Anda di halaman 1dari 12
| Teori-teori Difusi Kebudayaan 1. GEJALA PERSAMAAN UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN Se lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk. bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di ber- bagai tempat yang seringkali jauh letaknya satu sama lain, Ketika cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan berkuasa, para sarjana menguraikan gejala persamaan itu dengan keterang- an bahwa persamaan-persamaan jtu disebabkan, karena tingkat- tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat di muka bumi. Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain yang mulai tampak di kalangan jlmu antropologi, terutama waktu cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan mulai ke- hilangan pengaruh, yaitu kira-kira pada akhir abad ke-19. Menurut uraian ini, gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia ‘disebabkan karena persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tempat-tempat tadi. Dengan demikian, kalau di dua tempat, misalnya di A dan di B, yang. masing-masing letaknya di Afrika dan di ‘Asia Tenggara, terdapat kapal-kapal yang bercadik dengan bentuk yang sama, maka ,. Adolf Bastian akan berkata bahwa persamaan tadi adalah akibat pengaruh Elementdr Gedanken, seorang penganut care berpikir_mengenai evolusi kebudayaan akan berkata bahwa kepandaian membuat kapal bercadik tadi di A dan di B dis babkan karena kebudayaan di A dan di B kebetulan ada pada tingkat evolusi yang sama; sedangkan konsep baru mengat bahwa kepandaian membuat kapal bercadik serup@ itu te menyebar dari A ke B (atau sebaliknya) dalam zaman yans lat pau. 1d 3, )SEJARAH) PERSEBARAN UNSUR-UNSUR. KEBUDAYAAN, MANUSIA Berhubung dengan perhatian tethadap masalah persebaran kebudayaan tersebut di atas, ada seorang sarjana ilmu hayat merangkap imu bumi bernama F. Ratzel (1844—1904) yang pernah mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur di berbagai tempat di Afrika itu, dan kemu- dian juga pada unsur-unsur kebudayaan lain, seperti bentuk sumah, topeng, pakaian, dil., sehingga ia berkesimpulan bahwa di waktu yang lampau antara ‘suku-suku bangsa yang mendiami tempat-tempat di mana ditemukannya unsur-unsur kebudayaan yang sama itu, pernah ada hubungan. Dengan kesimpulan yang tercantum di dalam bukunya itu, sampailah Ratzel pada suatu anggapan dasar yang juga dianut oleh banyak sarjana lain, antara lain oleh muridnya, L. Frobenius. Anggapan dasar para sarjana tadi dapat diringkaskan sbb. Kebudayaan manusia itu pangkalnya satu, dan di satu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu mahluk manusia bam saja muncul di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkem- bang, menyebar, dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Dalam proses memecah itu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan- kebudayaan baru tadi tidak tetap tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta pengaruh-mempe- ngaruhi, Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para sarjana tadi ialah antara lain untuk mencari kembali sejarah gerak Perpindahan — bangsa-bangsa itu, proses pengaruh-mempe- ngaruhi, serta persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratus-ratus ribu tahun yang lalu, mulai saat terjadinya manusia hingga sekarang. Para sarjana yang melakukan penelitian-penelitian serupa itu Seakan-akan mengikuti suatu aliran cara berpikir yang tertentu, yang untuk mudahnya. akan kita sebut saja_aliran difusionisme. ara sarjana aliran ini ada di Eropa Tengah, dan yang terpenting 4i antara mereka adalah F. Graebner dan W. Schmidt. Tokoh- ‘okoh, lain-lainnya, seperti W.HLR. Rivers, adalah sarjana Ing: 8eris, stdangkan F. Boas adalah sarjana Amerika. 3. KONSEP KULTURKREIS DAN KULTURSCHICHT DARI GRAEBNER : Di Jerman penelitian-penelitian yang pada pangkalnya dikem. : bangkan oleh F, Ratzel tadi, diolah lebih lanjut oleh sarjana ilmu sejarah dan ilmu bahasa bernama F. Graebner (1877_. 