Anda di halaman 1dari 116

ANALISIS LATAR DALAM NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG

KARYA MOCHTAR LUBIS SERTA IMPLIKASINYA


TERHADAP PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI
SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh
Hardiyani Windari
1111013000084

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015
LEMBAR PENGESAIIAN SKRIPSI

ANALI$S LATAR DALAM NOVEL IALAN TAK AT}A AJWG


KARYA MOCHTAR, LTJBIS SERTA IMPLIKA,ST}IYA
TERIIADAP PEMBEI,AJARAN APRESIASI SASTRA DI
SEKOLAII MENENGAE ATAS (SMA)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tmbiyah dan Keguruan
untuk lvIerlen&hi Persyaratan Memperoleh Gelar Ssrlarn Peadidika$ (S,Pd.)

Oleh
Hardivani Wi*dari
I\rIM. 1111013000084

Mengetahui,
Dosen Pemlfmhing

A
/l
/ ,.4
/'l\
/ [c,
Ahmrd Bahtier. M.Eum.
IIIIP. r97501182m9n tD02

JURUS$I PENDIDIKAI\I BAIIASA DAI\I SASTRA INDOFTESIA


FAKULTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIT IIIDAYATI]LL"A,II

JAKARTA

2015
LE',MBAR PENGESAHA}I
Skripsi beq'udul 66Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di
SMA", disusun oleh Hardiyani Windari, Nomor Induk Mahasiswa:
1111013000084, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada
tanggal 12 Oktober 2075, di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis
berhak memperoleh gelar Sarjana S-1 (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.

Jakarta, l2 Oktober 2015

Panitia Ujian Munaqosah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan

Makyun Subuki. M.Hum.


NIP. 19800305 200901 I 015 l%-" rflnout
'. t. "'.....'..

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dona Aii Karunia Putra. M.A.


NIP. 19840409 20110l 1 015 l\:v^i 0,,#'
Penguji I
Novi Diah Haryanti. M.Hum. e*l qol(
NIP. 19841t26 20t503 2 007 lto

Penguji II
Rosida Erowati, M.Hum.
NIP. 19771030 200801 2 009
23/,o us

Mengetahui:
KEiIENTERTAN AGAITiA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA
FORM (FR)
Tgl.Terbit : 1Maret2010
FITK No. Revisi: : 01
Jt. lr. H. Jtflda tlo S5 eiilnd 15412 ln&nega Hal 1t1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tan gan di bawah ini,


Nama Hardiyani Windari
Tempat/Tgl.Lahir Tangerang/O4 September I 993

NIM I l l r013000084

Jurusan / Prodi Pendidikan Bahasa dan Sasta Indonesia

Judul Skripsi Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Apresiasi Sasta di SekolahMenengah Atas (SMA)

Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakart4 15 September 2015

NIM. r1r1013000084
ABSTRAK

Hardiyani Windari. NIM: 1111013000084. “Analisis Latar dalam Novel Jalan


Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis Serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar yang tergambar


dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dengan melakukan
analisis objektif dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan
pendekatan kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis
novel Jalan Tak Ada Ujung adalah pendekatan objektif dengan tinjauan sosiologi
sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar bukan saja mengenai tempat,
waktu dan keadaan sosial di dalam novel. Tetapi latar juga berkaitan dengan
karakter tokoh di dalam cerita, latar berkaitan dengan waktu peristiwa dan dalan
novel Jalan Tak Ada Ujung memiliki latar sosial tentang keadaan ekonomi dan
juga kondisi politik. Ditinjau dengan sosiologi sastra terdapat relevansi dengan
peristiwa di luar karya sastra yang merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi
pada masa novel Jalan Tak Ada Ujung dibuat. Melalui penelitian ini peserta didik
akan mengetahui bahwa dalam memahami sebuah novel, latar dapat menciptakan
setiap kemunculan peristiwa yang terdapat pada cerita dalam novel. Penelitian
tentang analisis latar dapat diimplikasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra di
Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai upaya memberikan pengetahuan lebih
mendalam terhadap latar dalam materi analisis unsur intrinsik.

Kata Kunci: Latar, Novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis.

i
ABSTRACT

Hardiyani Windari. NIM: 1111013000084. "Analysis of the setting in the Novel


the road with no end by Mochtar Lubis as well as implications for Literary
appreciation of Learning in Senior High School". The Department of Language
and Indonesian Literature Education, Faculty of Tarbiya and Teacher Sciences.
State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Mentor: Ahmad
Bahtiar, M. Hum.

This study aims to describe the setting reflected in the novel A Road with
No End novel by Mochtar Lubis did an analysis of the objective and the
implications for learning literature in school. The methods used in this research is
descriptive, qualitative approach. While the approach used in the analysis of the
novel A Road with No End is an objective approach with literaty sociology study.
Based on the results of the research that has been done, it was found that the
setting is not just about place, time and social circumstances in the novel. But
also with regard to the character of the character in the story, the setting related to
time and events in the novel A Road with No End of social setting about economy
and also political conditions. Reviewed by sociology of literature there is
relevance to the events outside of literary works that are a reflection of events
taking place during the novel A Road with No End is created. Through these
studies the learners will know in understanding a novel, the setting can create
each occurrence of the events in the story in the novel. Research about analysis
setting can be implied in a literary appreciation of learning in Senior High School
in an effort to give more in-depth knowledge against the setting of the intrinsic
elements of the analysis in the material.

Keywords: Setting, Novel of A Road with No End, Mochtar Lubis

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur ke hadirat Ilahi Robbi Yang


Maha Kuasa akan segala sesuatu, pencipta segala yang dikehendaki-Nya dan
pemberi rahmat serta karunia, sehingga proses penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa Allah Swt. limpahkan kepada
Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Ide penulisan skripsi ini berawal dari mata kuliah “sejarah sastra” saat
membahas tentang novel Jalan Tak Ada Ujung yang digunakan penulis sebagai
tugas akhir semester, dari situlah penulis berusaha mendalami kembali dengan
menganalisis novel tersebut. Akhirnya dalam pencarian, penulis menemukan
bahasan tentang latar yang terdapat dalam novel. Proses penyusunan skripsi ini
menggunakan beberapa kajian. Kajian-kajian tersebut digunakan sebagai alat
untuk menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung dengan asumsi bahwa adanya
keterkaitan latar dengan unsur intrinsik lainnya dalam novel dan karya sastra tidak
lepas dari konteks sosialnya. Skripsi berjudul “Analisis Latar dalam Novel Jalan
Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas” ini merupakan tugas akhir yang
harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis tidak dapat terlepas dari bantuan,
bimbingan dan dukungan pribadi-pribadi yang senantiasa mendampingi dan
membimbing dalam proses penyelesaian skripsi sebagai tugas akhir menempuh
Strata satu.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iii
2. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ahmad Bahtiar, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan
bimbingan dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
4. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan
senang hati membagi ilmu dan memberikan arahan kepada penulis selama
penyusunan skripsi.
5. Bapak Harno dan Ibu Sri Winda, orangtuaku tercinta, yang selalu menguatkan
hati dan pikiran ketika lemah dan lelah, yang tak hentinya memberikan kasih
sayang, perhatian, pengertian, motivasi, semangat, serta doa untuk setiap
langkah penulis dalam menuntut ilmu dan menyelesaikan skripsi. Terimakasih
yang tak terhingga untuk mereka.
6. Dhandi Laksono, Haris Tri Suseto dan Bayu Adji Ramadhan, adik-adikku
tersayang terima kasih atas waktu canda dan tawa ketika rasa penat
menghampiri.
7. Said Kurniawan, S.Kom., yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa
dan juga meluangkan waktunya untuk membantu penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
8. Risma Nurpadilah dan Aprilia Dwi Permatasari, sahabat yang selalu
meluangkan waktu, teman berbagi keluh kesah terima kasih atas saran,
dukungan dan doa kalian.
9. Sahabat-sahabat tercinta dan seperjuangan Widiyowati Tria Rani Astuti, Rifqi
Faizah, Amanah Ari Rachmanita, Aminah Ratna Ningsih, Silviani Marlinda
dan Hadiyati Wulan Dani yang telah meluangkan waktu untuk saling
mendoakan dan saling membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Teman-teman mahasiswa Jurusan PBSI, khususnya kelas C angkatan 2011
atas segala pengalaman, dukungan dan doa.

iv
Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses
penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga
Allah membalas kebaikan yang telah diberikan serta senantiasa memberikan
kemudahan bagi kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca, serta dapat memberikan sumbangsih bagi
khazanah ilmu pengetahuan.

Jakarta, 04 September 2015

Penulis

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING


LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT.. ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.. .................................................................................. iii
DAFTAR ISI.. ................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR... ................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identitas Masalah…. ................................................................ 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 6
D. Perumusan Masalah ................................................................. 6
E. Tujuan Penulisan ...................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
G. Metode Penelitian..................................................................... 8
1. Sumber Data/Objek Penelitian. .......................................... 9
2. Teknik Pengumpulan Data. ................................................ 9
3. Teknik Analisis Data. ......................................................... 9

BAB II KAJIAN TEORI


A. Novel ........................................................................................ 11
1. Pengertian Novel ............................................................... 11
2. Jenis-jenis Novel. ............................................................... 12
3. Unsur-unsur Intrinsik Novel… .......................................... 16
4. Unsur Ekstrinsik Novel. ..................................................... 24
5. Sosiologi Sastra. ................................................................. 25
B. Penelitian Relevan .................................................................... 27

vi
BAB III BIOGRAFI PENGARANG

A. Biografi Pengarang................................................................... 30
B. Penghargaan ............................................................................. 31
C. Pemikiran Mochtar Lubis......................................................... 32
D. Pembicaraan Beberapa Karya Mochtar Lubis.......................... 35

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung. .................................... 38


B. Analisis Objektif Novel Jalan Tak Ada Ujung. ...................... 40
1. Tema.. ................................................................................ 40
2. Alur.................................................................................... 41
3. Tokoh dan Penokohan ....................................................... 48
4. Latar .................................................................................. 57
5. Sudut Pandang ................................................................... 71
6. Gaya Bahasa. ..................................................................... 72
7. Amanat. ............................................................................. 73
C. Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung ................. 74
1. Hubungan dengan Tema.................................................... 74
2. Hubungan Penokohan ....................................................... 75
3. Hubungan Waktu Peristiwa............................................... 79
4. Hubungan dengan Kondisi Sosial Ekonomi...................... 81
5. Hubungan dengan Sosial Politik ....................................... 83
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra
di Sekolah ............................................................................... 85

BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 89
B. Saran ......................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91


LAMPIRAN

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Alur Novel Avontur


Gambar 2 Alur Novel Psikologis
Gambar 3 Alur Novel Detektif
Gambar 4 Alur Novel Sosial dan Novel Politik
Gambar 5 Alur Novel Kolektif

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 Surat Pernyataan Uji Referensi
Lampiran 4 Daftar Uji Referensi
Lampiran 5 Profil Penulis

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan
dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial
yang mempengaruhi pengarang.1Karya sastra merupakan suatu cerminan
atau gambaran keadaan yang terjadi di masyarakat. Seorang pengarang
membuat karya sastra karena ia menangkap keadaan di masyarakat.
Masyarakat dan kehidupannya ini dijadikan suatu sumber data untuk
penulisan karya sastra. Realita yang ada dalam masyarakat diangkat dan
diceritakan dalam sebuah karya sastra.
Proses penciptaan (produksi karya sastra) serta penyebaran dan
penggandaannya sastra melibatkan berbagai macam pihak. Pencipta karya
sastra, yakni pengarang, berdasarkan kreativitas, imajinasi, dan kerjanya
menuliskan atau menciptakan suatu karya. Bagi banyak orang, karya sastra
menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa
yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula
yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk
menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di
sekitarnya. Sastra merupakan media komunikasi, yang melibatkan tiga
komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai
pesan itu sendiri, dan penerima pesan yakni pembaca karya sastra maupun
pembaca yang tersirat dalam teks atau yang dibayangkan oleh
pengarangnya.
Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara
langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud, misalnya
peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan,
bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, terj. Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005) h. 8

1
2

Latar menunjukkan pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu


terjadi, waktu, kapan cerita itu terjadi dan lingkungan sosial-budaya,
keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan peristiwa terjadi.
Sebagaimana dikemukakan di atas, latar terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu
tempat, waktu dan lingkungan sosial-budaya. Latar yang berisi tentang
sejarah Indonesia terdapat dalam kumpulan cerita pendek karya Idrus yang
berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. Dalam kumpulan cerita
pendek tersebut terdapat 2 latar waktu yang berbeda masa, yaitu masa
masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan.
Salah satu novel yang menarik latarnya adalah novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang juga berisi tentang sejarah
Indonesia. Latar atau setting dalam novel tersebut menggambarkan
keadaan sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1946-1947 yang
mencakup latar fisik yaitu latar tempat dan waktu yang berlatarkan
pascakemerdekaan, juga terdapat di dalamnya yaitu latar sosial saat
terjadinya revolusi. Mochtar Lubis menangkap apa yang terjadi pada masa
itu. Ketika itu Indonesia yang sudah merdeka karena kedatangan sekutu
yang membuat Jepang menyerah. Kedatangan sekutu disambut dengan
sikap netral oleh pihak Indonesia, karena diketahui bahwa tugas sekutu
hanyalah untuk membebaskan tawanan perang serta melucuti pasukan
Jepang. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa dalam pasukan sekutu
terdapat serdadu Belanda dan aparat Netherland Indies Civil
Administration (NICA) yang terang-terangan bermaksud menegakkan
kembali pemerintah Hindia Belanda. 2 Kedatangan sekutu yang diikuti
dengan Belanda atau NICA mempengaruhi kondisi sosial budaya,
ekonomi, politik, dan pendidikan di Indonesia. Pasukan Belanda
bersenjata tank, dibantu oleh pasukan udara yang kuat, langsung
menyusup ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam dua minggu,
Belanda berhasil menguasai hampir semua kota besar dan kota-kota
penting di Jawa Barat dan Jawa Timur.3

2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008) h.186
3
George McTurnan Kahin. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, terj. Tim Komunitas Bambu
, (Depok: Komunitas Baru, 2013) h.305
3

Pada karya Mochtar Lubis yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung,
penulis mengkaji analisis latar (setting) dalam novel tersebut dengan
menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Dengan latar (setting) dalam novel
tersebut, Mochtar Lubis ingin menceritakan tentang apa yang terjadi di
Indonesia pada masa setelah proklamasi. Melalui karya sastra yang dibuat
dengan latar cerita tentang pascakemerdekaan bangsa Indonesia akan
memberikan pengetahuan lebih kepada pembaca, tentang fakta yang
disampaikan melalui karya sastra.
Terkait analisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
yang pernah dilakukan sebelumnya, terdapat tesis dan skripsi yang
menjadikan novel JTAU karya Mochtar Lubis sebagai objek penelitian.
Dengan judul “Pandangan Kemanusiaan Mochtar Lubis”, “Tinjauan
Psikologis Tokoh”, dan “Patriotisme dalam Novel JTAU”.4 Terdapat jurnal
yang menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
Jurnal tersebut menganalisa pola struktur cerita dari Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis. Dari sisi struktur ceritanya, plot dari JTAU dan
kesatuan maknanya dihasilkan dengan menghubungkan bagian peristiwa,
orang dan latar belakang secara dekat. Makna kehidupan diinterpretasikan
Guru Isa sebagai ketakutan yang amat sangat dapat mengembangkan
makna lebih lanjut dan selanjutnya menghadirkan makna kehidupan
merusak pikiran.5
Sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata,
maka pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting
yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Pengajaran sastra jika
dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga
memberikan sumbangan terhadap keberhasilan dalam proses belajar dan
mengajar. 6 Hal ini juga berhubungan dengan konsep Horace tentang
dulce dan utile, yakni bahwa sastra itu indah dan bermanfaat. Maka dalam
hal ini, sastra dapat berguna untuk mengajarkan sesuatu, yaitu melalui
pendidikan sastra khususnya di mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah.

