TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TIDUR
Penelitian ilmiah tentang tidur pada manusia baru dimulai satu abad lalu,
dimulai pada awal abad ke-20 oleh ilmuwan Prancis bernama Henri Pieron, dalam
efek kurang tidur. Pada tahun 1953, bersama-sama dengan muridnya Aserinsky, ia
Kleitman yang lain, Dr. William C. Dement, melanjutkan penelitian Kleitman dan
menjelaskan siklus alamiah tidur dan menentukan bahwa mimpi terjadi pada saat
tidur REM. Perubahan genetik pada narkolepsi ditemukan pertama kali tahun
1999 pada anjing. Mutasi jam gen pertama kali ditemukan tahun 2005 pada tikus,
yang menunjukkan bahwa mutasi pada sistem jam gen circadian mengganggu
tidak hanya pada siklus tidur tapi juga keseimbangan energi, sehingga terjadi
metabolik, dan disfungsi hepar. (Assefa, Diaz-Abad, Wickwire, & Scharf, 2015;
5
6
Hines & Marschall, 2018; Miller, Wright, Hough, & Cappuccio, 2014;
2.1.1 Fisiologi
keadaan bangun dicapai oleh neuronal pathway batang otak yang dikenal sebagai
(GABA) dan galanin. Ada inhibisi timbal-balik yang terjadi di antara ARAS dan
neuron ARAS kolinergik dan mengaktivasi neuron VLPO. (Gregory & Edsell,
mengemukakan bahwa osilasi dasar dari siklus tidur merupakan hasil dari
tunggal dari formasi retikuler pons menjelaskan bahwa ada 2 level populasi
neuronal interkoneksi yang berfluktuasi secara periodik dan reciprocal. Pada saat
dan karenanya aktivitas neuron kolinergik menjadi rendah. Pada saat tidur non
kolinergik meningkat, dan tidur REM terjadi pada saat perpindahan tersebut
7
tersebut dimodulasi oleh karena pengaruh neuron hypocretin (juga disebut orexin)
secreting dari hipotalamus, tapi cara kerja sistem kontrol ini belum diketahui
dari fungsi nuklei khusus dalam hipotalamus, pons, dan bagian basal otak depan.
Koneksi reciprocal pada daerah-daerah ini, dimodulasi oleh masukan dari daerah-
daerah otak yang berespon pada kondisi lingkungan, membuat makhluk hidup
pengaruh langsung pada siklus tidur tapi mempengaruhi cahaya sehingga, secara
Percobaan pada hewan dan analisis terhadap kasus ensefalitis von Economo (yang
dan batang otak yang terangsang pada saat bangun. Kerusakan pada VLPO
Waktu dan durasi tidur sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor: (1) hemostasis
waktu bangun, (2) hemostasis circadian, yang diregulasi oleh nukleus hipotalamik
siklus circadian yang normal, waktu onset pelepasan melatonin pada kondisi
pencahayaan rendah terjadi sekitar 2 jam sebelum onset tidur terjadi, sedangkan
dengan cara menghalangi efek kerja adenosin. (Gregory & Edsell, 2014; Hines &
”shutting down”, tetapi tidur ternyata merupakan suatu proses fisiologis aktif.
Meskipun metabolisme tubuh pada umumnya melambat pada saat tidur, sistem
organ dan regulasi mayor lainnya tetap bekerja. Secara umum, keadaan tidur dapat
dikategorikan sebagai tidur REM dan tidur NREM. (Assefa et al., 2015; Phillips
Tidur REM dianggap sebagai keadaan tidur yang lebih primitif, yang
merupakan periode aktif pada saat tidur yang ditandai dengan aktivitas otak yang
meningkat. Gelombang otak menjadi cepat dan tidak sinkron satu sama lainnya,
mirip dengan orang yang berjalan pada waktu tidur. Kecepatan nafas bertambah,
ireguler, dan dangkal; bola mata bergerak ke segala arah dengan cepat, dan otot-
otot tungkai menjadi lumpuh untuk sementara. Nadi dan tekanan darah
mengalami mimpi. (Hines & Marschall, 2018; Phillips & Gelula, 2006; Ropper,
level energi yang rendah, ditandai dengan pengurangan aktivitas fisiologi. Ketika
lebih besar, nafas dan nadi menjadi lebih pelan, serta terjadi penurunan tekanan
stadium, yaitu: (Assefa et al., 2015; Hines & Marschall, 2018; Phillips & Gelula,
mulai melambat pada fase ini. Orang-orang pada fase ini dapat merasakan
dengan tonus otot spontan dan relaksasi otot spontan. Nadi melambat dan
Stadium 3 dan 4 (di mana keduanya disebut slow wave sleep), ditandai
dengan adanya gelombang otak yang sangat lambat yang disebut sebagai
lebih kecil dan cepat. Tekanan darah, suhu tubuh, dan kecepatan nafas lebih
10
menurun lagi, dan tubuh tidak dapat bergerak. Tidur menjadi lebih dalam,
sangat sulit terjadi, tapi orang-orang yang terbangun dari tidur sangat dalam
ini biasnya mengalami disorientasi selama beberapa menit. Pada stadium ini
Aserinsky, Dement, dan Kleitman melalui analisis EEG dan observasi klinis.