1934). Sarjana ini mula-mula adalah konservator museum dj Berlin, dan kemudian di K6ln. Ia mendapat ide untuk meng. gunakan suatu cara baru untuk menyusun benda-benda kebu- dayaan di museum. Benda-benda itu biasanya disusun menurut tempat asalnya, tetapi Graebner mencoba untuk menyusunnya berdasarkan persamaan dari unsur-unsur tersebut. Sekumpulan tempat di mana ditemukan benda-benda yang sama sifatnya itu oleh Graebner disebut satu Kulturkreis, 2 Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagaj tempat di muka bumi ke dalam berbagai -Kulturkreise itu diterangkannya dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Methode der Ethnologie (1911).3 Prosedur Klasifikasi itu berjalan sbb.: 1. Seorang peneliti mula-mula harus melihat di tempat- tempat mana di muka bumi terdapat unsur-unsur kebu- dayaan yang sama. Misalnya di tiga kebudayaan di tempat- tempat yang kita sebut A, B, dan C yang letaknya saling berjauhan, terdapat unsur kebudayaan a yang sama, maka unsur itu di A kita sebutkan 4, di B kita namakan a; dan di C adalaha”. Kesadaran akan Persamaan tadi dicapai dengan alasan pembandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi, dan disebut Qualitats Kriterium. 2. Si peneliti kemudian harus melihat apakah di A ada unsur unsur lain yang sama dengan unsur-unsur lain di B dan C; dan misalkan ada unsur bye, d, dane diA yang sama dengan 6} c’, d’ dan @’ di B, dan yang sama pula dengan unsur-unsur 6”, ¢’? da”, dan e” di C, maka alasan pem- bandingan berupa suatu Jumlah banyak (kuantitas) dari berbagai unsur kebudayaan tadi disebut Quantitéts Krite- eae ae in LE. Lips (1935: 320-326). ie berarti "tingkaran kebudayaankebudy unisur kebudayaan yang sama.” Ki area? Bom Te irkreis. oy ulturkreise j { Kulturkre! : "Metode I scale adalah jamak dari 13 ci BD pts ‘unsur-unsur yang: sama tadi, yaitu a ) e), c "e’) dan a” b” o? de Pia 3 smasing disebut Kulturkomplex, : ye 3,Akhimya peneliti menggolongkan ketiga tempat. itu yaitu A, “an C, di mana terdapat ketiga Kulturkomplex tadi, menjadi satu, seolah-olah memasukkan ketiga tempat di atas peta bumi itu ke dalam satu lingkaran, Ketiga tem- pat tadi menjadi satu Kulturkreis, Dengan melanjutkan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar berbagai Kulturkreise, yang saling berpadu dan bersimpang-siur. Dengan démikian akan tampak gambaran persebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau. Dengan klasifikasi Kulturkreise itu direkonstruksi- kan Kulturhistorie umat manusia, dan tampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Dalam kenyataan, klasifikasi Kulturkreise itu tidak mudah disusun karena banyak yang harus diperhatikan. Jumlah unsur-unsur dari beribu-ribu kebudayaan yang tersebar di’ muka bumi ini dapat mencapai angka ratusan ribu. Itulah sebabnya sampai sekarang belum ada ahli yang berhasil mengklasifikasikan semua kebudayaan di dunia itu ke dalam berbagai Kulturkreise tertentu. Karena itu juga Kulturhistorie umat manusia juga belum pernah dapat direkonstruksikan kembali. Celaan terhadap metode klasifikasi Graebner tentu ada; tetapi banyak juga sarjana yang memper- gunakannya lebih lanjut, al. W. Schmidt dan pengikut-peng- ikutnya. 4. MAZHAB SCHMIDT Wilhelm Schmidt (1868—1954)* mendapat pendidikan dasarnya dalam ilmu bahasa, namun sejak permulaan riwayat karya ilmiahnya ia menaruh perhatian kepada ilmu antropologi. - Schmidt adalah gurubesar pada suatu perguruan tinggi yang Pusatnya mula-mula di Austria, kemudian di Swiss, di mana dididik calon-calon pendeta penyiar agama Katolik dari organi- eae 4. Mengenai riwayat hidup dan karya W.Schmidt, Wafatnya, oleh M.Guisinde (1954: 868-870). lihat karangan peringatan pada 1s ; Societas Verbi Divini, Para pendeta itu juga mendapat pendidikan luas dalam ilmu antropologi. Schmidt sendiri sebenarnya tidak pernah melakukan field work sendiri, sehingga geluruh karyanya yang terdiri dari beberapa ratus karangan> itu “erupakan pengolahan dari