarum jam.
• Akibatnya:
• Sisi kiri menghadap ke depan.
• Sisi kanan menghadap kebelakang.
• N.X kiri yang semula mensarafi kiri menuju depan.
• N.X kanan yang semula mensafari kanan menuju belakang.

• Selama perputaran mengakibatkan bagian dinding posterior lambung tumbuh


lebih cepat dari bagian depannya. Hal ini mengakibatkan terbentuknya:
• Curvatura mayor
• Curvatura minor
• Ujung cephalic dan kaudal lambung pada mulanya terletak di garis depan.
Selama pertumbuhan:
• Bagian kaudal(pilorus)à bergerak ke kanan dan ke atas.
• Bagian cephalic (kardia) à ke kiri dan ke bawah sumbu panjang lambung
berjalan dari kiri dan kanan bawah.

Perkembangan Lambung

• Pada tingkat perkembangan ini, lambung terikat di dinding dorsal dan ventral
tubuh melalui mesogastrium dorsal dan ventral.
• Perputaran di sekitar sumbu memanjang menarik mesogastrium dorsal ke kiri
à membantu pembentukan bursa omentalis(kantong peritonium posterior
lambung).
4. Duodenum

Terbentuk dari bagian akhir fore gut dan bagian atas mid gut. Yaitu dari bagian akhir
usus depan dan bagian sefalik usus tengah. Titik pertemuan fore gut dan mid gut ini
terletak tepat distal dari tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil
bentuk lengkung seperti huruf “C” dan akhirnya terletak retroperitoneal. Perputaran ini,
bersama-sama tumbuhnya kaput pankreas. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke
dinding dorsal badan, dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan
peritoneum yang ada didekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang, dan
duodenum serta kaput pankreas menjadi terfiksasi di posisi retroperitoneal. Selama bulan
kedua, lumen duodenum tersumbat oleh proliferasi sel di dindingnya. Namun akan
menyatu kembali segera sesudahnya. Duodenum diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arteri seliaka dan mesenterika superior.

5. Jejunum
Embriologi usus tengah
Pada mudigah berusia 5 minggu, usus tengah digantung dari dinding abdomen dorsal
oleh mesenterium pendek dan berhubungan dengan yolk sac melalui duktus vitelinus
atau yolk stalk. Pada orang dewasa, usus tengah dimulai tepat di distal muara duktus
biliaris ke dalam duodenum dan berakhir di tautan dua pertiga proksimal kolon
transversum dengan sepertiga distalnya. Di seluruh panjangnya, usus tengah disuplai
oleh arteri mesenterika superior. Perkembangan usus tengah ditandai oleh pemanjangan
cepat usus dan mesenteriumnya, yang menghasilkan pembentukan lengkung usus
primer. Di puncaknya, lengkung usus tetap berhubungan langsung dengan yolk sac
melalui duktus vitelinus yang sempit. Bagian sefalik dari lengkung berkembang menjadi
bagian distal duo-denum, jejunum dan sebagian ileum. Bagian kaudal menjadi bagian
bawah ileum, saekum, apendiks, kolon asendens, dan dua pertiga proksimal kolon
transversum.

a. Herniasi Fisiologis

Perkembangan lengkung usus primer ditandai dengan pemanjangan cepat, khususnya


pada bagian sefalik. Akibat dari pertumbuhan dan perluasan hati yang cepat, rongga
abdomen untuk sementara menjadi terlalu kecil untuk menampung seluruh lengkung
usus, dan lengkung usus ini masuk ke rongga ekstraembrional melalui tali pusat selama
minggu keenam perkembangan (herniasi)

b. Perputaran Usus Tengah

Bersamaan dengan pertumbuhan panjangnya, lengkung usus primer berputar


mengelilingi sumbu yang dibentuk oleh arteri mesenterika superior. Bila dilihat dari
depan, perputaran-ini berlawanan arah dengan jarum jam, dan besarnya sekitar 270°
ketika selesai. Bahkan selama berputar, pemanjangan lengkung usus halus terus
berlanjut, dan jejunum beserta ileum membentuk sejumlah lengkung berbentuk
kumparan. Usus besar juga memanjang namun tidak ikut dalam fenomena
pembentukan kumparan. Perputaran terjadi selama herniasi (sekitar 901, dan juga
selama kembalinya lengkung usus kedalam rongga abdomen (180 derajat sisanya)

c. Retraksi Lengkung Yang Mengalami Herniasi

Selama minggu ke-10, lengkung usus yang mengalami herniasi mulai kembali ke dalam
rongga abdomen. Walaupun faktor-faktor yang berperan untuk pengembalian usus ini
tidak diketahui pasti, diduga bahwa regresi ginjal mesonefrik, berkurangnya
pertumbuhan hati dan meluasnya rongga abdomen, memainkan peranan yang penting.
Bagian proksimal jejunum, bagian pertama yang masuk kembali ke rongga abdomen,
menjadi berada di sisi kiri. Lengkung usus yang masuk selanjutnya secara bertahap
terletak semakin ke kanan. Tunas saekum, yang muncul di minggu keenam sebagai suatu
pelebaran kecil berbentuk kerucut di bagian kaudal lengkung usus primer, adalah bagian
usus terakhir yang masuk kembali ke rongga abdomen. Untuk sementara, bagian ini
terletak di kuadran kanan atas tepat di bawah lobus kanan hati. Dari sini, bagian ini turun
ke dalam fossa iliaka kanan, yang menempatkan kolon asendens dan fleksura hepatika di
sisi kanan rongga abdomen. Selama proses ini, ujung distal tunas saekum membentuk
divertikulum yang sempit, apendiks. Karena apendiks berkembang selama turunnya
kolon, posisi akhirnya sering berada di posterior saekum atau kolon. Posisi-posisi
apendiks ini masing-masing disebut retrosaekum atau retrokolon.

6. Ileum

Pada mudigah berusia 5 minggu, usus tengah digantung dari dinding abdomen dorsal
oleh mesenterium pendek dan berhubungan dengan yolk sac melalui duktus vitelinus atau
yolk stalk. Ileum dibentuk oleh usus tengah. Pada orang dewasa, usus tengah dimulai tepat di
distal muara duktus biliaris ke dalam duodenum dan berakhir di tautan dua pertiga proksimal
kolon transversum dengan sepertiga distalnya.

Di seluruh panjangnya, usus tengah disuplai oleh arteri mesenterika superior.


Perkembangan usus tengah ditandai oleh pemanjangan cepat usus dan mesenteriumnya, yang
menghasilkan pembentukan lengkung usus primer. Di puncaknya, lengkung usus tetap
berhubungan langsung dengan yolk sac melalui duktus vitelinus yang sempit. Bagian sefalik
dari lengkung berkembang menjadi bagian distal duo-denum, jejunum dan sebagian ileum.
Bagian kaudal menjadi bagian bawah ileum, saekum, apendiks, kolon asendens, dan dua
pertiga proksimal kolon transversum. Ileum primitive awalnya mengalami herniasi di
umbilikal yang disebut herniasi fisiologis.

Hal ini disebabkan perkembangan lengkung usus yang cepat sehingga rongga
abdomen untuk sementara menjadi terlalu kecil untuk menampung seluruh lengkung usus.
Lengkung usus ini akan masuk ke rongga ekstraembrional melalui tali pusat selama minggu
ke-6 perkembangan. Selanjutnya ileum yang telah masuk ke rongga abdomen akan
mengalami perputaran.

7. Colon

Pembentukan kolon dimulai pada minggu ke-5. Sebagian kolon (kolon asenden dan
2/3 kolon transversum) berkembang dari usus tengah dan sebagian lainnya (1/3 distal kolon
transversum, kolon desenden dan kolon sigmoid) berkembang dari usus belakang. Kolon
yang berkembang dari usus tengah memiliki embriologi yang sama dengan ileum. Usus
belakang nantinya akan masuk ke dalam region posterior kloaka

8. Rectum
Bagian akhir usus belakang masuk ke dalam regio posterior kloaka, ,kanalis
anorektalis primitif; alantois masuk ke bagian anterior, sinus urogenitalis primitif (Gambar
A). Kloaka itu sendiri merupakan rongga yang dilapisi oleh endoderm dan di batas ventralnya
dilapisi oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini membentuk
membrana kloakalis (Lihat Gambar). Lapisan mesoderm, septum urorektale, memisahkan
regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan mesoderm yang
melapisi yolk sac dan alantois di sekitarnya (Lihat Gambar).

Seiring dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya pelipatan kaudal, ujung


septum urorektale menjadi berada dekat dengan membrana kloakalis (Gambar B,C). Pada
akhir minggu ketujuh, membrana kloakalis ruptur, sehingga terbentuk lubang anus untuk usus
belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara keduanya, ujung septum
urorektale membentuk korpus perineale (badan perineum) (Gambar C). Bagian atas (dua
pertiga) kanalis analis berasal dari endoderm usus belakang; bagian bawah(sepertiga) berasal
dari ektoderm di sekitar proktodeum (Gambar B,C). Ektoderm di region proktodeum di
permukaan bagian kloaka berproliferasi dan melakukan invaginasi untuk membuat celah
anus.

Selanjutnya, degenerasi membrana kloakalis (kini disebut membran anus)


membentuk kontinuitas di antara bagian atas dan bawah kanalis analis. Karena bagian kaudal
kanalis analis berasal dari ektoderm, maka bagian ini disuplai oleh arteri rektalis inferior,
cabang dari arteri pudenda interna. Namun, bagian kranial kanalis analis berasal dari
endoderm sehingga disuplai oleh arteri rektalis superior yang merupakan kelanjutan dari
arteri mesenterika inferior, yaitu arteri usus belakang. Taut antara regio endoderm dan
ektoderm di kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di bawah kolumna analis. Di
garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel gepeng berlapis.