elektrik otak terjadi dalam siklus yang teratur dan berulang, dikenal sebagai
arsitektur dari tidur. Pada saat stadium elektrofisiologi berlangsung, tidur menjadi
lebih dalam, dan butuh stimuli lebih besar untuk bangun. Hal ini memutarbalikkan
pendapat para ahli sebelumnya yang mengganggap bahwa tidur merupakan suatu
gelombang delta dengan amplitudo yang tinggi dalam EEG. Sebuah stadium
dengan reduksi tonus otot mata lebih lanjut kecuali pada muskulus ekstraokuler
dan terjadinya kedutan REM; sehingga istilah tidur REM digunakan pada stadium
ini. (Hines & Marschall, 2018; Kasper et al., 2015; Ropper, Allan H; Samuels,
memiliki kebutuhan tidur sekitar 7-9 jam setiap malam, anak remaja
membutuhkan sekitar 9,5 jam, dan bayi pada umumnya membutuhkan 16 jam tiap
hari. Selain kualitas tidur, keseimbangan antara NREM dan REM serta tidur
dalam dan dangkal merupakan hal yang penting. Dalam tidur normal, tidur NREM
dan REM terjadi bergantian sesuai pola yang dapat diprediksi yang disebut
sebagai ”sleep architecture”. (Kasper et al., 2015; Phillips & Gelula, 2006)
Pada porsi pertama dalam suatu tidur malam, orang dewasa muda dan
paruh baya akan melewati stadium N1, N2, N3, dan R. Setelah sekitar 70 sampai
100 menit, sebagian besar proporsi yang terdiri dari stadium N3, periode REM
perpindahan pola EEG dari stadium N3 ke N2. Siklus NREM-REM ini berulang
dalam interval yang sama selama 4 sampai 6 jam setiap malam, tergantung lama
durasi tidur. Periode REM pertama akan berlangsung cepat; sedangkan siklus
selanjutnya memiliki stadium N3 yang lebih pendek atau tidak ada sama sekali.
12
Pada porsi tidur malam selanjutnya, siklus tidur bergantian di antara stadium R
dan N2. (Kasper et al., 2015; Phillips & Gelula, 2006; Ropper, Allan H; Samuels,
orang tersebut hidup. Bayi baru lahir tidur dalam stadium REM dalam 50% waktu
tidurnya, walaupun EEG dan pergerakan mata mereka berbeda dari orang dewasa.
