Anda di halaman 1dari 20

1.

Definisi dan klasifikasi


2. Epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko
3. Patogenesis dan patofisiologi
4. Manifestasi klinis
5. Pemeriksaan fisik dan penunjang
6. Diagnosis dan diagnosis banding
7. Tatalaksana
8. Prognosis dan komplikasi
9. Indikasi rujukan
Hemoroid
1. Definisi dan klasifikasi
 Definisi
Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di anus dari
pleksus hemoroidalis

 Klasifikasi
1) Berdasarkan lokasi
a) Hemoroid interna
Hemoroid interna adalah pembengkakan vena pada pleksus hemoroidalis
superior, di atas linea dentate dan tertutup oleh mukosa. Terdapat empat
derajat hemoroid interna, yaitu:
- Derajat I, terjadi varises tetapi belum ada benjolan saat defekasi. Dapat
diketahui dengan adanya perdarahan melalui signiodoskopi.
- Derajat II, ada perdarahan dan prolaps jaringan di luar anus saat mengejan
selama defekasi tetapi dapat kembali secara spontan.
- Derajat III, sama dengan derajat II, hanya saja prolaps tidak dapat kembali
secara spontan, harus didorong (manual).
- Derajat IV, prolaps tidak dapat direduksi atau inkarserasi. Benjolan dapat
terjepit di luar, dapat mengalami iritasi, inflamasi, oedem dan ulserasi

b) Hemoroid eksterna
Hemoroid eksterna adalah terjadinya varises pada pleksus hemorodialis
inferior di bawah linea dentate dan tertutup oleh kulit. Ada 3 bentuk yang sering
dijumpai:
- Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
- Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
- Bentuk skin tags.

2. Epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko


 Epidemiologi
Berdasarkan data yang diperoleh dari United States Cancer Statistics pada tahun
2007 terdapat 142.672 orang yang didiagnosa menderita tumor rektum di Amerika
Serikat, dengan rincian 72.755 pria dan 69.917 wanita. Sementara itu penelitian yang
dilakukan di Hemorrhoid Care Medical Clinic didapatkan hasil bahwa sebanyak 90%
pasien tumor rektum juga menderita hemorrhoid. (United State Cancer Statistics, 2010).
Prevalensi hemorrhoid di Indonesia juga tergolong cukup tinggi. Di RSCM Jakarta
pada dua tahun terakhir, hemorrhoid mendominasi sebanyak 20% dari pasien
kolonoskopi (Osman N, 2011). Sedangkan di RS Bhakti Wira Tamtama Semarang pada
tahun 2008 dari 1575 kasus di instalasi rawat jalan klinik bedah, kasus hemorrhoid
mencapai 16% dari seluruh total kasus di instalasi tersebut. Penelitian yang dilakukan
pada penderita hemorrhoid di rumah sakit tersebut diperoleh hasil bahwa terdapat
hubungan antara riwayat keluarga dan konstipasi dengan kejadian hemorrhoid (Irawati
D, 2008).

 Etiologi
Etiologi hemoroid sampai saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa faktor
pendukung yang terlibat diantaranya adalah penuaan, konstipasi atau diare kronik,
penggunaan toilet yang berlama-lama, dan posisi tubuh misal duduk dalam waktu yang
lama (Villalba dan Abbas, 2007).
Menurut Mutaqqin (2011), kondisi hemorrhoid biasanya tidak berhubungan dengan
kondisi medis atau penyakit, namun ada beberapa predisposisi penting yang dapat
meningkatkan risiko hemorrhoid seperti peradangan pada usus, kehamilan, konsumsi
makanan rendah serat, pekerjaan, obesitas dan hipertensi portal.

 Faktor risiko
1) Keturunan: dinding pembuluh darah yang tipis dan lemah.
2) Anatomi: vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus hemorrhoidalis
kurang mendapat sokongan otot atau fasi sekitarnya.
3) Pekerjaan: orang yang harus berdiri atau duduk lama, atau harus mengangkat
barang berat, mempunyai predisposisi untuk hemorrhoid.
4) Umur: pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, otot sfingter
menjadi tipis dan atonis.
5) Endokrin: misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas anus (sekresi
hormone relaksin).
6) Mekanis: semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan meninggi dalam
rongga perut, misalnya pada penderita hipertrofi prostate, kehamilan, mengejan.
7) Fisiologis: bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada derita
dekompensasio kordis atau sirosis hepatic.
8) Radang adalah factor penting, yang menyebabkan vitalitas jaringan di daerah
berkurang.

