Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Tentang

LEMBAGA KEUANGAN BANK SYARIAH

Kelompok 1 :
Nova Dila Diani 1913040159
Selsa Anjani 1913040164
Anggun Rassofi Sona 1913040190
Januardi Saputra 1913040007
Ulil Absyar 1913040146
Rahmi Esha Putri 1913040121
Rahmaddi 1913040181

Dosen :
IHSAN CANDRA,SE,MM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
FAKULTAS SYARI’AH PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH 1442 H / 2021 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga keuangan syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional


(DSN) adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan
syariah dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan
syariah (DSN-MUI,2003). Definisi ini menegaskan bahwa LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu
unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas dalam operasi sebagai lembaga
keuangan.
Dalam konteks perbankan nasional-Indonesia, bank Islam diistilahkan dengan Bank Umum atau
Bank Perkraditan Rakyat yang pembiayaannya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu bedasarkan persetujuan atau kesepakantan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah;
antara lain: pembiayaan berdasarkan prinsib bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan.

A. Lembaga Keuangan Syariah


Lembaga Keuangan Syari'ah adalah sebuah lembaga keuangan yang prinsip operasinya
berdasarkan pada prinsip-prinsip syari'ah Islamiah. Operasional lembaga keuangan Islam harus
menghindar dari riba, gharar dan maisir. Hal- hal terssebut sangat diharamkan dan sudah
diterangkan dalam Al-Quran dan Al- Hadist.Tujuan utama mendirikan lembaga keuangan Islam
adalah untuk menunaikan perintah Allah dalam bidang ekonomi dan muamalah serta
membebaskan masyarakat Islam dari kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Untuk
melaksanakan tugas ini serta menyelesaikan masalah yang memerangkap umat Islam hari ini,
bukanlah hanya menjadi tugas seseorang atau sebuah lembaga, tetapi merupakan tugas dan
kewajiban setiap muslim. Menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam berekonomi dan
bermasyarakat sangat diperlukan untuk mengobati penyakit dalam dunia ekonomi dan sosial
yang dihadapi oleh masyarakat.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga
keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional
sebagai Lembaga Keuangan Syariah.
Definisi ini menegaskan bahwa sesuatu LKS harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian
dengan syariah islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan. Unsur kesesuaian
suatu LKS dengan syariah islam secara tersentralisasi diatur oleh DSN, yang diwujudkan dalam
berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Unsur legalitas operasi sebagai
lembaga keuangan diatur oleh berbagai instansi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin
operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.

b. Departemen Keuangan sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi


koperasi.
c. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi.

Beberapa prinsip operasional dalam LKS adalah :


a. Keadilan, yaitu prinsip berbagi keuntungan atas dasar penjualan yang sebenarnya
berdasarkan konstribusi dan resiko masing-masing pihak.

b. Kemitraan, yaitu prinsip kesetaraan diantara para pihak yang terlibat dalam kerjasama.
Posisi nasabah investor (penyimpanan dana), dan penggunaan dana, serta lembaga keuangan
itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan.

c. Transparansi, dalam hal ini sebuah LKS diharuskan memberikan laporan keuangan secara
terbuka dan berkesinambungan kepada nasabah investor atau pihak-pihak yang terlibat agar
dapat mengetahui kondisi dana yang sebenarnya.

B.Dasar hukum perbankkan syariah di indonesia


Bank Syariah dikenal dengan nama lain yaitu bank tanpa bunga (La Riba Bank), Bank Islam
(Islamic Bank), dan Bank Nirbunga. Perbankan Syariah mulai diprakarsai sejak tahun 1990-an.
Bank Syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia dan murni syariah adalah Bank Muamalat
Indonesia. Hubungan hukum antara bank dan nasabah merupakan bagian dari kegiatan
muamalah. Di dalam Hukum Islam muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan (hukum)
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan
sosial.Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam,
yaitu bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan
Hadits. Makna bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam adalah bank
yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang
menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tatacara bermuamalat dijauhi praktik-
praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan
investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

Bank yang tata cara operasinya mengacu kepada Al Qur’an dan Hadits adalah bank yang
tata cara beroperasinya itu mengikuti perintah dan larangan yang tercantum dalam Al Qur’an
dan Hadits. Sesuai dengan perintah dan larangan itu maka yang dijauhi adalah praktik-praktik
usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada
sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh beliau Di dalam mengoperasionalkan bank syariah agar
tidak menyimpang dari tuntunan syariah maka pada setiap bank syariah hanya diangkat
manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam, selain itu
dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut
syariahnya.

