Laporan Pendahuluan Cedera Kepala
Laporan Pendahuluan Cedera Kepala
CEDERA KEPALA
1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala:
a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tenkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan
oedem serebral yang luas
Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), Cedera kepala diklasifikasikan
menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah
akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan
listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder
meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia
serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.
a. Cedera otak primer
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar
karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain
pada tuang tengkorak dan jaringan otak.
2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada
otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar sepanjang
lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung
mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang
mengakibatkan hematoma epidural. Fraktur basis kranii (fraktur dasar
tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat
duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus
dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz,
2012).
Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, &
Scheetz, 2012):
a) Sakit kepala
b) Perubahan tingkat kesadaran
c) Ekimosisi
d) Rinore atau otore cairan serebrospinal
Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000).
a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
c) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang
sehat
3) Komusio (Gegar otak)
Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh
trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.
4) Kontusio (Memar otak)
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung
pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi
pembuluh darah kecil.
5) Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur
bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar.
6) Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid
yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala
berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih
ringan.
7) Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan
akselerasi-deselerasi mendadak.
8) Hemoragi subaraknoid traumatic
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh
darah mikro pada lapisan araknoid.
9) Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara
langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema
difus dan lokal.
10) Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling
dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan
darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga
terjadi stroke.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.
1) Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam
setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema
serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.
2) Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi
aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha
metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian
jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.
3) Sindrom herniasi
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser
didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan
tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan
frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.
Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi
1.6 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan
lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh
darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah
ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah
dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara
perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi
dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa
lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau
fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
c. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
1.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan CT
scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap
struktur fosa posterior.
b. MRI (Magnetic resonance imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar
tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan
neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi
cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.
c. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak.
Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris
emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat
pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan selubung
setelah infus dilepaskan.
d. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.
Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi
serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan datang.
e. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam
mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum
pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada
area cedera.
f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory
evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan
diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan
fungsional yang bermakna.
1.8 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain
Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi rekomendasi ilmiah
yang yang paling terkini.
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia
dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma
Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal
maka pemulihan akan berfungsi kembali :
a. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala
karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan
hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal
cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan
perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak
dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut
aliran darah serebral.
b. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif
akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus
dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi
harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan
intracranial terhadap aliran darah.
c. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan agar
nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa penderita.
Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang berakibat buruk
pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang digunakan untuk
resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium
perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak
yang harus dihindari.
d. Obat
1) Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena
dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan
memperberat hipovolemi.
2) Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5
mg/kg bb IV
3) Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
4) Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi
tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan
pada resusitasi akut
5) Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang
berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.
PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)
Riwayat
Definisi : GCS 9 - 12
Pemeriksaan Inisial
- ABCDE
- Primary Survey dan resusitasi
- Secondary Survey dan riwayat AMPLE
- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
- Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
CT Scan
ALOGARITMA CEDERA KEPALA BERAT
Diagnostik kedaruratan
atau prosedur terapeutik Evaluasi trauma ATLS
sesuai indikasi
a. Intubasi endotrakeal
b. Resusitasi cairan
c. Ventilasi (PAC02 – 35 mmHg)
d. Oksigenasi
e. Sedasi
f. ± Blokade neuromuscular
(kerja singkat)
Ya ±hiperventilasi
Herniasi?*
Deteriorasi? ±manitol (1g/kg)
Tidak
Ya
Resolus
CT Scan
Tidak
Ya
Lesi
Bedah ?
Kamar
Tidak
operasi
Unit perawatan intensif
Pantau TIK
Obati hipertensi
intrakranial
2. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala
2.1 Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
1) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu
pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat
menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala
dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan
dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal
airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka
dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway
definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon
(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :
- Adanya apnea
- Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
- Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus
- Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
- Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
- Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina
chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi
didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan
ini dinamakan airway surgical.
2) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi. Penururnan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas
yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus
di evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax,
massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan
primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus
dikenali pada saat melakukan secondary survey.
3) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan
langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan
Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada
dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di
control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di
evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan
pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai
dengan pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau
sama sekali tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan
larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn
transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O
negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok
hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini
dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain :
- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis dari
kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan
terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan
darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler
dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam
24 jam.
- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi
urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang
memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat
kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat
sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan
penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam
keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling
kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita
dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse
darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas respon
penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi
organ yang adekuat.
- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang
cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic
yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini sering kali
memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera.
Keputusan tersebut didasarkan atas respon resusitasi cairan yang
diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita
mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.
Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Fraktur
kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam tungkai
sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan bidai yang
baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata dengan mengurangi
pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur.
Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal
yang penting disamping usaha menghentikan perdarahan.
4) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana
dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary
survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi,
ventilasi, dan perfusi.
5) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko
terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat
digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah
kontaminasi lebih lanjut.
2) Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
4) Kebutuhan Dasar
Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria
Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising
usus.
Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
5) Psikososial
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
6) Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
7) Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik
pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
8) Pengkajian Fisik
a. fungsi kognitif
Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan
orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk
mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi
pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.
b. Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,
stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat
untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien.
Langkah pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara,
kemudian berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya dengan
memberikan rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member
pasien kesempatan untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan
atau respon sebaliknya.
c. Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan ekstraokuler,
yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengujian saraf
cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut mencakup pendeteksian
defek lapang pandang dan ketajaman penglihatan yang besar. Lapang
pandang dapat secara adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk
mendeteksi gerakan jari pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman
penglihatan dapat secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca
kalimat yang dicetak pada satu halaman atau menggunakan grafik mata
snellen. Jika terdapat kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf
optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh dokter spesialis mata
direkomendasikan.
Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil,
termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor,
dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.
Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens)
seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena saraf-
saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut
dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari
tersebut digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda
kelemahan otot mata dengan gangguan saraf cranial.
d. Pengkajian respon batang otak
Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar
dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal
merefleksikan saraf cranial V dan VII (trigeminus dan fasialis). Reflex ini
diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah setiap
mata. Kedipan kelopak mata bawah mengindikasikan adanya reflex.
Sensasi stimulus yang mengiritasi menunjukkan fungsi utama satu cabang
saraf trigeminus, dan gerakan kelopak mata bawah menujukkan fungsi
motorik saraf fasialis.
Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar pada
ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk dan gag serta
melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk dan gag harus
dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.
e. Pengkajian fungsi motorik
Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif
dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan gravitasi
dan dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan
menggunakan skala 1-5.
Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap tubuh
lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai respon terhadap
stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati sebagai suatu
respon yang bertujuan karena pasien mampu menunjukkan sumber nyeri
dan bergerak kearah sumber nyeri tersebut dengan satu atau kedua
ekstremitas melewati garis tengah tubuh.
f. Pengkajian fungsi pernapasan
Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi
perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik. Banyak
bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali volunteer
terhadap otot yang dignakan dalam bernapas, dengan serebelum
menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot. Serebrum juga sedikit
mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla oblongata.
Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti perdarahan
serebelar, dapat mengompresi medulla, dan menghasilkan pernapasan
ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut terdiri dari napsa dalam dan
dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan
perlunya control jalan nafas definitive melalui intubasi endotrakeal.
g. Pengkajian system tubuh lain
Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian
komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat penting dalam
mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera
otak.
Pantau intake dan output, Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total
turgor kulit dan membran tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
mukosa. jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat
mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan
ini dapat mengarahkan pada masalah
hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
yang akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
Turunkan stimulasi
eksternal dan berikan Memberikan efek ketenangan, menurunkan
kenyamanan, seperti reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan
lingkungan yang tenang. istirahat untuk mempertahankan atau
menurunkan TIK.
Manitol 6 x 100
cc/drip
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan
otak).
Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi: Tidak ada sianosis, Blood Gas dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan
kedalaman pernapasan komplikasi pulmonal atau menandakan
setiap 1 jam. Catat lokasi/luasnya keterlibatan otak.
ketidakteraturan
pernapasan.
1. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Cedera kepala
Gangguan - Perubahan
- Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri neurologis autoregulasi
- Hematoma suplai darah infeksi fokal - Edema serebral
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:
EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan
Emergensi. Jakarta: EGC.