3. Patogenesis dan patofisiologi


4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis hemoroid interna cukup bervariasi. Gambaran klinis hemoroid
interna meliputi perdarahan rektal merah terang, prolaps hemoroid dengan gejala seperti
tidak nyaman, gatal, ada penekanan di rektum, tenesmus, adanya sekret, permasalahan
higienitas seperti kotoran yang masih tersisa pada pakaian, dan nyeri. Hemoroid interna
biasanya tidak terlalu menyebabkan nyeri dibandingkan hemoroid eksterna karena berada di
atas linea dentata dan tidak diinervasi oleh saraf kutaneus yang termasuk saraf pudendal
dan pleksus sakral. Perdarahan pada hemoroid dapat dilihat bila ada kemerahan, erosi, atau
bekuan darah yang menempel di atas hemoroid

5. Pemeriksaan fisik dan penunjang

6. Diagnosis dan diagnosis banding


 Diagnosis
1) Anamnesis
Gejala paling sering ditemukan antara lain perdarahan saat buang air besar,
darah menetes dari anus, prolaps, keluar cairan dari anus (mucus discharge), dan
pruritus ani. Hemoroid eksterna dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada anus
karena penonjolan massa. Trombosis hemoroid eksterna dapat menyebabkan nyeri
akut.
Riwayat penyakit yang penting ditanyakan meliputi kebiasaan buang air
besar, frekuensi buang air besar, konsisensi tinja, apakah ada benjolan yang keluar
setelah buang air besar dan apakah bisa dimasukkan kembali ke rektum, riwayat
sulit buang air besar dan kebiasaan mengedan serta kebiasaan makan dan konsumsi
serat.
2) Pemfis
a) Inspeksi
Inspeksi daerah perianal: dapat dilakukan pada posisi lateral kiri atau
litotomi. Pada pemeriksaan inspeksi dapat dinilai apakah terdapat ruam kulit,
hemoroid eksterna atau skin tag, fisura, fistula, abses, neoplasma, kondilomata,
prolaps, papil hipertrofi atau kombinasi di antaranya.

b) Rectal toucher
Pemeriksaan colok dubur: bersifat subyektif bergantung dengan
kemampuan dan penilaian pemeriksa, namun masih menjadi pemeriksaan awal
yang penting. Pemeriksaan yang dinilai termasuk permukaan mukosa, kekuatan
tonus sfingter ani, jika teraba massa di rektum di deskripsikan dengan letak
massa, fluktuasi, nyeri tekan, dan konsistensi.

3) Penunjang
a) Anoskopi
Anoskopi meerupakan pemeriksaan paling akurat dan paling mudah untuk
memeriksa kanalis ani dan distal rektum untuk membedakan diagnosis
hemoroid interna atau fisura ani. Pemeriksaan ini jarang digunakan semenjak
pemakaian endoskopi lebih banyak dilakukan.

b) Sigmoidoskopi fleksibel atau kolonoskopi


Tidak lebih akurat untuk menegakan diagnosis hemoroid, namun dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan inflammatory bowel disease  atau kanker.

 Diagnosis banding
7. Tatalaksana
1) Modifikasi gaya hidup
a) Penatalaksanaan meliputi perbaikan gaya hidup, perbaikan pola makan dan minum,
dan perbaikan cara defekasi.
b) Diet seperti minum 30–40 ml/kgBB/hari dan makanan tinggi serat 20-30 g/hari.
c) Perbaikan pola defekasi dapat dilakukan dengan berubah ke jongkok pada saat
defekasi.
d) Penanganan lain seperti melakukan warm sitz baths dengan merendam area rektal
pada air hangat selama 10-15 menit 2-3 kali sehari untuk membersihkan area rektal
dari sisa BAB dan exudat seperti lendir
e) Banyak melakukan olah raga, seperti jalan kaki, tidak duduk terlalu lama dan tidak
berdiri terlalu lama