Dasar hukum yang utama dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Al Qur’an dan Hadis.
Berikut ini akan dinukilkan beberapa ayat-ayat dalam Al Qur’an, antara lain :
a. Al-Baqarah: 275, yang artinya: ”orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.

b. Al-Imran: 130, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.

c. An-Nisa’: 29, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil. Selain beberapa ayat Qur’an di atas berdasarkan
hukum positif, landasan dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, di dalamnya antara lain mengatur ketentuan
tentang proses pendirian Bank Umum Tanpa Bunga. Berdasarkan Pasal 28 dan 29 Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, mengatur tentang beberapa kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh bank syariah. Peraturan lainnya yang khusus mengatur tentang akad dalam
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana
serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Peraturan lain yang memberikan dasar bagi
beroperasionalnya Perbankan Syariah adalah Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di
dalam undang-undang tentang peradilan agama terdapat pengertian ekonomi syariah dan
adanya kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

C.Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional


Secara pelayanan, bank konvensional dan syariah sesungguhnya memiliki kesamaan
transaksi. Oleh karena itu, Presiden Jokowi juga berpesan supaya BSI dapat bersifat universal
dan inklusif yang artinya siapapun dapat bertransaksi di dalamnya, bukan hanya umat muslim
saja.Meski begitu tetap ada beberapa perbedaan mendasar yang menjadi pertimbangan
masyarakat untuk memilih antara bank konvensional ataupun syariah.

1.Sistem Keuntungan

Pada bank konvensional, prosentase bunga didasarkan pada besarnya simpanan atau pinjaman
yang dimiliki nasabah.

Sedangkan bank syariah tidak mengenal istilah bunga melainkan prinsip untung rugi yang
besarannya tetap, tidak dipengaruhi inflasi melainkan keuntungan proyek. Jika tidak ada
keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama.

2.Pola Hubungan

Bank konvensional akan menempatkan dirinya sebagai debitur kapada nasabah yang
bertindak sebagai kreditur.

Sedang bank syariah mengenal 4 pola yakni kemitraan, penjual-pembeli, sewa menyewa serta
debitur kreditur dalam artian pemegang ekuitas.

3.Orientasi

Bank konvensional tidak berorientasi pada ajaran agama manapun karena berfokus pada
keuntungan duniawi.

Sedangkan bank syariah berorientasi pada sistem ekonomi islam yang berpedoman pada
keuntungan dunia yaitu profit dan keuntungan akhirat atau falah

4.Pengawas

Bank Syariah berjalan dibawah dewan pengawas khusus yakni Dewan Pengawas Syariah
(DPS) sedangkan selama ini bank konvensional tidak memiliki dewan pengawas khusus.
Perbedaan bank syariah dan bank konvensional tersebut baiknya diketahui agar dapat
dijadikan pertimbangan dalam memilih sarana keuangan yang sesuai dengan prinsip Anda.

D.MENGENAL JENIS JENIS SYARIAH

Pada prinsip berdasarkan prinsip kerja bank syariah terdiri dari 3 jenis, yaitu Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

•Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan lalu
lintas pembayaran.

•Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk giro, sehingga tidak dapat menerbitkan cek dan
bilyet giro.

•Unit Usaha Syariah (UU), adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dan unit kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.

Hingga kini terdapat 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.

E. TUGAS DAN WEWENANG ANTARA BANK INDONESIA DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN
TERHADAP SEKTOR PERBANKAN (BAGIAN 2 DARI 2 TULISAN)

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

Sebagai upaya reformasi sektor keuangan, pada akhir tahun 2011 Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk mendirikan lembaga pengawasan di bidang keuangan
yaitu Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Kemudian, pada tanggal 22 November
2011 disahkanlah Undang-undang No. 21 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat
UU-OJK). OJK mulai beroperasi pada tanggal 31 Desember 2012 dengan mengambil alih
sebagian tugas, fungsi dan wewenang pengawasan yang ada pada Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPEPAM) dan Bank Indonesia (BI) (Lihat Pasal 55 tentang Ketentuan Peralihan UU-
OJK).