4
Tesis, Agus R. Sarjono, “Citra Rumah dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis dan
Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer” Program Studi Ilmu Susastra, Universitas Indonesia,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2002. Selanjutnya mengenai Judul Skripsi lainnya terdapat
dalam BAB II pada penelitian relevan.
5
Charles Butar-butar, Analisis Struktur pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis, Indonesia Scientific Journal Database, 6, 2008, h.338
6
B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h.15
4

Masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan


pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah memilih atau
menentukan bahan pembelajaran yang tepat dalam rangka membantu
siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, bahan pembelajaran
hanya ditulis secara garis besar dalam materi pokok. Dalam kompetensi
tersebut, siswa diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai
dengan kemampuan, kebutuhan dan minatnya. 7 Tugas gurulah untuk
menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan pembelajaran
yang lengkap.
Selama ini guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah Menengah Atas (SMA) cenderung menggunakan teknik atau
metode pembelajaran secara teoretik dan monoton sehingga menimbulkan
kebosanan dan ketidaktertarikan siswa untuk belajar mata pelajaran ini.
Padahal dari pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia ini guru diharapkan
bisa lebih mengeksplorasikan cara pengajarannya untuk lebih
mengenalkan siswa kepada sejarah tentang Indonesia yang di ceritakan
melalui karya sastra. Oleh karena itu, siswa dituntut berpikir kritis dan
menggunakan imajinasinya dalam usaha menganalisis karya sastra dan
mengapresiasi sastra.
Selain hanya teori, siswa juga harus memiliki pengalaman sastra,
misalnya dengan membaca karya sastra atau membuat karya sastra.
Sebagai contoh, untuk memperoleh teori tentang unsur-unsur dalam novel
atau karya sastra lain, seorang guru harus memperkenalkan novel tersebut
dengan cara mengkaji dan mengapresiasinya. Dalam sastra dimanfaatkan
antara realitas sejarah dengan rekaan. Fungsinya adalah mempertegas
kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya dalam rangka membawa
message (pesan) teksnya. 8 Dengan mengajak siswa untuk mengapresiasi
karya sastra dapat juga memberikan pengetahuan baru bahwa peristiwa

7
Depdiknas, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Badan
Standar Nasional Pendidikan, 2006), h. 107.
8
Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h.168
5

yang terjadi dalam kehidupan nyata dapat pula tergambarkan melalui


karya sastra, dalam hal ini adalah novel.
Maka dari penjabaran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul penelitian “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak
Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Tinjauan
sosiologi sastra digunakan untuk mengkaitkan kondisi keadaan di luar
karya sastra dengan apa yang diceritakan dalam novel. Diharapkan dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia dalam materi apresiasi sastra tidak hanya
memberikan pengetahuan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam novel,
melainkan dapat juga mengkaitkan sejarah dengan cerita dalam novel
Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.

B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang tersebut, penelitian ini difokuskan pada
latar yang tergambarkan dalam cerita pada novel Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis yang menggambarkan Indonesia di tahun 1946-1947
atau tepatnya saat Indonesia pascakemerdekaan.
1. Belum adanya analisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis terkait latar fisik maupun latar sosial Indonesia
pascakemerdekaan.
2. Belum adanya analisis karya sastra mengenai perjuangan
pergerakan nasional bangsa Indonesia yang tergambarkan dalam
latar (setting) yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis.
3. Kurangnya metode yang dilakukan guru dalam materi
pembelajaran apresiasi sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Atas (SMA).
4. Kurangnya bahan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di
Sekolah Menengah Atas (SMA).
6

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah,
pembatasan masalah pada penelitian ini adalah, penulis mengkaji dan
memaparkan “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra
di SMA”

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan
masalah seperti telah diuraikan di atas maka diperlukan suatu perumusan
masalah dalam penelitian ini, adapun perumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana latar yang tergambarkan dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung karya Mochtar Lubis?
2. Bagaimana implikasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis terhadap pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan latar yang tergambarkan dalam novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
2. Mendeskripsikan implikasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis terhadap pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan pengetahuan dalam mengkaji salah satu unsur
pembangun cerita novel yakni latar yang terdapat dalam novel
Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
7

b. Memberikan pengetahuan tentang keadaan sosial dan politik zaman


pascakemerdekaan.
c. Memberikan pengetahuan mengenai hasil kajian tentang latar
dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di
Sekolah Menengah Atas (SMA).

2. Manfaat Praktis
a. Siswa SMA, dengan adanya pembelajaran karya sastra diharapkan
meningkatkan kemampuan siswa untuk menganalisis sebuah karya
sastra yang berhubungan dengan keadaan sosial di luar karya sastra
tersebut.
b. Diharapkan penelitian ini juga berguna bagi para peneliti lain yang
ingin melakukan penelitian dengan tema yang sejenis.
c. Dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alternatif bahan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah/madrasah, untuk
meningkatkan kemampuan apresiasi siswa dalam pembelajaran
sastra. Terutama dalam mengapresiasi sebuah karya yang diangkat
berdasarkan sejarah yang terjadi di Indonesia dan dapat menambah
pengetahuan bagi siswa.
d. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang kesusastraan
pascakemerdekaan.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian
kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara,
8

pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Sedangkan deskripsi yaitu berupa


kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.9
Metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur yang menggunakan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati.
Dalam hal ini objek yang diamati adalah novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis dan implikasinya terhadap pembelajaran apresiasi sastra di
SMA.
Metode ini dimaksud untuk memberikan gambaran, analisis dan
penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antar
unsur-unsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan sejarah
Indonesia yang terkandung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk
menggambarkan hal-hal faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga
pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sejarah Indonesia
yang terkandung dalam latar pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah
pendekatan objektif lalu juga ditinjau berdasarkan sosiologi sastra yang
penelitiannya dipusatkan kepada keterkaitan dengan yang terjadi di luar
karya sastra. Lalu jenis penelitian yang akan peneliti pergunakan adalah
penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan
sosiologi sastra dengan menghubungkan cerita dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung dengan keadaan sosial, yakni pergerakan perjuangan yang
tergambar pada latar cerita dalam novel tersebut dan latar kejadian pada
cerita dalam novel, yaitu pada zaman pascakemerdekaan Indonesia 1946-
1947.

9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009) h.
4&11
9

1. Sumber Data/Objek Penelitian


a. Data Primer
Data penelitian ini bersumber pada novel Jalan Tak Ada
Ujung karya Mochtar Lubis diterbitkan oleh Yayasan Obor
Indonesia dan merupakan cetakan kelima pada 2002.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh
secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar
pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari karya tulis
ilmiah, buku-buku, dan juga artikel dari koran.

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah
untuk mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca teks sastra dalam
hal ini novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis kemudian
menyimak secara seksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan
pencatatan. Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan
dengan kajian latar (setting) dalam novel.

3. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk
menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh
agar data-data tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti,
tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian
itu.
Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan
sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang diteliti
sehingga dapat diperoleh kesimpulannya.
10

Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal


penulisan dimulai mengenai pembahasan secara intrinsik tentang
cerita tersebut untuk melihat secara lebih jelas permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam cerita serta pendukung-
pendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur, latar, tema dan
gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai
unsur intrinsik lebih mendalam tentang latar dari cerita tersebut
dengan keadaan yang relevan berdasarkan latar dalam cerita pada
novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Novel
Dalam pembicaraan karya sastra rekaan atau imajinasi kita dapat
membaginya menjadi tiga bagian, yakni fiksi, puisi, dan drama. Orang
sering menggolongkan hasil-hasil sastra menjadi prosa dan puisi.
Termasuk prosa di dalamnya adalah novel, cerita pendek, dan esai.

1. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula
dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila
dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama,
dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian.1 Novel
merupakan suatu bentuk karya sastra. Novel atau prosa rekaan adalah
kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan
peranan, latar serta tahapan dalam rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi (dan kenyataan) sehingga menjalin suatu
cerita.2 Novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang
tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan,
yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak
kacau atau kusut.3
Pada hakikatnya sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri dan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial
dan fenomena sosial itu bersifat konkret yang terjadi di sekeliling kita
sehari-hari. Karya sastra adalah karya yang dimaksudkan oleh
pengarang sebagai karya sastra, berwujud karya sastra, dan diterima

1
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011) h.167
2
Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008)
h. 125-126
3
Tarigan, op.cit., h,164

11
12

oleh masyarakat sebagai karya sastra.4 Novel tidak melukiskan


kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan
yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri
mengenai kenyataan. Itulah sebabnya mengapa teks novel sangat
cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan.5
Novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat
karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-
desakan emosional atau rasional dalam masyarakat.6 Dengan
melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks sastra
dapat memperlihatkan masalah-masalah yang berlaku umum, atau
suatu aspek umum dari suatu kehidupan manusia umumnya.
Dapat dikatakan bahwa novel adalah salah satu bentuk karya sastra
yang mempunyai unsur-unsur intrinsik untuk membangun ceritanya.
Novel bisa diangkat dari berbagai tema dari realita kehidupan yang
terjadi di masyarakat. Bahasa yang digunakan juga bahasa sehari-hari
dengan penggarapan unsur-unsur intrinsik yang lengkap.

2. Jenis-jenis Novel
Menurut Mochtar Lubis, novel itu ada bermacam-macam, antara
lain:7
a. Novel Avontur
Dalam KBBI, avontur berarti petualangan. Novel avontur
adalah novel yang menjelaskan cerita dengan memusatkan pada
seorang lakon atau pemeran utama. Pengalaman pemeran utama
dinilai dari awal hingga akhir.
A B C---------------------------- Z
* * * * * *
Gambar 1. Alur novel avontur

4
Wahyudi Siswanto. op.cit., h. 92.
5
Jan Van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia,
1996) h.23
6
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010) h.47
7
Tarigan, op.cit., h.165-169
13

Gambar di atas adalah gambar bentuk novel avontur, yang


dipusatkan pada seorang lakon atau hero utama. Pengalaman lakon
mulai pada titik A, dan melalui pengalam-pengalaman yang lain
(titik-titik B,C,D, dan seterusnya) hingga ke titik Z, yang
merupakan akhir cerita. Titik itu biasanya pada novel avontur
adalah heroine atau lakon wanita. Sering titik-titik B, C, D, dan
seterusnya itu merupakan rintangan-rintangan bagi lakon untuk
mencapai tujuan, yaitu Z. Novel Maryam karya Okky Madasari
termasuk dalam novel avontur.

b. Novel Psikologis
Novel psikologis berisi cerita mengutamakan pemeriksaan
seluruhnya dari pikiran-pikiran para pelakunya.
A B C D E
* * * * *
Gambar 2. Alur novel psikologis
Gambar di atas menunjukkan bentuk novel psikologis.
Perhatian tidak ditujukan pada avontur yang berturut-turut terjadi
(baik avontur lahir maupun rohani), tetapi lebih diutamakan
pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku,
yang dalam gambar ditunjukkan oleh A, B, C, D, E, dan
seterusnya. Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
termasuk dalam novel psikologis.

c. Novel Detektif
Dalam novel ini, mengungkapkan bagian-bagian cerita untuk
membongkar rahasia kejahatan dan bukti-bukti yang dijadikan
jalan untuk mencapai penyelesaian cerita. Dalam cerita
mengutamakan pelacakan (clue) atau tanda bukti.
14

Gambar 3. Alur novel detektif

Bentuk novel seperti gambar di atas biasa terdapat dalam cerita


detektif. Setiap anak panah merupakan sebuah clue atau tanda
bukti, baik dalam rupa seorang pelaku maupun tanda-tanda lain,
dan setiap anak panah ini (kecuali yang sengaja dipergunakan
untuk meragukan pikiran para pembaca), menunjukkan jalan
mencapai penyelesaian cerita. Contoh novel detektif yang terkenal
adalah karya-karya dari Agatha Chistie.

d. Novel Sosial dan Novel Politik


Novel sosial dan novel politik memiliki kesamaan, baik pelaku
pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelasnya atau
golongannya. Dengan adanya kepentingan di antara masing-
masing golongan yang pada suatu waktu akan bentrok,
pemogokan, keributan, dan revolusi.
Dalam novel ini persoalan ditinjau bukan dari sudut persoalan
orang-orang sebagai individu, tetapi persoalan ditinjau melengkapi
persoalan golongan-golongan masyarakat. Reaksi setiap golongan
terhadap masalah-masalah yang timbul, dan pelaku hanya
digunakan sebagai pendukung jalan cerita saja.
A
B
Gambar 4. Alur novel sosial dan novel politik
Gambar di atas adalah gambar bentuk novel sosial. Kedua
garis A dan B merupakan tenaga atau kepentingan masing-masing
golongan yang pada suatu waktu akan bentrok, berbenturan,
15

keributan, revolusi dan sebagainya. Novel Pulang karya Laila S.


Chudori termasuk dalam novel sosial dan novel politik.

e. Novel Kolektif
Novel kolektif merupakan bentuk novel yang paling sukar dan
banyak seluk-beluknya.

……………………………………………………..

……………………………………………………..

……………………………………………………..

Gambar 5. Alur novel kolektif

Dalam novel kolektif, individu sebagai pelaku tidak


dipentingkan. Novel kolektif tidak terutama membawa “cerita”,
tetapi lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu
totalitas suatu keseluruhan. Novel seperti ini mencampuradukkan
pandangan antropologis dan sosiologis dengan cara mengarang
novel atau roman. Contohnya adalah novel Sang Pencerah karya
Akmal Nasery Basral.

3. Unsur-Unsur Intrinsik Novel

Novel yang utuh terdiri dari berbagai unsur pembentuknya.


Secara garis besar berbagai macam unsur tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering disebut para kritikus
dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra
pada umumnya.
Unsur instrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra
yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri.
16

Melalui unsur instrinsik dapat ditemukan informasi-informasi yang


membangun karya sastra tersebut.

a. Tokoh, Watak, dan Penokohan


Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam
cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita.
Sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah
laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan.8
Watak atau karakter menurut Stanton, dibagi menjadi dua
konteks. Konteks pertama, karakter merujuk kepada individu-
individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter
merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.9

b. Tema
Brooks dalam Tarigan mengatakan bahwa tema adalah
pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau
membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.10
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema
berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan
karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan
hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan
pengarangnya.11 Tema merupakan gagasan pokok yang ingin
disampaikan pengarang dalam karya sastranya. Tema biasanya

8
Siswanto, Op. Cit. h. 142
9
Robert Stanton, Teori Fiksi, terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007) h.33
10
Tarigan, op. cit., h.125
11
Siswanto, op. cit., h. 161
17

selalu berkaitan dengan pengalaman kehidupan sosial, cinta,


ideologi, religious dan sebagainya. Dengan demikian, tema adalah
bagian dari suatu cerita yang menggambarkan kondisi emosi dan
kejiwaan pengarang yang membentuk dasar gagasan utama sebuah
cerita.
c. Alur
Alur atau Plot merupakan rangkaian peristiwa dalam suatu
cerita rekaan. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan
seksama membentuk alur yang menggerakan jalannya cerita
melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Plot atau alur
memiliki beberapa tahapan yaitu tahap pengenalan, tahap
pemunculan konflik, klimaks, peleraian dan tahap penyelesaian.12
1) Tahap Pengenalan
Tahap pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
yang memperkenalkan tokoh atau latar cerita. Ciri yang
dikenalkan dari tokoh ini, misalnya nama, asal, fisik, dan
sifatnya.
2) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap konflik adalah tikaian, ketegangan, pertentangan
antara dua kepentingan di dalam cerita rekaan. Pertentangan ini
dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara
tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan
alam, serta antara tokoh dan Tuhan.
3) Tahap Komplikasi
Bagian tengah alur atau cerita rekaan atau drama yang
mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini konflik yang terjadi
semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai
kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.