2) Farmakologi
a) Obat-obatan yang dapat memperbaiki defekasi. Serat bersifat laksatif memperbesar
volume tinja dan meningkatkan peristaltik, serta pelican tinja (stool softener) atau
pencahar
b) Obat simptomatik yang mengurangi keluhan rasa gatal dan nyeri. Bentuk
suppositoria untuk hemoroid interna dan ointment untuk hemoroid eksterna
c) Obat untuk menghentikan perdarahan campuran diosmin dan hesperidin
d) Obat pencegah serangan hemoroid seperti diosminthesperidin dengan tujuan
memberikan pada inflamasi, kongesti, edema, dan prolaps

3) Tatalaksana invasive minimal


a) Skleroterapi
Penyuntikan cairan kimia menyebabkan luka jaringan hemoroid. Skleroterapi dengan
suntikan aethoxysclerol 0,5 – 1 ml dan didapatkan pengecilan hemoroid minggu ke
4-5 setelah 3 – 5 kali prosedur

b) Rubber band ligation


Menempatkan karet pengikat di sekitar jaringan hemoroid interna sehingga
mengurangi aliran darah ke jaringan tersebut menyebabkan hemoroid nekrosis,
degenerasi, dan ablasi.

c) Phototherapy
Laser, inframerah, atau koagulasi bipolar menggunakan laser atau sinar inframerah
atau panas untuk menghancurkan hemoroid interna.

4) Pembedahan
a) Hemorrhoidectomy
Hemorrhoidectomy bertujuan untuk membuang hemmorhoid. Dilakukan
pada pasien dengan hemorrhoid grade III/IV atau dengan pasien yang mengeluhkan
perdarahan berulang dan tidak mempan dengan medikamentosa. Dalam hal ini
dilakukan pemotongan pada jaringan yang benar-benar berlebihan agar tidak
mengganggu fungsi normal anus. Ada 2 mekanisme bedah yang dapat dilakukan,
pertama adalah close hemorrhoidectomy dan open hemorrhoidectomy. Pada close
hemorrhoidectomy, ada suatu Tindakan yang sering dilakukan, yaitu metode stapler.

8. Prognosis dan komplikasi


 Prognosis
Prognosis pasien yang menjalani tatalaksana hemoroid yang sesuai adalah baik.
Resolusi dan perbaikan gejala dengan laju rekurensi yang rendah, walaupun gejala sisa
atau gejala rekuren tinggi angka kejadiannya pada pasien yang memiliki faktor risiko
kuat. Operasi hemoroidektomi memiliki efek jangka panjang dengan kurang dari 20%
gejala rekuren dan membutuhkan terapi ulang yang lebih rendah dibandingkan dengan
ligasi rubber band pada hemoroid derajat 2 atau derajat yang lebih berat

 Komplikasi
Komplikasi dari hemoroid salah satunya adalah thrombosis pada hemoroid.
Prognosis hemoroid jika tidak ditangani maka derajat keparahan dapat memberat. Jika
ditatalaksana dengan sesuai, secara umum prognosis baik walaupun kemungkinan
rekurensi tetap ada. Selain itu, komplikasi lainnya adalah Anemia dari perdarahan
kontinu dan masif, Trombosis, Inkarserasi, Inkontinensia fekal, Sepsis pelvis, dan
Stenosis anal

9. Indikasi rujukan
Berdasarkan SKDI 2019, hemoroid grade 1-2 merupakan kompetensi 4, dimana
dokter umum dapat melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang sesuai. Namun,
untuk grade 3-4 merupakan kompetensi 3A dimana dokter umum dapat melakukan
diagnosis dan melakukan tatalaksana awal, kemudian merujuk ke dokter spesialis

Perdarahan saluran cerna bagian bawah


1. Definisi dan klasifikasi
 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang tierjadi pada
saluran cerna di bawah dari ligamentum treitz yang membatasi saluran cerna bagian
atas dan bagian bawah