9. Anus
• Usus sederhana belakang membentuk:
• 1/3 distal colon transversum
• Colon ascendens
• Sigmoid
• Rectum
• Bagian atas canalis analis
• Usus ini bermuara ke dalam cloaka (suatu rongga yang di lapisi endoderm yang
berhubungan langsung dengan entoderm permukaan).
• Pada pertemuan antara endoderm dan ektoderm terbentuk membrana cloacalis.
• Pada perkembangan selanjutnya tumbuh septum urorectal pada sudut antara alantois
dan usus belakang.
• Sekat ini berlanjut tumbuh ke caudal sambil membagi cloaka menjadi:
• Sinus urogenitalis sederhana (anterior)
• Canalis anorectalis (posterior)

• Mudigah umur 7 minggu, septum urorectal mencapai membran cloacalis, yang akan
terbagi menjadi :
• Membran analis (posterior)
• Membran urogentalis (anterior)
• Membran analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan mesenchim. Pada minggu ke 8
selaput ini ditemukan pada dasar lekukan ektoderm yang akan menjadi lubang anus
atau proktodium.
• Dalam minggu ke 9, membran analis koyak dan terbentuklah jalan terbuka antara
rektum dan dunia luar.

3. Histologi gastrointestinal

a. Mulut
1) Bibir

● Pars kutanea : epitel berlapis pipih bertanduk, terdapat folikel rambut, kelenjar
keringat, dan kelenjar minyak

● Pars intermedia (merah bibir) : memiliki stratum lucidum yang tebal dan
transparan, dermal papil yang tinggi, serta kaya akan pembuluh darah dan
akhiran saraf

● Pars mukosa : epitel berlapis pipih tak bertanduk, memiliki dermal papil tinggi
dan kelenjar labialis.

2) Palatum
● Palatum durum : epitel berlapis pipih bertanduk dan memiliki derma papil
tinggi

● Palatum molle : epitel berlapis pipih tak bertanduk dan banyak mengandung
kelenjar

3) Lidah

Terdiri atas otot intrinsik dan ekstrinsik dengan tipe otot bergaris yang membantu
lidah dalam proses pencampuran makanan di rongga mulut.

Bagian ventral lidah memiliki permukaan yang licin dan dilapisi oleh epitek berlapus
pipih, sedangkan pada bagian dorsalnya, ⅔ bagiannya terdiri dari papilla lingualis dan
⅓ bagiannya terdiri dari tonsila lingualis.

4) Kelenjar Liur
b. Esophagus
Tabung otot dengan panjang sekitar 25 cm pada orang dewasa yang mengangkut
bahan yang tertekan dari faring sampai lambung. Tunika-tunika terdiri dari :

Mukosa

• Epitelnya berlapis pipih tak bertanduk, bagian atas mengandung keratohialin yang
lama kelamaan menipis dan pada 1/3 bawah epitelnya berubah jd selapis silindris.
• Muskularis mukosa terdiri dari 1 lapis tebal otot polos dengan arah longitudinal.
• Terdapat oesophageal cardiac gland pada lamina propria oesophagus proximal dan
distal dekat cardia.

Submukosa
o Terdiri dari serat elastin
o Terdapat oesophageal gland proper (kelenjar mucous)

Muskularis eksterna
o Oesophagus 1/3 atas: terdiri dari otot bergaris
o Oesophagus 1/3 tengah: terdiri dari otot bergaris & otot polos
o Oesophagus 1/3 bawah: terdiri dari otot polos
o Pada batas atas dan bawah terdapat 2 lapis otot polos sirkular membentuk
sfingter

Serosa/ Adventitia

o Di bagian atas berupa adventitia, di bawah (di bawah diafragma) diliputi


serosa
c. Gaster
Lambung (gaster) adalah organ berongga luas yang terletak di antara esofagus dan
usus halus. Secara anatomis, lambung dibagi menjadi bagian kardia yang sempit, tempat
berakhirnya esofagus, bagian atas yang berbentuk kubah yaitu fundus, korpus, dan bagian
terminal bentuk corong yaitu pylorus. Pada permukaan luminal lambung terlihat banyak
lubang kecil yang disebut foveola gastrica (gastric pit). Lubang ini dibentuk oleh epitel
luminal yang berinvaginasi ke lamina propria jaringan ikat mukosa di bawahnya. Kelenjar
gastrik (glandula gastrica) tubular terletak di bawah epitel luminal dan langsung bermuara ke
foveola gastrica untuk mengalirkan isinya ke lumen lambung. Kelenjar gastrik nantinya akan
turun melalui lamina propria ke muskularis mukosa. Gastric pit dan kelenjar gastrica inilah
yang dijadikan patokan untuk mengidentifikasi masing-masing bagian lambung.

Secara umum lambung dibagi menjadi empat lapisan besar:

1. Tunika mukosa

a. Epitel selapis silindris.

b. Lamina propria yang mengandung banyak kelenjar yang bermuara di dasar


gastric pit.

c. Muskularis mukosa dengan 3 lapisan otot polos (sirkuler-longitudinal-


sirkular).

2. Tunika submukosa, terdiri dari jaringan ikat kendor dan pembuluh darah.

3. Tunika muskularis eksterna, terdiri dari 3 lapisan otot polos (oblique-sirkular-


longitudinal).

4. Tunika adventitia yang terdiri dari serosa.


Kardia

a. Gastric pits berbentuk huruf V dangkal dan tidak tajam.

b. Terdapat cardiac gland, kelenjar bulat/lonjong dan tidak rapat

Fundus

a. Gastric pits berbentuk huruf U dangkal.

b. Terdapat fundic gland, kelenjar berupa tubulus yang rapat-sejajar dan tegak lurus
dengan permukaan.

- Chief cell/ zymogenic cell (basofilik)

- Mucous neck cell, berfungsi untuk memproduksi mukus.

- Parietal cell (eosinofilik), berfungsi untuk memproduksi HCl bebas.

- Argentafin cell, berfungsi untuk memproduksi hormon seperti hormon


serotonin, histamin, gastrin, dan enteroglukagon.
Pilorus

a. Gastric pits berbentuk huruf V yang tajam dan sangat dalam.

b. Terdapat pyloric gland yang menggelembung dan bergelung di bagian bawahnya.

d. Duodenum
Dinding duodenum terdiri atas empat lapisan: mukosa dengan epitel, lamina propria,
dan muskularis mukosa, jaringan ikat submukosa dibawahnya, dengan kelenjar
duodenal (Brunner), dua lapisan otot polos muskularis eksterna, dan peritoneum
viscerale serosa. Usus halus ditandai oleh banyak tonjolan mirip-jari yang disebut vili,
epitel sel kolumnar dengan mikrovili yang membentuk striated border, sel goblet yang
terpulas-pucat dan kelenjar intestinal (kriptus Lieberkuhn) tubular pendek di lamina
propria. Kelenjar duodenal (Brunner) di submucosa merupakan ciri khas duodenum.
Kelenjar ini tidak terdapat di bagian lain usus halus (jejunum dan ileum) dan usus
besar. Fungsi utama kelenjar duodenal adalah melindungi mukosa duodenum dari isi
lambung yang sangat korosif. Sekresi mukus dan ion bikarbonat yang alkalis dari
kelenjar duodenal yang masuk ke duodenum, menetralkan atau mendapar kimus asam
sehingga tercipta lingkungan yang lebih sesuai untuk enzim pencernaan yang masuk ke
duodenum dari pankreas. Kelenjar duodenal juga diperkirakan menghasilkan hormon
polipeptida yaitu urogastron. Hormon ini menghambat sekresi asam hidroklorida oleh
sel parietal lambung dan meningkatkan proliferasi epitel di usus halus. Vili merupakan
modifikasi permukaan mukosa. Pada duodenum, muskularis eksterna terdiri atas
lapisan sirkular dalam dan lapisan longitudinal luar otot polos. Serosa (peritoneum
viscerale) mengandung sel jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel adiposa. Serosa
membentuk lapisan terluar bagian pertama duodenum.

e. Jejunum

Usus halus : tempat nutrient sebagai produk pencernaan diserap oleh sel epitel. Terdiri atas
tiga segmen, yaitu :
1. Tunika mukosa : membentuk lipatan yg menonjol disebut plika yg tiap lipatannya
dipenuhi oleh tonjolan kecil yang menjulur ke dalam lumen disebut vili. Vili ditutupi
oleh epitel pelapis silindris sel absorptive yang disebut enterosit (banyak sel goblet).
Di antara vili terdapat muara kelenjar intestinal (kripta lieberkuhn) yang menjorok ke
dalam. Ujung apikal enterosit akan menampakkan striated border (mikorvili) yang
berfungsi sebagai jalan masuk makanan ke dalam sel. Plika, vili, dan mikrovili
berfungsi untuk memperluas permukaan usus yang berkontak dengan nutrien
sehingga berperan penting dalam penyerapan. Plika memperluas daerah permukaaan
usus 3 kali, vili 10 kali, dan mikrovili 20 kali. Muskularis interna : serat otot polos
meluas dari mukosa otot untuk menghasilkan Gerakan ritmik vili sehingga
penyerapan meningkat efisiensi.

2. Tunika submukosa : terdapat plexus saraf SM (Meisner). Mukus yang dihasilkan


sangat alkali (8,1-9,3) dimana fungsinya yaitu, menetralkan kimus yang berasal dari
duodenum, melindungi membrane mukosa, serta mengoptimalkan kerja enzim
pankreas.

3. Tunika muskularis eksterna : terdiri atas plika sirkular dan longitudinal, di antara
plika terdapat pleksus saraf mienterikus (Auerbach) yang mengoordinasikan gerakan
peristaltik

4. Tunika advetitia dengan selapis tipis mesotel yang menfiksir seluruh lapisan jejunum
dengan jaringan sekitar

f. Ileum

Ileum memiliki karakteristik yaitu agregasi dari nodul limfatik yang disebut plaque
peyeri. Setiap plaque peyeri adalah agregasi dari beberapa nodul limfatik yang berada pada
inding ileum berlawanan dengan penempelan mesenterium. Sebagian besar dari nodul
limfatik menampilkan sentrum germinativum.Nodul limfatik umumnya bersatu dan batas
antara keduanya menjadi sukar dibedakan. Nodul limfatik berasal dari jaringan limfatik pada
lamina propia. Plaque peyeri mengandung banyak limfosit B, beberapa limfosit T, makrofag
dan sel plasma. Tidak terdapat vili pada area lumen usus halus dimana nodul mencapai
permukaan mukosa.

