Hak berdaulat Indonesia ZEE mengalami masalah. Perairan Natuna di Kepulauan Riau
diklaim oleh Cina karena masuk kedalam wilayah “Nine Dash Line” yang bertentangan dengan
konvensi dan dinyatakan tidak sah. Tindakan Cina sangat merugikan Indonesia.Cina melakukan
kegiatan illegal, yaitu unreported and unregulated fishing. Indonesia melalalui Kementrian
Kelautan dan Perikanan Indonesia melakukan tindakan tegas dengan menangkap kapal yang
diduga melakukan oenangkapan illegal dan meningkatkan keamanan di Kepulauan Natuna untuk
mengurangi terjadinya konflik dengan mengirim 600 personil TNI dan kapal perang AL RI, 4F-
16, Boeing 737-2x9, dan BAE Hawk.Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas
keamanan negara di Lautan Cina Selatan, terutama Kepulauan Natuna. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka perlu optimalisasi operasi TNI AL dan kerja sama anta pihak internasional.
Gambar Nine Dash line yang diklaim oleh Cina (Sumber :DocPlayer.info diakses pada 18 April
2020 pukul 15.00)
Perairan Natuna berada di kepulauan Riau dengan luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan
seluas 262.197,07 km2 .Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, perairan Natuna
memiliki potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi-cumi
23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton per tahun. Kemudian,
juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kunin, udang putih, dan lainnya.
Indonesia memiliki luas perairan sebesar 3.257.483 km2. Dengan perairan yang sangat
luas, Pemerintah indonesia harus memiliki orientasi pembangunan maritim yang kuat. Dalam
mengembangkan sektor kelautan dilaksanakan dengan lima pilar yaitu budaya maritim, ekonomi
maritim, konektivitas maritim, Diplomasi maritim, dan keamanan maritim. Sudah sepatutnya
Indonesia mengambil langkah tegas terhadap klaim Cina atas perairan Natuna sebagai upaya
dalam mengamankan wilayah maritim Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia?
2. Apa upaya untuk menyelesaikan konflik sengketa pada perairan Natuna
1.3 TUJUAN
Menganalisis bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam
upaya menyelesaikan konflik sengketa pada perairan Natuna
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DATA
Dari negara – negara yang bersengketa dengan Republik Rakyat Tiongkok di Laut Cina
Selatan, baru Filipina yang mengajukan gugatan ke Republik Rakyat Tiongkok melalui
Permanent Court of Arbitration (PCA) seputar legalitas klaim Republik Rakyat Tiongkok
mengenai sembilan garis putus-putus[1]. Sengketa seputar Kepulauan Spratly berawal setelah
Jepang menanggalkan klaim terhadap Kepulauan Spratly dan kepulauan lain pada Perjanjian San
Fransisco, namun Jepang tidak menyebutkan kepada siapa kekuasaan terhadap wilayah tersebut
diberikan[2]. Klaim Republik Rakyat Tiongkok terhadap Kepulauan Spratly dan Paracel
berdasarkan pada alasan historis, bahwa kepulauan tersebut adalah bagian penting dari Dinasti
Ming[3]. Filipina mendasarkan klaim terhadap Kepulauan Spratly pada kedekatan
geografisnya[3], negara lain yang bersengketa dengan Republik Rakyat Tiongkok seputar
Kepulauan Spratly juga memiliki basis klaim historis, seperti Vietnam yang menyatakan bahwa
Kepulauan Spratly telah berada dibawah kekuasaannya sejak abad ke-17[3], sedangkan Malaysia
mendasarkan klaimnya dengan alasan letak Kepulauan Spratly paling dekat dengan Malaysia[4].
Filipina menganggap bahwa “sembilan garis putus-putus” yang diklaim oleh Republik Rakyat
Tiongkok tidak valid karena melanggar persetujuan UNCLOS tentang Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan laut teritorial[5]. Republik Rakyat Tiongkok menolak untuk berpartisipasi dalam
arbitrase, menyatakan bahwa sengketa perbatasan seharusnya diselesaikan secara bilateral. RRT
juga menuduh Filipina melanggar Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea
(dibuat pada tahun 2002 antara ASEAN dengan RRT) yang menetapkan negosiasi bilateral
sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa perbatasan[6]. Putusan dari PCA menyatakan bahwa
RRT tidak memiliki hak historis dari “sembilan garis putus-putus”, dan RRT dianggap telah
melanggar kedaulatan Filipina dengan melakukan operasi militer, penyerangan terhadap nelayan
dan penangkapan ikan ilegal[7]. RRT menolak putusan tersebut[8].