bahan yang dicatat oleh para murid- nya di daerah, atau yang termuat dalam buku-buku etnografi lsh Schmidt menjadi terkenal dalam dunia antropologi sebagai seorang yang telah mengembangkan lebih lanjut metode qusifikasi kebudayaan-kebudayaan di dunia ke dalam Kultur- jeise. Klasifikasi itu dicita-citakan untuk dilakukan secara pesar-besaran, dengan tujuan untuk dapat melihat sejarah, persebaran dan perkembangan kebudayaan atau Kulturhistorie dari seluruh umat manusia di muka bumi ini. Untuk mengerja- kan proyek raksasa yang dicita-citakannya itu ia tentu memerlu- kan bahan keterangan yang luar biasa banyaknya, dari semua kebudayaan yang tersebar di dunia. Bahan ini harus diperoleh- nya dari karangan-karangan etnografi tulisan para peneliti di daerah, dan terutama oleh para pendeta dari Societas Verbi Divini, Bahan keterangan itu kemudian dikumpulkan, diteliti, dikupas, untuk disusun oleh Schmidt berdasarkan metode klasifikasi Kulturkreise. Kecuali sebagai penganjur penelitian Kulturhistorie umat manusia, W. Schmidt juga jadi terkenal dalam kalangan ilmu antropologi karena penelitian-penelitiannya mengenai bentuk religi yang tertua. Ia berpendirian bahwa keyakinan akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah kebudayaan manusia. Religi yang bersifat mono- theisme itu malahan adalah bentuk yang sangat tua. Sebelum W. Schmidt sebenarnya sudah ada seorang sarjana lain yang pemah mengajukan pendirian itu juga, yaitu sarjana ahli kesu- sasteraan berbangsa Inggeris, Andrew Lang, yang telah kita Kenal dari uraian pada him. 60-62 di atas. Anggapan A. Lang itu kemudian diolah lebih lanjut oleh-W; Schmidt. Dalam kedudukannya sebagai seorang pendeta Katolik Sth 5.Daftar karangan-karangan Schmidt termuat dalam buku kehormatan yang diper- ‘embahkan oleh murid-murid dan teman-teman. sejawatnya berhubung dengan lang tahunnya yang ke-60, yang disusun oleh W. Koppers (1928: xvixxvii) He ‘ i calon-calon’ pendeta Peny; dan’ sebagai Segre uh dimengerti bahwa ap vier agama Katolik, mu ah kepada dewa tertinggi dalam SE eee vanaCwiitt rendah ‘skal tinge keby jiwa bangsa-bangsa yang ang sangat cocok dengan ee ee ete dai joe dongan fetta & ~dasar cara berpikimya, dan juga dengan filsafatnya sepay.: ed ik. Dalam hubungan itu ia yakin bah pendeta agama Katolik. Dal 7 Kan Kepad wa agama berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada Mahluk manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Oley karena itulah adanya tanda-tanda dari suatu keyakinan kepada dewa: pencipta, justru pada bangsa-bangsa yang Paling Tendah tingkat kebudayaannya (yaitu yang menurut Schmidt paling ~: tua), memperkuat anggapannya tentang adanya Titah Tuhan Asli, atau Uroffenbarung itu. Dengan demikian keyakinan yang asli dan bersih kepada Tuhan (keyakinan Urmonotheis. mus) itu malah ada pada bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih Tendah, Dalam zaman kemudian, waktu kebudayaan manusia bertambah maju, keyakinan asli terhadap Tuhan menjadi kabur, kebutuhan manusia makin banyak, maka keyakinan asli itu Menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada mahluk-mahluk halus, Tuh-ruh, dewa-dewa dsb. Sisa-sisa Urmonotheisizus yang merupakan keyakinan kepada satu tokoh Dewa Tertinggi, tentu dapat ditemukan dalam religi suku-suku-bangsa di dunia yang bisa dianggap sebagai sisa-sisa manusia dahulu, Schmidt alam » Pada suku-suku-bangsa Indian di Lae selatan Amerika Selatan, dan. pada penduduk asli hae mpok manusia yang, sampai at kebudayaannya. Untuk aCe det Urmonotheismus itu, para ee me. Societas Verbi Divinj yang dikirimkan ke daerah untul ! ngul atolik, diminta oleh Schmidt untuk meni nyiarkan agama K; pulkan bahan keterangan sebanyak mungkin tentang key’ ‘ ) ‘ 117 kepada suatu tokoh Dewa Tertinggi. Dengan cara itu terkumpul © guatu himpunan bahan keterangan yang maha besar mengenai pal itu, yang jilid demi jilid dapat diterbitkan oleh W. Schmidt di antara tahun 1912 dan 1952, menjadi karya raksasa yang tebalnya duabelas jilid, berjudul Der Ursprung der Gottesidee (1926-55).