Siklus tidur bayi baru lahir berlangsung selama 60 menit (50% REM, 50%
NREM, bergantian dalam 3-4 jam). Seiring bertambahnya umur, siklus tidur
memanjang menjadi 90 sampai 100 menit. Sekitar 20-25% dari waktu total tidur
pada orang dewasa muda berada dalam stadium REM, 3-5% dalam stadium N1,
50-60% dalam stadium N2, dan 10-20% dalam stadium N3. Jumlah tidur stadium
N3 akan berkurang sesuai pertambahan umur, dan orang dengan umur lebih dari
70 tahun tidak akan memiliki slow-wave sleep yang dalam. Walaupun tidur dapat
menjadi terganggu pada orang tua, kebutuhan tidur tidak menurun mengikuti
pertambahan usia. (Phillips & Gelula, 2006; Ropper, Allan H; Samuels, Martin A;
Klein, 2014)
1. Hemostasis Tidur
perbandingan antara kebutuhan untuk tidur dengan kualitas dan kuantitas tidur
dikembalikan pada waktu istirahat di akhir minggu. Efek dari kurang tidur akut
total dan sleep loss parsial kronik adalah sama, misalnya 8 hari tidur dengan
13
kurang tidur sebanyak 2 jam tiap malamnya ekuivalen dengan defisit performa
kognisi selama 2 malam tanpa tidur sama sekali. (Gregory & Edsell, 2014;
2. Usia Lanjut
Pada saat kita bertambah usia, kebutuhan tidur tidak berubah tapi
kualitasnya menurun. Tidur menjadi mudah terganggu, lebih sering bangun, dan
keadaan tidur dalam jarang tercapai. Orang dengan usia di atas 55 tahun akan
mengalami kesulitan lebih besar untuk mengembalikan keadaan tubuh yang segar
dari pada orang berusia lebih muda. (Gregory & Edsell, 2014)
3. Alkohol
untuk tidur, kualitas tidur akan berkurang. (Gregory & Edsell, 2014) Alkohol
merupakan supresor yang poten terhadap REM sleep, terutama pada paruh
pertama waktu tidur malam. Pada saat konsentrasi alkohol dalam darah menurun,
terjadilah rebound REM pada paruh ke dua waktu tidur malam dan akan
menyebabkan lebih banyak REM sleep sehingga orang akan lebih banyak
terbangun. Oleh sebab itu, alkohol berpotensi mengganggu waktu tidur walaupun
4. Siklus Circadian
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal ini merupakan pola alamiah dari
proses fisiologis dan perilaku yang berjalan hampir setiap 24 jam, dan melibatkan
14
pelepasan hormon. Di dalam ritme ini terdapat juga fluktuasi performa. Pada
sedangkan penurunan performa terjadi di antara pukul 3-7 dan 13-14. (Gregory &
5. Cahaya
peningkatan [Ca2+] dan nitrat oksida intraseluler, sedangkan PACAP bekerja pada
agen intraseluler ini meningkatkan ekspresi pada gen jam SCN dan menyebabkan
6. Melatonin
limiting dan dimediasi oleh serat saraf simpatis dari ganglion servikal superior di
15
MT1 dan MT2 di dalam membran sel dari neuron SCN. Aktivasi reseptor MT1
1). Pelepasan melatonin merupakan suatu proses yang lambat, sekitar 4-5 jam,
yang mulai ~2 jam sebelum waktu tidur alamiah. Melatonin memiliki waktu paruh
sampai 20 menit dan dimetabolisme dalam hepar. (Gregory & Edsell, 2014)
16
Gambar 2.1. Peran cahaya dalam regulasi sintesis melatonin dan ekspresi jam gen
SCN. (Gregory & Edsell, 2014)
7. Shift Malam
bekerja shift malam, waktu tidur biasanya lebih pendek 1-4 jam daripada setelah
bekerja shift siang dan memiliki kualitas tidur yang rendah dengan tidur REM dan
stadium tidur 2 yang kurang. Stadium tidur 3 dan 4 tidak biasanya terpengaruh.
Setelah tidur selama 4-6 jam, orang tersebut biasanya akan terbangun tapi tidak
kerja malam karena siklus terang-gelap tetap tidak berada dalam fase yang sama
kualitas tidur yang buruk atau rasa mengantuk di siang hari. Dibandingkan dengan
17
orang yang bekerja hanya pada siang hari, orang yang bekerja pada malam hari
melaporkan adanya peningkatan waktu tidur pada saat bekerja, kurang waspada,
dan mengalami penurunan performa pada saat melakukan tindakan dan dalam
sebagai periode restorasi fisik berperan sebagai waktu untuk bertumbuh dan
mengajukan suatu teori yang utuh tentang tidur berdasarkan kebutuhan untuk
mengalokasikan sumber energi yang terbatas secara optimal untuk proses biologis
esensial, berjudul “Energy Allocation Model of Sleep”. Menurut teori ini, siklus
tidur-bangun berevolusi untuk melakukan proses biologis yang unik dan esensial
pada saat tidur sebagai cara untuk mengurangi kebutuhan energi pada saat bangun
dan penggunaan energi total setiap hari. (Assefa et al., 2015; Vyazovskiy &
Delogu, 2014)
hormon yang dilepaskan pada saat tidur memiliki fungsi predominan anabolik,
waktu bangun memiliki efek katabolik, seperti kortisol, yang disupresi pada saat
tidur. Hormon pertumbuhan pada umumnya bekerja pada saat tidur gelombang
lambat, dengan waktu tersering adalah segera setelah waktu tidur dalam fase
penurunan besar pada saat terjadinya kurang tidur. Tingkat tertinggi dari prolaktin
pada tubuh manusia tercatat pada saat tidur dan pelepasan testosteron meningkat
yang lebih rendah yang ditemukan pada saat tidur. Metabolisme energi yang lebih
rendah ini dapat menjalankan proses biologis yang terjadi pada saat tidur selesai
dengan penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan pada saat bangun.