Ciri ciri dari ileum :

- Plika kerkringi makin jarang, dan pendek, menghilang di akhir ileum


- Vili pendek dan atropi, menghilang di akhir ileum

- Banyak kripta lieberkuhn dan sel goblet tapi tertutup infiltrasi limfosit

- Pada lamina propria ada peyer patch (+) yg menjadi khas pada ileum

g. Colon

Pada histologi colon terdapat Taenia coli yaitu pengumpulan muskulus longitudinal
menjadi 3 kelompok yang khas pada colon. Pada sigmoid menyebar kembali, pada
rektum menjadi lapisan kontinu. Serosa merupakan jaringan ikat kendor berisi kantong-
kantong lemak (appendices epiploicae). Pada colon, lebih banyak sel goblet dan tidak
terdapat sel paneth.

h. Rectum

• Epitel selapis silindris dg sel goblet


• Mukosa: lipatan2 longitudinal (kolumna rektalis morgagni
• Muskularis mukosa (-)
• Lamina propria & tunika submukosa: vena yg berliku2 à bendungan à
haemorhoid
• Tunika muskularis eksterna: tebal, muskulus longitudinalis tersebar, bag dpn
& belakang lebih pendek dr panjang rektum à lipatan (plika transversa (2 di
kiri & 1 di kanan)
i. Anus

Ujung disal dari saluran cerna sepanjang 3-4 cm.

1. Tunika mukosa : membentuk sejumlah lipatan memanjang disebut kolumna rectal


yang merupakan tempat peralihan dari epitel selapis silindris rectum berubah menjadi
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
2. Tunika submukosa terdapat sinus venosus, kumpulan dari pembuluh darah
3. Tunika muskularis interna : lapisan sirkular dalam menebal sebagai sfingter ani
interna. Bahan fekal yang terkumpul di rectum dikeluarkan oleh kontraksi otot
sfingter ani interna berhubungna langsugn dengan lapisan sirkular muskularis dan
sfingter eksterna dari otot rangka.

4. Fisiologi gastrointestinal

a. Mulut

Pada mulut terjadi pencernaan secara mekanik dan kimiawi. Bibir mengandung otot
yang membantu mengambil, menuntun, dan menampung makanan di mulut. Langit-langit
(palatum) yang membentuk atap lengkung rongga mulut, memisahkan mulut dari saluran
hidung. Keberadaan struktur ini memungkinkan bernapas dan mengunyah atau menghisap
berlangsung secara bersamaan. Di belakang tenggorok menggantung pada palatum suatu
tonjolan, uvula, yang berperan penting dalam menutup saluran hidung sewaktu menelan.
Lidah, yang membentuk dasar rongga mulut, terdiri dari otot rangka yang dikontrol secara
volunter. Gerakan lidah penting dalam menuntun makanan di dalam mulut sewaktu
mengunyah dan menelan serta berperan penting dalam berbicara. Selain itu, kuntum kecap
(taste buds) terletak di lidah.

Langkah pertama dalam proses pencernaan adalah mastikasi atau mengunyah, yaitu
motilitas mulut yang melibatkan pengirisan, penggilingan, dan pencampuran makanan oleh
gigi. Fungsi mengunyah adalah (1) untuk menggiling dan memecahkan makanan menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil sehingga makanan mudah ditelan dan untuk
meningkatkan luas permukaan makanan yang akan terkena enzim, (2) untuk mencampur
makanan dengan liur, dan (3) untuk merangsang kuntum kecap.

Pencernaan kimiawi diperankan oleh liur yang dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar
liur utama yang terletak di luar rongga mulut dan mengeluarkan liur melalui duktus pendek
ke dalam mulut. Liur memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja amilase liur.
Liur mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel makanan sehingga partikel-
partikel tersebut menyatu, serta menghasilkan pelumasan oleh adanya mukus, yang kental
dan licin. Liur memiliki silat antibakteri melalui efek empat kali lipat—pertama, dengan
lisozim, suatu enzim yang melisiskan, atau menghancurkan, bakteri tertentu dengan merusak
dinding sel; kedua, dengan glikoprotein pengikat yang mengikat erat besi yang di perlukan
untuk multiplikasi baktari; dan keempat, dengan membilas bahan yang mungkin berfungsi
sebagai sumber makanan untuk bakteri.

b. Esophagus

Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring dan
lambung. Struktur ini sebagian besar terletak di rongga toraks, menembus diafragma dan
menyatu dengan lambung di rongga abdomen beberapa sentimeter di bawah diafragma.
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah struktur otot berbentuk
cincin yang, ketika tertutup, mencegah lewatnya sesuatu melalui saluran yang dijaganya.
Sfingter esofagus atas adalah sfingter faringo esofagus, dan sfingter esofagus bawah adalah
sfingter gastroesofagus.

Karena esofagus terpajan ke tekanan intrapleura subatmosfer akibat aktivitas


pernapasan terbentuk gradien tekanan antara atmosfer dan esofagus. Kecuali sewaktu
menelan, sfingter faringoesofagus menjaga pintu masuk ke esofagus selalu tertutup sebagai
hasil dari kontraksi otot rangka sirkular sfingter yang dipengaruhi oleh saraf. Kontraksi tonik
sfingter esofagus atas mencegah masuknya udara dalam jumlah besar ke dalam esophagus
dan lambung sewaktu bernapas. Udara hanya diarahkan ke dalam saluran napas. Jika tidak,
saluran cerna akan menerima banyak gas, yang dapat menimbulkan eructation (sendawa)
berlebihan. Sewaktu menelan, sfingter ini terbuka dan memungkinkan bolus masuk ke dalam
esophagus. Setelah bolus berada di dalam esofagus, sfingter faringoesofagus menutup,
saluran napas terbuka
Setelah bolus masuk ke dalam esophagus, pusat menelan memicu gelombang
peristaltik primer yang menyapu dari pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di
depannya menelusuri esofagus untuk masuk ke lambung. Kata peristalsis merujuk kepada
kontraksi otot polos sirkuler berbentuk cincin yang bergerak progresif maju, mendorong
bolus ke bagian di depannya yang masih lemas. Gelombang peristaltik memerlukan waktu
sekitar 5 hingga 9 detik untuk mencapai ujung bawah esofagus. Perambatan gelombang
dikontrol oleh pusat menelan, dengan persarafan melalui saraf vagus.

Jika bolus berukuran besar atau lengket yang tertelan, misalnya potongan roti lapis
selai kacang, tidak dapat didorong peristaltic mencapai lambung oleh gelombang peristaltik
primer, bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus, merangsang reseptor
tekanan di dindingnya. Akibatnya, pleksus saraf intrinsik di tempat distensi memulai
gelombang peristaltik tambahan untuk mendorong bolus yang tertahan tersebut. Gelombang
peristaltik kedua ini tidak melibatkan pusat menelan, dan yang bersangkutan tidak menyadari
kejadiannya. Peregangan esofagus juga secara refleks meningkatkan sekresi liur untuk
memudahkan proses penelanan bolus.

Sementara itu sewaktu menelan, sfingter gastroesofagus, yang merupakan otot polos
yang berbeda dengan sfingter gastroesofagus atas, tetap berkontraksi dengan cara aktivitas
miogenik. Kontraksi juga meningkat selama inspirasi sehingga menurunkan kemungkinan
refluks isi lambung yang asam ke dalam esofagus pada saat ketika tekanan intrapleura yang
subatmosferik akan mendorong pergerakan kembali isi lambung. Jika isi lambung akhirnya
mengalir balik meskipun terdapat sfingter, keasaman isi lambung ini mengiritasi esofagus,
menyebabkan rasa tidak nyaman di esofagus yang dikenal sebagai nyeri ulu hati atau
heartburn. Sewaktu gelombang peristalsis menyapu menuruni esofagus, sfingter
gastroesofagus melemas sehingga bolus dapat masuk ke dalam esophagus. Setelah bolus
masuk ke lambung, proses menelan tuntas dan sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi.

c. Gaster

Lambung adalah rongga seperti kantong berbentuk J yang terletak di antara esofagus dan
usus halus. Organ ini dibagi nienjadi tiga bagian berdasarkan perbedaan struktur dan fungsi.
Fundus adalah bagian lambung yang terletak di atas lubang esofagus. Bagian tengah atau
utama lambung adalah korpus. Bagian terminal lambung adalah sfingter pilorus, yang
bekerja sebagai sawar antara lambung dan bagian atas usus halus, yaitu duodenum.
Pengisian Lambung

Ketika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 mL, tetapi volume lambung dapat
bertambah hingga sekitar 1 liter (1000 mL) saat makan. Lambung dapat menampung
peningkatan volume 20 kali lipat tersebut melalui mekanisme berikut. Bagian interior
lambung membentuk lipatan-lipatan dalant. Sewaktu makan, lipatan menjadi lebih kecil dan
nyaris men datar sewaktu lambung sedikit melemas setiap kali makanan masuk, seperti
ekspansi bertahap kantong es yang sedang diisi. Respons yang diperantarai oleh vagus ini,
disebut relaksasi reseptif, memungkinkan lambung menampung makanan dengan hanya
menyebabkan sedikit peningkatan tekanan intralambung. Namun, jika makanan yang
dikonsumsi melebihi satu liter, lambung mengalami peregangan berlebihan, tekanan
intralambung meningkat, dan yang bersangkutan merasa tidak nyaman.

Pencampuran Lambung

Kontraksi peristaltik antrum yang kuat mencampur makanan dengan sekresi lambung untuk
menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus maju menuju
sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter pilorus normalnya menyebabkan sfingter ini nyaris
tertutup. Lubang yang terbentuk cukup besar untuk dilalui oleh air dan cairan lain, walaupun
partikel dengan diameter lebih besar dari 2 mm tidak dapat melaluinya. Sewaktu gelombang
peristaltik mencapai sfingter pilorus dan menutupnya dengan erat, partikel besar didorong
balik kembali ke korpus lambung. Massa kimus antrum yang terdorong ke depan terdorong
lebih jauh lagi ke depan dan kemudian balik kembali seiring dengan peningkatan gelombang
peristaltik herikutnya. Aksi ini disebut retropulsi, yang terus menghancurkan dan
melunakkan kimus hingga partikel menjadi cukup kecil bagi pengosongan, mencampur isi
dalam prosesnya.

