(1825 – 1830)
Sejak awal abad ke 18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Mataram pd thun 1812.Pengaruh Belanda mulai menyebar di kalangan
istana dan mengancam kehidupan agama Islam.Sebagai salah seorang pemimpin Negara dan
pemuka agama,Pangeran Diponegoro tergerak untuk melakukan perlawanan.
Selain Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perlawanan juga muncul tokoh tokoh
pembantu Pangeran Diponegoro Antara lain Kiai Mojo,Sentot Ali Basa Prawirodirjo,dan
Pangeran Mangkubumi.Pusat pergerakan ialah di Selarong.
Pangeran Diponegoro juga dianggap sebagai penyelamat Negara dan seorang pemimpin yg
besar sehingga mendapat julukan’’Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirulmukminin Syayidin
Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawa’’.Pada saat itu,Belanda dipimpin Jenderal De Kock yg
mempergunakan berbagai cara:
Tahun 1838 Kiai Mojo mengadakan perundingan dg Belanda di Mangi,tetapi gagal. Kiai Mojo
ditangkap dan diasingkan ke minahasa pada tahun 1849 wafat lalu dimakamkan di Tondano.
Latar Belakang, Penyebab, Tahap dan Perlawanan Petani Pada Perang Padri
Pada abad ke-19 Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh Islam
berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan mereka
kemudian dinamakan gerakan Padri.
Perang pertama antara kaum Padri dan kaum adat terjadi di kota Iawas, kemudian meluas
ke kota lain. Pemimpin kaum Padri antara lain Dato’ Bandaro, Tuanku Nan Cerdik, Tuanku
Nan Renceh, Dato’ Malim Basa (Imam Bonjol).
Adapun kaum adat dipimpin oleh Dato’ Sati. Pada perang tersebut kaum adat terdesak,
kemudian minta bantuan Belanda.Perang yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 tahap :
Pada tahap ini, peperangan terjadi antara kaum Padri dan kaum adat yang dibantu oleh
Belanda. Menghadapi Belanda yang bersenjata lengkap, kaum Padri menggunakan siasat
gerilya. kedudukan Belanda makin sulit, kemudian membujuk kaum Padri untuk berdamai.
Pada tanggal 15 Nopember 1825 di Padang diadakan perjanjian perdamaian dan tentara
Belanda ditarik dari Sumatra dan dipusatkan untuk menumpas perlawanan Diponegoro Di
Jawa.
Setelah perang Diponegoro selesai, Belanda mulai melanggar perjanjian dan perang Padri
berkobar kembali. Pada perang ini, kaum Padri dan kaum adat bersatu melawan Belanda.
Mula-mula kaum Padri mendapat banyak kemenangan. Pada tahun 1834 Belanda mengerahkan
pasukan untuk menggempur pusat pertahanan kaum Padri di Bonjol. Pada tanggal 25
Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan di Minahasa sampai
wafatnya.
Dengan menyerahnya Imam Bonjol bukan berarti perang selesai, perang tetap berlanjut
walaupun tidak lagi mengganggu usaha Belanda untuk menguasai Minangkabau.
Perlawanan dilakukan pula oleh para petani berupa protes petani kepada Belanda yang
disebut gerakan sosial. Penyebab terjadinya protes petani ini karena pemerasan dan
penindasan oleh Belanda dan adanya kepercayaan akan datangnya ratu adil.
Purwakarta pada tahun 1913, di mana para petani ramai-ramai mendatangi bupati
menuntut pengurangan cukai.
Babakan sawah pada tahun 1913 yang dipimpin oleh Eming.
Condet, Surabaya dipimpin oleh Entong Gendut.
Tangerang, Jawa Barat pada tahun 1924 dipimpin oleh Kyai Kasan Mukmin.
Kediri, Jawa Timur pada tahun 1907 dipimpin oleh Dermojoyo.