Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TIDUR

Penelitian ilmiah tentang tidur pada manusia baru dimulai satu abad lalu,

di mana perkembangan sleep medicine sebagai bagian dari disiplin ilmu

kedokteran hanya berumur sekitar 50 tahun. Penelitian pertama tentang tidur

dimulai pada awal abad ke-20 oleh ilmuwan Prancis bernama Henri Pieron, dalam

tulisannya yang berjudul ” Le problem physiologique du sommeil.” Pada tahun

1920-an Nathaniel Kleitman, bapak penelitian tidur Amerika, mengadakan

beberapa penelitian awal terhadap regulasi siklus tidur/bangun. Hasil

penelitiannya menyebutkan karakteristik tidur pada populasi yang berbeda dan

efek kurang tidur. Pada tahun 1953, bersama-sama dengan muridnya Aserinsky, ia

menjelaskan tentang keadaan tidur rapid-eye movement (REM). Seorang murid

Kleitman yang lain, Dr. William C. Dement, melanjutkan penelitian Kleitman dan

menjelaskan siklus alamiah tidur dan menentukan bahwa mimpi terjadi pada saat

tidur REM. Perubahan genetik pada narkolepsi ditemukan pertama kali tahun

1999 pada anjing. Mutasi jam gen pertama kali ditemukan tahun 2005 pada tikus,

yang menunjukkan bahwa mutasi pada sistem jam gen circadian mengganggu

tidak hanya pada siklus tidur tapi juga keseimbangan energi, sehingga terjadi

hiperfagia, hiperlipidemia, hiperglikemia, hipoinsulinemia, obesitas, sindrom

metabolik, dan disfungsi hepar. (Assefa, Diaz-Abad, Wickwire, & Scharf, 2015;

5
6

Hines & Marschall, 2018; Miller, Wright, Hough, & Cappuccio, 2014;

Vyazovskiy & Delogu, 2014)

2.1.1 Fisiologi

Pengertian terkini tentang keadaan bangun dan tidur adalah bahwa

keadaan bangun dicapai oleh neuronal pathway batang otak yang dikenal sebagai

ascending reticular activating system (ARAS), yang melibatkan beberapa

neurotransmiter termasuk asetilkolin, dopamin, norepinefrin, histamin, dan 5-

hydroxytryptamine (5-HT), sedangkan keadaan tidur dipertahankan oleh inhibisi

ARAS melalui nukleus hipotalamus yang dikenal sebagai nukleus ventrolateral

preoptic (VLPO). Hal ini melibatkan 2 neurotrasmitter: asam γ-aminobutyric

(GABA) dan galanin. Ada inhibisi timbal-balik yang terjadi di antara ARAS dan

nukleus VLPO. Adenosin menghasilkan keadaan tidur dengan cara menginhibisi

neuron ARAS kolinergik dan mengaktivasi neuron VLPO. (Gregory & Edsell,

2014; Hines & Marschall, 2018)

Allan Hobson, seorang peneliti asal Amerika Serikat, awalnya

mengemukakan bahwa osilasi dasar dari siklus tidur merupakan hasil dari

interaksi reciprocal dari neurotransmitter eksitatorik dan inhibitorik. Rekaman sel

tunggal dari formasi retikuler pons menjelaskan bahwa ada 2 level populasi

neuronal interkoneksi yang berfluktuasi secara periodik dan reciprocal. Pada saat

bangun, dikatakan bahwa aktivitas neuron aminergik (inhibitorik) adalah tinggi,

dan karenanya aktivitas neuron kolinergik menjadi rendah. Pada saat tidur non

rapid-eye movement (NREM), inhibisi aminergik perlahan menurun dan eksitasi

kolinergik meningkat, dan tidur REM terjadi pada saat perpindahan tersebut
7

lengkap. Ada kemungkinan bahwa sirkuit-sirkuit neuronal monoaminergik

tersebut dimodulasi oleh karena pengaruh neuron hypocretin (juga disebut orexin)

secreting dari hipotalamus, tapi cara kerja sistem kontrol ini belum diketahui

seutuhnya. (Ropper, Allan H; Samuels, Martin A; Klein, 2014)

Perbaikan dari pandangan tersebut telah menjabarkan interaksi kompleks

dari fungsi nuklei khusus dalam hipotalamus, pons, dan bagian basal otak depan.

Koneksi reciprocal pada daerah-daerah ini, dimodulasi oleh masukan dari daerah-

daerah otak yang berespon pada kondisi lingkungan, membuat makhluk hidup

mengadaptasikan siklus tidurnya sesuai dengan kebutuhannya dan pengaruh

eksternal. Suprachiasmatic nucleus (SCN) pada hipotalamus tidak memiliki

pengaruh langsung pada siklus tidur tapi mempengaruhi cahaya sehingga, secara

tidak langsung, mempengaruhi berbagai macam ritme circadian, termasuk tidur.

Percobaan pada hewan dan analisis terhadap kasus ensefalitis von Economo (yang

menyebabkan sindrom tidur patologik) telah mengindikasikan bahwa VLPO pada

hipotalamus mengirimkan serat ke semua kelompok sel mayor pada hipotalamus

dan batang otak yang terangsang pada saat bangun. Kerusakan pada VLPO

menghasilkan keadaan bangun patologik, dan kehilangan keadaan tidur. (Ropper,

Allan H; Samuels, Martin A; Klein, 2014)

Waktu dan durasi tidur sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor: (1) hemostasis

tidur, yang melibatkan pembentukan neurotransmitter inhibisi adenosin pada

waktu bangun, (2) hemostasis circadian, yang diregulasi oleh nukleus hipotalamik

yang menyediakan input GABAergic pada glandula pinealis, dan (3)

environmental zeitgebers (“timegivers” - pemberi waktu), terdiri dari cahaya,


8

suhu, makan, posisi tubuh, dan stimulus lingkungan. Cahaya merupakan

zeitberger paling penting. Cahaya memberikan input pada hipotalamus untuk

menekan pelepasan melatonin dari glandula pinealis, sedangkan kegelapan

menstimulasi pelepasan melatonin, juga dikenal sebagai hormon kegelapan. Pada

siklus circadian yang normal, waktu onset pelepasan melatonin pada kondisi

pencahayaan rendah terjadi sekitar 2 jam sebelum onset tidur terjadi, sedangkan

peningkatan suhu tubuh menstimulasi waktu bangun. Kafein menginhibisi tidur

dengan cara menghalangi efek kerja adenosin. (Gregory & Edsell, 2014; Hines &

Marschall, 2018; Spencer, 2013)

2.1.2 Stadium Tidur

Adalah suatu pemikiran umum bahwa bahwa tidur merupakan waktu

”shutting down”, tetapi tidur ternyata merupakan suatu proses fisiologis aktif.