12
Ibid, h.159
18

4) Tahap Klimaks
Bagian alur cerita yang melukiskan puncak ketegangan,
terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca.
5) Tahap Peleraian
Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan ke arah penyelesaian.
6) Tahap Penyelesaian
Tahap akhir suatu cerita rekaan. Dalam tahap ini semua
masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan.

d. Latar atau Setting


Latar yang dimaksud dalam karya sastra naratif adalah
tempat dan suasana lingkungan yang mewarnai peristiwa. Ke
dalamnya mencakup lokasi peristiwa dan sosial budaya
setempat. Perlu diperhatikan adalah hubungan latar dengan
peran tokoh.13 Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam
cerita rekaan. Dalam cerita rekaan, mungkin saja yang
menonjol hanya latar waktu dan latar tempat. Pengambaran
latar ini ada yang secara terperinci atau ada pula yang tidak.
Hal itu semua, dilihat dari bagaimana sastrawan menciptakan
karya fiksinya.
Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-
kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu
maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan
waktu imajiner ataupun faktual. Hal yang paling menentukan
bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah
bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di
mana mereka melakoni perannya.14

13
Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h.62
14
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010) h.74
19

1) Hakikat Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.15 Latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dapat
merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi
latar yang diceritakan.

2) Penekanan Unsur Latar


Penekanan latar dapat mencakup ketiga unsur sekaligus atau
hanya satu-dua unsur saja. Unsur latar yang ditekankan akan
berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur
dan tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam
sebuah novel, ia akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan
geografis setempat yang mencirikannya, yang disebut sebagai
Landmark, yang berbeda dengan tempat-tempat yang lain.16
Penekanan peranan waktu juga banyak ditemui dalam
berbagai karya fiksi di Indonesia. Elemen waktu biasanya
dikaitkan dengan peristiwa faktual, peristiwa sejarah, yang
dapat mempengaruhi pengembangan plot dan penokohan.
Peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang diangkat ke dalam
cerita fiksi memberikan landasan waktu secara konkret.17 Plot
dan tokoh cerita tinggal menyesuaikannya dan kadang-kadang
seolah-olah membuat tokoh menjadi tidak berdaya
menghadapinya sebab hal itu memang di luar jangkauan
pemikirannya.
15
Burhan Nurgiantoro. op. cit., h. 302
16
Ibid, h.310
17
Ibid, h.311
20

3) Latar dan Unsur Fiksi yang Lain


Sastra merupakan produk budaya yang menggambarkan
aktivitas sosial masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokohnya
dalam suatu Setting dan waktu tertentu.18
Latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat
dan bersifat timbal balik. Bahkan, barangkali tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa karakter seseorang akan dibentuk oleh
keadaan latarnya. Dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dan
tingkah laku tertentu yang ditunjukkan oleh seorang tokoh
mencerminkan dari mana dia berasal. Tokoh akan
mencerminkan latar.19 Penokohan dan pengaluran memang
tidak hanya ditentukan oleh latar, namun setidaknya peranan
latar harus diperhitungkan.
Latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, akan
berpengaruh terhadap cerita dan pemlotan, khususnya waktu
yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan. Peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah novel, jika ada hubungan
dengan peristiwa sejarah, harus tidak bertentangan dengan
kenyataan sejarah itu. Hal ini penting sebab pembaca akan
menjadi sangat kritis terhadap masalah yang demikian.20

4) Unsur Latar
Latar memiliki tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan
sosial yang masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda, namun ketiganya saling berkaitan dan saling
mempengaruhi. Ketiga unsur pokok tersebut sebagai berikut:21

18
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012) h. 3
19
Nurgiantoro. op.cit., h.313
20
Ibid, h.315
21
Ibid, h.227-237
21

a) Latar Fisik
Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik yaitu
bangunan, daerah, dan sebagiannya. Latar fisik dibagi
menjadi dua bagian yaitu latar tempat dan latar waktu.
Karena latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi
tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya,
disebut sebagai latar fisik. Keadaan yang agak berbeda
adalah latar yang dihubungkan dengan waktu. Latar waktu
jelas tidak dapat dilihat, namun bekas kehadirannya dapat
dilihat pada tempat-tempat tertentu berdasarkan waktu
kesejarahannya.22
(1) Latar tempat. Dalam sebuah novel, latar menyarankan
kepada lokasi terjadinya peristiwa. Tempat yang
dipergunakan biasanya menggunakan nama-nama
tertentu, inisial tertentu, juga mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas.
(2) Latar waktu. Berhubungan dengan “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Masalah “kapan”
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
berkaitan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dapat
bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada waktu
penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di lain pihak
menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi
dan dikisahkan dalam cerita.
b) Latar sosial. Unsur ini menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
di suatu tempat, berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, serta keadaan sosial lainnya seperti status sosial
tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau
atas.
22
Ibid, h.304
22

e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh,
peristiwa, tempat, waktu dan gayanya sendiri.23
Sudut pandang memiliki tipe tersendiri sesuai dengan
tujuannya, tipe-tipe sudut pandang tersebut, yaitu:24
1) Orang Pertama-utama, yaitu sang karakter utama bercerita
dengan kata-katanya sendiri.
2) Orang Pertama-sampingan, adalah cerita dituturkan oleh
satu karakter bukan utama (sampingan)
3) Orang Ketiga-terbatas, yaitu dengan cara pengarang
mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat
dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter
saja.
4) Orang Ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu kepada
setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga
dengan begitu pengarang juga dapat membuat beberapa
karakter, seperti melihat mendengar atau berpikir.

f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah
yang mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh emosi pembaca.25

23
Siswanto, op.cit., h.151
24
Stanton, op.cit., h.53-54
25
Siswanto, op.cit., h.158
23

g. Amanat
Amanat adalah pesan atau nasihat merupakan kesan yang
ditangkap pembaca setelah membacanya.26 Saat
mengungkapkan masalah apa yang terjadi kehidupan dan
kemanusiaan lewat karya prosanya, pengarang berusaha
memahami secara dalam keseluruhan masalah itu secara
internal yang dihubungkannya dengan keberadaan suatu
individu maupun dalam hubungan antara individu dengan
kelompok masyarakatnya.

4. Unsur Ekstrinsik Novel


Unsur berikutnya dalam pembangun sebuah novel adalah unsur
ekstrinsik. Sebagai mana dikatakan Burhan, bahwa unsur ekstrinsik
merupakan sebuah unsur yang berada di luar bagian dari karya sastra
tetapi mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra.27 Seperti
latar belakang atau biografi pengarang dan situasi atau kondisi sosial-
budaya yang mempengaruhi.
Meskipun unsur ekstrinsik berada di luar karya sastra bukan berarti
tidak penting, karena unsur itulah yang sangat berpengaruh terhadap
totalitas cerita yang dihasilkan. Karya sastra memang pada umumnya
lebih peka terhadap persoalan sosial suatu masyarakat pada suatu masa
tertentu, sebab ada keleluasaan untuk menggunakan bahasa dan kata
untuk melukiskan, menguraikan, dan menafsirkan lewat adegan,
situasi, dan tokoh-tokoh yang bermacam ragam watak dan latar
28
belakangnya. Unsur-unsur itu pulalah yang berpengaruh besar
terhadap cerita yang dihasilkan dan dengan adanya unsur ekstrinsik
maka dalam karya tersebut akan dapat terungkap cara pengarang dalam
menangkap situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa novel merupakan cerita rekaan yang
26
Ibid., h.62
27
Nurgiantoro, op.cit., h.23
28
Andre Hardjana, Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1983) h.78
24

menyajikan tentang aspek kehidupan manusia. Novel juga tidak hanya


dikatakan sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk dari segi-
segi kehidupan serta nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan
masyarakat. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal
mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran
realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari unsur ekstrinsik dari
sebuah novel.

5. Sosiologi Sastra
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk
mengkaji novel yang akan diteliti, maka dari itu perlu dijelaskan
mengenai sosiologi sastra.
Terlebih dahulu akan dibahas pengertian dari sosiologi. Secara
etimologi kata sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio/socius
(yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman, masyarakat) dan
logi/logos (bersabda, perkataan, perumpamaan). Jadi, sosiologi
merupakan ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat atau
ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antar manusia dalam
masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris.29
Sedangkan kata sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang
berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi.
Akhiran tra yang berarti latar atau sasaran. Jadi, sastra merupakan
kumpulan atal untuk mengajar, atau dengan kata lain, sastra sebagai
buku petunjuk juga sebagai buku pengajaran yang baik.30
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat
reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin
melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar
penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam
29
Nyoman Khuta Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
cet.II, h.1
30
Ibid.,
25

kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya


sastra baru. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya.31
Terdapat tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra, yaitu
sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca.32
Pertama, sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini
adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang
telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial
karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat.
Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini
berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial
dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan
memaknai hubungan dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya.
Ketiga, sosiologi pembaca; kajian terhadap sosiologi pembaca berarti
mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai
karya sastra.
Sosiologi sastra adalah model penelitian interdisiplin yang
mengaitkan karya sastra dengan masyarakat. Maka, model penelitian
dilakukan dengan tiga macam,33 sebagai berikut:
1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam
karya sastra itu sendiri kemudian menghubungkannya dengan
kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai
unsur ekstrinsik sastra, model hubungan yang terjadi disebut
refleksi.
2) Sama seperti di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan
antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model
hubungan yang bersifat dialektika.

31
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013), h.77
32
Kurniawan, op.cit., h. 11
33
Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h.339-340
26

3) Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh


informasi tertentu. Model analisis yang pada umumnya
menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood dalam buku
Metodologi Penelitian Sastra, terdapat tiga perspektif berkaitan
dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya
sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi
situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang
mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3)
penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah
dan keadaan sosial budaya.34 Ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri-
sendiri dan atau diungkapkan sekaligus dalam suatu penelitian
sosiologi sastra. Hal ini tergantung kemampuan penelitibuntuk
menggunakan salah satu perspektif atau ketiga-tiganya sekaligus.

B. Penelitian Relevan
Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung pernah dilakukan
oleh mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsinya
“Pandangan Kemanusiaan Mochtar Lubis dalam Novel Jalan Tak Ada
Ujung: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra” oleh Raden Rosa Dewi
mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma tahun 2007. Hasil dari penelitiannya adalah sebagai
berikut: (1) struktur tekstual (alur). Berdasarkan struktur lahir novel Jalan
Tak Ada Ujung memiliki 35 sekuen dan alur yang digunakan adalah maju.
(2) pandangan kemanusiaan Mochtar Lubis dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung, meliputi nilai kemanusiaan utama dan nilai kemanusiaan
pendukung. Nilai kemanusiaan utama yaitu nilai keberanian, yang meliputi
(a) nilai kemanusiaan Guru Isa menghadapi perjuangan, (b) nilai
keberanian Guru Isa menghadapi krisis ekonomi, (c) nilai keberanian Guru
Isa menghadapi impotensinya, dan (d) nilai keberanian Guru Isa
menghadapi perselingkuhan.

34
Endraswara, op.cit., h.79
27

Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung juga pernah diteliti
oleh mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal dengan judul skripsinya
adalah “Tinjauan Psikologis Tokoh Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra Di SMA”
yang ditulis Aditya Candra Jun Soekarno mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma tahun 2014. Kajian psikologi yang
menonjol dalam novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis adalah
aspek psikologi kepribadian tokoh dengan jumlah kutipan tujuh belas
kutipan, aspek psikologi tingkah laku tokoh dengan jumlah tiga kutipan,
dan aspek psikologi sifat tokoh dengan jumlah dua puluh kutipan.
Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung juga pernah diteliti
oleh mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dengan judul skripsinya
adalah “Patriotisme dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar
Lubis” yang ditulis Asni Alimun mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas
Negeri Gorontalo tahun 2014. Hasil dari penelitiannya adalah tokoh Hazil
dan Rachmat yang berani melemparkan bom pada para tentara Belanda,
dan Tuan Hamidy sebagai juragan beras yang menyumbangkan truknya
untuk kepentingan kemerdekaan. Para tokoh menggambarkan memiliki
sikap patriotisme. Sikap patriotisme yaitu rela berkorban, menempatkan
persatuan dan kesatuan, berjiwa pembaharu dan tidak kenal menyerah.
Penelitian lain terkait novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis juga pernah dilakukan pada Tesis yang ditulis oleh Agus R. Sarjono
berjudul “Citra rumah dalam novel 'Jalan tak ada ujung' Mochtar Lubis
dan 'Keluarga Gerilya' Pramoedya Ananta Toer” Universitas Indonesia,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, tahun 2002. Hasil penelitiannya yaitu,
Rumah dalam KG bukan rumah yang baik. Buruknya rumah KG
disebabkan oleh perilaku dan sosok kaum tua keluarga Gerilya, yakni
kopral Paidjan (sang ayah) dan Amilah (Sang Ibu). Meskipun demikian,
peluang untuk menjadikan rumah keluarga gerilya sebagai rumah yang
baik dan membuat krasan masih terbuka di tangan kaum muda. Namun,
revolusi kemerdekaan membuat semua kaum muda keluarga gerilya
memilih untuk merelakan hancurnya rumah mereka demi rumah yang
lebih besar dan lebih mulia yakni nasion. Hal yang berbeda terjadi pada
JTU. Pada dasarnya rumah keluarga Guru Isa adalah rumah yang baik.
28

Namun revolusi menebarkan ketakutan pada Guru Isa yang menyebabkan


isa mengalami impotensi. Impotensi guru Isa menjadikan rumah mereka
sekedar menjadi rumah tanpa rasa krasan. Situasi ini diperparah oleh
perselingkuhan Fatimah dengan Hazil, sahabat Guru Isa. buruk secara
moral, dan tidak memiliki idealisme, sementara kaum muda digambarkan
sebagai sosok yang penuh idealisme dan cita-cita.
Penelitian tentang latar (setting) pernah dilakukan oleh mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dengan judul skripsinya
adalah “Analisis Latar (setting) dalam novel Larasati Karya Pramoedya
Ananta Toer” yang ditulis Adianto mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Sumatera Barat. Hasil penelitiannya yaitu: (1) latar tempat dalam novel
Larasati karya Pramoedya Ananta Toer bervariasi. Latar tempat yaitu di
daerah Yogyakarta dan Jakarta yaitu di rumah, di kamar, di jalan, di rumah
sakit, di gedung, di pinggir jalan, di rumah orang Arab, dan lain-lain. (2)
latar waktu seperti pada waktu pagi hari, pada waktu sore hari, malam hari
yang menegangkan dan pada tahun-tahun tertentu yang dapat menonjolkan
suasana tertentu dalam novel, (3) Latar sosial yang ditampilkan di dalam
novel Larasati sangat berpengaruh pada kehidupan tokoh dalam novel.
Melihat penelitian sebelumnya terhadap novel Jalan Tak Ada
Ujung, penelitian tentang ”Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada
Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Apresiasi Sastra Indonesia di SMA” Penelitian ini mencari gambaran latar
yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
selain itu mengkaitkan hasil penelitian tersebut dengan pembelajaran
sastra di sekolah. Implikasi tersebut berupa Rencana Pembelajaran Sastra
tentang Materi Intrinsik Novel. Bahan pembelajaran dilakukan melalui
pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG

A. Biografi Pengarang
Mochtar Lubis, pengarang ternama ini dilahirkan pada 7 Maret
1922 di Padang. Setelah tamat HIS Sungai Penuh, Mochtar Lubis sekolah
ekonomi di Kayutanam pimpinan M. Syafei, di Kayutanam diajarkan pula
untuk mengembangkan bakat melukis, mematung, bermusik dan
sebagainya. Sejak zaman Jepang ia telah aktif dalam lapangan penerangan.
Ia turut mendirikan Kantor Berita ‘Antara’, kemudian mendirikan dan
memimpin Harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia
mendirikan majalah sastra Horison bersama kawan-kawannya. Pada waktu
pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir 9
tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966.
Selain sebagai wartawan, ia dikenal sebagai sastrawan. Mochtar
Lubis merupakan pengarang yang karya-karyanya harus dilihat dalam
hubungan dengan Angkatan 45. Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan
dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan novelnya
yang telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952)
yang mendapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional (BMKN), Senja di Jakarta yang mula-mula terbit dalam bahasa
Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa
Melayu pada tahun 1964. Selain itu, romannya yang mendapat sambutan
luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya 1975) telah
mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun
1975. Sedangkan Maut dan Cinta (Pustaka Jaya 1971) mendapat hadiah
Yayasan Jaya Raya.
Kadang-kadang ia pun menulis esai dengan nama samaran Savitri
dan juga menterjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita
dari Negeri Dollar (1950), Kisah-kisah dari Eropa (1952). Pada 1950 ia

29
30

mendapat hadiah atas laporannya tentang Perang Korea dan 1966


mendapat hadiah Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya.1
Di zaman Jepang Mochtar Lubis bekerja sebagai anggota tim yang
memonitor siaran radio sekutu di luar negeri. Sebagai wartawan dia
berpindah dari Medan ke Jakarta. Dia memperoleh pengakuan sebagai
wartawan waktu menjabat sebagai ketua pengarang surat kabar bebas
Indonesia Raya, dia berani menentang konsepsi-konsepsi politik Soekarno
dengan garang, hingga mengakibatkan dia ditahan di rumah dan dalam
penjara antara tahun 1957 hingga 1966. Sebelum ini, dia telah banyak
mengelilingi dunia, dan kisah-kisah kunjungannya yang bersifat
kewartawanan sebagian dikumpulkan dalam buku-buku tersendiri. Buku-
buku tersebut merupakaan bacaan yang baik. Hal ini bukan saja karena
fakta-fakta yang terkandung, tetapi juga karena penyampaiannya yang
menarik. Malah dalam karya-karya sastranya didapati bahwa
kewartawanan dalam dirinya itu tak pernah tidak ada.2

B. Penghargaan
1. Bidang Pers
Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2004,
menganugerahkan bintang tanda jasa kepada tokoh pers Mochtar Lubis
(alm). Mochtar Lubis dinilai telah memberikan pengabdian luar biasa
kepada Negara. Tanda Bintang Mahaputera merupakan tanda jasa
tertinggi setelah Bintang Republik Indonesia. Ia diberi penghargaan
tidak dinilai berdasarkan pengabdiannya kepada pemerintah, tetapi
kepada negara.3

1
Mochtar Lubis. Jalan Tak Ada Ujung. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.2003) h. 166-167
2
A. Teeuw. Sastra Baru Indonesia. Cet. 1 (Flores: Indonesia Nusa Indah, 1980) h.261
3
Harian Tempo, “Mochtar Lubis Dianugerahi Bintang Mahaputera”, edisi Minggu, 15
Agustus 2004.
31

2. Bidang Sastra
Mochtar Lubis terpilih sebagai sastrawan pertama penerima Hadiah
Sastra “Chairil Anwar” yang baru pertama kali diselenggarakan.
Hadiah ini merupakan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
bahkan sebagai pengakuan atas mutu karya-karyanya. Penyerahan
hadiah berlangsung dalam sebuah upacara yang dirancang khusus di
Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. 4
Menurut pihak DKJ, Mochtar Lubis terpilih sebagai orang pertama
penerima hadiah karena dua alasan. Alasan pertama adalah, totalitas
karya-karyanya telah sangat memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Alasan kedua yaitu karya-karyanya secara khusus memuat realita
sosial, diwarnai dengan wawasan tentang manusia Indonesia dengan
berbagai dimensinya yang digambarkan cukup tajam dengan
penguasaan masalah hampir tanpa cacat.
Buku fiksinya Jalan Tak Ada Ujung meraih Hadiah Sastra BMKN,
disusul hadiah sama untuk Perempuan-Perempuan. Bukunya
Harimau-Harimau mendapat Hadiah Sastra Yayasan Buku Utama.

C. Pemikiran Mochtar Lubis


1. Kebebasan Kreatif
Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis melihat bahwa sastra Indonesia
sebenarnya kaya dengan pengarang potensial. Yang kurang katanya
adalah iklim kreatif menyeluruh, artinya iklim sehat yang bisa
menggerakan seluruh masyarakat. Ia menganggap seniman cukup
kreatif dalam berbagai bidang penciptaan. Tapi, karya sastra katanya
terbelenggu oleh berbagai pembatasan baik dari dalam maupun luar.
Hambatan luar dalam itu bermuara pada suatu hal, yaitu ketakutan.
“Penerbit ngeri menerbitkan dan mengedarkan karya-karya yang
mengritik keadaan sosial politik atau kekuasaan, pengarang tidak

4
Kompas, “Hadiah Sastra Chairil Anwar untuk Sastrawan Mochtar Lubis”, edisi Sabtu, 15
Agustus 1992.
32

berani menulisnya,” tuturnya. “Itu sebabnya tak ada kita baca karya
fiksi yang menyoroti realita sosial semacam itu, yang bisa menciptakan
gambaran nyata tentang kondisi sosial budaya kita.” Sastrawan dan
wartawan terkemuka yang juga melukis ini, mengatakan berbagai
hambatan itu bukan kesalahan 25 tahun orde baru saja, tapi juga Orde
Lama selama 20 tahun. Keduanya melakukan hal serupa, misalnya
melarang berbagai buku.
Meski demikian, ia optimis sastra Indonesia modern tetap
berkembang dengan munculnya banyak pengarang baru yang berbakat.
Ia mengharapkan agar majalah sastra tidak lagi hanya sebuah yaitu
Horison saja, tetapi muncul berbagai majalah sastra yang terbit dari
berbagai kota seperti Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan
Ujungpandang. Dengan demikian walaupun baru merupakan “sastra
media masa” perkembangannya bisa dipercepat. “Bagaimana
pengarang muda bergairah kalau menunggu lebih dari satu tahun untuk
melihat karyanya terbit?” katanya.5

2. Hadiah Sastra
Menurut pihak Dewan Keseniasn Jakarta (DKJ), alasan pokok
penyelenggaraan hadiah sastra adalah bahwa sastra akan terus
memberi kontribusinya dalam kehidupan sosial, khususnya bagi
dinamika kehidupan intelektual. Mereka juga mengharap hadiah ini
menjadi semacam simbol, bahwa kehadiran sastra bermakna dan
penting dalam kehidupan sosial. Isma Savitri, ingin menyelenggarakan
hadiah sastra ini menjadi tradisi.
Sebelum ini DKJ memang pernah menyelenggarakan Hadiah
Sastra, tapi tidak rutin, dengan model memilih karya terbaik pada
tahun yang berjalan. Untuk membuat penyelenggaraan menjadi tradisi
bukan saja dibutuhkan dana, tapi juga aturan main termasuk kriteria
pemilihan yang lebih sempurna. Dengan demikian, kata Sawitri,

5
Ibid
33

siapapun penilainya nanti, sikap lembaga pemberi hadiah tidak


berubah. Dengan kriteria sementara kali ini, para penilai yang bekerja
adalah para sastrawan DKJ yaitu Isma savitri, Abrar Yusra, Leon
Agusta, Slamet Sukirnanto, ditambah HB. Jassin dan Hamsad
Rangkuti.
Menurut penyair Isma Sawitri, Ketua Komite Sastra DKJ, dalam
menanggapi karya-karya Mochtar Lubis ada alasan lebih khusus, yaitu
Mochtar Lubis konsisten mencipta dalam kurun waktu cukup panjang.
Setiap karyanya merefleksikan gejala dan gejolak zamannya.6
Sebagai pengarang Mochtar Lubis, tidak pernah bosan
memperjuangkan kehidupan sastra Indonesia, sejak zaman revolusi,
sampai pada masa Orde Baru, memang pantas mendapatkan hadiah
tertinggi dalam bidang sastra. Budayawan dan wartawan yang juga
pernah menerima Hadiah Magsaysay dari pemerintah Pilipina (1966),
dinilai selain teguh dalam pendiriannya, juga selalu bersikap jujur dan
ksatria dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia.
Terkait hadiah sastra yang diberikan, Mochtar Lubis mengatakan
hadiah itu membuatnya merenung. Mochtar Lubis mengatakan “Tiap
kali meraih suatu penghargaan saya selalu bertanya, ‘Apa benar?’ Saya
tidak pernah berpikir untuk mendapat hadiah kalau membuat karangan.
Saya mengarang karena ingin menyampaikan sesuatu kepada rakyat
banyak, bukan untuk merebut hadiah”. Tambahnya, “Saya malah
merenung kalau menghadapi hal seperti ini. Saya mengulas
kekurangan-kekurangan karya saya. Tapi rasanya saya beruntung,
karena saya memang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah
saya hasilkan. Dengan itu saya tetap berusaha untuk menulis lebih baik
lagi. Kalau puas, itu artinya saya berhenti.”

6
Ibid
34

3. Karakter Mochtar Lubis


Sikapnya kerap kali direpresentasikan baik dalam karya, pendapat
atau perbuatan. Salah satu karya yang begitu kental menggambarkan
sikapnya adalah Jalan Tak Ada Ujung. Lewat tokoh Guru Isa, ia
mengatakan bahwa tak ada orang yang berani kerena semua orang
selalu diliputi rasa takut. Dalam sebuah peristiwa, Guru Isa dipukul
dan disiksa. Namun, ia justru menemukan kenyataan yang menrik
bahwa antara kesakitan badan dan kecemasan jiwa tidak ada hubungan
yang langsung. Sikap ini terlihat dari caranya yang berani dalam
mengungkapkan kebenaran baik dalam tulisan maupun dalam karya-
karyanya, jusnalistik atau sastra.7
Mochtar Lubis adalah seorang sastrawan dan budayawan yang
berani menerima penyiksaan fisik dan mental akibat sikapnya,
memberitakan hal-hal yang sensitive bahkan terhadap tokoh yang
kelewat “agung” dalam pemerintahan Republik Indonesia pada elite
dan lembaga struktural di pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Sekalipun untuk hal itu dia harus menerima keluar-masuk penjara.

D. Pembicaraan Beberapa Karya Mochtar Lubis


Sastrawan tidak hanya menghibur pembaca melalui karyanya, tetapi
juga menyodorkan berbagai ragam kehidupan yang penting direnungkan
kemudian dipahami bersama-sama. Karya-karya sastra seperti novel, cerita
pendek, puisi dan esai, merupakan dunia tersendiri yang banyak
mempersoalkan mengenai eksistensi manusia serta nilai-nilai
kehidupannya dari berbagai aspek. Dengan demikian, memahami sebuah
karya sastra berarti seseorang itu telah berhasil menyelusup ke dalam
dunia pengarang.
Beberapa karya fiksi Mochtar Lubis, khususnya dalam dekade tujuh
puluhan, banyak memberikan sumbangan kepada pembaca. Sumbangan

7
Harian Sinar Harapan, “Idealisme Bersastra dan Melawan Takut: Pelajaran dari Mochtar
Lubis”, edisi Sabtu, 14 Agustus 2004.
35

yang dimaksud di sini tidak terlepas dari moralitas manusia dalam


kaitannya sebagai suatu bangsa yang perlu cita-cita. Mochtar Lubis
mengangkat persoalan moralitas dalam karya-karyanya sebagai usaha
menumbuhkan jiwa yang berbudaya bagi setiap manusia di dalam
melaksanakan fungsi kehidupannya. Pada umumnya karya-karya Mochtar
Lubis mampu berbicara secara wajar tentang manusia dalam perang,
manusia dan kebangsaan. Hal itu tidak mengherankan sebab Mochtar
Lubis sendiri pernah terlibat dalam peristiwa-peristiwa revolusi. Suatu
peristiwa yang cukup dahsyat dalam pengalaman hidup manusia.
Pengalaman-pengalaman itu mempengaruhi jiwa Mochtar Lubis sehingga
tidak sedikit novel atau cerita pendeknya yang cenderung menonjolkan
aspirasi dan ide-ide si pengarang itu sendiri.8
Bentuk pengungkapan yang diterapkan Mochtar Lubis dalam karya-
karyanya sebenarnya masih lebih akrab dengan masyarakat pembaca
dibanding dengan cara yang ditempuh oleh Iwan Simatupang dan Putu
Wijaya. Kalau Iwan dan Putu masing-masing bertolak dari sudut pandang
filsafat dan psikologi, maka Mochtar Lubis nampak masih bertahan pada
sudut pandang sosiologis dan budaya masyarakat. Titik tolak inilah yang
membedakan mereka di dalam sistem penggarapan novel. Selain itu,
orientasi mereka pun tidak sama. Orientasi Mochtar Lubis jelas tidak
mengarah kepada penemuan bentuk penggarapan, melainkan bagaimana
ide cerita itu mudah dipahami oleh masyarakat pembaca. Karena itulah
sehingga Mochtar Lubis menggunakan karya sastra sebagai media untuk
menyampaikan amanah, gagasan atau ide-ide kemanusiaannya kepada
masyarakat.
Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis memiliki kepekaan batin terhadap
gejala-gejala yang muncul di sekitarnya. Baik berupa gejala
kemasyarakatan maupun yang lebih mendasar lagi, yakni gejala
kemanusiaan. Kegelisahan, kegembiraan, kesedihan dan ketakutan yang

8
Pedoman Rakyat, 02 Februari 1984. “Pembicaraan Singkat Beberapa Karya Mochtar
Lubis”.
36

tidak pernah lepas dari eksistensi hidup manusia, merupakan persoalan


yang cukup menarik bagi pengarang. Dikatakan menarik sebab gejala-
gejala seperti itu merupakan Jalan Tak Ada Ujung bagi sejarah kehidupan
manusia. Dalam karya lainnya yang berjudul Kuli Kontrak. Cerita ini
menuturkan kekhawatiran tokoh “sang Ayah” kepada anaknya.9
Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) dapat kita lihat bagaimana
masalah ketakutan yang dialami oleh tokoh Isa berhasil diangkat oleh
Mochtar Lubis sebagai persoalan manusia secara universal. Isa, dalam
novel tersebut, adalah wujud dari sekian juta anak manusia yang pernah
atau sedang mengalami persoalan-persoalan hidup yang serba kompleks,
penuh ketidakpastian, sebagaimana halnya di dalam suasana peperangan
(revolusi).