Perlu disampaikan bahwa keberadaan OJK bukanlah tanpa alasan dan landasan yuridis
yang tergesa-gesa. Tetapi hal ini didasarkan pada amanat Pasal 34 UU No 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU-BI). Pasal tersebut menyebutkan bahwa:
tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen paling lambat 31 Desember 2002. Namun, dalam perjalanannya pembahasan OJK
tidak mudah, sehingga isi Pasal 34 UU-BI harus direvisi beberapa kali menjadi Undang-undang
No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Yang mana disebutkan dalam revisi undang-undang itu bahwa bahwa pembentukan
OJK dilakukan paling lambat 31 Desember 2010.

Sama halnya dengan Bank Indonesia, OJK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen di mana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari intervensi
manapun, kecuali untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang. (lihat: Pasal 2
(2) UU-OJK). Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, dengan
diberlakukannya UU-OJK, sebagian kewenangan BI beralih ke OJK. Kewenangan OJK yang
dimaksud itu, dinyatakan secara eksplisit pada Pasal 7 s.d 9 UU-OJK. Adapun lingkup
pengaturan dan pengawasan yang dialihkan kepada OJK meliputi: kelembagaan bank terkait
dengan perizinan, kegiatan usaha bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan
bank (lihat: Pasal 69 UU-OJK).

Selanjutnya, jika penjelasan Pasal 7 UU-OJK dicermati secara seksama, maka terlihat jelas
perbedaan mendasar dalam pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimiliki oleh BI dan
OJK. Adapun rumusan lengkap penjelasan pasal 7 UU-OJK adalah:

“Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaai, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan


pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang
menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan
microprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini,
merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan
microprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral
suasion) kepada Perbankan.”

Berdasarkan penjelasan pasal di atas, maka secara normatif terlihat jelas batasan
kewenangan antara BI dan OJK dalam mengawasi perbankan. Bank Indonesia berwenang
mengatur dan mengawasi perbankan dari sisi macroprudential, yakni terfokus secara
komprehensif pada sistem perbankan yang digunakan. Hal ini digunakan BI untuk diperlukan
untuk mengambil kebijakan moneter. Sedangkan OJK peran pengawasannya berada pada sisi
microprudential, yaitu terfokus pada pengawasan langsung kepada bank-bank secara individual
dan menghindari masalah individual lembaga perbankan dalam rangka melindungi kepentingan
deposan.

Meski penjelasan Pasal 7 UU-OJK telah secara tegas mengatur kewenangan BI dan OJK.
Namun, batasan wewenang macroprudential BI dan microprudential OJK dirasa belum begitu
jelas, sehingga potensi terjadinya tumpang-tindih (overlapping) dan tarik menarik kewenangan
antara keduanya sangat tinggi. Menurut informasi yang diperoleh penulis, saat ini salah satu
upaya yang dilakukan oleh kedua lembaga dalam menentukkan kewenangan masing-masing di
bidang perbankan hanya bersandar pada interpretasi pribadi terhadap undang-undang yang
ada. Oleh sebab itu, tarik menarik kewenangan antara kedua lembaga kadang kala terjadi. Hal
ini tertentu berimplikasi negatif terhadap kinerja dan perkembangan perbankan ke depannya.
Oleh karena itu, kedua lembaga ini perlu bersenergi satu sama lainnya ketika membuat suatu
kebijakan pengaturan dan pengawasan perbankan.OJK dan BI harus terkordinasi dengan baik,
khususnya dalam membuat kebijakan terkait sektor perbankan. Pasal 39 UU-OJK jelas
menyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam membuat peraturan
pengawasan perbankan di bidang: (a) kewajiban pemenuhan modal minimum bank; (b) sistem
informasi perbankan yang terpadu; (c) kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan
dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; (d) produk perbankan, transaksi
derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; (e) penentuan institusi bank yang masuk kategori
systemically important bank; dan (f) data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang
kerahasian informasi. Seharusnya, dengan berlandaskan undang-undang, masing-masing
lembaga mampu menyesuaikan kapasitas masing-masing keuangan, sehingga ada kepastian
hukum bagi para pelaku usaha di bidang perbankan pada khususnya.

Penutup

Daftar pustaka

https://www.cermati.com/artikel/bank-syariah-vs-bank-konvensional-inilah-4-perbedaannya-
yang-paling-mendasar

https://www.aturduit.com/articles/perbandingan-bank-syariah-dan-bank-konvensional/

https://www.maxmanroe.com/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html

Anda mungkin juga menyukai