Meskipun metabolisme tubuh pada umumnya melambat pada saat tidur, sistem

organ dan regulasi mayor lainnya tetap bekerja. Secara umum, keadaan tidur dapat

dikategorikan sebagai tidur REM dan tidur NREM. (Assefa et al., 2015; Phillips

& Gelula, 2006; Spencer, 2013)

Tidur REM dianggap sebagai keadaan tidur yang lebih primitif, yang

merupakan periode aktif pada saat tidur yang ditandai dengan aktivitas otak yang

meningkat. Gelombang otak menjadi cepat dan tidak sinkron satu sama lainnya,

mirip dengan orang yang berjalan pada waktu tidur. Kecepatan nafas bertambah,

ireguler, dan dangkal; bola mata bergerak ke segala arah dengan cepat, dan otot-

otot tungkai menjadi lumpuh untuk sementara. Nadi dan tekanan darah

meningkat. Periode ini merupakan periode di mana orang pada umumnya


9

mengalami mimpi. (Hines & Marschall, 2018; Phillips & Gelula, 2006; Ropper,

Allan H; Samuels, Martin A; Klein, 2014; Spencer, 2013)

Tidur NREM mempertahankan hemostasis dan stabilitas otonom pada

level energi yang rendah, ditandai dengan pengurangan aktivitas fisiologi. Ketika

tidur lebih dalam, gelombang otak yang diukur dengan electroencephalogram

(EEG) menunjukkan gelombang yang melambat dan memiliki amplitudo yang

lebih besar, nafas dan nadi menjadi lebih pelan, serta terjadi penurunan tekanan

darah. Nomenklatur yang digunakan sebelumnya membagi NREM menjadi 4

stadium, yaitu: (Assefa et al., 2015; Hines & Marschall, 2018; Phillips & Gelula,

2006; Spencer, 2013)

 Stadium 1 adalah waktu terjadinya drowsiness atau merupakan transisi dari

keadaan bangun ke rasa mengantuk. Gelombang otak dan aktivitas otot

mulai melambat pada fase ini. Orang-orang pada fase ini dapat merasakan

kejutan otot secara tiba-tiba, diikuti sensasi jatuh.

 Stadium 2 merupakan periode tidur ringan di mana gerakan bola mata

menghilang. Gelombang otak menjadi lebih lambat, kadang-kadang

mengalami hentakan secara tiba-tiba yang disebut sleep spindle, disertai

dengan tonus otot spontan dan relaksasi otot spontan. Nadi melambat dan

suhu tubuh menurun.

 Stadium 3 dan 4 (di mana keduanya disebut slow wave sleep), ditandai

dengan adanya gelombang otak yang sangat lambat yang disebut sebagai

gelombang delta yang berada di antara gelombang-gelombang lain yang

lebih kecil dan cepat. Tekanan darah, suhu tubuh, dan kecepatan nafas lebih
10

menurun lagi, dan tubuh tidak dapat bergerak. Tidur menjadi lebih dalam,

tanpa pergerakan mata, dengan penurunan aktivitas otot, walaupun otot

memiliki kemampuan untuk berfungsi kembali. Bangun pada periode ini

sangat sulit terjadi, tapi orang-orang yang terbangun dari tidur sangat dalam

ini biasnya mengalami disorientasi selama beberapa menit. Pada stadium ini

anak-anak biasanya ngompol, mengalami mimpi buruk, ataupun berjalan

pada waktu tidur.

Walaupun demikian, kontribusi penting terhadap pengertian kita tentang

fisiologi tidur dikemukakan oleh Loomis dan kawan-kawannya, serta oleh

Aserinsky, Dement, dan Kleitman melalui analisis EEG dan observasi klinis.

Sebagai hasil dari penelitian mereka, 5 stadium tidur, mewakili 2 mekanisme

fisiologi yang berbeda, telah dikemukakan. Dalam setiap stadium, aktivitas

elektrik otak terjadi dalam siklus yang teratur dan berulang, dikenal sebagai

arsitektur dari tidur. Pada saat stadium elektrofisiologi berlangsung, tidur menjadi

lebih dalam, dan butuh stimuli lebih besar untuk bangun. Hal ini memutarbalikkan

pendapat para ahli sebelumnya yang mengganggap bahwa tidur merupakan suatu

keadaan yang statis. (Ropper, Allan H; Samuels, Martin A; Klein, 2014)

The American Academy of Sleep Medicine (AASM) merekomendasikan

stadium tidur seperti ini: stadium W (wakefulness), stadium N1 (tidur NREM,

atau NREM1), stadium N2 (NREM2), stadium N3 (NREM3, atau slow-wave

sleep), dan stadium R (REM). Nomenklatur ini menggantikan nomenklatur yang

sebelumnya digunakan yaitu stadium 1 sampai 4 pada NREM. Perbedaan dasar

dari kedua nomenklatur ini adalah stadium N3 sekarang mewakili slow-wave


11

sleep, menggantikan stadium 3 dan 4, di mana terjadi peningkatan proporsi

gelombang delta dengan amplitudo yang tinggi dalam EEG. Sebuah stadium

tambahan dalam siklus tidur, yang mengikuti stadium lainnya, berhubungan

dengan reduksi tonus otot mata lebih lanjut kecuali pada muskulus ekstraokuler

dan terjadinya kedutan REM; sehingga istilah tidur REM digunakan pada stadium

ini. (Hines & Marschall, 2018; Kasper et al., 2015; Ropper, Allan H; Samuels,

Martin A; Klein, 2014)