Sejak awal berlangsungnya sengketa, Indonesia menetapkan diri sebagai non-claimant state
seperti yang dikatakan oleh Menlu RI Retno Marsudi, Indonesia tidak memiliki wilayah perairan
teritorial yang tumpang tindih dengan milik RRT, meskipun klaim “sembilan garis putus-putus”
RRT tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di dekat Kepulauan Natuna[9]. Meskipun RRT
mengakui kedaulatan Indonesia pada Kepulauan Natuna, RRT tetap mengklaim perairan di seitar
Kepulauan Natuna berdasarkan “sembilan garis putus-putus”, Indonesia menolak klaim tersebut
dengan menyatakan bahwa “sembilan garis putus-putus” RRT tidak mempunyai dasar yang
legal[10]. Menkopolhukam saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa Indonesia dapat
menggugat RRT di pengadilan internasional[9].
Pada 19 Maret 2016, kapal patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia sempat
menangkap sebuah kapal yang diduga melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna,
kemudian dilepas kembali setelah kemunculan kapal penjaga pantai RRT. Kapal penjaga pantai
RRT mengejar kapal penangkap ikan dan menabrak kapal tersebut. Untuk menghindari insiden
lebih lanjut, kapal Patroli KKP memutuskan untuk melepaskan kapal penangkap ikan[11].
Menyusul insiden tersebut, pada 23 Juni 2016 Presiden Joko Widodo mengunjungi Kepulauan
Natuna dengan kapal perang bersama Panglima TNI saat itu, Gatot Nurmantyo. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah mengirim pesan yang jelas bahwa Indonesia sangat serius dalam
menjaga wilayah kedaulatannya. Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk meningkatkan
keamanan di area tersebut[12]. Pada tahun 2014 – 2015 keberadaan TNI di Kepulauan Natuna
diperkuat dengan harapan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik[13]. Pada awal tahun
2020, tambahan 600 personil TNI diterjunkan bersama dengan delapan kapal perang AL
Republik Indonesia, AU Republik Indonesia juga mengirimkan 4 F-16 dan sebuah Boeing 737-
2x9 Surveillance, dan menyiagakan pesawat BAE Hawk setelah meningkatnya aktivitas
penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal dari RRT[14]
2.2 SOLUSI
Kepentingan nasional Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: “Negara melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Dapat dilihat bahwa Indonesia mempunyai kepentingan besar dalam menjaga stabilitas kemanan negara
di Lautan Cina Selatan, terutama dalam kepulauan nasional Natuna. Dengan demikian Kelompok 2 akan
memajukan solusi untuk konflik ini.
TNI AL Indonesia mempunyai tugas penting, yaitu "melindungi warga negara dan kepentingan
nasional di dalam dan di luar negeri". Contoh dari tugas ini dilihat ketika TNI AL membantu evakuasi
TKI di Malaysia yang mendapat ancaman pengusiran paksa, operasi penyelamatan terhadap KM Kudus
yang dibajak oleh perompak Somalia di luar wilayah yurisdiksi nasional.
Amanah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 3 ayat (2), menyatakan
bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai kepulauan.
Isu LCS suatu masalah yang sensitif dikarenakan banyaknya negara yang terlibat dalam konflik ini.
Sensitivitas masalah diperparah dengan isu maraknya pelanggaran wilayah oleh kapal asing dan pesawat
udara pada corong- corong s t rat egi s , illegal fishing, penyelundupan dan jalur trafficking buruh migran.
Tuntutan geoposisi TNI ALmenjadi agenda prioritas sesuai kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan yangharus didukung sarana memadai. Tetapi, 50 persen dari 148 kapal TNI AL saat ini
sudah uzur dimana harus melindungi 5,8 juta km persegi wilayah laut dan ribuan pulau di seluruh wilayah
Indonesia.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kami menyarankan:
a) Pertama, peran militer yang dilaksanakan dalam rangka penegakan kedaulatan negara di laut
dengan cara penangkalan atau pertahanan negara.
b) Kedua,peran polisionil yang dilaksanakan dalam rangka penegakan hukum di laut, melindungi
sumberdaya dan kekayaan laut nasional.
c) Ketiga, peran dukungan diplomasi, merupakan penggunaan kekuatan TNI AL sebagai sarana
diplomasi dalam mendukung kebijaksanaan luar negeri Indonesia.
d) Keempat, TNI AL dalam bentukperan Operasi Lain selain Operasi Militer, seperti tugas
kemanusiaan dan dukungan bantuan ke berbagai wilayah.