Jung, dkk, mengevaluasi 7 orang sehat berumur di antara 17-27 tahun setelah tidur
normal, pada saat kurang tidur dan selama pemulihan. Dibandingkan nilai normal,
pemakaian energi selama 2 jam meningkat 7% pada saat kurang tidur, dan
menurun 5% pada saat masa pemulihan, sedangkan pada saat malam hari,
pemakaian energi meningkat 32% pada saat kurang tidur dan menurun 4% selama
penelitian yang dilakukan oleh Walker dan koleganya bahwa bahkan setelah
variabel perancu seperti waktu pelatihan motor skill, uji coba dan istirahat, dan
dengan lamanya tidur NREM pada waktu malam, dan hal yang sama terjadi juga
Sebagai contoh, Gais dan koleganya melakukan tes hubungan 2 kata pada 8 orang
laki-laki dan 8 orang perempuan dan menemukan bahwa terjadi peningkatan daya
ingat pada saat tidur, dengsn hasil lebih tinggi pada gelombang lambat. Pada suatu
penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan antara tidur gelombang lambat
dan formasi daya ingat, Marshal, dkk, menemukan bahwa induksi gelombang
lambat meningkatkan retensi daya ingat pada daftar pasangan kata. (Assefa et al.,
2015)
yang kurang tidur akan mati dalam beberapa minggu, walaupun diberi makan dan
minum dengan baik, tapi belum diketahui apakah hal tersebut akan terjadi pada
tidak menyenangkan yang berbeda dari gejala umum insomnia. (Ropper, Allan H;
REM dan NREM selama 60-200 jam, ia akan mengalami rasa mengantuk yang
tindakan motorik akan menurun; bila tugas yang diberikan berdurasi pendek dan
lama tidak dapat dicapai, penilaian menjadi terganggu, dan subyek menjadi
dalam bentuk visual dan taktil, akan mengganggu tingkat kesadaran dan akan
menjadi lebih berat seiring bertambahnya waktu kurang tidur. (Ropper, Allan H;
eksoforia, tremor pada tangan, ptosis kelopak mata, wajah tanpa ekspresi, dan
berbicara tidak jelas, dengan salah pengucapan, dan pemilihan kata yang tidak
mata tidak lagi menghasilkan aktivitas gelombang alfa. Nilai ambang kejang
berkurang, dan kejang foci pada EEG dapat teraktivasi. (Ropper, Allan H;
Pada saat terjadinya perbaikan dari keadaan kurang tidur yang lama,
jumlah waktu tidur yang didapatkan tidak pernah sama dengan jumlah yang
hilang. Ketika subyek tertidur setelah melewati waktu yang lama dalam keadaan
beberapa jam tanpa melewati stadium N2 dan REM. Tapi pada malam berikutnya,
terjadi rebound tidur stadium REM dan melewati tingkat sebelum keadaan kurang
21
memulihkan fungsi-fungsi yang terganggu sebagai hasil dari kurang tidur yang
2.2 KOGNISI
Kognisi bukan hanya merupakan suatu proses, tapi suatu proses mental.
Neisser pada tahun 1967, kognisi adalah suatu proses mental yang
melibatkan banyak fungsi seperti persepsi, atensi, memory coding, retensi, dan
variasi, dan dapat beroperasi secara mandiri (atau tidak) pada penalaran di tingkat
yang berbeda. Lebih jauh lagi, proses-proses tersebut dapat diobservasi atau
metode yang mirip dengan ilmu pengetahuan lainnya. (Brandimonte, Bruno, &
neurobiologi tidur, dan ilmu tentang kognisi telah menghasilkan bukti yang akurat
tentang peran tidur yang fundamental dalam kognisi. Tidur diperlukan untuk
kesehatan mental, dan kurang tidur memiliki efek negatif terhadap mood,
berbagai proses mental akan terganggu pada keadaan kurang tidur. (Miller et al.,
2014)
panjang dan gangguan tidur berhubungan dengan fungsi kognisi yang tidak baik.