2.1.3 Sleep Architecture

Penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa pada semua tingkat umur

memiliki kebutuhan tidur sekitar 7-9 jam setiap malam, anak remaja

membutuhkan sekitar 9,5 jam, dan bayi pada umumnya membutuhkan 16 jam tiap

hari. Selain kualitas tidur, keseimbangan antara NREM dan REM serta tidur

dalam dan dangkal merupakan hal yang penting. Dalam tidur normal, tidur NREM

dan REM terjadi bergantian sesuai pola yang dapat diprediksi yang disebut

sebagai ”sleep architecture”. (Kasper et al., 2015; Phillips & Gelula, 2006)

Pada porsi pertama dalam suatu tidur malam, orang dewasa muda dan

paruh baya akan melewati stadium N1, N2, N3, dan R. Setelah sekitar 70 sampai

100 menit, sebagian besar proporsi yang terdiri dari stadium N3, periode REM

awal terjadi, biasanya ditandai dengan peningkatan pergerakan tubuh dan

perpindahan pola EEG dari stadium N3 ke N2. Siklus NREM-REM ini berulang

dalam interval yang sama selama 4 sampai 6 jam setiap malam, tergantung lama

durasi tidur. Periode REM pertama akan berlangsung cepat; sedangkan siklus

selanjutnya memiliki stadium N3 yang lebih pendek atau tidak ada sama sekali.
12

Pada porsi tidur malam selanjutnya, siklus tidur bergantian di antara stadium R

dan N2. (Kasper et al., 2015; Phillips & Gelula, 2006; Ropper, Allan H; Samuels,

Martin A; Klein, 2014)

Selain perubahan setiap malamnya, sleep architecture berubah selama

orang tersebut hidup. Bayi baru lahir tidur dalam stadium REM dalam 50% waktu

tidurnya, walaupun EEG dan pergerakan mata mereka berbeda dari orang dewasa.

Siklus tidur bayi baru lahir berlangsung selama 60 menit (50% REM, 50%

NREM, bergantian dalam 3-4 jam). Seiring bertambahnya umur, siklus tidur

memanjang menjadi 90 sampai 100 menit. Sekitar 20-25% dari waktu total tidur

pada orang dewasa muda berada dalam stadium REM, 3-5% dalam stadium N1,

50-60% dalam stadium N2, dan 10-20% dalam stadium N3. Jumlah tidur stadium

N3 akan berkurang sesuai pertambahan umur, dan orang dengan umur lebih dari

70 tahun tidak akan memiliki slow-wave sleep yang dalam. Walaupun tidur dapat

menjadi terganggu pada orang tua, kebutuhan tidur tidak menurun mengikuti

pertambahan usia. (Phillips & Gelula, 2006; Ropper, Allan H; Samuels, Martin A;

Klein, 2014)

2.1.4 Penyebab Gangguan Tidur

1. Hemostasis Tidur

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hemostasis tidur merupakan

perbandingan antara kebutuhan untuk tidur dengan kualitas dan kuantitas tidur

seseorang. Kehilangan waktu tidur yang dialami sepanjang minggu akan

dikembalikan pada waktu istirahat di akhir minggu. Efek dari kurang tidur akut

total dan sleep loss parsial kronik adalah sama, misalnya 8 hari tidur dengan
13

kurang tidur sebanyak 2 jam tiap malamnya ekuivalen dengan defisit performa

kognisi selama 2 malam tanpa tidur sama sekali. (Gregory & Edsell, 2014;

Howard et al., 2002; Sinha, Singh, & Tewari, 2013)

2. Usia Lanjut

Pada saat kita bertambah usia, kebutuhan tidur tidak berubah tapi

kualitasnya menurun. Tidur menjadi mudah terganggu, lebih sering bangun, dan

keadaan tidur dalam jarang tercapai. Orang dengan usia di atas 55 tahun akan

mengalami kesulitan lebih besar untuk mengembalikan keadaan tubuh yang segar

dari pada orang berusia lebih muda. (Gregory & Edsell, 2014)

3. Alkohol

Alkohol merupakan substansi yang paling sering digunakan untuk

memulai waktu tidur. Walaupun penggunaannya akan mengurangi waktu laten

untuk tidur, kualitas tidur akan berkurang. (Gregory & Edsell, 2014) Alkohol

merupakan supresor yang poten terhadap REM sleep, terutama pada paruh

pertama waktu tidur malam. Pada saat konsentrasi alkohol dalam darah menurun,

terjadilah rebound REM pada paruh ke dua waktu tidur malam dan akan

menyebabkan lebih banyak REM sleep sehingga orang akan lebih banyak

terbangun. Oleh sebab itu, alkohol berpotensi mengganggu waktu tidur walaupun

sering digunakan untuk memulai waktu tidur. (Howard et al., 2002)

4. Siklus Circadian

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal ini merupakan pola alamiah dari

proses fisiologis dan perilaku yang berjalan hampir setiap 24 jam, dan melibatkan
14

siklus bangun-tidur, suhu tubuh, tekanan darah, aktivitas gastrointestinal, dan

pelepasan hormon. Di dalam ritme ini terdapat juga fluktuasi performa. Pada

manusia, performa maksimal didapatkan di antara pukul 8-11 sampai 20-23,

sedangkan penurunan performa terjadi di antara pukul 3-7 dan 13-14. (Gregory &

Edsell, 2014; Howard et al., 2002; Sinha et al., 2013)

5. Cahaya

Cahaya berwarna biru dengan gelombang pendek memasuki mata dan

dideteksi oleh melanopsin containing retinal ganglion cells (MCRGC) pada

traktus retinohipotalamik. Neuron-neuron eksitatorik ini melepaskan glutamat dan

pituitary adenylate cyclase activating polypeptide (PACAP). Glutamat bekerja

pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada SCN dan menyebabkan

peningkatan [Ca2+] dan nitrat oksida intraseluler, sedangkan PACAP bekerja pada

reseptor-reseptor PAC2 dalam membran sel sehingga mengaktivasi protein kinase

A (PKA) melalui cyclic adenosine monophosphate (cAMP) intraseluler. Agen-

agen intraseluler ini meningkatkan ekspresi pada gen jam SCN dan menyebabkan

bangun. (Gregory & Edsell, 2014)

6. Melatonin

Melatonin disintesis dari 5-hydroxytryptamine (5-HT) di dalam pinealosit

dari glandula pinealis. 5-hydroxytryptamine pada mulanya mengalami asetilasi

menjadi N-acetyl-5-hydroxytryptamine oleh aryl alkylamine N-acetyltransferase

(AA-NAT) dan kemudian dikonversi menjadi melatonin oleh hydroxyindole O-

methyltransferase. N-Acetylation oleh AA-NAT ini merupakan langkah rate-

limiting dan dimediasi oleh serat saraf simpatis dari ganglion servikal superior di
15

bawah kendali neuron-neuron aktivasi di dalam paraventricular nuclei (PVN).