Arbitrasi melewati Permanent Court Of Arbitration
Sengketa di Laut Cina Selatan, utamanya pada dua gugus kepulauan yaitu Spratly dan Paracell
melibatkan 6 negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Dari seluruh negara
tersebut hanya Filipina yang menggugat Cina di Pengadilan Arbitrase Den Haag (PCA) pada 2013. Filipina
menuding Cina mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun
pulau buatan. Cina di lain pihak, pada 19 Februari 2013 dan 1 Agustus 2013 menyatakan bahwa dak
setuju dengan proses arbitrase dan tidak akan ikut dalam proses persidangan Mahkamah Arbitrase yang
dibentuk. Akan tetapi, proses persidangan lanjut dalam in absentia.
Pada 12 Juli 2016 Pengadilan Arbitrase di Den Haag mengeluarkan putusan dimana berisi poin – poin:
1. Klaim Cina atas hak historis atau hak berdaulat lainnya terhadap wilayah laut di Laut Cina Selatan
melipu juga ‘Ninedash line’ adalah bertentangan dengan konvensi dan dinyatakan dak sah. Klaim historis
ini dianggap telah melebihi batasan yang ditentukan oleh Konvensi.
2. Pada Mischief Reef and Second Thomas Shoal dak mampu diperuntukan sebagai Laut Teritorial, Zona
Ekonomi Ekslusif, ataupun Landas konnen Cina. Lalu untuk Subi Reef, Gaven Reef (South), and Hughes
Reef dak juga dapat dikategorikan sebagai Laut Teritorial, ZEE, ataupun landas konnen namun dapat
digunakan sebagai baseline untuk mengukur lebar dari laut terotorial. Sedangkan Scarborough Shoal,
Gaven Reef (North), McKennan Reef, Johnson Reef, Cuarteron Reef, and Fiery Cross Reef dalam kondisi
alami dinyatakan sebagai batu-batuan yang dak dapat digunakan untuk kehidupan manusia juga bukan
merupakan ZEE maupun landas konnen
3. Status Mischies Reef dan Second Thomas Shoal adalah Zona Ekonomi Ekslusif Filipina
4. Cina dianggap telah melanggar kedaulatan Filipina dan pasal – pasal pada konvensi dengan melakukan
operasi militer, penyerangan terhadap nelayan, melakukan illegal fishing Cina juga dinilai telah
melakukan perusakan laut dengan melakukan reklamasi pada beberapa k di Laut Cina Selatan.
Dapat dilihat dari poin 4 seharusnya Cina menghorma kedaulatan Filipina dan putusan ini pun
mementahkan cina dari sengketa Laut Cina Selatan karena klaim mendasar Cina yaitu Nine-dash line
berdasarkan klaim historis dinyatakan dak dapat diterima dan menyalahi konvensi seperti United
Nations Convention on the Laws of the Sea (UNCLOS)
3.1 Kesimpulan
Konflik di kawasan LCS, mempertemukan dua kekuatan dunia yaitu Cina dan Amerika Serikat beserta
sekutunya yang memperebutkan pengaruh di kawasan ASEAN. Dari latar belakang isu, Indonesia tidak
merupakan satu dari negara yang mempunyai kepentingan tinggi dalam konflik LCS tetapi perikanan
illegal yang telah dilaksanakan oleh cina dalam Kabupaten Natuna membahayakan kedaulatan dan
keamanan nasional Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kelompok 2 menyarankan untuk
mengoptimalkan operasi TNI AL dan kerja sama dengan pihak internasional seperti Permanent Court of
Arbitration.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. "Arbitration between the Republic of the Philippines and the People's Republic of China".