Pengosongan Lambung

Faktor utama di lambung yang memengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di
lambung. Jika hal-hal lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang
sebanding dengan volume kimus di dalamnya setiap saat. Peregangan lambung memicu
peningkatan motilitas lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta
melalui keterlibatan pleksus intrinsik, saraf vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu,
derajat fluiditas kimus di lambung memengaruhi pengosongan lambung. Isi lambung harus
diubah menjadi bentuk cair kental merata sebelum pengosongan. Semakin cepat tingkat
keenceran yang sesuai tercapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.

d. Usus halus

Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan
nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung
oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses
pencernaan dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas
yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih
sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan
memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu
proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan
yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas. Proses pencernaan disempurnakan oleh
sejumlah enzim dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim – enzim ini
terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat – zat makanan sambil diabsorbsi.
Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental
dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon. Pergerakan
segmental usus halus mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret pankreas,
hepatobiliar, sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu
ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal dan suplai
kontinu isi lambung. Enterosit, sel gastrointestinal yang bertanggung jawab untuk
penyerapan, memiliki vili dan mikrovili yang meningkatkan penyerapan 30 hingga 600
kali lipat. Vili ini ditutupi oleh sel epitel kolumnar. Karbohidrat, protein, dan lipid
dicerna dan diserap oleh usus kecil. Karbohidrat makanan dimulai sebagai polisakarida,
seperti amilosa, atau disakarida, seperti laktosa, sukrosa, maltosa, atau trehalosa. Setiap
disakarida terdiri dari 2 monosakarida. Monosakarida adalah glukosa, fruktosa, dan
galaktosa. Agar enterosit usus halus dapat menyerap karbohidrat, mereka harus dipecah
menjadi monosakarida. Enzim yang bertanggung jawab untuk pencernaan karbohidrat
adalah amilase, yang ditemukan di air liur dan pankreas. Alfa-amilase ditemukan di
mulut dan memulai pencernaan karbohidrat, tetapi amilase pankreas terutama
bertanggung jawab untuk menghidrolisis pati. Bersama dengan amilase, usus halus juga
menyekresikan enzim yang mencerna karbohidrat, termasuk maltase, sukrase, laktase.
Kemudian setelah karbohidrat dicerna menjadi molekul yang lebih sederhana,
monosakarida akan diserap pada membran apikal melalui transporter yang dimediasi
oleh pembawa, SGLT1 dan GLUT5. Glukosa dan galaktosa menggunakan SGLT1,
sedangkan GLUT5 mengangkut fruktosa.

Pencernaan protein terjadi melalui pemutusan ikatan peptida melalui hidrolisis oleh
enzim proteolitik. Protein dipecah menjadi asam amino. Pankreas mengeluarkan tripsin,
kimotripsin, elastase, dan karboksipeptidase A dan B. Protease dari pankreas ini
dilepaskan setelah duodenum melepaskan kolesistokinin (CCK) dengan adanya protein.
Bentuk tidak aktif dari protease pankreas ini dilepaskan terlebih dahulu, dan
enteropeptidase (juga disebut enterokinase) mengubahnya menjadi bentuk aktifnya.
Setelah Tripsin diaktifkan, ia dapat mengaktifkan lebih banyak dari dirinya sendiri
untuk mempercepat pencernaan. Pencernaan protein menghasilkan asam amino bebas,
dipeptida, tripeptida, dan oligopeptida. Penyerapan asam amino melibatkan banyak
protein transpor aktif dan terfasilitasi.

Lemak dalam bentuk trigliserida dihidrolisa oleh enzim lipase pancreas, hasilnya
bergabung dengan garam empedu membentuk misel. Misel kemudian memasuki
membran sel secara pasif dengan difusif, kemudian mengalami disagregasi, melepaskan
garam empedu yang kembali ke dalam lumen usus, dan asam lemak serta
monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali trigliserida dan
digabungkan dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein untuk membentuk
kilomikron, yang keluar dari sel dan memasuki lakteal. Asam lemak kecil dapat
memasuki kapiler dan secara langsung menuju ke vena porta. Garam empedu
diabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dalam ileum distalis.

Vitamin dan mineral juga diserap oleh usus halus. Folat mengalami hidrolisis, diserap
di duodenum dan bagian atas jejunum, dan secara aktif diangkut ke sirkulasi portal.
Vitamin B12, atau Cobalamin, diserap di ileum terminal. Vitamin A, D, E, dan K larut
dalam lemak dan dapat diserap secara pasif di usus halus. Sekitar 9 liter air mengalir ke
saluran pencernaan per hari, dan usus halus menyerap 7 hingga 8 liter, sedangkan usus
besar menyerap 1 hingga 2 liter sisanya. Natrium dan klorida diabsorpsi dengan
pemasangan zat telarut organik atau secara transport aktif. Kalsium diabsorpsi melalui
transport aktif dalam duodenum dan jejenum, dipercepat oleh hormon parathormon
(PTH) dan vitamin D. Kalium diabsorpsi secara difusi pasif.
e. Colon

Dalam proses memindahkan makanan dalam usus besar sama halnya dengan usus halus,
yakni dengan segmentasi. Segmentasi pada usus halus terjadi 9- 12x/menit, sedangkan di
usus besar lebih lambat yakni per 30 menit. Proses segmentasi pada usus besar dibantu
oleh taenia coli. Taenia coli merupakan 3 lapis otot polos longitudinal luar. Selain itu,
proses perpindahan makanan juga dibantu oleh reflex gastrokolon. Dimana refleksi ini
dihasilkan saat makanan berada di lambung. Ketika makanan di lambung, maka lambung
akan mengeluarkan hormone gastrin dan merangsang saraf otonom ekstrinsik, sehingga
memicu terjadinya reflex gastrokolon.

f. Anus

Defekasi

Biasanya, defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks-refleks ini adalah
refleks intrinsic yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam dinding
rektum. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum, distensi
dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristalik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan
rektum, mendorong feses ke arah anus.

Pada saat gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus relaksasi oleh sinyal-
sinyal penghambat dari pleksus mienterikus; jika sfingter ani eksternus juga secara sadar, dan
volunter berelaksasi pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi.

Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan sendirinya secara normal bersifat
relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya harus
diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi parasimpatis yang melibatkan
segmen sakral medula spinalis, ditunjukkan pada Gambar 63-6. Bila ujung-ujung saraf dalam
rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis dan
kemudian secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus melalui
serat-serat saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis ini sangat
memperkuat gelombang peristaltik dan juga merelaksasikan sfingter ani internus, dengan
demikian mengubah refleks defekasi mienterik intrinsik dari suatu usaha yang lemah menjadi
suatu proses defekasi yang kuat, yang kadang efektif dalam mengosongkan usus besar
sepanjang jalan dari fleksura splenikus kolon sampai ke anus. Sinyal-sinyal defekasi yang
masuk ke medula spinalis menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil napas dalam,
penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding abdomen untuk mendorong isi feses dari
kolon ke bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis mengalami
relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan feses.

5. Biokimia gastrointestinal

a. Lipid

• Molekul terkecil dari lemak yang dapat diabsorbsi di intestine adalah


monoacylgliseride, glycerol, Free fatty acids
• Oleh karena itu, tligliserida yang berasal dari makanan perlu diubah menjadi
molekul yang lebih kecil (dalam hal ini ialah monogliserida dan free fatty acid)
dengan bantuan enzim.
 Enzim enzim tersebut ialah:
 Lingual lipase
 Gastric lipase
 Pancreatic lipase
• Setelah menjadi molekul yang lebih kecil lipid akan diabsorbsi ke dalam tubuh,
beberapa mekanismenya adalah sebagai berikut:
• Long chain fatty acid akan di difusikan ke intestinal sel dengan
menggabungkannya dengan protein sehingga membentuk kilomikron.
• Monogliserida sama dengan long chain fatty acid
• Short chain fatty acid akan di difusikan ke intestinal sel dengan mekanisme
simple diffusion
• Glycerol memiliki mekanisme yang sama dengan short chain fatty acid
• Pencernaan dan absorbsi lemak mutlak atau perlu asam atau garam empedu untuk
emulsifikasi lemak dalam sistem pencernaan

b. Protein
Pencernaan bertujuan untuk menghidrolisis semua ikatan peptida sehingga menghasilkan
asam amino bebas. Tidak ada proses pencernaan kimiawi protein yang terjadi di dalam mulut

Digesti Protein

• HCl dalam lambung akan mendenaturasi protein makanan (pH lambung 1–2).
• Lambung juga mensekresikan pepsinogen, yang akan diaktifkan oleh asam untuk
menjadi pepsin.
• Pepsin stabil dan aktif pada pH 1–2, pepsin menghidrolisis beberapa ikatan peptida pada
protein yang terdenaturasi sehingga menjadi polipeptida yang lebih kecil.
c. Karbohidrat ll

Meskipun manusia mengonsumsi beragam karbohidrat, pencernaan memecah


karbohidrat kompleks menjadi beberapa monomer sederhana (monosakarida) untuk
metabolisme: glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Glukosa merupakan sekitar 80% dari produk
dan merupakan struktur utama yang didistribusikan ke sel-sel dalam jaringan, di mana ia
dipecah atau disimpan sebagai glikogen. Dalam respirasi aerobik, bentuk utama respirasi
seluler yang digunakan oleh manusia, glukosa dan oksigen dimetabolisme untuk melepaskan
energi, dengan karbon dioksida dan air sebagai produk sampingan. Sebagian besar fruktosa
dan galaktosa mengalir ke hati, di mana mereka dapat dikonversi menjadi glukosa.

Karbohidrat adalah polihidroksi aldehid atau keton. Nama karbohidrat berasal dari
kenyataan bahwa kebanyakan senyawa golongan ini mempunyai rumus empiris, yang
menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah karbon “hidrat”, dan memiliki nisbah karbon
terhadap oksigen sebagai 1: 2: 1. Sebagai contoh rumus eimpiris D-glukosa adalah C6
H12O0 .(Murray,K.,2002). Terdapat tiga golongan utama karbohidrat: monosakarida,
oligosakarida, dan polisakarida (lihat diktat biokimia ). Monosakarida adalah gula sederhana
memiliki satu unit aldehide atau keton. Golongan ini juga mempunyai sedikitnya satu atom
karbon asimetrik, karenanya terdapat dalam bentuk stereoisomer. Gula yang paling banyak di
alam adalah: ribosa, fruktosa, dan manosa adalah rangkaian gula-D. Gula sederhana dengan 5
atau lebih atom karbon dapat barada dalam bentuk cincin-tertutup hemiasetal, sebagai
furanosa (cincin beranggota-lima) atau piranosa (cincin beranggota-enam) (Murray, K.,
2002).