(Gregory & Edsell, 2014)

Ketika cahaya memasuki mata, sel-sel ganglion retina juga menstimulasi

gamma-aminobutyric acid (GABA)-releasing neurones di dalam SCN. GABA

menghambat neuron-neuron di dalam PVN dan menurunkan aliran simpatis ke

pinealosit sehingga produksi melatonin berkurang. Sebaliknya, ketika gelap,

hambatan pada PVN berkurang, aliran simpatis ke glandula pinealis bertambah

dan terjadi peningkatan produksi melatonin. Melatonin berdifusi ke dalam darah

dan cairan serebrospinalis serta menyalurkan efeknya melalui reseptor-reseptor

MT1 dan MT2 di dalam membran sel dari neuron SCN. Aktivasi reseptor MT1

menyebabkan tidur dan juga menginaktivasi mekanisme PACAP untuk bangun.

Aktivasi reseptor MT2 menybabkan perpindahan fase siklus circadian (Gambar

1). Pelepasan melatonin merupakan suatu proses yang lambat, sekitar 4-5 jam,

yang mulai ~2 jam sebelum waktu tidur alamiah. Melatonin memiliki waktu paruh

sampai 20 menit dan dimetabolisme dalam hepar. (Gregory & Edsell, 2014)
16

Gambar 2.1. Peran cahaya dalam regulasi sintesis melatonin dan ekspresi jam gen
SCN. (Gregory & Edsell, 2014)

7. Shift Malam

Bekerja secara shift mengganggu siklus circadian yang normal. Setelah

bekerja shift malam, waktu tidur biasanya lebih pendek 1-4 jam daripada setelah

bekerja shift siang dan memiliki kualitas tidur yang rendah dengan tidur REM dan

stadium tidur 2 yang kurang. Stadium tidur 3 dan 4 tidak biasanya terpengaruh.

Setelah tidur selama 4-6 jam, orang tersebut biasanya akan terbangun tapi tidak

akan bisa tidur kembali. (Gregory & Edsell, 2014)

Siklus circadian menggambarkan adaptasi yang tidak baik terhadap waktu

kerja malam karena siklus terang-gelap tetap tidak berada dalam fase yang sama

dengan siklus tidur-bangun seseorang. Sekitar 70% orang mengeluhkan adanya

kualitas tidur yang buruk atau rasa mengantuk di siang hari. Dibandingkan dengan
17

orang yang bekerja hanya pada siang hari, orang yang bekerja pada malam hari

melaporkan adanya peningkatan waktu tidur pada saat bekerja, kurang waspada,

dan mengalami penurunan performa pada saat melakukan tindakan dan dalam

berpikir. (Gregory & Edsell, 2014)

2.1.5 Efek Tidur

1. Efek Terhadap Restorasi Fisik

Ada banyak teori yang telah mencoba menjelaskan bagaimana tidur

sebagai periode restorasi fisik berperan sebagai waktu untuk bertumbuh dan

memperbaiki tubuh, tetapi masih banyak yang belum diketahui. Schmidt

mengajukan suatu teori yang utuh tentang tidur berdasarkan kebutuhan untuk

mengalokasikan sumber energi yang terbatas secara optimal untuk proses biologis

esensial, berjudul “Energy Allocation Model of Sleep”. Menurut teori ini, siklus

tidur-bangun berevolusi untuk melakukan proses biologis yang unik dan esensial

pada saat tidur sebagai cara untuk mengurangi kebutuhan energi pada saat bangun

dan penggunaan energi total setiap hari. (Assefa et al., 2015; Vyazovskiy &

Delogu, 2014)

Argumen pendukung teori ini adalah observasi yang dilakukan terhadap

hormon yang dilepaskan pada saat tidur memiliki fungsi predominan anabolik,

seperti hormon pertumbuhan, sedangkan hormon yang berhubungan dengan

waktu bangun memiliki efek katabolik, seperti kortisol, yang disupresi pada saat

tidur. Hormon pertumbuhan pada umumnya bekerja pada saat tidur gelombang

lambat, dengan waktu tersering adalah segera setelah waktu tidur dalam fase

pertama tidur gelombang lambat, dan tingkat hormon pertumbuhan mengalami


18

penurunan besar pada saat terjadinya kurang tidur. Tingkat tertinggi dari prolaktin

pada tubuh manusia tercatat pada saat tidur dan pelepasan testosteron meningkat

pada saat tidur pada pria. (Assefa et al., 2015)

Tidur juga dipercaya dapat menyimpan energi, dengan penggunaan energi

yang lebih rendah yang ditemukan pada saat tidur. Metabolisme energi yang lebih

rendah ini dapat menjalankan proses biologis yang terjadi pada saat tidur selesai

dengan penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan pada saat bangun.

Jung, dkk, mengevaluasi 7 orang sehat berumur di antara 17-27 tahun setelah tidur

normal, pada saat kurang tidur dan selama pemulihan. Dibandingkan nilai normal,

pemakaian energi selama 2 jam meningkat 7% pada saat kurang tidur, dan

menurun 5% pada saat masa pemulihan, sedangkan pada saat malam hari,

pemakaian energi meningkat 32% pada saat kurang tidur dan menurun 4% selama

masa pemulihan. (Assefa et al., 2015)

2. Efek Terhadap Pembelajaran dan Daya Ingat

Tidur penting untuk pembelajaran motor skill. Telah dijelaskan oleh

penelitian yang dilakukan oleh Walker dan koleganya bahwa bahkan setelah

variabel perancu seperti waktu pelatihan motor skill, uji coba dan istirahat, dan

tidur, serta latihan tambahan dimasukkan, tidur membantu pembelajaran motorik.

Sebagai contoh, dengan mempertimbangkan variabel-variabel tersebut, tidur

semalam menghasilkan peningkatan kecepatan motorik sebesar 20% tanpa adanya

pengurangan akurasi. Tingkat perkembangan pembelajaran motorik berhubungan

dengan lamanya tidur NREM pada waktu malam, dan hal yang sama terjadi juga

pada waktu tidur siang. (Assefa et al., 2015)


19

Terdapat kesamaan hasil dari penelitian tentang formasi daya ingat.