9
Harian Sinar Harapan, Loc.cit.
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung


Jakarta, pascakemerdekaan menjadi kota yang mencekam. Serdadu-
serdadu Belanda kembali datang untuk merebut kembali kemerdekaan
yang sudah didapat Bangsa Indonesia. Mereka datang dengan
kekejamannya, menembaki siapa saja yang tidak bersalah. Selama
berbulan-bulan Jakarta menjadi kota yang penuh ancaman, setiap
penduduk tidak bisa beraktivitas dengan aman dan nyaman dikala siang
hari dan tidur pun selalu penuh dengan ketakutan, ketakutan kalau-kalau
serdadu Belanda datang tiba-tiba atau ketakutan akan peluru yang
menembus kulit mereka.
Guru Isa adalah seorang yang penuh dengan rasa takut, bukan hanya
takut dengan keadaan yang sedang tejadi di Jakarta, tetapi juga takut
terhadap pikiran-pikiran yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Guru Isa
mempunyai seorang istri bernama Fatimah dan juga memiliki satu anak
angkat bernama Salim. Guru Isa dan Fatimah tidak dikaruniai anak karena
Guru Isa mengidap penyakit impotensi.
Saat Guru Isa hendak berangkat ke sekolah untuk mengajar, terjadi
penyerangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda, Guru Isa bertemu
dengan Hazil, seorang pemuda pemberani yang penuh semanagat
nasionalisme, pemuda yang tidak ingin bangsanya ditindas kembali oleh
orang-orang asing, yang pada saat terjadi penembakan dia salah satu
pemuda yang memiliki senjata pistol, bukan hanya untuk membalas
tembakan dari serdadu Belanda melainkan juga untuk melindungi dirinya.
Mereka berteman karena merasa cocok dalam satu hal bukan dalam
semangat nasionalisme melainkan dalam seni musik. Hazil lalu mengajak
Guru Isa ikut dalam kelompoknya melawan serdadu Belanda, Hazil
ternyata mempunyai banyak teman yang tergabung dalam pemuda-pemuda

37
38

yang siap melawan serdadu Belanda. Hazil bersama temannya Rahmat,


Otong, Kiran, dan Imam telah merancang sebuah rencana
menyelundupkan senjata yang mereka sembunyikan untuk dibawa ke
Karawang, menyembunyikannya dari serdadu dan dipakai saat
penyerangan yang akan dilakukan Hazil terhadap serdadu Belanda.
Sudah banyak tetangga dan orang-orang yang dikenal oleh Guru Isa
pergi untuk pindah keluar kota, pindah ke tempat yang mereka anggap
lebih aman untuk dijadikan tempat tinggal, jauh dari ancaman tembakan
yang datang dengan tiba-tiba. Dapat tidur lebih nyenyak dibandingkan saat
mereka tinggal di Jakarta.
Guru Isa tidak bisa menolak, dengan terpaksa ia ikut ke dalam
kelompok yang menginginkan revolusi, walaupun penuh dengan ketakutan
tetapi Guru Isa selalu menyembunyikan ketakutannya itu di hadapan Hazil
dan teman-temannya. Tiba saatnya penyerangan yang sudah direncanakan
dilaksanakan. Hazil, Rahmat, dan Guru Isa akan menyerang serdadu
Belanda dengan granat di bioskop Rex di Senen, Jakarta. Hazil dan
Rahman bertugas melempar granat ke bioskop, sedangkan Guru Isa
bertugas melihat kondisi dan situasi setelah Hazil dan Rahmat
melaksanakan tugasnya. Setelah kejadian pembalasan di bioskop Hazil,
Rahmat dan juga Guru Isa berpencar demi keamanan mereka semua. Hazil
dan Rahmat pergi keluar kota sedangkan Guru Isa dengan ketakutan dan
penuh cemas kembali ke rumahnya.
Setelah beberapa minggu penyerangan di bioskop Hazil datang
menemui Guru Isa mengabarkan bahwa Rahmat telah tertangkap oleh
serdadu Belanda dan Hazil pun memberi tahu bahwa kini ia sedang dicari-
cari pula oleh serdadu Belanda, mengingatkan Guru Isa agar selalu
berhati-hati kalau-kalau serdadu Belanda datang ke rumahnya.
Serdadu Belanda pun datang ke rumah Guru Isa membawanya ke
markas, sampai di markas Guru Isa disiksa agar mengakui apa yang sudah
direncanakannnya oleh Hazil dan Rahmat yang pada saat itu sudah
tertangkap, Guru Isa tetap bungkam dan penuh memar karena dipukuli
39

oleh serdadu-serdadu, saat Guru Isa tidak sadarkan diri ia dibawa ke


sebuah ruangan jeruji, saat sadarkan diri ia melihat Hazil dengan muka
yang sudah penuh luka akibat disiksa, Hazil hanya berucap kata maaf
kepada Guru Isa, dan di tempat itu Hazil menghembuskan nafas yang
terakhir dan akhirnya Guru Isa dibebaskan.

B. Analisis Objektif Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis
1. Tema
Tema dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis adalah
mengenai rasa takut tentang eksistensi sebagai manusia. Manusia
selalu ketakutan dalam hidupnya, takut terhadap banyak hal dan hal
tersebut juga dapat dilihat dengan jelas pada semboyan buku itu yang
dipetik dari Jules Romains yang terdapat pada halaman awal.
“Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?”

Dalam hal ini, rasa takut itu ialah rasa takut yang terdapat dalam
kehidupan Guru Isa, seorang guru biasa yang dengan tidak sepenuh
hati terpaksa turut serta dalam perjuangan rahasia menentang musuh-
musuh asing. Ketakutan yang dialami Guru Isa lantaran keadaan sosial
pada saat itu yang membuat ia terpaksa menahan rasa takutnya.
“Engkau tahu mengapa akau terima? Bukan karena semangat
revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api, aku
memang cinta tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum
ada itu tradisi yang mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk
tanah air, untuk itu aku belum pernah hidup dalam tanah air yang
mesti dibela dengan darah, jadi jika ada orang berkata mempunyai
semangat seperti ini, maka itu semangat palsu dan dibikin-bikin.
Aku terima karena aku takut. Dan aku bertambah takut setelah
menerimanya.”1

Keterlibatan Guru Isa dalam revolusi tidak didasari semangat


patriotisme dan nasionalisme untuk merebut kemerdekaan, melainkan
karena ketakutanya yang senantiasa menteror jiwanya sehingga tanpa

1
Mochtar Lubis, Op. Cit, h.74
40

sadar ia menerima segala amanah perjuangan yang dibebankan


kepadanya.
Rasa takut tidak hanya dirasakan oleh Guru Isa, hampir semua
tokoh mengalami ketakutannya masing-masing. Termasuk ketakutan
yang dialami oleh Fatimah saat Guru Isa ditangkap oleh Polisi.
“Hatinya takut, bercampu pahit.”2
Takut yang dialami Fatimah lantaran Guru Isa yang ditangkap oleh
polisi, memang dia tidak lagi mencintai Guru Isa tapi kini dia harus
menyadari bahwa tidak ada lagi orang yang mencari nafkah untuk
dirinya dan Salim.
Hazil memiliki rasa takut, hanya saja Hazil mampu untuk melawan
takutnya, dalam perjuangan dia bukanlah seseorang yang ingin
menuai pujian dari apa yang dilakukannya. Hazil berjuang demi
bangsanya, demi terlepas dari penjajahan yang dilakukan bangsa asing
terhadap bangsanya. Dapat dilihat pada penokohan bagian Hazil.
Ketakutan juga dialami oleh Mr. Kamarudin, Ayah Hazil, saat
mengetahui dan merelakan anak satu-satunya pergi untuk berjuang
melawan Belanda.
“Haziiiilll kembaliii!”3
“Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari
kemarahan.” 4

Mr. Kamarudin tidak sanggup menahan Hazil untuk tidak pergi


berperang melawan Belanda. Teriakannya saat ingin menahan Hazil
untuk tidak pergi meninggalkan dirinya, terselip rasa takut jika anak
satu-satunya tak akan pernah kembali, takut kehilangan Hazil untuk
selamanya.
Salim, anak usia 4 tahun juga mengalami ketakutannya sendiri. Dia
takut saat tidur dalam kamar yang gelap. Dapat dilihat pada
penokohan bagian Salim.

2
Ibid, h.153
3
Ibid, h. 20
4
Ibid, h.20
41

2. Alur
Alur dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
adalah alur maju, atau dapat dikatakan alur yang menceritakan
rangkaian peristiwa kejadian yang akan datang.
a. Pengenalan Cerita
Pengenalan cerita dalam novel ini adalah diawali dengan
keterangan waktu yaitu pada Jakarta tahun 1946. Dalam
pengenalan cerita dalan novel JTAU sudah menggambarkan
kondisi Jakarta yang penuh ancaman.
“jalan-jalan kosong dan sepi. Beberapa orang bergegas lari dari
hujan. Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh
kota.”5

Dilanjutkan dengan kejadian tiga anak kecil yang sedang


bermain layang-layang, beberapa orang opas yang hendak
berangkat kerja mampir ke warung Pak Damrah, terdapat pula
tukang becak dan tukang loak di warung untuk sekedar minum kopi
atau membicarakan tentang serbuan-serbuan yang dilakukan oleh
serdadu-serdadu Belanda.
“Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minum-
minum. Empat orang opas Kantor Kotapraja di Kebon sirih.
Mereka hendak masuk kerja.”6
“Kemaren kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si ubel-
ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuh pisang goreng.
Tukang beca yang sedang menghirup kopinya yang panas,
menghapus mulutunya dengan lengan kirinya yang kotor.”7

b. Pemunculan Konflik Awal


Pemunculan konflik awal terjadi saat serdadu Belanda
menyerang dari arah Kebon Sirih menuju warung Pak Damrah di
Gang Jaksa. Serdadu Belanda menyerang dengan bertubi-tubi
terlebih lagi jika mereka melihat ada seseorang yang berlari,
serdadu Belanda menembaki siapa saja yang melintas, tembakan

5
Ibid, h.1
6
Ibid, h.3
7
Ibid, h.3
42

yang tidak tentu arah, tidak peduli kepada siapa pun peluru yang
mereka hempaskan bersarang.
“Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan, orang berteriak, siaap!
Siaaapp! Dari arah Kebon Sirih dua buah truk penuh berisi
serdadu memakai topi masuk ke Gang Jaksa.”8

“Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai


menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan
yang sunyi itu.”9

Dari tembakan yang dilepaskan oleh serdadu Belanda, dua orang


opas dan satu anak kecil yang masih memegang benang
layangannya menjadi korban tembakan. Mereka semua mati
sebelum pertolongan datang. Tukang beca terkena tembakan di
kakinya dan terus mengerang kesakitan.
Setelah mereka melihat sudah beberapa orang tersungkur ke
jalan tidak berdaya, serdadu-serdadu tersebut masih saja
menembaki dan mencaci maki.
“Tiga menit kemudia truk itu masih menembak-nembak juga ke
kiri dan ke kanan, sambil berteriak-teriak memaki-maki,
“Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan
sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.”10

Setelah beberapa menit kejadian penembakan dan serdadu-


serdadu telah pergi, pemuda-pemuda yang membawa senjata, yang
bersembunyi di balik rumah memberanikan diri untuk keluar
menolong korban yang berjatuhan, beberapa ada yang menelpon
mobil ambulans, beberapa ada yang menggotong anak kecil yang
sudah tidak bergerak ke tepi jalan dan beberapa berkumpul di
warung Pak Damrah untuk mencari tahu siapa saja korban yang
terkena tembakan.
Saat terjadi penembakan di Gang Jaksa, Guru Isa sedang dalam
perjalanan menuju sekolah tempat ia mengajar di Tanah Abang.

8
Ibid, h.5
9
Ibid, h.6
10
Ibid, h.6
43

Ketika itu terjadi pula penembakan dan kali ini serangan yang
dilakukan oleh serdadu Belanda tidak hanya lewat peluru-peluru
yang ditembaki tak tentu arah dari truk, mereka juga melakukan
penggeledahan ke dalam rumah.
“Hands up!” perintah serdadu Sikh dengan garang. Belum
sempat Guru Isa berdiri dan menaikkan tangannya, ketika pintu
belakang ditendang pula terbuka, dan tiga orang serdadu masuk.
Guru Isa berdiri mengangkat tangannya, dan dengan cepat
seorang serdadu menggeledah badannya. Isa tidak membawa
senjata, dan dia disuruh berdiri di tengah kamar.11

c. Komplikasi
Dalam tahapan ini konflik yang terjadi semakin tajam karena
berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap
tokoh. Di dalam novel JTAU tahap komplikasi terjadi ketika Guru
Isa mengenal Hazil seorang pemuda pemberani bersenjata pistol
dan mereka berteman karena keduanya memiliki selera musik yang
sama. Dari pertemanan mereka Hazil mengajak Guru Isa hadir
dalam rapat untuk berperang melawan kebengisan serdadu
Belanda yang selama ini mengancam kota. Hazil sudah resah dia
ingin segera membalaskan dendamnya dengan menyerang balik
serdadu Belanda.
“Tidak banyak yang diingatnya dari rapat yang penuh
bersemangat itu. Semua orang bersumpah berani mati dan berani
berkorban untuk kemerdekaan.”12

Hazil tidak hanya mengajak Guru Isa tetapi juga mengajak


teman-temannya yang lain untuk ikut dalam perjuangan melawan
serdadu Belanda. Hazil sering sekali memimpin rapat untuk
perjuangan. Tidak hanya itu Hazil juga mengatur strategi dalam
menyeludubkan senjata keluar kota, senjata yang akan digunakan
untuk melakukan penyerangan balik terhadap serdadu Belanda.

11
Ibid, h.11
12
Ibid, h.39
44

“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata


dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan
kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” 13

d. Klimaks
Klimaks pada novel ini adalah pada saat serdadu melakukan
penyerangan tanggal dua puluh satu. Hazil melakukan balas
dendam. Hazil, Rakhmat dan juga Guru Isa melaksanakan
pembalasan dari yang sudah mereka rencanakan. Mereka akan
melempar granat atau bom tangan ke bioskop Rex di Pasar Senen.
Di tempat itu terdapat beberapa serdadu Belanda, Hazil dan
Rakhmat pun melempar granat itu dan mengenai beberapa serdadu
Belanda.
“Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan
kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdadu
Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”14

Saat setelah mereka melalukan penyerangan balik terhadap


serdadu Belanda. Hazil, Rakhmat dan Guru Isa berpencar, Hazil
memberitahu Isa kalau untuk beberapa hari mereka tidak akan
bertemu sampai nanti situasi aman. Setelah penyerangan itu Guru
Isa kembali ke rumah dengan perasaan yang takut, padahal dia
hanya bertugas melihat situasi, Hazil dan Rakhmat yang melempar
granat tersebut. Setelah beberapa hari Guru Isa membaca surat
kabar yang mengabarkan bahwa salah satu pelaku pelemparan
granat di bioskop Rex telah tertangkap. Berita tersebut seketika
mengejutkan Guru Isa, tidak diberiathu nama dalam berita itu,
Guru Isa cemas, takut dan menebak-nebak siapa yang sudah
tertangkap.
“Karena itu berita yang dibacanya amat menakutkannya, dan
melandanya sebagai sambaran kilat: Seorang dari pelempar
granat tertangkap.”15

13
Ibid, h.78
14
Ibid, h.129
15
Ibid, h.148
45

Tidak lama dari berita yang dibaca Guru Isa tentang pelaku
pelemparan granat yang tertangkap. Guru Isa dijemput oleh polisi
militer dan membawanya ke sebuah markas, Guru Isa pun sadar
mengapa ia dibawa, di sana ia diberikan banyak pertanyaan tentang
penyerangan-penyerangan yang dilakukannya bersama Hazil. dan
ditahan dalam sebuah ruangan, di ruangan tersebut ia melihat Hazil
dengan muka yang pucat, penuh bekas pukulan.
“Mulutnya telah pecah-pecah. Dua buah giginya atas telah
hilang. Dikeningnya luka besar yang mongering. Dan mukanya
pucat dan kurus. Matanya merah, urat-uratnya gembung
berdarah.” 16