 Klasifikasi
1) Hematochezia
Hematochezia adalah darah segar yang keluar dari anus dan merupakan
manifestasi tersering dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Umumnya lazim
meunjukkan perdarahan kolon sebelah kiri, namun juga dapat disebabkan dari
saluran cerna bagian atas, usus halus, dan transit darah yang cepat

2) Melena
Melena adalah tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas yang timbul
bila hemoglobi dikonversi menjadi hematin atau hemokrom oleh bakteri setelah 14
jam. Pada saluran cerna bagian bawah, melena terjadi bila perdarahan kolon sebelah
kanan dengan perlambatan mobilitas. Melena juga disebabkan akibat konsumsi besi
berlebih, sehingga diperlukan tes guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin

3) Darah samar
Darah samar timbul bila ada perdarahan ringan namun tidak sampai merubah warna
dari feses. Untuk peeriksaanya dilakukan tes guaiac

2. Epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko


 Epidemiologi

 Etiologi
Pada perdarahan saluran cerna bagian bawah, biasanya bersifat lambat, intermitten,
dan tidak perlu perawatan di rumah sakit. Beberapa diantara penyebab dari perdarahan
SCBB adalah sebagai berikut :
1) Diverticulosis
2) Angiodysplasia
3) Colitis ischemia
4) Perianal disease
5) Neoplasma colon

Pada kasus darah samar, dimana tidak darah yang dikeluarkan tidak dapat
terdeteksi, etiologinya adalah sebagai berikut :

1) Tumor dan neoplasma, seperti : adenokarsinoma primer, metastasis, polip ukuran


besar, limfoma, leiomyoma, leiomyosarcoma, dan lipoma
2) Infeksi, seperti : cacing tambang, stongiloidiasis, askariasis, amoebiasis
3) Penyebab lain, seperti : NSAID, marathon, dan gastrostomy tube
4) Penyebab vascular, seperti : angiodysplasia dan vascular ectasia, gastropati
hipertensi portal, hemangioma, blue rubber black nervus syndrome, dan gastric anal
vascular ectasia (GAVE)
5) Gangguan inflamasi , seperti : asam lambung, hernia hiatas, inflammatory bowel
disease, ulcus saecum, dan diverticulum Meckel.

 Faktor risiko

3. Patogenesis dan patofisiologi


1) Diverticulosis
2) Angiodysplasia

3) Colitis ischemia
4. Manifestasi klinis

5. Pemeriksaan fisik dan penunjang


 Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan penunjang
1) Endoskopi
2) Scyntography dan angiografi
3) Barium enema
4) Tes darah samar

6. Diagnosis dan diagnosis banding


 Diagnosis
1) Anamnesis dan pemfis
Pada pasien dengan perdarahan SLBB, riwayat hemorrhoid atau IBD sangat
penting untuk dicatat. Nyeri abdomen atau diare merupakan petunjuk dari colitis
dan neoplasma. Keganasan kadang ditandai dengan penurunan berat badan,
anoreksia, limfadenopati, atau massa yang teraba
Pada pasien dengan perdarahan samar, umumnya tidak ada gejala dan
hanya terasa lelah akibat dari anemia. Palpitasi dan rasa pusing pada saat berubah
posisi atau sesak nafas pada saat olahraga merupakan petunjuk kea rah anemia.
Sebagian pasien menunjukkan gejala pica seperti makan es atau makan tanah akibat
defisiensi besi. Penurunan berat badan dan anoreksia dapat disebabkan oleh
keganasan.

2) Pemeriksaan penunjang
a) Endoskopi
b) Scintography dan angiografi
c) Barium enema
d) Tes darah samar

 Diagnosis banding
1) Diverticulosis
Penyakit divertikular (atau diverticulosis) merupakan keadaan di mana terdapatbanyak
penonjolan mukosa yang menyerupai kantong (divertikula) yang tumbuh dalamusus besar,
khususnya kolon sigmoid tanpa adanya inflamasi. Peradangan akut daridivertikulum menyebabkan
divertikulitis
2) Angiodysplasia
Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok
paling sering ditemukan di sekum atau kolon kanan biasanya setelah usia 60–an.
pembuluh darah ini mudah ruptur dan mengeluarkan darah ke lumen.