Furanosa dan piranosa terdapat dalam bentuk anomer a dan yang dapat saling bertukar
dalam proses mutarotasi. Gula yang dapat saling bertukar dalam proses mutarotasi. Gula yang
dapat mereduksi senyawa oksidator disebut gula pereduksi. Disakarida terdiri atas dua
monosakarida yang digabungkan oleh suatu ikatan kovalen. Maltosa mengandung dua residu
D-glukosa.dalam ikatan Į-(1o4) glikosida. Laktosa mengandung D-galaktosa dan D-glukosa.
Sukrosa, suatu gula nonpereduksi, mengandung unit D-galaktosa dan D-fruktosa yang
digabungkan oleh atom karbon anomernya. (Murray, 2002). Polisakarida (glikan)
mengandung banyak unit monosakarida yang berikatan glikosida. Beberapa berfungsi sebagai
bentuk penyimpan karbohidrat. Polisakarida penyimpan paling banyak pati dan glikogen,
polimer glukosa bercabang dengan berat molekul tinggi berikatan Į(1ol) pada rantai
utamanya, dan ikatan Į(2o 6) pada titik cabangnya. Ikatan Į (lo4) dapat dihidrolisis oleh a-
amilase dan ikatan Į(1o4) dapat dihidrolisis glukosidase(Gb 1.3 ), polisakarida lain
memegang peranan struktural pada dinding sel, selulosa. Polisakarida struktural pada
tumbuh-tumbuhan mempunyai unit D-glukosa yang berikatan E(1o4). (Murray,K., 2002).

6. KIE

Pencegahan untuk kelainan kongenital

1. Pencegahan Primer

Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak mengalami
kelahiran bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :

- Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun agar

tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital.

- Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil. Kekurangan asam folat pada
seorang wanita harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum wanita tersebut hamil, karena
kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil agar
rajin memeriksakan kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita
yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400mcg/hari. Kebutuhan
asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam
sayuran hijau daun, seperti bayam, brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi,
serta aneka makanan lain yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai, sereal.

- Perawatan Antenatal (Antenatal Care)

Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya menurunkan
angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada setiap kehamilan dilakukan
antenatal care secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan
dilakukannya antenatal care adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan
perkembangan bayi intrauterin sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam
menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta mempunyai pengetahuan yang
cukup mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau berat badan lahir rendah yang sangat
rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi
kelainan kongenital. Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali
selama masa kehamilan.

- Menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat


menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia ani, celah bibir dan langit-langit.

2. Pencegahan Sekunder

- Diagnosis

Diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan dengan cara:

a) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini beberapa kelainan
kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda, molahidatidosa, dan sebagainya

b) Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)

Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu dengan aspirasi per
abdomen dengan tuntunan USG. Dari cairan amnion tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut antara lain pemeriksaan genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-
feto-protein terhadap defek tuba neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan
terhadap beberapa gangguan metabolic (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan
lainnya

c) Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).

Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami defek tuba
neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila serum ini menurun maka dapat
ditemukan pada sindrom down dan beberapa kelainan kromosom.

d) Biopsi korion

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin, kelainan
metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis DNA, misalnya talasemia dan
hiperplasia adrenal kongenital.

e) Fetoskopi/kordosentesis

Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru lahir perlu
diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu bentuk muka bayi, besar dan bentuk
kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-jari, kelamin, serta anus bayi.

3. Pencegahan Tersier

Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting pada


pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang tak dapat
disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital pencegahan tersier bergantung pada
jenis kelainan. Misalnya pada penderita sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila
diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu
mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa
dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan
pribadinya

7. Kelainan gastrointestinal

· Labiopalatoskisis

· micrognatia
Definisi

Micrognathia / Hipoplasia mandibular adalah kondisi rahang berukuran dibawah rata-rata.


Pada beberapa anak, micrognathia dapat menyebabkan keselarasan gigi yang abnormal
karena tidak ada cukup ruang di mulut anak untuk pertumbuhan gigi. Micrognathia dapat
hadir sebagai cacat lahir dalam berbagai sindrom, termasuk bibir sumbing, langit-langit,
sindrom Pierre Robin, sindrom Stickler, sindrom Beckwith-Wiedemann, microsomia spasm,
sindrom Treacher Collins dan lain-lain.

Etiologi

Beberapa kasus micrognathia disebabkan oleh kelainan bawaan (mutasi genetik yang tidak
diturunkan melalui keluarga).

Deformasi posisi (dagu yang tertekan terhadap dada bayi)

- Masalah neurologis / neuromuscular (gerakan yang terkurangi yang berkaitan


dengan masalah jaringan ikat rahang)
- Gangguan dan sindrom yang diturunkan oleh orang tua
- Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan

Patofisiologi

Patofisiologi mikrognatia dimulai dari proses embriogenesis. Mandibula berkembang dari


area arkus faring pertama. minggu ke-7 hingga 11 kehamilan. Proses ini dimulai dari
kondensasi jaringan mesenkim lateral dari kartilago Meckel, kemudian berkembang melalui
pembentukan tulang intramembranous. Osifikasi dimulai pada minggu ke-6 kehamilan.
Kondilus mandibula berkembang sebagai kartilago sekunder independen sekitar minggu ke-
10, mengalami osifikasi endochondral, kemudian berartikulasi dengan tengkorak membentuk
sendi temporomandibular. Mandibula bertumbuh ke arah bawah (inferior) dan depan
(anterior). Pertumbuhan ini terjadi melalui proses resorpsi tulang dari permukaan anterior
ramus dengan aposisi tulang sepanjang permukaan posterior mandibula. Proses ini terjadi
bersamaan dengan pertumbuhan kondilus.

Manifestasi Klinis

Tanda yang umum muncul pada micrognathia antara lain, rahang kecil, mulut kecil, dan
miopia. Sedangkan pada macrognathia antara lain rahang bawah terlalu besar, mulut besar.

Pemeriksaan

- Pemeriksaan fisik

mikrognatia menunjukkan karakteristik morfologis berupa kurangnya panjang korpus dan


tinggi mandibula, sudut angulus mandibula lebih besar, dan dagu miring ke posterior.

- Rontgen

Radiografi sefalometri lateral standar akan menunjukkan berbagai kombinasi titik dan
sudut untuk menilai hubungan antara kranium dan tulang wajah. Misalnya, sudut Sella-
Nasion-poin B 72 derajat menunjukkan adanya mikrognatia. Hasil radiografi juga
berguna untuk merencanakan terapi bedah ortodontik dan orthognatik.

- CT Scan

CT scan bermanfaat untuk mengukur MMD (maxillomandibular discrepancy), kaliber


jalan napas, jarak dinding faring posterior ke tulang hyoid, ukuran corpus mandibula dan
panjang ramus, serta memberikan gambaran tiga dimensi (3D) tulang wajah dan jalan
napas.

- Ultrasonografi Prenatal

Ultrasonografi prenatal 2D dan 3D dapat mendeteksi mikrognatia mulai usia kehamilan


10 minggu. Diagnosis subjektif dibuat dengan menilai hubungan geometri mandibula
serta kesegarisan bibir atas dan bawah pada penampakan midsagittal profil wajah.[3,8]
Diagnosis objektif ditegakkan dengan menilai IFA (inferior facial angle) dan indeks
rahang. IFA diukur pada lapang midsagittal, yaitu antara garis pada bagian vertikal dahi
pada sinostosis tulang hidung dan garis yang menghubungkan ujung mentum dan batas
anterior bibir yang lebih menonjol. Nilai normal IFA adalah 65 derajat.
- Evaluasi Genetik

Evaluasi genetik penuh dilakukan untuk mendeteksi mutasi genetik abnormal.


Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan FISH (fluorescent in situ hybridization).
Evaluasi kariotipe dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis sindroma kromosomal
yang biasa dihubungkan dengan mikrognatia.

Tatalaksana

Tata laksana mikrognatia mencakup observasi, manajemen nutrisi, dan terapi bedah. Terapi
bedah dilakukan pada <10% kasus mikrognatia. Pembedahan diindikasikan pada kondisi
gangguan jalan napas yang menimbulkan distres napas berat atau kegagalan pertumbuhan
akibat kesulitan pemberian makan. Jika micro/ macrognathia mengganggu penderita saat
makan, penderita harus

menggunakan teknik makan dan peralatan khusus.

Macrognatia

SKDI 2 : mendiagnosis dan merujuk

Makrognatia adalah keadaan ketika region mandibula dan region protuberensia lebih besar
dari ukuran normalnya.

Etiologi

Perkembangan protuberensia yang berlebih, dapat bersifat kongenital atau dapatan dari suatu
penyakit. Biasanya kondisi yang berhubungan dengan makrognatia antara lain seperti
gigantisme, paget disease, dan akromegali.

Patofisiologi

Pertumbuhan berlebihan akibat pelepasan growth hormone yang berlebihan disebabkan oleh
hipofasia jinak (adenoma).

Manifestasi klinis
- Rusaknya keselarasan gigi
- Kesulitan makan
- Kesulitan menyebutkan atrikulasi yang tepat dalam berbicara
Diagnosis
Pemeriksaan klinis
- Rahang bawah lebih besar dari ukuran normal
- Gigi tidak selaras
- Maloklusi
- Berbicara kurang tepat
Pemeriksaan penunjang
- Dental x-ray
- X-ray kepala
Tatalaksana
- Bedah estetika
- Bedah ortognatik

ATRESIA ANI

Definisi

Atresia ani atau anus imperporata adalah malformasi congenital dimana rectum tidak
mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Tidak dijumpai anus pada daerah perineum.

Etiologi

Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia ani
kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti peggunaan obat-
obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini masih belum jelas
(Bobak, 2005). Malformasi anorektal bisa merupakan bagian dari sindrom dan bisa berdiri
sendiri tanpa kelainan lainnya (nonsindrom). Kelainan atresia ani nonsindrom dapat terjadi
sporadik tanpa riwayat keturunan pada keluarga, serta dapat bersifat keturunan pada keluarga.
Familial anorectal malformation diturunkan melalui autosomal dominan, x-linked resesif,
atau autosomal resesif. Perubahan ekspresi gen GLI2 dan BMP4 mungkin berhubungan
dengan kejadian malformasi anorektal. Beberapa sindrom dengan pewarisan autosomal
dominan yang berhubungan dengan malformasi anorektal antara lain sindrom Townes-
Brocks, sindrom Currarino dam sindrom Pallister-Hall

Patofisiologi
Patofisiologi Pada usia gestasi minggu ke-5, kloaka berkembang menjadi saluran
urinari, genital dan rektum. Usia gestasi minggu ke-6, septum urorektal membagi
kloaka menjadi sinus urogenital anterior dan intestinal posterior. Usia gestasi
minggu ke-7, terjadi pemisahan segmen rektal dan urinari secara sempurna. Pada
usia gestasi minggu ke-9, bagian urogenital sudah mempunyai lubang eksterna
dan bagian anus tertutup oleh membrane. Atresia ani muncul ketika terdapat
gangguan pada proses tersebut.

