Anda di halaman 1dari 3

I.

Data
Dari negara – negara yang bersengketa dengan Republik Rakyat Tiongkok di Laut Cina
Selatan, baru Filipina yang mengajukan gugatan ke Republik Rakyat Tiongkok melalui
Permanent Court of Arbitration (PCA) seputar legalitas klaim Republik Rakyat Tiongkok
mengenai sembilan garis putus-putus[1]. Sengketa seputar Kepulauan Spratly berawal setelah
Jepang menanggalkan klaim terhadap Kepulauan Spratly dan kepulauan lain pada Perjanjian
San Fransisco, namun Jepang tidak menyebutkan kepada siapa kekuasaan terhadap wilayah
tersebut diberikan[2]. Klaim Republik Rakyat Tiongkok terhadap Kepulauan Spratly dan Paracel
berdasarkan pada alasan historis, bahwa kepulauan tersebut adalah bagian penting dari
Dinasti Ming[3]. Filipina mendasarkan klaim terhadap Kepulauan Spratly pada kedekatan
geografisnya[3], negara lain yang bersengketa dengan Republik Rakyat Tiongkok seputar
Kepulauan Spratly juga memiliki basis klaim historis, seperti Vietnam yang menyatakan bahwa
Kepulauan Spratly telah berada dibawah kekuasaannya sejak abad ke-17[3], sedangkan
Malaysia mendasarkan klaimnya dengan alasan letak Kepulauan Spratly paling dekat dengan
Malaysia[4].

Filipina menganggap bahwa “sembilan garis putus-putus” yang diklaim oleh Republik
Rakyat Tiongkok tidak valid karena melanggar persetujuan UNCLOS tentang Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) dan laut teritorial[5]. Republik Rakyat Tiongkok menolak untuk berpartisipasi
dalam arbitrase, menyatakan bahwa sengketa perbatasan seharusnya diselesaikan secara
bilateral. RRT juga menuduh Filipina melanggar Declaration on the Conduct of Parties in the
South China Sea (dibuat pada tahun 2002 antara ASEAN dengan RRT) yang menetapkan
negosiasi bilateral sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa perbatasan[6]. Putusan dari
PCA menyatakan bahwa RRT tidak memiliki hak historis dari “sembilan garis putus-putus”, dan
RRT dianggap telah melanggar kedaulatan Filipina dengan melakukan operasi militer,
penyerangan terhadap nelayan dan penangkapan ikan ilegal[7]. RRT menolak putusan
tersebut[8].

Sejak awal berlangsungnya sengketa, Indonesia menetapkan diri sebagai non-claimant


state seperti yang dikatakan oleh Menlu RI Retno Marsudi, Indonesia tidak memiliki wilayah
perairan teritorial yang tumpang tindih dengan milik RRT, meskipun klaim “sembilan garis
putus-putus” RRT tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di dekat Kepulauan Natuna[9].
Meskipun RRT mengakui kedaulatan Indonesia pada Kepulauan Natuna, RRT tetap mengklaim
perairan di seitar Kepulauan Natuna berdasarkan “sembilan garis putus-putus”, Indonesia
menolak klaim tersebut dengan menyatakan bahwa “sembilan garis putus-putus” RRT tidak
mempunyai dasar yang legal[10]. Menkopolhukam saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan
menyatakan bahwa Indonesia dapat menggugat RRT di pengadilan internasional[9].

Pada 19 Maret 2016, kapal patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia
sempat menangkap sebuah kapal yang diduga melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan
Natuna, kemudian dilepas kembali setelah kemunculan kapal penjaga pantai RRT. Kapal
penjaga pantai RRT mengejar kapal penangkap ikan dan menabrak kapal tersebut. Untuk
menghindari insiden lebih lanjut, kapal Patroli KKP memutuskan untuk melepaskan kapal
penangkap ikan[11].