Sebagai contoh, Gais dan koleganya melakukan tes hubungan 2 kata pada 8 orang

laki-laki dan 8 orang perempuan dan menemukan bahwa terjadi peningkatan daya

ingat pada saat tidur, dengsn hasil lebih tinggi pada gelombang lambat. Pada suatu

penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan antara tidur gelombang lambat

dan formasi daya ingat, Marshal, dkk, menemukan bahwa induksi gelombang

lambat meningkatkan retensi daya ingat pada daftar pasangan kata. (Assefa et al.,

2015)

2.1.6 Efek Kurang Tidur

Dalam suatu percobaan oleh Rechtschaffen dan kawan-kawannya, hewan

yang kurang tidur akan mati dalam beberapa minggu, walaupun diberi makan dan

minum dengan baik, tapi belum diketahui apakah hal tersebut akan terjadi pada

manusia juga. Walaupun demikian, manusia akan mengalami gejala-gejala yang

tidak menyenangkan yang berbeda dari gejala umum insomnia. (Ropper, Allan H;

Samuels, Martin A; Klein, 2014)

Walaupun ada beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk

mempelajari pengaruh kurang tidur terhadap emosi dan kognisi, pengaruh

sebenarnya masih belum dipahami. Bila seseorang mengalami kekurangan tidur

REM dan NREM selama 60-200 jam, ia akan mengalami rasa mengantuk yang

meningkat, kelelahan, mudah marah, dan sulit berkonsentrasi. Performa suatu

tindakan motorik akan menurun; bila tugas yang diberikan berdurasi pendek dan

berkecepatan lambat, subyek dapat mengerjakannya, tapi bila kecepatan dan

ketekunan dibutuhkan, subyek tidak dapat mengerjakannya. Pengaturan diri tidak


20

diperhatikan lagi, sehingga pekerjaan terbengkalai, pemikiran dan tindakan yang

lama tidak dapat dicapai, penilaian menjadi terganggu, dan subyek menjadi

kurang berkomunikasi. Bila keadaan kurang tidur bertambah, akan terjadi

microsleep yang lebih banyak, dan kemungkinan terjadinya semua jenis

kecelakaan meningkat. Akhirnya, subyek akan tidak bisa menelaah pengalaman

dengan baik untuk mempertahankan orientasinya. Ilusi dan halusinasi, umumnya

dalam bentuk visual dan taktil, akan mengganggu tingkat kesadaran dan akan

menjadi lebih berat seiring bertambahnya waktu kurang tidur. (Ropper, Allan H;

Samuels, Martin A; Klein, 2014)

Tanda-tanda neurologis dari kurang tidur termasuk nistagmus sedang yang

tidak konsisten, gangguan gerakan mata saccadic, hilangnya akomodasi,

eksoforia, tremor pada tangan, ptosis kelopak mata, wajah tanpa ekspresi, dan

berbicara tidak jelas, dengan salah pengucapan, dan pemilihan kata yang tidak

tepat. Gelombang EEG menunjukkan penurunan gelombang alfa, serta penutupan

mata tidak lagi menghasilkan aktivitas gelombang alfa. Nilai ambang kejang

berkurang, dan kejang foci pada EEG dapat teraktivasi. (Ropper, Allan H;

Samuels, Martin A; Klein, 2014)

Pada saat terjadinya perbaikan dari keadaan kurang tidur yang lama,

jumlah waktu tidur yang didapatkan tidak pernah sama dengan jumlah yang

hilang. Ketika subyek tertidur setelah melewati waktu yang lama dalam keadaan

kurang tidur, ia memasuki stadium N3 secara cepat, yang berlanjut untuk

beberapa jam tanpa melewati stadium N2 dan REM. Tapi pada malam berikutnya,

terjadi rebound tidur stadium REM dan melewati tingkat sebelum keadaan kurang
21

tidur terjadi. Stadium N3 nampaknya menjadi stadium tidur terpenting dalam

memulihkan fungsi-fungsi yang terganggu sebagai hasil dari kurang tidur yang

berkepanjangan. (Ropper, Allan H; Samuels, Martin A; Klein, 2014)

2.2 KOGNISI

Kognisi bukan hanya merupakan suatu proses, tapi suatu proses mental.

Dalam suatu definisi yang dianggap paling berpengaruh, dikemukakan oleh

Neisser pada tahun 1967, kognisi adalah suatu proses mental yang

mentransformasi, mengurangi, menambah, menyimpan, mengingat kembali, dan

menggunakan masukan internal dan eksternal. Karena itu, proses tersebut

melibatkan banyak fungsi seperti persepsi, atensi, memory coding, retensi, dan

pemanggilan kembali, pengambilan keputusan, penjelasan, pemecahan masalah,

penggambaran, perencanaan dan pelaksanaan aksi. Proses-proses mental tersebut

terlibat dalam pembentukan dan penggunaan representasi internal untuk berbagai

variasi, dan dapat beroperasi secara mandiri (atau tidak) pada penalaran di tingkat

yang berbeda. Lebih jauh lagi, proses-proses tersebut dapat diobservasi atau

setidaknya dilihat secara empirik, mengarah ke pemeriksaan ilmiah oleh metode-

metode yang mirip dengan ilmu pengetahuan lainnya. (Brandimonte, Bruno, &

Collina, 2006; Miller et al., 2014)

Perkembangan dalam dunia genetik molekuler, ilmu tentang perilaku,

neurobiologi tidur, dan ilmu tentang kognisi telah menghasilkan bukti yang akurat

tentang peran tidur yang fundamental dalam kognisi. Tidur diperlukan untuk

kesehatan mental, dan kurang tidur memiliki efek negatif terhadap mood,

performa kognisi, dan fungsi motorik. Kognisi, yang merupakan kumpulan


22

berbagai proses mental akan terganggu pada keadaan kurang tidur. (Miller et al.,

2014)

2.2.1 Kuantitas Tidur Dan Kognisi

Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidur pendek, tidur

panjang dan gangguan tidur berhubungan dengan fungsi kognisi yang tidak baik.