Permanent Court of Arbitration. 15 Oktober 2015. Diakses pada 19 April 2020, dari
https://www.pcacases.com/web/sendAttach/1503
2. "China rejects arbitration on disputed islands in S.China Sea CCTV News – CNTV English". CNTV
English. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://web.archive.org/web/20131029192055/http://english.cntv.cn/program/newsnewsup/2
0130719/104385.shtml
3. "Indonesia deploys warships, jets amid China spat". RTHK. 9 Januari 2020. Diakses pada 19 April
2020 dari https://news.rthk.hk/rthk/en/component/k2/1501646-20200108.htm
4. "PCA Press Release: The South China Sea Arbitration (The Republic of the Philippines v. The
People's Republic of China) | PCA-CPA". pca-cpa.org. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://pca-cpa.org/en/news/pca-press-release-the-south-china-sea-arbitration-the-republic-of-
the-philippines-v-the-peoples-republic-of-china/
5. "Q&A: South China Sea dispute". BBC News. 15 Mei 2013. Diakses pada 19 April 2020, dari
https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13748349
6. "South China Sea: Indonesian leader visits Natuna Islands amid growing tensions". ABC News. 23
June 2016. Diakses pada 19 April 2020 dari http://www.abc.net.au/news/2016-06-23/joko-
widodo-visits-south-china-sea-amid-tension-with-china/7539164
7. "The Republic of the Philippines v. The People's Republic of China". Permanent Court of
Arbitration. Diakses pada 19 April 2020 dari http://www.pcacases.com/web/view/7
8. "Treaty of Peace with Japan". Taiwan Documents Project. 2013. Diakses pada 19 April 2020, dari
http://www.taiwandocuments.org/sanfrancisco01.htm
9. “Penangkapan kapal ikan asing ilegal Cina di Natuna 'digagalkan'”. BBC Indonesia. 20 Maret
2016. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_kapal_cina
10. Arief, Muh. Asri. PERAN TNI ANGKATAN LAUT SEBAGAI WORLD CLASS NAVY DALAM
PERTAHANAN MARITIM GUNA MENJAGA STABILITAS KEAMANAN DI KAWASAN LAUT CINA
SELATAN (LCS). JURNAL MARITIM INDONESIA, Edisi-3 (2015).
http://jurnalmaritim.tnial.mil.id/wp-content/uploads/2018/02/53_2014-Volume-3Jurnal-
Maritim-Edisi-3-Juni-2015-11-files-merged.pdf
11. F. Al-Attar, "Sikap Indonesia Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan Pasca Putusan Permanent
Court Of Arbitration 12 Juli 2017," Gema Keadilan, vol. 4, no. 1, pp. 143-156, Oct.
2017. https://doi.org/10.14710/gk.4.1.143-156
12. https://docplayer.info/71266093-Poros-maritim-dan-tantangan-laut-tiongkok-selatan-
maritime-nexus-and-the-challenge-of-south-china-sea.html (diakses pada 18 April 2020
pukul 15.00
13. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200103082304-4-127288/ada-apa-di-laut-
natuna-sampai-bikin-ri-protes-keras-china(diakses pada 18 April 2020 pukul 13.33)
14. Klaus Heinrich Raditio, Researching China’s recent behavior and strategy in the South China Sea
for his PhD at the University of Sydney (18 July 2016). "Indonesia 'speaks Chinese' in South China
Sea". The Jakarta Post. Diakses pada 19 April 2020 dari
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/07/18/indonesia-speaks-chinese-in-south-
china-sea.html
15. Liza Yosephine (21 Juni 2016). "Minister echoes Indonesia's stance on South China Sea". The
Jakarta Post. Jakarta. Diakses pada 19 April 2020 dari
http://www.thejakartapost.com/news/2016/06/21/minister-echoes-indonesias-stance-on-
south-china-sea.html
16. Phillips, Tom; Holmes, Oliver; Bowcott, Owen (12 Juli 2016). "Beijing rejects tribunal's ruling in
South China Sea case". The Guardian. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-
against-china
17. Sari, Deasy Silvya. 2017.Poros Maritim dan Tantangan Laut Tiongkok Selatan. Jurnal
Penelitian Politik Volume 14, No2. (2017) : 179-192.
18. UNCLOS. Pasal V tentang ZEE.
19. Valencia, Mark J.; Van Dyke, Jon M.; Ludwig, Noel A. (1999). Sharing the Resources of the South
China Sea. University of Hawaii Press. pp. 36–38.
20. Vaswani, Karishma (19 Oktober 2014). "The sleepy island Indonesia is guarding from China". BBC
News. Retrieved 21 January 2020. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.bbc.com/news/world-asia-29655874
21. Yakti, Purbo Darono dan Joko Susanto. Poros Maritim Dunia Sebagai Pendekatan
Strategi Maritim Indonesia: Antara Perubahan atau Kesinambungan Strategi?. No2.
(2011).