3) Colitis ischemia
Kolitis iskemik atau stroke usus terjadi saat aliran darah ke usus besar
(kolon) berkurang karena pembuluh darah menyempit atau tersumbat. Apabila usus
besar tidak menerima oksigen yang cukup, maka lapisannya (mukosa) akan
mengalami nekrosis (kematian jaringan atau sel). Hal ini dapat menyebabkan
terbentuknya ulkus.
4) Perianal disease
Penyakit perianal seperti hemoroid dan fissure ani (robek anus) dapat
menimbulkan perdarahan dengan warna segar dan tidak tercampur dengan fses

5) Neoplasma colon
Tumor jinak maupun ganas yang biasanya terdapat pada pasien usia lanjut
dan biasanya ditemukan peradarahan berulang atau darah samar

7. Tatalaksana
1) Resusitasi
Pemasangan oksigen, infus, NGT, dan packed red cell

2) Medikamentosa
Pada beberapa kasus saluran cerna bagian bawah, dapat diberikan tatalaksana
secara mediamentosa. Hemoroid fisura ani dan ulkus rectum soliter dapat diobati
dengan bulk-forming agent, sitz bath, dan menghindari mengedan. Salep yang
mengandung steroid dan supposituria sering digunakan, namun manfaatnya masih
diertanyakan
Kombinasi antara estroen dan progesterone dapat mengurangi perdarahan yang
tmbul pada pasien yang enderita angiodysplasia. IBD berespon terhadap obat anti
inflamasi. Pemberian formalin interektal dapat memperbaiki perdarahan akibat proctitis
radiasi. Respon serupa juga terjadi pada pemberian oksigen hiperbarik

3) Terapi endoskopi
Colonoscopic, bipolar cautery, monopolar cautery, heater probe application, organ
plasma coagulation, dan Nd:YAG laser bermanfaat pada angiodysplasia dan perubahan
askular pada colitis radiasi. Kolonoskopi dapat digunakan untuk melakukan ablasi dan
reseksi polip yang berdarah atau mengendalikan perdarahan pada Ca colon.
Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan pada hemoroid interna dengan ligase atau
Teknik termal

4) Angiografi terapautik
Dilakukan bila konoskopi gagal atau tidak dapat dikerjakan. Embolisasi arteri secara
selektif dengan polyvinyl alcohol atau mikrooil dilakukan untuk mengatasi perdarahan
saluran cerna bagian bawah

5) Terapi bedah

8. Prognosis dan komplikasi


 Prognosis

 Komplikasi

9. Indikasi rujukan
Segala jenis perdarahan gastrointestinal adalah kompetensi 3B, dimana dokter dapat
membuat diagnosis, memberi tatalaksana awal, dan merujuk ke dokter spesialis
Hernia

1. Definisi dan klasifikasi

2. Epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko

3. Patogenesis dan patofisiologi


4. Manifestasi klinis

5. Pemeriksaan fisik dan penunjang

6. Diagnosis dan diagnosis banding


 Diagnosis
1. Diagnosis
a) Anamnesis
Hernia inguinalis dapat asimtomatis dan ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan fisik. Pada pasien simtomatis, keluhan pasien dapat berupa rasa
tidak nyaman di daerah benjolan. Pasien juga dapat menyadari adanya benjolan
yang keluar masuk secara spontan di area inguinal atau skrotum. Biasanya
keluarnya benjolan dipicu oleh peningkatan tekanan intraabdomen, misalnya
saat pasien mengedan atau batuk. Benjolan umumnya menghilang spontan
setelah beberapa saat atau jika pasien berbaring.
Regangan pada jaringan sekitar hernia dapat menyebabkan rasa terbakar
atau nyeri lokalis pada area hernia. Nyeri dapat memberat dengan manuver
Valsava.
Setiap hernia reponibilis memiliki risiko untuk menjadi inkarserata, yang
dapat menyebabkan obstruksi dan strangulasi. Pada strangulasi, terdapat
pemutusan aliran darah yang menyebabkan iskemia usus. Pada kondisi ini
pasien umumnya datang dengan keluhan nyeri akut hebat.