® Kerjasama yang erat antara guru dan murid, penyusun pahan dan pengumpul bahan, menyebabkan bahwa di sini tampak' suatu mazhab dengan W. Schmidt sebagai guru, dan ‘para pendeta Societas Verbi Divini sebagai murid-muridnya, _ dengan satu-dua di antaranya yang juga menjadi terkenal di kalangan internasional, seperti W. Koppers dan M. Guisinde, ‘sedangkan ada pula yang pernah bekerja di Indonesia, seperti B.A.G. Vroklage dan P. Arndt. Perlu dicatat bahwa walaupun Koppers adalah penganut Schmidt mengenai Urmonotheismus, tetapi ia tidak setuju dengan metode Kulturkreise, hal mana nyata sekali sudah sejah tahun 1931, ketika ia membahas karangan O. Menghin, Weltgeschichte der Steinzeit,? 5, © TEORI DIFUSI RIVERS W.H.R. Rivers (1864-1922) mula-mula adalah seorang dokter dan ahli psikologi yang kemudian tertarik pada ilmu antropologi, ketika ia turut sebagai anggota Cambridge Torres Straits Expedition dalam tahun 1899. Expedisi yang merupa- kan peristiwa penting dalam sejarah perkembangan ilmu antro- pologi itu bermaksud meneliti hubungan antara kebudayaan- kebudayaan suku-suku-bangsa yang mendiami daerah-daerah | i sekitar Selat Torres, yaitu Irian Selatan dan Australi Utara. f Selama bekerja sebagai anggota expedisi, Rivers telah berhasil Mengembangkan ‘suatu metode wawancara yang baru,. yang Menyebabkan bahwa ia berhasil mengumpulkan banyak bahan, terutama mengenai sistem, kemasyarakatan. suku-suku-bangsa Yang tinggal di sekitar daerah Selat Torres. Metode yang oleh ers kemudian diuraikan dalam karangan berjudul A Genealo- | Cae ; 7, Attliuidul itu adalah” Asal Mula Konsep Tuhan”. ti judul itu adalah, ’Sejarah Umum Mengenai Zaman Batu”. 118 \ 4 ates ness iry (1910) itu® terhir, i opological Inqui Fag tok gical Method of a yang kémudian akan menjadi metog, inerupakan suatu ™! n besa penelitian antropologi yang berdg. pokok dalam a etode yang digunakannya sebenarnya aq,* f A a se eatold wawancara yang akan saya uraikan dengan ‘lah sua singkat di bawah ini- Apabila seorang peneliti datang Kepada suai) masyarakay pabil j bahan keterangannya akan diperojep. maka sebagian besar aes ae berbagai macam metode st nya dari para inform: lami bahwa banyak bahan keterangan wancara. tN edupan sesuatu masyarakat dapat dianalisa dan aanecdattar caabusul atau genealogi, dari para informan itu. Dengan demikian seorang peneliti harus mengumputkan sebanyak mungkin daftar asal-usul individu-individu dalam masyarakat obyek penelitiannya itu. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kaum kerabat dan nenek- moyang para individu tadi sebagai pangkal, seorang penelit; "i dapat menembangkan suatu wawancara yang luas sekali, mengenai bermacam-macam peristiwa yang menyangkut kaum kerabat dan nenek-moyang tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konkret. Metode ini sekarang terkenal dengan nama metode genealogi, atau genealogical method dan mem- pakan alat utama bagi tiap peneliti antropologi yang akan melakukan field work di daerah (Koentjaraningrat 1977: him. 182—189), sebabnya Ri d: ii an 4 a ‘vers dapat kita golongk am sat bab ‘ersamiasama dengan kedua satjana tad elakukan field work dj tempat lain, yaitu di India Selatan Pe; °%? Yang tingeal di Propinsi Mysore * Nenelitian inj menghasilkan buku The Todas 8. Dimuat dalam m; So 0) - Di i irmua ajalah iological Review (1910); 1 10), j 119 1906)- Dalam penelitian ini Rivers rupa-rupanya mendapat ahan banyak mengenai sistem kekerabatan orang Toda. De- gan membandingkan bahan itu dengan bahan yang diperoleh- nya dari daerah Melanesia ia kemudian mengembangkan bebe- rapa Konsepsi baru dalam rangka penelitian sistem-sistem kekerabatan, , yang dimuat dalam ”Seksi Masyarakat” dari puku Notes and. Queries on Anthropology (cetakan ke-4, tahun 1912), dan yang juga diterbitkan sebagai buku Kinship and Social Organization (1914). Buku yang tersebut