Guru Isa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan, dia tidak


ingin memberitahu polisi, lantas ia disiksa dan dipaksa untuk
memberikan seluruh informasi tentang perjuangan yang dilakukan
bersama Hazil, tapi Guru Isa tidak menjawab, ia disiksa hingga
pingsan.
“Kemudian dia hanya merasa tiba-tiba sesuatu yang besar, yang
berat dan keras memukul dadanya dan tulang dadanya serasa
remuk. Jantungnya menjerit perih, dan ketika tendangan kedua
datang, akhirnya dia hanyut dalam kegelapan.”17

e. Peleraian atau Antiklimaks


Peleraian atau antiklimaks dalam novel ini adalah setelah
penyikasaan yang didapat oleh Hazil dan Guru Isa, membuat Hazil
akhirnya menyerah dan mengakui semua perbuatannya,
menceritakan seluruhnya yang telah dia lakukan untuk perjuangan
melawan Serdadu Belanda.
“Hazil menceritakan semuanya. Sebuah tempeleng di kepalanya
sudah cukup untuk menyuruhnya bercerita.”18

16
Ibid, h.158
17
Ibid, h.160
18
Ibid, h.162
46

Setelah pengakuan Hazil, Guru Isa sedih melihat pemuda yang


dikenalnya dulu seorang yang penuh gairah, pemberontak, dan
yang berani melawan serdadu Belanda atau NICA, kini lemah tak
berdaya.
“Dan dia merasa sedih buat Hazil. Hazil yang muda yang duduk
bersandar tembok di ujung, tidak pernah berkata-kata, dengan
mata yang redup, pipi yang cekung dan pucat pasi. Dan tiba-tiba
Guru Isa tahu, bahwa Hazil akan mati.”19

f. Penyelesaian
Tahap penyelesaian dalam novel ini adalah terlepasnya rasa
takut yang dimiliki oleh Guru Isa. Dia seperti telah belajar hidup
bersama rasa takut seolah-olah sepak-terjang musuhnya itu
merupakan pembebasan bagi dirinya, dan dia dibebaskan dari
penjara. Seperti pada kutipan berikut:
“Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu
kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa takutnya yang
timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya
lagi. Dia telah bebas.”20

3. Tokoh dan Penokohan


Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam cerita pada novel JTAU
karya Mochtar Lubis. Tokoh utamanya adalah Guru Isa dan Hazil.
Adapun yang lain adalah tokoh-tokoh tambahan.
a. Guru Isa
Guru Isa adalah tokoh utama dalam novel ini, ia digambarkan
sebagai seorang Guru berusia 35 tahun.
“Kemudian jadi guru tahun-tahun sebelum Perang Dunia Kedua.
Waktu itu dia masih muda. Berumur 31 tahun. Sekarang
umurnya telah tiga puluh lima tahun.”21

Terkait usia Guru Isa, menunjukkan bahwa Guru Isa adalah


seorang yang mengalami masa pendewasaan saat Belanda

19
Ibid, h.164
20
Ibid, h.165
21
Ibid, h.25
47

menjajah. Hal tersebut mempengaruhi sikapnya yang selalu


menerima segala perintah yang diberikan kepadanya. Penerimaan
keadaan secara kompromi pada masa penjajahan Belanda
dilakukan oleh kaum intelektual Indonesia sebelum perang, dalam
hal ini adalah Guru Isa. Pada satu pihak, mungkin saja Guru Isa
sadar akan perjuangan kemerdekaan, Guru Isa memang tidak
menjadi pejuang yang militan, tapi profesinya sebagai guru dapat
memberikan pendidikan semangat kemerdekaan kepada anak
didiknya.
Guru Isa digambarkan sebagai tokoh yang memiliki rasa takut,
bukan hanya takut dengan keadaan yang sedang terjadi, bukan
hanya takut kepada serdadu Belanda yang sedang mengancam
setiap penduduk, terkadang ketakutannya juga ditimbulkan sendiri
oleh pikiran-pikirannya, menimbulkan kekhawatiran yang belum
tentu terjadi. Guru Isa juga merupakan seorang Guru yang lembut
yang tidak suka dengan kekerasan, seperti dalam kutipan berikut;
“Aku takut sebenarnya, Fat,”katanya,“tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja
aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa yang
akan orang katakana.”22

Penggambaran tentang Guru Isa juga dikuatkan oleh


bagaimana ia melewati masa kecilnya yang sama sekali tidak
mengenal kekerasan. Tidak pernah berlaku kasar kepada siapa pun.
Hal ini seperti pada kutipan berikut.
“Semenjak dia melewati masa kanak-kanak yang tidak suka
berkelahi, maka Guru Isa selama hidupnya tidak pernah
memakai kekerasan terhadap orang lain. Atau mengalami
dirinya ditundukkan dengan kekerasan badan oleh orang lain.
Tinjunya tidak pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan
tinju orang tidak pernah memukul biru dikulit mukanya.”23

22
Ibid, h.39
23
Ibid, h. 28
48

Ketakutan yang dialami oleh Guru Isa tidak hanya saat Guru
Isa dalam keadaan sadar, saat dalam keadaan tertidur, istrinya
sering mendengar Guru Isa menjerit ketakutan.
“Dia tidak tahu bahwa aku sering mendengar dia menjerit
dalam mimpinya dan mengucapkan kata-kata yang
menunjukkan ketakutannya.”24

Guru Isa juga memiliki kesabaran yang dilandaskan


kesadarannya yang tidak bisa memberikan kebahagiaan lahir dan
batin kepada istrinya. Hal tersebut terlihat saat dia mengetahui
bahwa istrinya telah selingkuh dengan Hazil sahabatnya sendiri..
Seperti pada kutipan berikut:
“Dan ketika dia mulai mengerti, mula-mula dia amat marah.
Marah dan ingin menghancurkan Hazil dan Fatimah.”25

Semula ia marah, tetapi akhirnya dia bersikap menerima apa


yang dilakukan Fatimah lantaran ia sadar bahwa ia tak bisa
membahagiakan Fatimah selama hidupnya

b. Fatimah
Fatimah adalah istri Guru Isa, Fatimah adalah orang yang
bersikap kasihan termasuk kepada suaminya sendiri, walau
hubungan Fatimah dan Guru Isa tidak lagi harmonis namun
Fatimah masih menghormati Guru Isa sebagai suaminya. Fatimah
selalu bersikap baik, walau sebenarnya dia tidak bahagia hidup
bersama Guru Isa.
“Dia amat benci dan sedih melihat sinar mata Fatimah yang
tiada mengandung kasih dan cinta. Hanya sinar mata seorang
asing yang merasa belas kasihan kepada orang lain. Tidak ada
lagi yang lain. Yang lebih dalam dan lebih mesra.”26

Fatimah merasa dirinya tidak bahagia hidup bersama Guru Isa,


Fatimah bertahan dengan Guru Isa lantara ia kasihan. Fatimah

24
Ibid, h. 119
25
Ibid, h.124
26
Ibid, h.59
49

sadar bahwa rumah tangganya tak lagi harmonis layaknya sebuah


keluarga. Fatimah tak lagi mencintai Guru Isa.
“Apa yang tinggal dari perkawinan kita kalau demikian?” Guru
Isa bertanya malam itu.
Dan Fatimah menjawab, “Aku akan menjadi istri yang baik
bagimu. Hanya itu.”
“Tidak ada cinta?” desak Guru Isa.
“Tidak ada cinta,” jawabnya.27

Fatimah hanya ingin menjadi istri yang baik, perlakuan baik


yang dilakukan sebatas menyiapkan segala yang diperlukan Guru
Isa, seperti menyiapkan makana dan minumnya. Namun,
kebaikannya tidak diimbangkan dengan kesetiaannya sebagai
seorang istri. Fatimah berani berselingkuh dengan Hazil dan
Fatimah tidak menyesali perbuatan yang dilakukannya dengan
Hazil.
“Fatimah merasa senang. Dia tidak merasa sesuatu
penyesalan.”28

Tidak adanya penyesalan yang dirasakan Fatimah tentang


hubungannya dengan Hazil. Hal tersebut menunjukkan bahwa
selama ini Fatimah begitu lama menahan hasrat birahinya lantaran
hal tersebut tidak dapatkan dari Guru Isa yang mengidap penyakit
impotensi. Bagaimanapun juga seorang istri selalu ingin diberikan
kebahagiaan lahir dan batin, termasuk salah satunya adalah
kepuasan birahinya. Kebahagiaan itu tidak didapati dengan Guru
Isa, Fatimah merasa senang lantaran Hazil mampu memberikan
kepuasan birahinya dan tak ada penyesalan bagi Fatimah.

c. Hazil
Hazil adalah seorang pemuda pemberani, keras kepala dan
memiliki tekad yang kuat, Hazil juga digambarkan mempunyai
badan yang kurus dan perokok. Hazil adalah pemuda yang

27
Ibid, h.61
28
Ibid, h.118
50

memimpin kelompoknya untuk menyerang Serdadu Belanda, yang


menyusun rencana dalam kegiatan revolusi.
“Berikan pistol itu ke sini!” perintahnya.
Hazil mundur selangkah.
“Jangan Ayah! Kita perlu senjata untuk perjuangan
kemerdekaan.”29

Hazil sangat bersemangat dalam hal perjuangan, dia terus


meyakinkan kepada kawan-kawannya tentang perjuangan yang
sedang ia lakukan: membebaskan diri dari Belanda.
“Dalam perjuangan kemerdekaan ini, tidak ada tempat pikiran
kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil….”Sekali kita memilih
perjuangan, maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau,
aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan.”30

Hazil juga memiliki rasa takut, hanya saja Hazil mampu untuk
melawan takutnya, dalam perjuangan dia bukanlah seseorang yang
ingin menuai pujian dari apa yang dilakukannya.
“Saya juga takut mana ada orang yang tidak takut? Tapi ini
perjuangan harus dijalankan. Karena pemberontakan terus biar
dibawa mati, adalah satu kemenangan. Musuh tidak bisa kuasai
selama-lamanya.”

Hazil berjuang demi bangsanya, demi terlepas dari penjajahan


yang dilakukan bangsa asing terhadap bangsanya.
d. Salim
Salim anak laki-laki berumur empat tahun, anak angkat
Fatimah dan Guru Isa. Seorang anak yang masih polos dan hanya
takut saat tidur dengan kamar yang gelap.
“Demikian anak pungut mereka, laki-laki kecil, Salim, berumur
empat tahun, datang ke dalam penghidupan mereka.”31
“Salim, mengapa engkau menangis? Mimpi?” Suaranya sendiri
agak gemetar, tetapi tidak dirasakannya.

29
Ibid, h. 20
30
Ibid, h. 49
31
Ibid, h. 30
51

Ketakutan Salim pada kamar yang gelap, memang banyak


dirasakan oleh anak seusia Salim. Ketakutannya karena mimpi atau
membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
“Salim takut…,” katanya perlahan-lahan.
“Takut? Apa yang engkau takutkan?” tanyanya lembut.
“Salim takut tidur sendiri dalam gelap,” jawab anak itu.
“Kalau pakai lampu engkau takut juga?”
Salim menggelengkan kepalanya. Guru Isa berdiri, dan
memutar knop listrik. Salim tersenyum berterimakasih
kepadanya.32

Ketakutan yang dialami oleh Salim adalah ketakutan yang


terjadi pada anak usia 4 tahun yang belum begitu mengerti tentang
kondisi peperangan yang terjadi yang dia takutkan hanya saat tidur
dengan kamar yang gelap.
e. Rakhmat
Seorang pemuda anggota Laskar Rakyat dari Bekasi yang juga
teman Hazil, membantu Hazil dalam revolusi, selalu menurut
dengan rencana yang dibuat oleh Hazil, tidak sekalipun ia tidak
setuju dengan apa yang direncanakan oleh Hazil.
“Sekarang Guru Isa dapat memperhatikan Rakhmat lebih
terang dan jelas. Sebaya dengan Hazil. Sekilas Guru Isa
terpikir, muda-muda benar anak-anak yang berevolusi ini.”33

Dari penggambaran tentang Rakhmat dapat dikatakan bahwa,


kaum muda menjadi penggerak revolusi, yang melakukan
perlawanan agar bangsanya tak dijajah kembali.
f. Mr. Kamarudin
Ayah dari Hazil, berumur enam puluh tahun yang juga
merupakan pensiunan dari Kepala Landraad. Seorang Ayah yang
tidak pernah mendukung anaknya dalam revolusi melawan
serdadu NICA.
“Engkau mau bertempur? Berapa kali Ayah sudah melarang.
Engkau jangan campur-campur dengan bertempur-tempur! Apa
engkau pikir engkau bisa menang dengan pistol kecil itu?”34

32
Ibid, h. 143-144
33
Ibid, h. 80
52

Mengatakan bahwa apa yang dilakukan anaknya adalah hal


yang sia-sia. Ternyata alasan mengapa Mr. Kamaruddin melarang
Hazil berperang bukan karena mengakui serdadu NICA lebih kuat
melainkan kekhawatiran akan keselamatan anak satu-satunya itu.
Mr. Kamaruddin menggerakan tangannya hendak
menyentakkan pistol itu dari tangan anaknya. Tapi Hazil cepat
berbalik, berbalik, dan ketika dia tiba di pintu pagar rumah, dan
melihat ke kiri ke kanan memeriksa jalan yang kosong, teriak
ayahnya mengejarnya, “Haziiiilll kembaliii!”35
“Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari
kemarahan.” 36
Perasaan kesayangan kepada ayah pada anak, dan rasa takut
mengetahui anaknya pergi menemui bahaya maut. Dalam teriak itu
juga tersembunyi rasa takut yang dipendamkannya jauh-jauh di
dalam hatinya. Takut melihat perubahan pada diri anaknya sendiri.
g. Serdadu Belanda (NICA)
Tidak memiliki belas kasihan, kasar, dan menembaki siapa saja
yang tidak bersalah. Menggeledah atau melakukan penyerangan
kapanpun mereka siap. Seperti pada beberapa kutipan berikut.
“Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan, orang berteriak, siaap!
Siaaapp! Dari arah Kebon Sirih dua buah truk penuh berisi
serdadu memakai topi masuk ke Gang Jaksa.”37
Tiga menit kemudia truk itu masih menembak-nembak juga ke
kiri dan ke kanan, sambil berteriak-teriak memaki-maki,
“Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!”
dan sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.38
Tidak hanya melakukan penyerangan tiba-tiba dengan
menembaki siapa saja yang lari, serdadu Belanda juga melakukan
penggeledahan, dengan masuk ke dalam rumah dan memeriksa lalu
dengan berlaku kasar.
“Hands up!” perintah serdadu Sikh dengan garang. Belum
sempat Guru Isa berdiri dan menaikkan tangannya, ketika pintu
belakang ditendang pula terbuka, dan tiga orang serdadu
34
Ibid, h. 19
35
Ibid, h. 20
36
Ibid, h.20
37
Ibid, h.5
38
Ibid, h.6
53

masuk. Guru Isa berdiri mengangkat tangannya, dan dengan


cepat seorang serdadu menggeledah badannya. Isa tidak
membawa senjata, dan dia disuruh berdiri di tengah kamar.39

h. Abdullah
Supir yang membawa truk Tuan Hamidi untuk mengantarkan
Guru Isa dan Hazil membawa senjata. Dullah tidak takut dan tidak
keberatan membantu mereka membawa senjata walau apa yang
dilakukannya itu berbahaya jika ketahuan oleh serdadu NICA.
“Engkau tahu kita mau bawa apa?”
Dullah tertawa menyeringai, hingga keluar giginya yang besar-
besar dan kuning kotor. Dia meludah ke jalan, memukul
tangannya ke setir, dan berkata, “Bawa apa saja, saya ikut pak!”
“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata
dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan
kemudian akan diselundupkan ke Karawang. Engkau masih
berani?”
Dullah berkata, “Kalau Bapak Guru dan Bapak berani mengapa
saya tidak berani?”40
Keberanian Abdullah membantu Hazil dalam menyeludupkan
senjata, secara tidak langsung menjadi seseorang yang ikut
membantu dan terlibat dalam revolusi.
i. Ontong, Kiran, dan Imam
Teman Hazil dan Rakhmat yang membantu menyembunyikan
senjata. Namun Ontong mempunyai sikap seperti algojo,
membunuh orang tanpa jelas alasannya, hanya karena Ontong
mengganggap orang yang dibunuh merupakan mata-mata.
Sedangkan Kiran dan Imam tidak banyak digambarkan tentang
mereka, mereka adalah pengikut Ontong yang menuruti perintah
Ontong.
“Ontong yang duduk di sebelah kiri Hazil adalah rupa buaya
Senen yang jika dibayangkan oleh Guru Isa haruslah berupa si
Ontong ini. Raut muka yang kasar, hampir persegi empat,
kening yang sempit, rambut yang lurus dan kasar seperti ijuk,
bibir yang tebal lonjong, dan mata yang merah berapi-api. Dia
hanya memakai celana katok hitam, dan kemeja seperti kemeja
kelasi berstrip-strip yang telah using. Pahanya yang besar dan