Penelitian Whitehall II menemukan bahwa perubahan lama waktu tidur

(penurunan dari 6, 7, atau 8 jam, atau peningkatan dari 7 atau 8 jam) berhubungan

dengan nilai-nilai rendah pada beberapa tes fungsi kognisi, tapi tidak pada fungsi

ingatan. Sebuah penelitian di Spanyol memiliki hasil yang sama, di mana orang-

orang yang tidur selama 11 jam atau lebih setiap malamnya memiliki nilai global

kognisi yang jauh lebih rendah dari orang-orang yang tidur selama 7 jam saja.

Sebuah penelitian yang unik juga melaporkan efek tidur siang setelah makan pada

kewaspadaan dan performa subyektif setelah kurang tidur parsial. Sebuah tidur

siang pendek telah terbukti meningkatkan kewaspadaan, memperbaiki ingatan

jangka pendek dan akurasi, tapi tidak memperbaiki waktu reaksi. (Miller et al.,

2014)

2.2.2 Kualitas Tidur Dan Kognisi

Jika kuantitas tidur adalah jumlah waktu tidur, kualitas tidur diukur

dengan cara mempelajari seberapa banyak terjadinya bangun pada waktu tidur

malam, kesulitan dalam memulai waktu tidur, bangun terlalu pagi, atau bangun

dalam keadaan lelah. Penelitian telah menunjukkan bahwa seperti kuantitas tidur,

kualitas tidur juga memiliki peran dalam kognisi. Salah satu penelitian pada

wanita-wanita usia tua menemukan bahwa gangguan tidur berhubungan dengan


23

risiko berkembangnya perubahan kognisi, tapi bukan kecepatan penurunan

kognisi. The Maastricht Ageing Study bertujuan untuk menentukan apakah

keluhan tidur subyektif (seperti sulit tidur, bangun terlalu pagi, dan gangguan

tidur) pada orang dewasa muda dan paruh baya menunjukkan terjadinya

penurunan kognisi global setelah periode 3 tahun. Penelitian tersebut menemukan

bahwa keluhan tidur subyektif berhubungan secara negatif dengan performa

kognisi pada saat follow-up, sedangkan bangun terlalu pagi memiliki hubungan

paling kuat dengan penurunan kognisi pada saat pemeriksaan. Tapi, hubungan

antara keluhan tidur dan penurunan kognisi hilang pada saat depresi bisa

dikontrol, sehingga timbul pertanyaan apakah kualitas tidur menunjukkan fungsi

kognisi yang buruk secara langsung, atau apakah tidur yang buruk menyebabkan

peningkatan gejala-gejala depresif yang kemudian menghasilkan penurunan

kognisi. Penemuan ini menunjukkan pentingnya efek-efek dari variabel lain,

seperti depresi, pada tidur dan fungsi kognisi ketika kita mempelajari berbagai

hasil penelitian dan kemungkinan kesimpulan yang bertentangan. (Miller et al.,

2014)

2.2.3 Pengaruh Umur Dan Jenis Kelamin Terhadap Fungsi Kognisi

Fungsi kognisi dapat mengalami penurunan sesuai dengan pertambahan

umur. Kemampuan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa bagian spesifik seperti

atensi, memori, fungsi kognisi eksekutif, bahasa, dan kemampuan visuospasial.

Masing-masing bagian akan menurun kemampuannya sesuai umur. Terminologi

yang paling sering digunakan untuk menjelaskan fungsi kognisi mana yang

terpengaruh dengan pertambahan umur adalah kemampuan crystalized dan


24

kemampuan fluid. Kemampuan crystalized adalah keahlian kumulatif dan memori

yang dihasilkan dari proses kognisi yang terjadi di waktu lampau, yang

merupakan pengetahuan yang dipelajari. Tes pengetahuan umum (seperti

membaca, matematika, ilmu pengwtahuan), informasi sejarah dan kosakata

merefleksikan kemampuan crystalized. Kemampuan fluid membutuhkan proses

kognisi pada saat assessment dan merefleksikan manipulasi dan trasnformasi

informasi untuk menyelesaikan suatu tes. Beberapa penelitian cross-sectional

telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan crystalized sampai

umur 60 tahun dan diikuti dengan penurunan sampai umur 80 tahun, sedangkan

kemampuan fluid mengalami penurunan dari umur 20 tahun sampai 80 tahun.

(Murman, 2015)

Dari jenis kelamin, terdapat perbedaan kemampuan kognisi pada laki-laki

dan perempuan. Pada umumnya, perempuan memiliki kelebihan pada kemampuan

verbal, kecepatan persepsi, akurasi dan kemampuan motorik halus, sedangkan

laki-laki lebih baik pada kemampuan spasial, memori kerja dan matematika.

(Upadhayay & Guragain, 2014)

2.3 PSIKOMOTOR

Terminologi yang digunakan pada penelitian performa motorik manusia

bervariasi, tergantung pada spesialisasi dari kelompok penelitinya, sehingga

mempersulit perbandingan hasil penelitian-penelitian tersebut. Istilah “performa

motorik”, pertama kali dikemukakan oleh Schmidt pada tahun 1991, telah

digunakan untuk menerangkan istilah-istilah lain seperti “kecepatan motorik”

yang diperkenalkan oleh Ruff dan Parker pada tahun 1993, “performa
25

psikomotor” oleh Panton dan kawan-kawan pada tahun 1990, “fungsi psikomotor”

oleh Era pada tahun 1987, “kapasitas psikomotor” oleh Viikari-Juntura pada tahun

1994, dan “kecepatan psikomotor” oleh Simonen pada tahun 1997. (Kauranen,

1999)

Panton dan kawan-kawan mendefinisikan performa psikomotor sebagai

kemampuan individu untuk memproses dan bereaksi pada informasi eksternal

spesifik, dan Simonen mendefinisikan kecepatan psikomotor sebagai kemampuan

subyek untuk melakukan respon motorik cepat terhadap suatu tanda yang

diberikan tiba-tiba. Definisi-definisi tersebut cukup untuk menjelaskan suatu

keadaan yang berhubungan dengan komponen performa motorik seperti waktu

reaksi sederhana, pilihan waktu reaksi atau kecepatan pergerakan. Tapi, bersama-

sama dengan komponen tersebut, ada beberapa performa motorik lainnya seperti

kecepatan pergerakan/akurasi pergerakan, kecepatan tapping, kordinasi multi-

tungkai, kordinasi kompleks dan kordinasi mata-tangan. Dari definisi-definisi

tersebut, istilah performa motorik telah digunakan untuk menjelaskan 4 aspek

berikut: waktu reaksi, kecepatan pergerakan, kecepatan tapping dan kordinasi.