(penurunan dari 6, 7, atau 8 jam, atau peningkatan dari 7 atau 8 jam) berhubungan
dengan nilai-nilai rendah pada beberapa tes fungsi kognisi, tapi tidak pada fungsi
ingatan. Sebuah penelitian di Spanyol memiliki hasil yang sama, di mana orang-
orang yang tidur selama 11 jam atau lebih setiap malamnya memiliki nilai global
kognisi yang jauh lebih rendah dari orang-orang yang tidur selama 7 jam saja.
Sebuah penelitian yang unik juga melaporkan efek tidur siang setelah makan pada
kewaspadaan dan performa subyektif setelah kurang tidur parsial. Sebuah tidur
jangka pendek dan akurasi, tapi tidak memperbaiki waktu reaksi. (Miller et al.,
2014)
Jika kuantitas tidur adalah jumlah waktu tidur, kualitas tidur diukur
dengan cara mempelajari seberapa banyak terjadinya bangun pada waktu tidur
malam, kesulitan dalam memulai waktu tidur, bangun terlalu pagi, atau bangun
dalam keadaan lelah. Penelitian telah menunjukkan bahwa seperti kuantitas tidur,
kualitas tidur juga memiliki peran dalam kognisi. Salah satu penelitian pada
keluhan tidur subyektif (seperti sulit tidur, bangun terlalu pagi, dan gangguan
tidur) pada orang dewasa muda dan paruh baya menunjukkan terjadinya
kognisi pada saat follow-up, sedangkan bangun terlalu pagi memiliki hubungan
paling kuat dengan penurunan kognisi pada saat pemeriksaan. Tapi, hubungan
antara keluhan tidur dan penurunan kognisi hilang pada saat depresi bisa
kognisi yang buruk secara langsung, atau apakah tidur yang buruk menyebabkan
seperti depresi, pada tidur dan fungsi kognisi ketika kita mempelajari berbagai
2014)
umur. Kemampuan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa bagian spesifik seperti
yang paling sering digunakan untuk menjelaskan fungsi kognisi mana yang
yang dihasilkan dari proses kognisi yang terjadi di waktu lampau, yang
umur 60 tahun dan diikuti dengan penurunan sampai umur 80 tahun, sedangkan
(Murman, 2015)
laki-laki lebih baik pada kemampuan spasial, memori kerja dan matematika.
2.3 PSIKOMOTOR
motorik”, pertama kali dikemukakan oleh Schmidt pada tahun 1991, telah
yang diperkenalkan oleh Ruff dan Parker pada tahun 1993, “performa
25
psikomotor” oleh Panton dan kawan-kawan pada tahun 1990, “fungsi psikomotor”
oleh Era pada tahun 1987, “kapasitas psikomotor” oleh Viikari-Juntura pada tahun
1994, dan “kecepatan psikomotor” oleh Simonen pada tahun 1997. (Kauranen,
1999)
subyek untuk melakukan respon motorik cepat terhadap suatu tanda yang
reaksi sederhana, pilihan waktu reaksi atau kecepatan pergerakan. Tapi, bersama-
sama dengan komponen tersebut, ada beberapa performa motorik lainnya seperti
(Kauranen, 1999)
kesehatan, dalam hal ini residen, yang bekerja untuk waktu yang lama. Dalam
suatu penelitian terhadap 2737 residen yang dilakukan selama 1 tahun, jumlah
kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi setelah bekerja lebih dari 24 jam
26
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kejadian kecelakaan lebih tinggi pada
residen yang bekerja lebih dari 24 jam. Sebuah penelitian lainnya oleh Kowa
Ienko dan kawan-kawan melakukan survey terhadap 697 residen dan menemukan
bahwa hanya terdapat 4,1% residen yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
terkontaminasi darah atau cairan tubuh melalui jarum suntuk atau laserasi juga
umum terjadi pada tenaga medis dengan gejala kurang tidur. Sebuah penelitian
terhadap 2737 residen pada Juli 2002 sampai Mei 2003, Ayas dan koleganya
cedera lebih besar terjadi pada hari setelah jaga malam dari pada hari tanpa jaga
menunjukkan bahwa terdapat penurunan gejala-gejala stres atau depresi pada saat