Menyusul insiden tersebut, pada 23 Juni 2016 Presiden Joko Widodo mengunjungi
Kepulauan Natuna dengan kapal perang bersama Panglima TNI saat itu, Gatot Nurmantyo.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah mengirim pesan yang jelas bahwa Indonesia sangat
serius dalam menjaga wilayah kedaulatannya. Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk
meningkatkan keamanan di area tersebut[12]. Pada tahun 2014 – 2015 keberadaan TNI di
Kepulauan Natuna diperkuat dengan harapan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik[13].
Pada awal tahun 2020, tambahan 600 personil TNI diterjunkan bersama dengan delapan kapal
perang AL Republik Indonesia, AU Republik Indonesia juga mengirimkan 4 F-16 dan sebuah
Boeing 737-2x9 Surveillance, dan menyiagakan pesawat BAE Hawk setelah meningkatnya
aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal dari RRT[14].

II. Referensi
1. "Arbitration between the Republic of the Philippines and the People's Republic of
China". Permanent Court of Arbitration. 15 Oktober 2015. Diakses pada 19 April 2020,
dari https://www.pcacases.com/web/sendAttach/1503
2. "Treaty of Peace with Japan". Taiwan Documents Project. 2013. Diakses pada 19 April
2020, dari http://www.taiwandocuments.org/sanfrancisco01.htm
3. "Q&A: South China Sea dispute". BBC News. 15 Mei 2013. Diakses pada 19 April 2020,
dari https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13748349
4. Valencia, Mark J.; Van Dyke, Jon M.; Ludwig, Noel A. (1999). Sharing the Resources of
the South China Sea. University of Hawaii Press. pp. 36–38.
5. "The Republic of the Philippines v. The People's Republic of China". Permanent Court
of Arbitration. Diakses pada 19 April 2020 dari http://www.pcacases.com/web/view/7
6. "China rejects arbitration on disputed islands in S.China Sea CCTV News – CNTV
English". CNTV English. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://web.archive.org/web/20131029192055/http://english.cntv.cn/program/newsn
ewsup/20130719/104385.shtml
7. "PCA Press Release: The South China Sea Arbitration (The Republic of the Philippines v.
The People's Republic of China) | PCA-CPA". pca-cpa.org. Diakses pada 19 April 2020
dari https://pca-cpa.org/en/news/pca-press-release-the-south-china-sea-arbitration-
the-republic-of-the-philippines-v-the-peoples-republic-of-china/
8. Phillips, Tom; Holmes, Oliver; Bowcott, Owen (12 Juli 2016). "Beijing rejects tribunal's
ruling in South China Sea case". The Guardian. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-
case-against-china
9. Liza Yosephine (21 Juni 2016). "Minister echoes Indonesia's stance on South China
Sea". The Jakarta Post. Jakarta. Diakses pada 19 April 2020 dari
http://www.thejakartapost.com/news/2016/06/21/minister-echoes-indonesias-
stance-on-south-china-sea.html
10. Klaus Heinrich Raditio, Researching China’s recent behavior and strategy in the South
China Sea for his PhD at the University of Sydney (18 July 2016). "Indonesia 'speaks
Chinese' in South China Sea". The Jakarta Post. Diakses pada 19 April 2020 dari
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/07/18/indonesia-speaks-chinese-in-
south-china-sea.html
11. “Penangkapan kapal ikan asing ilegal Cina di Natuna 'digagalkan'”. BBC Indonesia. 20
Maret 2016. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_kapal_
cina
12. "South China Sea: Indonesian leader visits Natuna Islands amid growing tensions". ABC
News. 23 June 2016. Diakses pada 19 April 2020 dari
http://www.abc.net.au/news/2016-06-23/joko-widodo-visits-south-china-sea-amid-
tension-with-china/7539164
13. Vaswani, Karishma (19 Oktober 2014). "The sleepy island Indonesia is guarding from
China". BBC News. Retrieved 21 January 2020. Diakses pada 19 April 2020 dari
https://www.bbc.com/news/world-asia-29655874
14. "Indonesia deploys warships, jets amid China spat". RTHK. 9 Januari 2020. Diakses
pada 19 April 2020 dari https://news.rthk.hk/rthk/en/component/k2/1501646-
20200108.htm

Anda mungkin juga menyukai