(Kauranen, 1999)

2.3.1 Pengaruh Kurang Tidur Pada Kesehatan Tenaga Medis

Kurang tidur merupakan penyebab kecelakaan lalu lintas ke dua terbesar.

Banyak penelitian yang menemukan tingginya risiko kecelakaan terhadap petugas

kesehatan, dalam hal ini residen, yang bekerja untuk waktu yang lama. Dalam

suatu penelitian terhadap 2737 residen yang dilakukan selama 1 tahun, jumlah

kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi setelah bekerja lebih dari 24 jam
26

dibandingkan dengan jumlah kecelakaan setelah melakukan waktu kerja normal.

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kejadian kecelakaan lebih tinggi pada

residen yang bekerja lebih dari 24 jam. Sebuah penelitian lainnya oleh Kowa

Ienko dan kawan-kawan melakukan survey terhadap 697 residen dan menemukan

bahwa hanya terdapat 4,1% residen yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas

sebelum memasuki pendidikan residensi, dibandingkan dengan 19,3% residen

yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas setelah memasuki pendidikan.

(Comondore, Wenner, & Ayas, 2008)

Selain kecelakaan lalu lintas, cedera perkutaneus dengan kemungkinan

terkontaminasi darah atau cairan tubuh melalui jarum suntuk atau laserasi juga

umum terjadi pada tenaga medis dengan gejala kurang tidur. Sebuah penelitian

terhadap 2737 residen pada Juli 2002 sampai Mei 2003, Ayas dan koleganya

mengevaluasi faktor risiko untuk cedera perkutaneus dan menemukan bahwa

cedera lebih besar terjadi pada hari setelah jaga malam dari pada hari tanpa jaga

malam sebelumnya. (Comondore et al., 2008)

Banyak penelitian menyarankan bahwa kelelahan yang berkepanjangan

sangat mempengaruhi kesehatan mental tenaga kesehatan. Pada tahun 2005,

Fletcher dan koleganya melakukan review terhadap penelitian-penelitian terhadap

pengaruh waktu kerja pada residen. Empat dari 50 penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terdapat penurunan gejala-gejala stres atau depresi pada saat

jumlah waktu kerja dikurangi, tapi 2 penelitian lain tidak menemukan perbedaan

bermakana terhadap gejala-gejala depresi. Setelah melakukan kerja selama 30

jam, hasil laboratorium residen telah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan


27

level serum sitokin dan penanda inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6) dan C-

reactive protein (CRP), yang menunjukkan bahwa episode kurang tidur berulang

berhubungan dengan peningkatan penanda inflamasi dan dapat menyebabkan

gangguan vaskuler dan aterosklerosis. (Comondore et al., 2008; Sinha et al., 2013)

2.3.2 Pengaruh Kurang Tidur Pada Keamanan Pasien

Pada rumah sakit-rumah sakit di Amerika Serikat, 50000-100000 pasien

meninggal setiap tahunnya karena kesalahan medis, dan kurangnya waktu tidur

tenaga medis merupatakan salah satu faktor penyebab. Banyak penelitian telah

menunjukkan bahwa kurang tidur berhubungan dengan outcome pasien yang

buruk. Barger dan koleganya menunjukkan bahwa residen melakukan kesalahan

medis lebih banyak pada bulan dengan jumlah 4 sampai 5 kali jaga malam

dibandingkan dengan bulan tanpa adanya jaga malam. Sebuah studi lainnya

mengevaluasi hasil pembedahan sebelum dan sesudah melewati malam tanpa

tidur. Residen bedah yang tidak tidur malam sebelumnya melakukan 20% lebih

banyak kesalahan dan membutuhkan 14% waktu lebih lama untuk menyelesaikan

sebuah tindakan laparoskopi dibandingkan dengan residen yang tidur malam

sebelumnya. (Comondore et al., 2008; Hirkani & Yogi, 2017)

Penelitian lain menunjukkan bahwa kurang tidur memiliki efek yang kecil

terhadap penanganan pasien. Ellman dan koleganya melakukan peninjauan

kembali pada 6751 kasus operasi jantung dan menemukan bahwa tingkat

mortalitas dan komplikasi bedah tidak lebih tinggi pada operasi yang dilakukan

oleh dokter bedah yang telah bangun sejak malam sebelumnya daripada dokter

yang tidur pada malam sebelumnya. Pada saat menjelaskan hasilnya, peneliti
28

mengemukakan bahwa beberapa prosedur tertentu memiliki keuntungan terhadap

performa yang baik, dan tindakan-tindakan tersebut rentan terhadap retardasi

dengan kelelahan. (Comondore et al., 2008)

Lockley dan koleganya memeriksa tingkat perhatian 20 residen ruang

intensif dalam suatu studi randomized crossover controlled trial, dengan residen

yang bekerja dalam jadwal yang normal (jaga malam setiap 3 malam) dan jadwal

intervensi dengan lama kerja maksimal 16 jam. Dengan jadwal yang baru, residen

bekerja selama 61 jam tiap minggu daripada 77 sampai 81 jam setiap minggu pada

jadwal yang lama. Residen memiliki kesempatan tidur lebih banyak dengan

jadwal yang baru (7,7 jam sehari berbanding 6,6 jam sehari). Dengan jadwal yang

baru tersebut, residen memiliki kesalahan yang berhubungan dengan tingkat

perhatian selama jam kerja yang lebih rendah. (Comondore et al., 2008)

Selain kesalahan medis, kesalahan dapat juga terjadi pada serah terima

(handover) pasien. Walaupun terdapat bukti yang mendukung untuk waktu kerja

yang lebih pendek dan keamanan pasien, kebanyakan institusi belum

menerapkannya. Kekuatiran tentang putusnya penanganan pasien dengan

serahterima pasien telah menghalangi perubahan durasi kerja. Dalam suatu

peninjauan kembali terhadap tenaga kesehatan di Klinik Mayo, Keating dan

koleganya menemukan bahwa tenaga medis merasakan bahwa diskontinuitas

penanganan pasien merupakan masalah terhadap keamanan pasien lebih

berbahaya dibandingkan kesehatan tenaga medis itu sendiri. (Comondore et al.,

2008; Hirkani & Yogi, 2017)