pertama, yang, merupakan suatu buku pedoman untuk para peneliti di daerah, dan yang pada zaman Rivers telah mengalami empat cetakan (1874, 1892, 1899 dan 1912), memang mengandung banyak sumbangan karangan serta keterangan dari Rivers. Pada akhir riwayat kesarjanaannya muncul lagi karangan- karangannya yang bersifat ilmu psikologi, yaitu ilmu pangkal- nya, seperti Conflict and Dream (1923), dan beberapa yang lain; tetapi, bahwa ia tak pernah meninggalkan ilmu antropo- ogi, dan malahan tetap mengikuti perkembangan-perkembang- annya, tampak dari bukunya yang terbit anumerta, Social Organization (1924), yang merupakan suatu perbaikan’ dari buku yang ditulisnya dalam tahun 1914. 6 TEORI DIFUSI ELLIOT SMITH DAN PERRY Di Inggeris pada waktu itu banyak pula ahli antropologi yang juga melakukan berbagai penelitian yang biasanya kita kelaskan dalam golongan penelitian-penelitian difusi unsur- unsur kebudayaan. Seorang tokoh penting di antaranya ada- ah misalnya A.C. Haddon, yang pernah memimpin Expedisi Cambridge ke Selat Torres. Ahli-ahli yang akan saya sebutkan secara khusus adalah G. Elliot Smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949), karena teori-teori mereka yang sangat aneh. Mereka mengajukan teori bahwa dalam sejarah kebudaya- an dunia pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur dan yang meliputi jarak yang. sangat jauh,. yaitu ke daerah-daerah di sekitar Lautan Tengah, ke Afrika, ke India, ke Indonesia, ke Polinesia, dan ke Amerika. Teori itu kemudian aa , a menurut Elliot Smith ring disebut Heliolithic Theor oe cebudayaan Mesir Kuno dan Perry sae feisebut di atas itu tampak pada yang bersebar ke dae besar, atau megalith, dan juga pada pangunan-bangunan batu keagamaan yang berpusat pada suatu komplex So ok p penyembahan EE ee neti ini sebenarnya tidak begity : Pantone 3 ity yaitu sekitar zaman Perang Dunia I, seta odae orang Eropa sedang kagum-kagumnya. kepada snihgealai-peninggalan kebudayaan Mesir Kuno. Kekaguman Elliot Smith akan kebudayaan itu mulainya karena sebagai ahli anatomi ia. mulai melakukan penelitian terhadap otak-otak dari mumi-mumi Mesir itu. Dari aktivitas itu ia mulai tertarik pada kebudayaan Mesir Kuno, dan selama ia memperdalam * dirinya ke dalam buku-buku tentang kebudayaan itu, ia men- dapat kesan bahwa banyak unsur dalam kebudayaan itu menun- jukkan persamaan dengan unsur-unsur dalam kebudayaan-ke- budayaan besar lain di tempat-tempat lain di dunia dalam za- man dahulu. Karena kekagumannya terhadap kemegahan kebu- dayaan Mesir Kuno itu, ia berpendapat bahwa unsur-unsur yang tersebar luas di berbagai tempat di dunia itu tadi tentulah ber- asal dari Mesir, dan telah dibawa oleh bangsa-bangsa yang ber- pindah dari satu tempat di muka bumi ke tempat lain, untuk mencari kekayaan dalam bentuk emas dan mutiara. Dengan de- mikian timbullah teori Heliolitik, yang oleh Elliot Smith diurai- _ kan antara lain dalam bukunya The Influence of Ancient Egyp- tian Civilization in the East and in America (1916) serta dalam beberapa buku lain. Teori Heliolitik tersebut kemud ian dipergunakan dalam suatu 121 aiukan oleh Elliot Smith dan Perry mendapat perhatian yang pesar sekali, terutama dari pihak umum yang bukan ahli, namun kemudian mulai timbul-berbagai kecaman. Salah satu kecaman digukan oleh R. H. Lowie, 9 ahli antropologi Amerika, yang menyatakan bahwa teori Heliolitik itu merupakan teori difusi yang sangat extrem, dan tidak sesuai dengan kenyataan, baik Wipandang dari sudut hasil-hasil penggalian-penggalian ilmu prehistori, maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan antara bangsa- bangsd yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi waktu itu, Pada masa’ sekarang teori Heliolitik itu hanya bisa kita pandang sebagai suatu contoh saja dari salah suatu cara yang pernah digunakan oleh para ahli antropologi untuk men- coba. menerangkan gejala persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia. i

Anda mungkin juga menyukai