39
Ibid, h.11
40
Ibid, h.78
54

gemuk terlihat telanjang, kotor, penuh panau. Kepalanya diikat


dengan sehelai kain belacu merah. Di pinggangnya terselip
golok.”41

Tidak hanya terlihat kumal dan kotor, Ontong juga dengan


mudah berbuat hal yang keji lantaran menuduh seseorang sebagai
mata-mata.
“Ontong ini benar algojo. Kita semua tidak ada yang berani
potong. Dia yang potong,” kata Kiran
“Kita buang ke dalam sumur. Ini masih bau, kamu berdua tidak
tutup benar,” kata Otong memarahi Kiran dan Imam.42

Ontong dengan penampilannya yang kumal, menunjukkan


karakternya yang dianggap sebagai algojo oleh teman-temannya.
Ontong menjadi cerminan latar sosial yang terjadi pada saat itu,
menjadi seseorang yang dengan mudahnya membunuh orang lain
yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Pembunuhan keji yang
tidak selayaknya dilakukan tanpa alasan atau bukti yang kuat.

j. Kapten Muda
Sesampainya Guru Isa di markas polisi militer, dibawanya Guru
Isa kesebuah ruangan yang sudah ada kapten muda yag siap
memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai penyerangan di
bioskop rex. Kapten muda ini siap memberikan pukulan jika Guru
Isa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan.
“Kita sudah tahu semuanya,” katanya memberi ingat, suaranya
menajam dan mengandung ancaman, “kamu lebih baik
mengaku. Kawan yang sudah tertangkap telah mengakui
semuanya.”

“Dia memandang dengan kehilangan akal kepada kapten itu.


Lidahnya menjadi kaku, dia tidak bisa berkata sesuatu apa. Di
dadanya seakan sebuah gendang besar dipukul keras-keras,
gedebuk-gedebuk, semakin lama semakin keras. Dan kemudian
semuanya menjadi gelap baginya. Guru Isa jatuh pingsan.”43
41
Ibid, h.79-80
42
Ibid, h.82
43
Ibid, h.157
55

Penyiksaan yang dilakukan oleh Kapten Muda, bukan karena dia


berlaku kasar, tetapi memang hal tersebut selalu dilakukan aparat
saat yang dituduh tidak memberikan penjelasan yang dibutuhkan.

4. Latar
a. Latar Waktu
1) September-Desember 1946
Pada tahun 1946 keadaan Kota Jakarta yang sedang
menghadapi ancaman dari NICA, penyerangan dan
penembakan gencar dilakukan oleh NICA.
“Jakarta. Bulan September 1946. Pagi. Tiga orang kanak-
kanak kecil sedang bermain-main di jalan Gang Jaksa.”44
“Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai
menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan
yang sunyi itu.”45

Sejak awal-awal penyerangan yang dilakukan oleh serdadu


NICA, pemuda setempat tidak tinggal diam, mereka
menyiapkan peralatan untuk berjaga diri dari serangan yang
datang.
“Mereka titipkan dua pistol dan lima granat tangan padaku,
disimpan dalam keranjang loak, dan aku pergi duduk
menunggu geledahan habis dekat truk si ubel-ubel”46
“Bukan takut sama si ubel-ubel, tetapi sama pemuda. Mereka
ancam gua bakal disiap kalau tidak mau sembunyikan
senjata. Setelah si ubel-ubel pergi, mereka datang dan ambil
kembali. Baru gua lega.”47

Di bulan November, pertemanan Guru Isa dan Hazil semakin


akrab, mereka menyatu tidak hanya karena mereka menyukai

44
Ibid, h.2
45
Ibid, h.6
46
Ibid, h.4
47
Ibid,
56

musik, tapi pada bulan ini mereka bersatu dalam organisasi


yang melawan serdadu NICA. Seperti pada kutipan berikut:
“Gesekan biolamu, meskipun belum lancar dan mahir,
mengandung tenaga, kata Guru Isa kepada Hazil memuji.”48

Di bulan ini semua anggota yang tergabung dalam organisasi


perjuangan mulai mengadakan rapat, mereka menyusun
rencana menyeludupkan senjata.
“Pemuda-pemuda di Kebon Sirih berkumpul, dan karena dia
menjadi wakil ketua panitia keamanan rakyat, maka dia
dipanggil hadir.”49
“Kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke
Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan
diselundupkan ke Karawang.”50

Hal tersebut memberikan penjelasan bahwa rakyat sudah


mulai mengatur siasat, mereka saling membantu dalam
perjuangan melawan Belanda, mereka tidak lagi akan tinggal
diam saat serdadu yang semakin hari semakin bertindak sesuka
hati mereka.
“Sebagai kebanyakan orang di hari-hari pertama revolusi itu,
Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya,
kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini
dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat
banyak.”51

Di akhir tahun ini menjadi tahun awal-awal revolusi.


Semangat perjuangan melawan serdadu NICA dilakukan oleh
Hazil dan teman-temannya, Hazil ada seorang pemuda
pemberani, berani melakukan apapun demi tanah air. Seperti
pada kutipan berikut:
“Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung
yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya
alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya

48
Ibid, h.37
49
Ibid, h.38
50
Ibid, h.78
51
Ibid, h.27
57

alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan


manusia-manusia.”52

Selama berbulan-bulan, pada tahun 1946 Guru Isa terpaksa


harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang membuat dia
harus ikut serta dalam perjuangan dan mengatur siasat bersama
Hazil dan teman-temannya melawan serdadu NICA.

2) Januari-April 1947
Pada awal tahun 1947, semakin banyak orang-orang yang
mengatasnamakan perjuangan tetapi mereka malah mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri. Bahkan mereka juga
memeras sesama rakyat Indonesia yang sedang berjuang
membebaskan diri dari Belanda.
“Tapi perlahan-lahan aku lihat bertambah banyak orang yang
memakai perjuangan untuk kedok mencari untung bagi
dirinya sendiri. Banyak pula yang telah mulai memeras
rakyat, minta beras, sapi, uang. Dan kekejaman-kekejaman
yang berlaku.”53

Pada tahun ini, tidak hanya semangat revolusi yang kian


bertambah dari masyarakat. Namun, beberapa orang berjuang
mengatasnamakan revolusi sebagai kedok mereka yang hanya
ingin memeras rakyat.
“Saya maksud mau pindah saja ke Purwakarta. Sama orang
tua. Tidak tahan terus-terus begini. Saban malam tidak bisa
tidur. Sebentar-sebentar geledahan.”54

Keadaan yang makin hari seperti itu membuat orang-orang


terdekat Guru Isa mulai ketakutan, mereka tidak tahan dengan
kondisi yang saat itu sedang terjadi. Salah satunya adalah Guru
Saleh yang merupakan teman Guru Isa di sekolah, dia

52
Ibid, h.46
53
Ibid, h.97
54
Ibid, h.94
58

memutuskan untuk pindah keluar kota yang dia rasa cukup


aman untuk menjalani kehidupan.
“Guru Isa baru kembali dari sekolah. Ketika dia sedang
membuka bajunya di kamar, Fatimah masuk ke kamar tidur
dari dapur dan berkata, “Is, engkau tahu, Tuan Hamidi di
sebelah telah pergi mengungsi ke Yogya. Hanya tinggal
pamannya yang menjaga rumah.”55

Saat Guru Isa mengetahui bahwa tetangganya juga menyusul


jejak Guru Saleh yang mengungsi keluar kota karena tidak
tahan dengan ancaman yang terjadi di Jakarta, Guru Isa engga
mengikuti jejak teman-temannya yang mengungsi, dia
menganggap bahwa ancaman di luar kota sama besarnya
dengan ancaman yang terjadi di Jakarta.
Dalam tahun ini terjadi pula tepatnya pada bulan Maret 1947
terjadi peristiwa Perjanjian Linggarjati. Seperti pada kutipan
berikut:
“Jadi meskipun persetujuan Linggarjati telah diparap, orang
di dalam tidak percaya akan berhasil.”56

Perjanjian Linggarjati dibuat Belanda lantaran Belanda sudah


mengetahui banyak rakyat yang sudah bergerak dan
menyiapkan diri untuk melawan. Adanya perjanjian itu
dilakukan sebagai bentuk upaya Belanda menghalau rakyat
menjadi kaum revolusi.

3) Pagi
Saat pagi hari, waktu saat banyak orang ingin menghirup
udara pagi dengan santai, tapi hal ini tidak terjadi karena
serdadu NICA menyerang tanpa mengenal waktu. Saat itu Mr.
Kamarudin ingin menikmati pagi dengan duduk di teras
rumahnya, menghirup udara pagi yang sejuk, tapi yang di dapat

55
Ibid, h.108
56
Ibid, h.100
59

adalah pagi yang penuh gemuruh suara senapan yang


dilancarkan oleh serdadu NICA.
“Persetan! Sumpahnya. “Kenapa mesti saban pagi mesti ada
tembakan? Dunia ini sudah mau kiamat. Orang semua sudah
gila.”57
“Pagi-pagi pukul lima serdadu-serdadu itu telah bersiap-siap.
Serdadu-serdadu berlompatan turun, dan mulai mengadakan
pengurungan di kampung sekitar pabrik itu.58

Penyarangan yang dilakukan Serdadu Belanda pagi hari


karena di pagi hari, semua orang mulai keluar rumah untuk
melakukan aktivitas. Ketika Serdadu Belanda melakukan
penyerangan akan semakin banyak korban yang berjatuhan,
itulah yang diinginkan oleh serdadu Belanda.

4) Siang
Ketika Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat hendak
menyelundupkan senjata untuk dibawa ke Karawang, mereka
mengatur siasat agar penyelundupan senjata ini berhasil,
mereka tidak melakukannya pada siang hari.
“Jika kita angkat terang-terang, siang-siang, maka tidak
seorang juga serdadu Inggris yang akan curiga kita membawa
mesiu,” tulis Hazil dalam suratnya.”59

Rencana penyelundupan senjata tidak akan menarik perhatian


jika dilakukan pada siang hari, karena siang hari segala
aktivitas yang orang lakukan akan dianggap sebagai kegiatan
yang tidak mencurigakan.

5) Malam
Pada waktu malam hari, saat semua orang ingin melepaskan
penatnya dan menghilangkan lelahnya setelah sehari

57
Ibid, h.19
58
Ibid, h.102
59
Ibid, h.72
60

beraktifitas, mereka selalu dikhawatirkan oleh bunyi senapan


yang belum juga usai.
“Gemuruh tembakan-tembakan di seluruh kota tidak
berkurang seperti malam-malam biasa.”60

Guru Isa, Hazil, dan juga Rakhmat akan melancarkan rencana


penyerangan terhadap serdadu Belanda dengan melemparkan
granat ke arah mereka. Hal ini menjadi pembalasan dendam
mereka terhadap serdadu Belanda yang selama ini banyak
menyerang rakyat.
“Malam di Pasar Senen. Malam Minggu. Di Kramatplein
amat ramainya…., Mereka akan melemparkan granat tangan
itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melempar granat ke
tengah-tengah serdadu-serdadu Belanda yang berdesak-desak
keluar dari bioskop.”61

Penyerangan yang dilakukan oleh Guru Isa, Hazil, dan


Rakmat pada malam hari tidak dengan alasan, mereka memilih
menyerang dengan melempar granat ke arah serdadu Belanda
disaat serdadu Belanda sedang tidak menjalankan tugas mereka
dan sedang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang
disaat itulah Hazil dan Rakhmat menyerang.
Keadaan di waktu pagi, siang, dan malam menunjukkan
bahwa setiap hari rakyat mengalami kondisi darurat dan keadaan
yang tidak normal dari bangun tidur hingga ingin kembali tidur.
Kondisi pada saat itu menunjukkan bahwa sepanjang hari rakyat
harus diliputi rasa cemas, takut dan gelisah terhadap penyerangan
yang dilakukan oleh serdadu Belanda yang tidak mengenal waktu.

60
Ibid, h.63
61
Ibid, h.128-129
61

b. Latar Tempat
Jakarta, kota besar yang penuh ancaman dari serdadu NICA.
Kedatangan mereka menjadi ancaman bagi siapa saja yang tak
bersalah, serdadu NICA tidak mengenal ampun, di Jakarta, saat
waktu bermain bagi anak-anak pun, mereka bermain dengan penuh
ancaman penyerangan yang dilakukan oleh serdadu NICA.
“Jakarta. Bulan September 1946. Pagi. Tiga orang kanak-
kanak kecil sedang bermain-main di jalan Gang Jaksa.”62
“Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai
menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan
yang sunyi itu.”63

Karena sebagian besar serdadu NICA bermarkas di Jakarta,


yang lebih sering menjadi lokasi penyerangan NICA yaitu di
daerah Jakarta Pusat yang kemudian tempatnya lebih
dispesifikasikan sebagai berikut:

1) Kebon Sirih
Di jalan tidak luput dari serangan yang dilakukan oleh
serdadu NICA, penembakan yang dilakukan oleh serdadu itu
menewaskan satu anak kecil yang sedang bermain layang-
layang.
“Kebon Sirih ketika orang mulai berteriak siap. Dengan
tidak berpikir mereka melompat, hendak lari masuk ke
pekarangan rumah di tepi jalan. Melihat mereka lari, serdadu-
serdadu di atas truk itu mulai menembak.”64
“Seorang mengangkat anak kecil yang kena tembak itu dan
membaringkannya di atas pinggir jalan. Benang layang-
layangnya masih tergenggam dalam tangannya yang kecil
dan kotor itu. Dia tidak bergerak-gerak lagi.”65

62
Ibid, h.2
63
Ibid, h.6
64
Ibid, h.6
65
Ibid, h.7
62

2) Tanah Tinggi
Menjadi salah satu tempat yang diserang oleh serdadu NICA.