b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi terutama pada area inguinal dan
femoral ketika pasien sedang berdiri. Pada inspeksi dapat dicari tanda-tanda
penonjolan, pembengkakan, perubahan warna, dan adakah asimetri pada kedua
sisi bilateral inguinalis. Lalu pasien diminta untuk melakukan manuver valsava
untuk melihat apakah benjolan membesar.
Palpasi dimulai dari kulit longgar terbawah skrotum hingga annulus
inguinalis interna. Pada regio skrotum, palpasi mengikuti arah korda spermatika
ke atas hingga ligamentum inguinalis dan orifisium annulus inguinalis eksterna.
Annulus inguinalis eksterna berada pada sisi medial dan inferior dari tuberkel
pubis. Kanalis inguinalis berada pada sisi lateral dari annulus tersebut. Pada
posisi palpasi kanalis tersebut, pasien kembali diminta untuk melakukan
manuver valsava untuk mencari tonjolan hernia.
Pada kondisi nyeri akut pada hernia harus selalu dicurigai adanya hernia
strangulasi. Pada hernia strangulasi akan ditemukan nyeri tekan, hiperemis,
disertai mual muntah. Hernia strangulasi merupakan kondisi kegawatdaruratan
dan membutuhkan tatalaksana bedah segera.

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan pada hernia inguinalis, namun
dapat bermanfaat pada kondisi tertentu seperti hernia rekurens, hernia dengan
klinis tidak jelas, hernia dengan hidrokel, maupun pada nyeri kronis pasca
pembedahan.
 USG
Pemeriksaan USG dapat membantu membedakan hernia inkarserata
dengan kelainan nodus limfe maupun massa lainnya. Sensitivitas
ultrasonografi dilaporkan tinggi (sensitivitas 90%, spesifisitas 82-86%).
 MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki sensitivitas >95% dalam
membedakan hernia inguinalis dari femoralis atau hernia yang tidak teraba
pada pemeriksaan fisik. Pada kecurigaan hernia inguinalis dengan klinis tidak
jelas, kecurigaan sports hernia, maupun nyeri pada regio inguinalis yang
berhubungan dengan peningkatan aktivitas, modalitas MRI dapat sangat
membantu penegakan diagnosis.

 Diagnosis banding

7. Tatalaksana

8. Prognosis dan komplikasi


 Prognosis
Hernia inguinalis reponibilis memiliki risiko menjadi inkarserata yang dapat
menyebabkan obstruksi maupun strangulasi. Namun, strangulasi pada hernia inguinalis
dilaporkan sangat jarang, tidak seperti pada hernia femoralis dimana strangulasi lebih
sering dilaporkan. Usia tua, durasi memiliki hernia yang lama, serta inkarserata
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan komplikasi akut pasca pembedahan.

 Komplikasi
Komplikasi hernia inguinalias adalah terjadinya strangulasi yang dapat menyebabkan
iskemia usus, ileus obstruktif, dan perforasi.
Komplikasi pasca pembedahan hernia inguinalis dilaporkan rendah. Komplikasi
paling sering dilaporkan pada repair hernia adalah hematom, yang meliputi ekimosis
penis maupun skrotalis, seroma, dan infeksi luka. Komplikasi jangka panjang yang paling
sering terjadi adalah nyeri kronis, yang terjadi pada 5-12% pasca repair. Nyeri tersebut
dilaporkan berkaitan dengan iritasi serabut saraf, inflamasi kronis, kontraksi mesh, dan
osteitis pubis

9. Indikasi rujukan
Indikasi dari hernia yang reponibel dan irreponibel, kompetensinya ialah 2 dimana
dokter umum dapat mendiagnosis dan langsung merujuk pasien. Pada pasien dengan hernia
stangulata dan inkarserata, kompetensinya adalah 3B dimana dapat mendiagnosis,
melakukan tatalaksana awal, dan langsung merujuk pasien. Pada hernia diafragmatika dan
hiatus, kompetensinya adalah 2, dan hernia umbilikalis adalah 3A

Anda mungkin juga menyukai