Klasifikasi
1. Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator), ciricirinya adalah rektum turun
sampai ke otot puborektal, spingter ani eksternal dan internal berkembang sempurna
dengan fungsi yang normal, rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak kulit
dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe dari kelainan rendah antara lain adalah anal stenosis,
imperforata membrane anal, dan fistula ( untuk laki-laki fistula ke perineum, skrotum
atau permukaan penis, dan untuk perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus
fistula merupakan fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).
2. Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly), ciri-cirinya adalah ujung
rektum mencapai tingkat muskulus levator ani tetapi tidak menembusnya, rektum turun
melewati otot puborektal sampai 1 cm atau tepat di otot puborektal, ada lesung anal dan
sfingter eksternal.

Manifestasi Klinik
Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran atau keluar melalui saluran
urin, vagina atau fistula. Pada bayi baru lahir tidak dapat dilakukan pengukuran sehu secara
fekal. Distensi abdomen dapat terjadi bertahap dalam 8-24 jam pertama. Pemeriksaan fisik
ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi usus dan adanya konstipasi. Muntah pada bayi umur
24048 jam

Diagnosis
Penegakan diagnosis untuk atresia ani dapat dilakukan dengan manifestasi klinik Manifestasi
klinik pada klien dengan atresia ani antara lain mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama
setelah kelahiran atau keluar melalui saluran urin, vagina atau fistula. Pada bayi baru lahir
tidak dapat dilakukan pengukuran sehu secara fekal. Distensi abdomen dapat terjadi bertahap
dalam 8-24 jam pertama. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi usus dan
adanya konstipasi. Muntah pada bayi umur 24-48 jam atau bila bayi diberi makan juga perlu
diperhatikan. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan penampilan fisik anus, dan
pembukaan anus.
Penunjang
1. Pemeriksaan urine lengkap à cek meconium (fistel +)
2. USG abdomen à evaluasi integritas anatomi traktus urinarius
3. Ro thorax dengan NGT à evaluasi esofagus
4. Foto polos abdomen dan pelvis à evaluasi organ lain
5. CT SCAN & MRI à evaluasi organ lain
6. Foto Invertogram (Wangenstein Rice) à diagnostik

Tata Laksana
Penatalaksanaan Medis

1. Kolostomi

Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis kelainan tinggi (High Anomaly),


rektovaginal fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum, dan
jika hasil jarak udara di ujung. Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8
minggu) sebelum dilakukan pembedahan.

2. Dilatasi Anal (secara digital atau manual).

Dilatasi anal dilakukan dengan posisi lutut fleksi dekat ke dada. Dilator anal
dioleskan cairan/minyak pelumas dan dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal. Dilatasi
anal dilakukan dua kali sehari selama 30 detik setiap hari

3. Anoplasty

Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula, rektovaginal fistula,


rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum.

4. Bedah Laparoskopik

Pembedahan ini dilakukan dengan menarik rectum ke pembukaan anus.

Penatalaksanaan Nonmedis

1. Toilet Training Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun,misalnya pemilihan tempat
duduk berlubang untuk eliminasi dan atau penggunaan toilet. Menjejakkan kaki le
lantai juga memfasilitasi defekasi (Stark, 1994 dalam Hockenberry,2009).
2. Bowel Management Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk
membersihkan kolon.
3. Diet konstipasi. Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu
panas/dingin. Menghindari buah-buahan dan sayuran mentah. Menghindari makanan
yang memproduksi gas/menyebabkan kram, seperti minuman karbonat, permen karet,
buncis, kol, makanan pedas, pemakaian sedotan.
4. Diet Laksatif/Tinggi Serat Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsi
makanan seperti ASI, buah-buahan, sayuran, jus apel dan apricot, buah kering,
makanan tinggi lemak, coklat, dan kafein.

Komplikasi

 Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi pada klien atresia ani adalah asidosis
hiperkloremi, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan, dan kerusakan uretra.
 Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain eversi mukosa anal, stenosis,
infaksi dan kostipasi, masalah toilet training, prolaps mukosa anorectal, dan fistula
kambuhan.
 Komplikasi lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel

Atresia Billier

Definisi

Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Atresia bilier terjadi
karena proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga terjadi hambatan aliran empedu (kolestasis),
akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk.(

Etiologi

Penyebab atresia bilier belum dapat dipastikan. Atresia bilier akan


mengakibatkan fibrosis dan sirosis hati pada usia yang sangat dini, bila tidak ditangani
segera. Jika operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup selama 3 tahun
hanya berkisar 10% dan rata -rata meninggal pada usia 12 bulan.
Epidemiologi

Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia bilier berkisar


1:10.000-15.000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita dari pada laki-laki.

Pemeriksaan fisik

Muncul ikterik dan pembesaran hepar

Pemeriksaan Penunjang

Mengakibatkan fungsi hati menurun seperti pada fungsi protein, Feses berwarna
pucat seperti dempul. SGOT(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT(Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase) meningkat. Gambaran histopatologi hati didapatkan
jaringan hati dengan fibrotik periportal dan duktus bilier yang berproliferasi serta
adanya sel-sel limfosit ( ductular reaction), parenkim terdiri dari hepatosit yang
mengalami degenerasi hidropik, bengkak, sitoplasma bergranuler, mengandung pigmen
coklat kekuningan, kesan kolestasis kronik.

Terapi

Terapi suportif berupa Asam ursodeoksikolat 3x20 mg, dan diberikan ASI on
demand. Konsultasi ke Bagian Bedah Anak. Diberikan terapi Glukosa 5% : NaCl 0,9%
105 cc/kg BB/hari, Fosfomycin 2 x 250 mg, Roboransia (Vitamin A,D,E),
Vitamin K1 (filokuinon) 2.5 mg, anak dipuasakan sementara.

Atresia intestinal

● Definisi

Atresia intestinal adalah kondisi tidak terbentuknya atau terjadi obstruksi total pada
bagian usus. Atresia ini bisa terjadi pada bagian manapun usus, dengan angka
kejadian terbanyak terjadi pada duodenum. Obrstruksi yang terjadi hanya parsial tidak
disebut atresia, tetapi stenosis.

● Etiologi
Atresia intestinal terjadi karena kegagalan rekanalisasi lumen usus setelah obliterasi
lumen pada tahap proliferasi sel. Hal tersebut terjadi karena multifaktorial, seperti
genetik, maupun iskemik yang bisa terjadi karena disrupsi SMA.

● Gejala

Muntah bilius 1-2 hari kelahiran, tidak keluar mekonium, distensi abdomen, adanya
riwayat polihidramnion, terkadang terasosiasi dengan Down Syndrome.

● Klasifikasi (menurut klasifikasi Bland-Sutton, Louw, dan Barnard)

a. Type 1 : obstruksi disebabkan karena membran seperti jaring yang terbentuk


di lumen usus

b. Type 2 : obstruksi terjadi karena adanya beberapa segmen yang berarti buntu

c. Type 3a : terjadi saat masing-masing ujung buntu tidak tersambung sehingga


usus tumbuh dengan ukuran lebih pendek

d. Type 3b : membentuk apple peel appearance

e. Type 4 : kombinasu beberapa tipe, ‘string of sausage’

● Pemeriksaan

- BOF atau kontras barium

Atresia duodenum : double bubble appearance


Atresia jejunoileal : ‘apple peel appearance’

- USG pre natal untuk melihat polihidramnion

● Tatalaksana

- Pengambilan cairan yang menumpuk melalui NGT

- Terapi pembedahan

● SKDI : 2 (mendiagnosis dan merujuk)

Atresia Esofagus

Variasi Atresia Esofagus

Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasar klasifikasi anatomi. Menurut Gross of
Boston, variasi atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai berikut:

• Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
• Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)
• Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
• Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)
• Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)
• Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)

Patofisiologi

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada
janin dengan atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea, ke
fistula kemudian menuju usus. Akibat dari hal ini dapat terjadi polihidramnion.

Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat


memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada
usia gestasinya. Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan
banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung.

Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau
menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali
mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus
distal seringkali dismotil, dengan peristaltik yang jelek atau tanpa peristaltik. Hal ini akan
menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks
esofagus.

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus. Membran
trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa. Perubahan ini
menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior trakea atau trakeomalacia.
Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada
eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pnemona berulang.
Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi
refluks gastroesofagus; yang daat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bakan apnea.

Gambaran Klinis

Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atersia esophagus, antara lain:

• Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut)


• Sianosis
• Batuk dan sesak napas
• Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esophagus yang buntu dan
regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke dalam jalan napas
• Perut kembung, karena udara melalui fistel masuk ke dalam lambung dan usus
• Oligouria, karena tidak ada cairan yang masuk
• Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan jantung,
atresia rectum atau anus.

Diagnosis

Atresia esofagus dapat dicurigai keberadaan nya sebelum kelahiran melalui


pemeriksaan USG pada minggu ke 18 kehamilan apabila di dapatkan gelembung
perut janin yang sedikit atau tidak ada. Sensitifitas pemeriksaan ini sebesar 42%
akan tetapi bila dikombinasikan dengan adanya polihidramnion maka nilai prediksi
meningkat hingga 56%. Metode lain untuk meningkatkan diagnosa ini adalah
dengan pemeriksaan USG dan MRI pada leher janin untuk melihat buntunya
kantung atas esofagus. Pada bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion semestinya
diperiksa dengan nasogastric tube sesegera mungkin untuk menyingkirkan ada nya
AE. Bayi dengan AE tidak mampu menelan ludah dan air ludah nya akan terus
keluar sehingga membutuhkan suction. Pada tahap ini sebelum pemberian makan
pertama, kateter stiff wide-bored (10 – 12) dimasukan melalui mulut menuju
esofagus. Pada pasien dengan AE kateter tidak dapat masuk lebih dari 10 cm. Foto
polos dada dan abdomen akan memperlihatkan ujung kateter terhenti di
mediastinum posterior (T2 – T4), juga keberadaan udara pada traktus
gastrointestinal menandakan keberadaan FTE distal. Perlu di pehatikan bahwa
kateter harus bersifat kaku. Untuk mencegah kesalahan penilaian.