29

2.3.3 Pengaruh Umur Dan Jenis Kelamin Terhadap Fungsi Psikomotor

Melambatnya performa psikomotor telah menjadi bagian paling umum

dari pengaruh umur. Banyak studi cross-sectional yang mempelajari perbedaan

fungsi psikomotor di antara beberapa kelompok umur menemukan bahwa

kelompok umur dewasa muda memiliki respon paling cepat dibandingkan

kelompok umur lainnya. Melambatnya performa psikomotor ini diperkirakan

karena melambatnya kecepatan memproses informasi dan pemilihan respon yang

tepat, sedangkan pengaruh pertambahan umur tidak terlalu berpengaruh pada tes

motorik aktual. Tapi, hasil penelitian Yordanova dan koleganya, menunjukkan

bahwa melambatnya performa psikomotor pada orang tua adalah karena hasil dari

melambatnya aktivasi pola pada korteks motorik terhadap pembentukan respon.

(Era, Sainio, Koskinen, Ohlgren, & Härkänen, 2010)

Perbedaan jenis kelamin memiliki hasil yang bevariasi pada berbagai tes

fungsi psikomotor. Dalam suatu penelitian meta analisis oleh Thorley dan

McDaniel pada tahun 2013, didapatkan hasil di mana perempuan memiliki

performa yang lebih baik pada tes Finger Dexterity, Steadiness, dan pengukuran

koordinasi motorik. Tapi pada beberapa penelitian lainnya, laki-laki memiliki

waktu tes respon yang lebih baik dari pada perempuan. (Era et al., 2010; Thorley

& McDaniel, 2013)

2.4 PENGEMBANGAN PENELITIAN

Penelitian ini membahas tentang proses yang bisa menentukan baik

tidaknya hasil akhir yang diinginkan, yaitu keselamatan pasien. Keselamatan

pasien itu sendiri tidak hanya bergantung pada cukup tidaknya waktu tidur tenaga
30

medis. Ada beberapa faktor lain yang dapat dijadikan pengembangan dari

penelitian ini, seperti beban kerja dan stres kerja.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, beban kerja adalah

beban yang diterima pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya, seperti

mengangkat, berlari dan lain-lain. Setiap pekerjaan merupakan beban bagi

pelakunya. Beban tersebut dapat berupa fisik, mental atau sosial. Derajat beratnya

beban kerja tidak hanya tergantung pada jumlah kalori yang dikonsumsi, akan

tetapi juga bergantung pada jumlah otot yang terlibat pada pembebanan otot statis.

Konsumsi energi dapat menghasilkan denyut jantung yang berbeda-beda, selain

itu temperatur sekeliling yang tinggi, tingginya pembebanan otot statis serta

semakin sedikit otot yang terlibat dalam suatu kondisi kerja dapat meningkatkan

denyut jantung. Dengan demikian denyut jantung dipakai sebagai indeks beban

kerja. (Koesyanto, 2008) Klasifikasi beban kerja dapat dibagi menjadi: (Work

Systems Design and Ergonomics Laboratory UII, 2016)

1. Sangat Ringan, kecepatan nadi < 60 kali/menit

2. Ringan, kecepatan nadi 60 – 100 kali/menit

3. Sedang, kecepatan nadi 100 – 125 kali/menit

4. Berat, kecepatan nadi 125 – 150 kali/menit

5. Sangat Berat, kecepatan nadi 150 – 175 kali/menit

6. Terlalu Berat, > 175 kali/menit

Stress kerja dapat didefinisikan sebagai efek negatif dari tegangan pada

fisik dan emosi ketika kebutuhan kerja tidak sesuai dengan kemampuan, sumber

daya, atau kebutuhan orang yang bekerja. Kondisi apapun dalam lingkungan kerja
31

seseorang yang dianggap berbahaya bagi orang tersebut menghasilkan stres.

(Bowen, Edwards, Lingard, & Cattell, 2014)

Tabel 2.1. Fase stres kerja (Canadian Center of Occupational Health and Safety,
2012)

Fase Gejala dan Tanda


Fase 1 - Warning  ansietas
Tanda warning awal lebih kelihatan pada  depresi
emosi daripada fisik dan dapat terlihat  bosan
setelah 1 tahun atau lebih.  apatis
 lelah emosional

Fase 2 – Gejala Ringan  gangguan tidur


Tanda warning menjadi lebih berat  sakit kepala dan pilek yang
dengan intensitas meningkat. Setelah lebih sering
periode lebih dari 6 – 18 bulan, tanda  nyeri otot
fisik akan terlihat.  kelelahan fisik dan emosional
yang meningkat
 menarik diri dari orang lain
 mudah marah
 depresi

Fase 3 – Stres Kumulatif Dalam  meningkatnya penggunaan


Fase ini terjadi ketika fase di atas tidak obat tanpa resep, merokok,
ditangani. Stres akan berdampak lebih dan minum alkohol
dalam lagi terhadap karir, keluarga, dan  depresi
kesehatan diri sendiri.  kelelahan fisik dan emosional
yang meningkat
 berkurangnya gairah seks
 ulkus
 gangguan hubungan keluarga
 crying spells
 ansietas berat
 pikiran rigid
 menarik diri
 tidak bisa istirahat
 tidak bisa tidur

Fase 4 – Reaksi Stres Kumulatif Berat  Karir berakhir cepat


Fase ini sering dianggap sebagai "self-  asma
destructive" dan sering terjadi setelah  masalah jantung
stres berkepanjangan selama 5 – 10 tahun.  depresi berat
 percaya diri yang rendah
 tidak mampu menyelesaikan
32

kerja
 tidak mampu mengatur diri
 menarik diri
 marah yang tidak dapat
dikontrol
 pikiran ingin membunuh atau
bunuh diri
 tremor
 kelelahan kronis ekstrim
 reaksi berlebihan terhadap
hal-hal kecil
 agitasi
 sering kecelakaan
 tidak peduli
 paranoia

Anda mungkin juga menyukai