jumlah waktu kerja dikurangi, tapi 2 penelitian lain tidak menemukan perbedaan
level serum sitokin dan penanda inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6) dan C-
reactive protein (CRP), yang menunjukkan bahwa episode kurang tidur berulang
gangguan vaskuler dan aterosklerosis. (Comondore et al., 2008; Sinha et al., 2013)
meninggal setiap tahunnya karena kesalahan medis, dan kurangnya waktu tidur
tenaga medis merupatakan salah satu faktor penyebab. Banyak penelitian telah
medis lebih banyak pada bulan dengan jumlah 4 sampai 5 kali jaga malam
dibandingkan dengan bulan tanpa adanya jaga malam. Sebuah studi lainnya
tidur. Residen bedah yang tidak tidur malam sebelumnya melakukan 20% lebih
banyak kesalahan dan membutuhkan 14% waktu lebih lama untuk menyelesaikan
Penelitian lain menunjukkan bahwa kurang tidur memiliki efek yang kecil
kembali pada 6751 kasus operasi jantung dan menemukan bahwa tingkat
mortalitas dan komplikasi bedah tidak lebih tinggi pada operasi yang dilakukan
oleh dokter bedah yang telah bangun sejak malam sebelumnya daripada dokter
yang tidur pada malam sebelumnya. Pada saat menjelaskan hasilnya, peneliti
28
intensif dalam suatu studi randomized crossover controlled trial, dengan residen
yang bekerja dalam jadwal yang normal (jaga malam setiap 3 malam) dan jadwal
intervensi dengan lama kerja maksimal 16 jam. Dengan jadwal yang baru, residen
bekerja selama 61 jam tiap minggu daripada 77 sampai 81 jam setiap minggu pada
jadwal yang lama. Residen memiliki kesempatan tidur lebih banyak dengan
jadwal yang baru (7,7 jam sehari berbanding 6,6 jam sehari). Dengan jadwal yang
perhatian selama jam kerja yang lebih rendah. (Comondore et al., 2008)
Selain kesalahan medis, kesalahan dapat juga terjadi pada serah terima
(handover) pasien. Walaupun terdapat bukti yang mendukung untuk waktu kerja
tepat, sedangkan pengaruh pertambahan umur tidak terlalu berpengaruh pada tes
bahwa melambatnya performa psikomotor pada orang tua adalah karena hasil dari
Perbedaan jenis kelamin memiliki hasil yang bevariasi pada berbagai tes
fungsi psikomotor. Dalam suatu penelitian meta analisis oleh Thorley dan
performa yang lebih baik pada tes Finger Dexterity, Steadiness, dan pengukuran
waktu tes respon yang lebih baik dari pada perempuan. (Era et al., 2010; Thorley
pasien itu sendiri tidak hanya bergantung pada cukup tidaknya waktu tidur tenaga
30
medis. Ada beberapa faktor lain yang dapat dijadikan pengembangan dari
pelakunya. Beban tersebut dapat berupa fisik, mental atau sosial. Derajat beratnya
beban kerja tidak hanya tergantung pada jumlah kalori yang dikonsumsi, akan
tetapi juga bergantung pada jumlah otot yang terlibat pada pembebanan otot statis.
itu temperatur sekeliling yang tinggi, tingginya pembebanan otot statis serta
semakin sedikit otot yang terlibat dalam suatu kondisi kerja dapat meningkatkan
denyut jantung. Dengan demikian denyut jantung dipakai sebagai indeks beban
kerja. (Koesyanto, 2008) Klasifikasi beban kerja dapat dibagi menjadi: (Work
Stress kerja dapat didefinisikan sebagai efek negatif dari tegangan pada
fisik dan emosi ketika kebutuhan kerja tidak sesuai dengan kemampuan, sumber
daya, atau kebutuhan orang yang bekerja. Kondisi apapun dalam lingkungan kerja
31
Tabel 2.1. Fase stres kerja (Canadian Center of Occupational Health and Safety,
2012)
kerja
tidak mampu mengatur diri
menarik diri
marah yang tidak dapat
dikontrol
pikiran ingin membunuh atau
bunuh diri
tremor
kelelahan kronis ekstrim
reaksi berlebihan terhadap
hal-hal kecil
agitasi
sering kecelakaan
tidak peduli
paranoia