Anomali Penyerta

Lebih dari 50% bayi dengan atresia esofagus memiliki 1 atau lebih kelainan
tambahan. Sistem yang terlibat adalah :

• Kardiovaskuler (29%)
• Anorektal (14%)
• Genitourinari (14%)
• Gastrointestinal (13%)
• Vertrebral/skeletal (10%)
• Respirasi (6%)
• Genetik (4%)

Penatalaksanaan

Pada anak yang telah dicurigai menderita atresia esophagus, bayi tersebut harus
segera segera dipindahkan ke bagian neonatal atau pediatrik yang memiliki fasilitas
medis. Tindakan bedah harus segera dijadwalkan sesegera mungkin. Sebagai
penatalaksanaan preoperasi, perlu diberi tindakan pada bayi dengan AE. Posisi
tidur anak tergantung kepada ada tidaknya fistula, karena aspirasi cairan lambung
lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula trakeo-esofagus ditidurkan
setengah duduk. Anak tanpa fistel diletakkan dengan kepala lebih rendah (posisi
Trendelenberg). Suction 10F double lumen di gunakan untuk mengeluarkan sekret
dan mencegah aspirasi selama pemindahan. Bayi diletakan pada incubator dan
tanda vital terus di pantau. Akses vena harus tersedia untuk memberi nutrisi, cairan
dan elektrolit, dan sebagai persiapan. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis.

Bayi dengan distress pernafasan memerlukan perhatian khusus, seperti intubasi


endotrakeal dan ventilasi mekanik. Tekanan intra abdomen yang meningkat akibat
udara juga perlu di pantau. Seluruh bayi dengan AE haus dilakukan
echocardiogram untuk mencari kelainan jantung. Tidak dilakukan tindakan
merupakan pilihan pada bayi dengan sindroma Potter (agenesis renal bilateral) dan
trisomi 18 karena angka kematian tahun pertama pada bayi ini lebih dari 90%. Bayi
dengan kelainan jantung yang tidak bisa dikoreksi atau perdarahan intra ventrikel
grade 4 juga sebaiknya tidak di operasi. Anak dipersiapkan untuk operasi sesegera
mungkin. Pembedahan dapat dilakukan dalam satu tahap atau dua tahap tergantung
pada tipe atresia dan penyulit yang ada. Biasanya dilakukan dengan membuat
stoma pada esophagus proksimal dari gastrostomi. Penutupan fistel, anastomosis
esophagus, atau interposisi kolon dilakukan kemudian hari setelah janin berusia
satu tahun.

Resiko Pembedahan dan Komplikasi

Resiko yang ditimbulkan pasca pembedahan adalah akibat dari pembedahan itu
sendiri, akibat obat anestesi yang digunakan, perdarahan, cedera saraf dan
pneumotoraks.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan, meliputi:

• Dismotilitas esophagus, yang terjadi akibat kelemahan otot-otot dinding


esophagus. Pada keadaan ini membutuhkan tindakan khusus saat bayi akan
makan atau minum.
• Hampir 50% dari pasien akan mengalami gastroesophageal refluks disease
(GERD) pada masa kanak-kanak atau dewasa. GERD merupakan suatu
keadaan dimana terjadinya aliran balik isi lambung ke dalam esophagus.

Keadaan ini memerluka pengobatan khusus.

o Trakeoesofageal fistula yang berulang.


o Kesulitan menelan (disfagia) yang dapat disebabkan oleh tersangkutnya
makanan pada bekas pembedahan.
o Kesulitan bernafas dan batuk. Hal ini berhubungan dengan lambatnya
pengosongan makanan di esophagus oleh karena tersangkutnya makanan oleh
bekas pembedahan atau aspirasi makanan ke dalam trakea.

Prognosis

Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada paru.
Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara lain berat
badan lahir bayi, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan congenital
lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang tergantung pada ada tidaknya
kelainan bawaan lain yang mungkin multiple.

· Makroglosia dan mikroglosia

- Makroglosia
Makroglosia merupakan kelainan kongenital yang menunjukkan
pembesaran lidah secara abnormal yang disebabkan oleh hipertrofi otot
lidah. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan berbicara dan menelan.

Faktor predisposisi dan etiologi

Faktor predisposisi dari makroglosia adalah hilangnya gigi geligi


rahang bawah dalam jumlah yang banyak, tumor, radang, dan
perubahan hormonal (kretinisme dan akromegali).

Etiologi makroglosia dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan


utama yaitu true makroglosia dan pseudo makroglosia.

1. True Makroglosia

True Makroglosia adalah pembesaran lidah murni yang


disebabkan oleh bertambahnya otot lidah dan menimbulkan
maloklusi gigi yang disebabkan tekanan lidah terhadap gigi.
True makroglosia bisa didapat secara kongenital (dibawa lahir)
dan acquired (didapat). True makroglosia yang didapat secara
kongenital dapat disebabkan oleh hemangioma, limfangioma,
sindrom Down dan sindrom Beckwith-Wiedemann sementara
makroglosia acquired disebabkan oleh hipotiroidisme
(kretinisme), akromegali dan amiloidosis.

2. Pseudo makroglosia

Penyebab munculnya Pseudo makroglosia antara lain kebiasaan


menjulurkan lidah hingga merubah postur lidah, pembesaran
tonsil, adenoid, hipotonia pada lidah, serta defisiensi
mandibula.

Gambaran klinis

Lidah berukuran lebih besar dari ukuran normal, biasanya terdapat


garis atau cetakan gigi (indentation marking) pada tepi lidah, seringkali
lidah menunjukkan papila fungiformis yang membesar. Makroglosia
dapat menyebabkan gangguan kesehatan umum seperti, kesulitan
makan, menelan, berbicara, dan bernafas sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu
makroglosia juga dapat menimbulkan kelainan pada gigi dan rahang.

Tatalaksana

Perawatan makroglosia secara surgikal dapat dilakukan dengan


glosektomi, sedangkan perawatan yang ditimbulkan makroglosia
terhadap gigi dapat dikoreksi dengan perawatan ortodonti. Tujuan dari
hampir semua intervensi bedah di makroglosia sendiri adalah untuk
mengembalikan lidah pasien untuk kondisi bentuk anatomis dan
fisiologis dalam aspek yang paling efisien seperti artikulasi,
pengunyahan, penelanan, perlindungan jalan napas, dan pengecapan
rasa.

Diagnosis Banding

Limfangioma

- Mikroglosia

Mikroglosia merupakan kelainan yang menunjukkan lidah yang kecil


dari ukuran normal.

Etiologi dan faktor predisposisi

Mikroglosia terjadi karena kelainan kongenital herediter dapat


ditemukan pada sindrom Pierre Robin serta dapat berupa cacat pada
saraf hipoglosus yang mempersarafi otot lidah sehingga tidak ada
stimulus rangsangan pada lidah yang menyebabkan otot lidah menjadi
atrofi dan lidah mengecil.

Gambaran klinis

Ukuran lidah kecil, posisi lidah yang jauh lebih ke posterior, sehingga
mengurangi daerah lintasan udara pada saluran pernafasan bagian atas.
Pemberian makan mungkin juga menjadi sangat sulit sehingga
menyebabkan kurangnya asupan makanan.

Tatalaksana

Tindakan bedah yang bisa dilakukan adalah transfer jaringan tetapi hal
ini tidak memastikan lidah dapat berfungsi normal kembali. Pada
penderita yang mengalami kesulitan berbicara akan dilakukan terapi
khusus sementara pada penderita yang masih mengalami kesulitan
menelan akan dilakukan pemasangan gastrostomy tube feeding agar
penderita mendapat asupan nutrisi yang cukup.

Diagnosis banding

Aglossia

8. Paparan pestisida (agromedis)

Faktor-faktor paparan pestisida yang mampu mempengaruhi perkembangan janin.


Berdasarkan beberapa penelitian, berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan janin dan/atau meningkatkan risiko kelainan kongenital pada janin,
yakni:
a. Waktu terpapar
Periode waktu paparan pestisida mampu mempengaruhi perkembangan janin
dibagi menjadi dua, yakni periode risiko akut atau acute risk period (ARP) dan periode
risiko bukan akut atau non-acute risk period (NARP). Periode ini diklasifikasi
berdasarkan tanggal terakhir menstruasi dan periode yang sama juga diterapkan pada
suaminya. ARP terdiri dari tiga bulan sebelum dan satu bulan sesudah menstruasi
terakhir, sedangkan NARP disebutkan sebagai periode ketika paparan berlangsung
sebelum ARP (Lacasana dkk., 2006).

Wanita yang terlibat bercocok tanam selama ARP diduga mengalami empat kali
peningkatan risiko mempunyai anak dengan anensefalus dibanding wanita yang yang
tidak terlibat sama sekali. Wanita yang tidak bekerja sebagai petani namun terpapar
pestisida, baik dari paparan sekitar tempat tinggal, penyimpanan pestisida atau alat
aplikasinya di rumah, mencuci peralatan maupun baju suami tidak menutup
kemungkinan dapat mempengaruhi kehamilan terutama pada saat trimester pertama.
Efek teratogenik ini dapat terjadi jika dikarenakan akumulasi toksin daam jaringan tubuh
yang kemudian dapat masuk ke dalam aliran darah selama masa diferensiasi yang
akhirnya menimbulkan kelainan pada janin sebagai konsekuensi dari paparan tersebut.
Saat trimester pertama ini pula, ayah mampu menyalurkan toksin yang terakumulasi
pada cairan seminal melalui hubungan seksual dan kemudian menyebabkan gangguan
pada perkembangan janin (Lacasana dkk., 2006).
Periode paparan sebelum konsepsi diduga mampu mempengaruhi gametosis.
Pengamatan pada gamet pria, beberapa studi mengemukakan bahwa pestisida terutama
golongan organofosfat, mengganggu proses migrasi selama miosis sehingga
menyebabkan perubahan pada gamet. Mekanisme lain yang dapat terjadi namun jarang
dilakukan penelitian ialah mutagenesis sel germinal wanita. Bagaimanapun terdapat
kemungkinan risiko selama proses oogenesis sebelum ovulasi (Lacasana dkk., 2006).

b. Penyimpanan pestisida
Penyimpanan pestisida menurut aturan penggunan pestisida yakni pestisida
dianjurkan untuk disimpan pada ruang tertutup dan terhindar dari sinar matahari untuk
mengurangi tejadinya penguapan. Wadah pestisida bekas tidak boleh digunakan
kembali, haruslah dibuang dan tidak tersebar atau diperjualbelikan. Hal ini dikarenakan
sisa-sisa pestisdia di dalam kemasan bisa saja mengalami reaksi dengan udara dan
mencemari lingkungan sekitar (Mahyuni, 2015).

c. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan formal dapat dijadikan tolak ukur bagi seseorang untuk lebih mudah
dalam menanggapi, mengemukakan persepsi dan memberikan respon mengenai segala
sesuatu yang berasal dari luar. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu, diharapkan
individu tersebut dapat berpikir lebih rasional dibandingkan mereka dengan tingkat
pendidikan formal lebih rendah (Kurniasih, 2013). Tingkat pendidikan orangtua, baik
ayah dan ibu dapat mempengaruhi tingkat paparan pestisida terhadap tubuh mereka
sendiri. Hal ini berdasarkan suatu penelitian mengenai tingkat pengetahuan pada para
petani akan penggunaan pestisida yang cenderung rendah. Kishore dkk. (2007)
menyampaikan kurang perhatiannya petani dalam penggunaan pestisida, disebabkan
karena masih banyaknya dari mereka yang buta huruf. Hal ini juga yang dapat
menjelaskan mengapa petani cenderung mencampur pestisida yang satu dengan yang
lain tanpa memperhatikan bahan aktif di dalamnya serta cenderung mencampur pestisida
tersebut berdasarkan pengalaman teman (Yuantari dkk., 2013)
Tingkat pendidikan yang rendah inilah, yang mungkin juga mendasari minimnya
pengetahuan petani maupun keluarganya terhadap penyimpanan pestisida dan
pembuangan wadah bekas pestisida. Berdasarkan suatu penelitian, ibu dengan tingkat
pendidikan yang rendah cenderung memiliki anak dengan malformasi kongenital
dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Peneliti
menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung memungkinkan ibu-
ibu tersebut mencuci baju atau peralatan yang terkontaminasi pestisida, sehingga
memungkinkan paparan pestisida secara tidak langsung (Ueker dkk., 2016).

d. Tempat tinggal
Suatu studi penelitian menemukan korelasi positif antara ibu hamil yang tinggal
di daerah pedesaan dengan kejadian kelainan kongenital secara signifikan. Hal ini
dikarenakan paparan pestisida cenderung lebih tinggi dikarenakan area pedesaan yang
masih banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Belo dkk. (2012) mendeteksi adanya konsentrasi organoklorin yang lebih tinggi di
plasma dan urin pada orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan daripada yang
tinggal di daerah perkotaan. Hal ini mengkonfirmasi tingkat pencemaran pestisida yang
lebih tinggi di daerah pedesaan (Ueker dkk., 2016).

e. Kontak langsung dengan pestisida


Kontak langsung ini dapat terjadi saat proses pencampuran pestisida dan saat
penyemprotan pestisida. Pencampuran pestisida dilakukan untuk melarutkan pestisida
sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Penelitian yang dilakukan pada para petani di
Berastagi menunjukan petani masih salah dalam memilih tempat mencampurkan yang
tepat. Petani-petani tersebut menyebutkan bahwa tempat yang baik ialah di ruangan
tertutup agar terhindar dari hembusan angina, sedangkan menurut teori yang benar,
harusnya pestisida dicampurkan di ruang dengan sirkulasi udara yang baik sehingga
menghindarkan kemungkinan tingkat toksisitas udara. Petani-petani tersebut cenderung
mengaduk pestida yang dicampur menggunakan sendok kayu, ranting kayu, bahkan ada
yang langsung menggunakan tangan (Mahyuni, 2015).
Proses penyemprotan pestisida harus memperhatikan keadaan angina, suhu
udara, kelembapan dan curah hujan, begitupun juga dengan cara menyemprotnya. Petani
dianjurkan untuk menggunakan cara yang sebisa mungkin menghindari kontak langsung
dengan estisida, maka dari itu, pestisida harus diemprotkan sesuai dengan tinggi
tanaman. Petani juga dianjurkan menggunakan pakaian pelindung untuk menghindari
bahaya tertumpah atau terpercik serta meminimalkan penetrasi zat-zat pestisida ke kulit
namun pada penelitian tersebut, petani hanya menggunakan sepatu boot dan topi
(Mahyuni, 2015).

Shaw dkk. (1999) melaporkan bahwa terdapat peningkatan risiko defek tabung
saraf pada wanita yang terpapar karbamat dan organofosfat selama trimester pertama.
Shaw dkk. juga melaporkan bahwa risiko bertambah besar apabila wanita hamil tersebut
menggunakan pestisida oleh mereka sendiri di pekarangan rumahnya sewaktu periode
perikonsepsi (satu bulan sebelum konsepsi dan 3 bulan setelahnya) (Lacasana, 2006).

2.3.4 Mekanisme Paparan Pestisida terhadap Janin

Paparan pestisida memiliki efek toksik yang mampu menimbulkan sifat patologis
pada sel manusia, tidak luput sel germinal baik sel sperma maupun sel ovum. Toksisitas
pestisida juga dapat mempengaruhi perkembangan pada hasil konsepsi terutama pada
tahap embrio. Toksisitas ini diduga diperkuat oleh faktor- faktor yang telah disampaikan
pada sub bab sebelum ini. Mekanisme toksisitas ini masih dalam tahap praduga. Paparan
pestisida mampu memberikan pengaruh pada tumbuh dan kembang embrio baik melalui
perantara ibu, ayah ataupun keduanya.

a. Teratogenesis terinduksi pestisida yang diperantarai pria

Sejumlah studi telah mengindikasikan bahwa paparan terhadap zat kimia. Studi-studi
epidemiologi yang sudah dilakukan menemukan hubungan positif antara pekerjaan dan
lingkungan suatu individu laki-laki yang cenderung terpapar merkuri, timah dan lainnya
serta konsumsi alkohol dan merokok dengan kejadian aborsi spontan, bayi berat lahir rendah
(BBLR) dan defek struktur tubuh bayi (Sadler, 2010). Penelitian oleh Recio dkk., pada tahun
2001 melaporkan bahwa pestisida mampu menyebabkan perubahan morfologi sperma dan
mobilitasnya serta pada komponen semen lainnya, sehingga diduga mampu menyebabkan
kelainan kongenital pada keturunan mereka (Ueker dkk., 2016). Mekanisme lain diduga
karena paparan pestisida selama masa ARP pada pria menyembabkan akumulasi zat toksin
pestisida pada semen. Studi lain menyampaikan bahwa paparan pestisida golongan
organofosfat mengakibatkan toksisitas pada sel gamet,. Toksin organofosfat mampu
mengganggu proses migrasi selama meiosis dan menimbulkan gangguan proses transfer
DNA sehingga menyebabkan perubahan pada gamet pria. Penelitian lain menemukan efek
paparan pestisida sebelum kehamilan ini menghasilkan setidaknya 35% gamet aneuploid
(Lacasana dkk., 2006).

Paparan pestisida paling dapat mempengaruhi spermatogenesis pada saat


prekonsepsi atau saat ARP. Sebuah penelitian pada petani yang terpapar berbagai
macam pestisida terutama cianazin, membuktikan bahwa pestisida tersebut memiliki
efek genotoksik. Penilitian lebih lanjut menemukan bahwa spermatozoa dengan DNA
yang tidak sempurna atau rusak masih mampu membuahi oosit, membuktikan bahwa
kelainan kongenital juga dapat dipengaruhi oleh pria (Waselak dkk., 2008).

b. Teratogenesis terinduksi pestisida yang diperantarai wanita


Kerusakan teratogenik bisa ditimbulkan jika ibu terpapar selama periode
sebelum kehamilan (3 bulan sebelum konsepsi) dimana toksin pestisida dapat
terakumulasi pada jaringan tubuh yang kemudian tersebar dalam aliran darah selama
periode diferensiasi sel, sehingga mengganggu dan menimbulkan pertumbuhan dan
perkembangan yang tidak sesuai jalur normal (Lacasana dkk.,). Penelitian oleh Ren
dkk., menyebutkan terdapat peningkatan sebesar 4 kali lipat risiko defek tabung saraf
pada janin yang ditemukan terdapat kandungan 78-100% pestisida golongan DDT dan
metabolitnya di dalam plasenta. Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa toksin
pestisida yang melewati dan terakumulasi di dalam plasenta ibu mampu menimbulkan
kelainan kongenital pada janin (Ren dkk., 2011). Selama masa kehamilan ibu juga dapat
terpapar toksin pestisida yang terakumulasi pada ayah melalui hubungan seksual
(Lacasana dkk., 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Kawalec, A., Nelke, K., Pawlas, K., Gerber, H. 2015. Risk factors involved in orofacial cleft
predisposition. Open medicine (Warsaw, Poland). 10(1): 163–175.
Guyton and Hall. 2011. Textbook of Medical Physiology.

Istiyana, D. T., Hartoyo, E., Sukmana, B. I. 2016. Hubungan antara Ibu Penderita Pre-
Gestasional Diabetes Mellitus dengan Risiko Kelahiran Bayi Cleft Lip and Palate. Dentino
Jurnal Kedokteran Gigi. 1(1): 32-36

Julinar, Y. Dianne, dan Y. Sayoeti. 2010. Atresia bilier. Majalah Kedokteran Andalas.
33(2):188–194.

Al-Namankany, A., Alhubaishi, A. 2018. Effects of cleft lip and palate on children's
psychological health: A systematic review. Journal of Taibah University Medical Sciences.
13(4): 311–318

Sadler TW. 2012. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 12. EGC: Jakarta.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. EGC: Jakarta.

Eroschenko, V. P. 2007. Atlas Histologi diFiore. Edisi 11. EGC: Jakarta.

Jurnal Departemen Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang, vol


6 no. 1 februari 2019

Kaur, K., & Kaur, R. (2018). Occupational Pesticide Exposure, Impaired DNA Repair, and
Diseases. Indian journal of occupational and environmental medicine, 22(2), 74–81.
https://doi.org/10.4103/ijoem.IJOEM_45_18

Anda mungkin juga menyukai