“Kemaren kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si


ubel-ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuuh pisang
goreng.”66
“Aku tolong tiga orang pemuda kemaren di Tanah Tinggi,”
kata tukang loakmeneruskan ceritanya.67

3) Gang Jaksa
Tempat penyerangan yang dilakukan oleh NICA.
“Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah
kesunyian pagi Guru Isa sedang berjalan kaki menuju
sekolahnya di Tanah Abang.”68

4) Kebon Sirih Wetan Gang I


Tempat ini juga menjadi lokasi yang serbu oleh serdadu
NICA, seiap serdadu NICA melintas mereka selalu
melepaskan tembakan. Tidak peduli sekalipun yang mereka
tembak perempuan ataupun anak-anak.
“Perempuan yang menggendong anak itu bergegas lari,
masuk dan menghilang ke dalam Kebon Sirih Wetan Gang
I.”69

5) Laan Holle dan Jalan Asam Lama


Jalan ini juga tidak luput dari penyerangan yang dilakukan
oleh serdadu-serdadu.
“Teriak siap! Siaaap! Yang gemuruh itu disambut oleh
kampung-kampung sekitar Laan Holle dan Jalan Asam Lama,
hingga akhirnya kedua jalan besar itu sunyi pula.”70

66
Ibid, h.3
67
Ibid, h.4
68
Ibid, h.5
69
Ibid, h.7
70
Ibid, h.8
63

6) Tanah Abang
Tempat Guru Isa menjual buku tulis yang ada di sekolah. Hal
ini dia lakukan karena untuk mendapatkan uang,
memberikannya kepada Fatimah untuk biaya makan sehari-
hari.
“Setelah menjual buku tulis kepada warung Tionhoa di Pasar
Tanah Abang, Guru Isa bergegas pulang.”71

7) Sekolah
Selama penyerangan yang dilakukan oleh serdadu NICA,
Guru Isa selalu mendapati sekolah tempat ia mengajar sepi,
tidak ada murid yang datang, teman-teman sesama guru pun
lekas pulang.
“Guru Isa memejamkan telinganya. Sekolah itu sepi. Guru-
guru lain sudah pulang. Dia merasa kepalanya agak
pening.”72

8) Di Kelas
Saat Guru Isa masuk ke dalam kelas, ia mendapati kelas
kosong tidak ada satu murid pun yang masuk, hal ini terjadi
karena serdadu NICA sering kali melakukan penyerangan.
“Langkahnya agak tegap, ketika dia masuk ke dalam kelas.
Seakan-akan kelas itu tidak kosong, tetapi penuh dengan
murid-murid yang menunggu kedatangannya. Perasaannya
yang segar itu tidak berkurang melihat kelas yang kosong dan
sepi.”73

9) Warung Pak Damrah


Dalam tempat ini sering menjadi tempat yang ramai saat jam-
jam orang berangkat kerja, terdapat sebuah warung tempat
orang-orang yang hendak kerja mampir sebentar untuk sarapan,
mereka bercerita tentang serdadu NICA.

71
Ibid, h.99
72
Ibid, h.23
73
Ibid, h.25
64

“Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minum-


minum.”74
“Empat orang opas kantor Kotapraja di Kebon Sirih. Mereka
hendak masuk kerja, dan singgah setiap pagi di sana minum
secangkir kopi dan makan sepotong dua potong pisang
goreng.”75

10) Rumah Guru Isa


Hazil selalu datang ke rumah Guru Isa, mereka berteman
baik, bahkan di rumah Guru Isa mereka membicarakan tentang
perjuangan, atau kadang hanya sekedar bermain musik
bersama.
“Sejak saat itu Hazil kerap datang ke rumahnya. Dan
perlahan-lahan dalam dua bulan yang terakhir ini mulai
tumbuh semacam persahabatan antara mereka.”76

11) Asam Reges


Tempat Hazil dan Rakhmat menyembunyikan senjata untuk
diseludupkan ke luar kota.
“Barang-barang itu disimpan di Asam Reges, dan harus
mereka bawa ke Manggarai. Di Manggarai akan di
sembunyikan di ruamah seorang kawan, dan berangsur-
angsur akan diselundupkan ke Karawang di dalam
lokomotif.”77
“Ke mana kita sekarang pak?” katanya.
“Asam Reges, depan pabrik limun,” kata Hazil.78

12) Manggarai
Setelah mengambil senjata di Asam Reges kemudian mereka
menaruhnya kembali di rumah seorang kawan di Manggarai,
dari situ akan dibawa dengan kereta menuju Karawang Bekasi.
“Truk disuruh berhenti oleh Hazil di sebuah rumah di jalan
samping di belakang tempat pemandian Manggarai.”79

74
Ibid, h.3
75
Ibid, h.3
76
Ibid, h.39
77
Ibid, h.72
78
Ibid, h.77
79
Ibid, h.86
65

13) Karet
Tempat serdadu NICA melakukan penyerangan tidak hanya
kepada rakyat biasa, namun juga kepada polisi.
“Engkau ingat serbuan NICA ke dalam pos pilisi di Karet?
Aku ada di sana. Semua polisi yang dalam pos itu habis
ditembak dan dipancung.”80

14) Gang Sentiong


Tempat serdadu NICA melakukan penggeledahan di rumah-
rumah, tidak hanya penggeledahan, tetapi serdadu NICA juga
melakukan penyiksaan kepada orang tua. Penyiksaan itu
dilakukan karena dia kenal dengan Rakhmat dan menceritakan
pekerjaan Rakhmat kepada mereka.
“Serdadu nica mengadakan penggeledahan di Gang Sentiong.
Orang tua di rumah itu ikut terbawa dengan beberapa orang
muda lain. Tetapi dia menceritakan semua pekerjaan
Rakhmat kepada mereka. Cerita orang tua dari Gang
Sentiong yang ditangkap dan disiksa Belanda itu, membuat
Guru Isa berdebar-debar.”81

15) Restoran
Tempat Hazil, Rakhmat, dan Guru Isa menunggu untuk
melancarkan aksinya di bioskop Rex.
“Guru Isa telah lama merasa perutnya dingin. Dia ingin dia
seribu kilo meter jauhnya dari restoran itu, dan dari bioskop
Rex.”82

16) Biosop Rex di Pasar Senen


Hazil dan Rakhmat melancarkan rencananya untuk
membalaskan dendam kepada serdadu NICA dengan
melemparkan granat ke arah serdadu-serdadu yang keluar dari
bioskop.
“Malam di Pasar Senen. Malam minggu. Di Kramatplein
amat ramainya. Bioskop yang hanya main satu kali pada sore

80
Ibid, h.92
81
Ibid, h.113
82
Ibid,
66

hari, karena jam malam yang diperlekas telah hampir


keluar.”83
“Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan
kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdadu-
serdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”84

17) Laan Trivelli


Setelah penyerangan yang dilakukan oleh Hazil, Rakhmat,
dan juga Guru Isa di bioskop, walaupun Guru Isa tidak ikut
ambil bagian dari pelemparan itu,namun Hazil berhasil
ditangkap dan mengatakan siapa saja yang terlibat dalam
organisasi perjuangan. Guru Isa ditangkap dan dibawa k
markas. Di tempat itu Guru Isa di siksa karena tidak menjawab
pertanyaan yang diberikan.
“Dia dimasukkan di kamar kecil di tangsi polisi militer di
Laan Trevelli. Kamar itu kosong. Hanya untuk dia sendiri.
Tidak ada meja, tidak ada kursi, tidak ada bale-bale, tidak ada
tikar. Jendelanya berjeriji besi.”85

Kapten muda itu sudah mengetahui segalanya dan ditempat


ini Guru Isa dipriksa agar mengakui dan memberikan
keterangan terkait dengan perjuangan yang dilakukannya
bersama Hazil. Di tempat ini pula Guru Isa di siksa hingga
hilang kesadarannya.
“Kita sudah tahu semuanya,” katanya memberi ingat,
suaranya menajam dan mengandung ancaman, “kamu lebih
baik mengaku. Kawan yang sudah tertangkap telah mengakui
semuanya.”
“Dia memandang dengan kehilangan akal kepada kapten itu.
Lidahnya menjadi kaku, dia tidak bisa berkata sesuatu apa. Di
dadanya seakan sebuah gendang besar dipukul keras-keras,
gedebuk-gedebuk, semakin lama semakin keras. Dan
kemudian semuanya menjadi gelap baginya. Guru Isa jatuh
pingsan.”86

83
Ibid, h.128
84
Ibid, h.129
85
Ibid, h.155
86
Ibid, h.157
67

Terkait latar tempat yang terdapat dalam novel JTAU adalah


latar tempat yang bersifat latar tipikal. Latar tipikal memiliki dan
menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur
tempat, waktu dan sosial-budaya.87 Tempat-tempat yang terdapat
dalam novel JTAU adalah lokasi penyerangan serdadu Belanda.
Sehingga kondisi yang tergambar dari latar tempat menunjukkan
kondisi penuh ancaman dari NICA di wilayah Jakarta.
Lokasi yang menjadi tempat serdadu Belanda melakukan
penyerangan adalah lokasi yang pada tahun 1946-1947 telah
berubah nama dari Batavia menjadi Jakarta. Pergantian nama
tersebut dilakukan oleh pihak Jepang saat mengalahkan penjajahan
Belanda pada tahun 1942. Jakarta dijadikan markas besar serdadu
NICA. Karena sejak zaman Vereenigde Oost-indische Compagnie
(VOC), dari kota inilah VOC mengendalikan perdagangan dan
kekuasaan militer dan politiknya di Nusantara. Kembalinya
Belanda ke Jakarta karena ingin menduduki kembali pemerintahan
yang mereka bangun.
Pasukan Belanda bersenjata tank, dibantu oleh pasukan udara
yang kuat, langsung menyusup ke dalam wilayah Republik
Indonesia. Dalam dua minggu, Belanda berhasil menguasai hampir
semua kota besar dan kota-kota penting di Jawa Barat dan Jawa
Timur.88 Belanda menempatkan pasukan-pasukannya di tempat
yang strategis. Agresi Belanda yang sering terjadi di wilayah
Jakarta sebagai upaya Belanda untuk memperluasan wilayah
kekuasaannya ke daerah Jawa Barat.

c. Latar Sosial
Latar sosial pada novel ini adalah keadaan sosial yang
menunjukkan kondisi pada waktu itu harga sembako yaitu beras

87
Nurgiyantoro, op. cit., h.308
88
George McTurnan Kahin. loc.cit.
68

yang makin mahal untuk dibeli oleh rakyat, bukan hanya itu
beraspun susah untuk di dapat. Seperti pada kutipan berikut.
“Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang
menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan
diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit,” bantah perempuan
itu.
“Beras susah masuk sekarang,” anak itu membela harganya.89

Kehidupan sosialnya pun rakyat yang selalu penuh ancaman


atau takut serangan atau penggeledahan yang dilakukan oleh
serdadu NICA. Parahnya lagi adalah orang dengan mudahnya
mengecap siapa saja yang menolak untuk ikut dalam perjuangan
akan dianggap sebagai mata-mata dan ada beberapa orang yang
bukan merupakan seorang serdadu berlaku keji dengan berani
membunuh seseorang lainnya lantaran hanya dituduh sebagai mata-
mata tanpa bukti yang kuat. Seperti pada kutipan berikut.
“Tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas,
“bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-
jangan nanti kita di cap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu
betapa mudahnya orang dipotong kerena soal yang bukan-bukan
saja.”90

Latar sosial yang terjadi pada saat itu, memberikan pengaruh


terhadap sikap Guru Isa. Membuat Guru Isa yang memiliki rasa
takut yang amat besar, terpaksa menjadi anggota organisasi
perjuangan. Dia pencinta damai selama hidupnya dia tidak pernah
berkelahi, dia takut dengan hal-hal yang berbau kekerasan, di sisi
lain Guru Isa takut dengan keadaan, berlatarkan cerita pada saat
serdadu-serdadu NICA kerap melakukan penyerangan,
penembakan dan penggeledahan, membuat orang yang menolak
berjuang dalam revolusi dianggap sebagai mata-mata lalu akan
dibunuh.

89
Lubis, op.cit, h.5
90
Ibid, h.39
69

“Dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang


lalu. Ketangkep lagi lewat di kampung. Diperiksa tidak mau
mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa, hah, terus
dibeginiin. “Dia menggerakkan tangannya seakan orang yang
hendak mencabut golok, kemudian dengan jari telunjuknya
digoresnya lehernya.”91

Kutipan di atas juga sebagai bukti betapa kejamnya seseorang


yang belum terbukti sebagai mata-mata tetapi dengan mudahnya
mereka mengambil tindakan keji seperti itu. Perlakuan yang tidak
seharusnya dilakukan terhadap manusia.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya.
Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
tempat, waktu dengan gayanya sendiri.92 Sudut pandang novel ini
adalah orang ketiga serba tahu. Mochtar Lubis sebagai pengarang
berada di luar cerita tetapi mengetahui semua yang ada dalam novel
ini, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, dan
tindakan. Seperti contoh berikut:
“Sebenarnya dia tidak suka dan amat enggan hadir. Tidak ada
dalam jiwanya kegembiraan membicarakan cara-cara mengawal
kampung pada malam hari, mengatur siasat pembelaan, dan
sebagainya. Melihat anak-anak muda itu membawa pistol timbul
rasa kecut hatinya. Tetapi, bagaimana dia akan menolak? Jika
ditolaknya, dia akan disyak dan dimusuhi orang sekampung. Lebih
hebat dia mungkin dituduh mata-mata musuh.”93

Walaupun sudut pandang yang digunakan adalah orang yang


berada di luar cerita, namun sudut pandang dalam novel JTAU
mampu menceritakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam alur
cerita dan mampu menggambarkan ketakutan yang dialami Guru Isa
selama kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 1946-1947.

91
Ibid, h.82
92
Nurgiyantoro, op. cit., hlm 151
93
Lubis. op.cit. h.38
70

“Peluh dingin membasahi dada, perut dan sepanjang tulang


punggung Guru Isa. Dia ingin menjerit, menangis, melolong, dan
lari, lari dan lari. Tetapi dia tidak menjerit. Tidak menangis. Tidak
melolong. Dan tidak habisnya dia bertanya dalam hatinya mengapa
dia sampai di sini.”94

6. Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam novel JTAU karya Mochtar Lubis
adalah bahasa keseharian. Tidak banyak kata atau kaliamat-kalimat
yang menggunakan perumpamaan atau bahasa yang indah dalam setiap
dialog atau saat mendeskripsikan keadaan. Penggunaan perumpamaan
lebih tepatnya dalah penggunaan majas personifikasi terdapat di
dalamnya saat menggambarkan kekhawatiran yang dirasakan Guru Isa.
Seperti pada kutipan berikut:
“Kemudian dia sadar, bahwa suara berisik-bisik yang didengarnya
hanyalah desau angin dan nangka yang bergeser-geser dihembus
angin”95

Personifikasi adalah majas yang yang mengkaitkan sifat-sifat


manusiawi pada suatu benda mati sehingga seolah-olah memiliki sifat
seperti benda hidup. Kata bergeser-geser pada kutipan tersebut dalam
kenyataannya hanya dapat dilakukan oleh manusia. Kutipan tersebut
dirasakan oleh Guru Isa saat dia mencemaskan suara malam yang
dianggapnya merupakan serbuan yang akan dilakukan oleh serdadu
Belanda.
Saat menyampaikan ketakutannya, Guru Isa menggunakan bahasa
yang membuat lawan bicaranya memahami betapa takutnya dia dengan
situasi yang dia hadapi saat itu dengan bahasa keseharian yang mudah
dipahami dan tegas saat diucapkan. Menunjukkan bahwa Guru Isa ikut
dalam organisasi perjuangan hanya karena terpaksa, dia takut dengan
keadaan pada masa revolusi ini. Karena ini adalah novel tentang

94
Ibid, h.129
95
Ibid, h.142
71

perjuangan, adapula penggunaan bahasa yang kasar seperti pada


kutipan berikut:
“Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan
sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.96
“Persetan! Sumpahnya. “Kenapa mesti saban pagi mesti ada
tembakan? Dunia ini sudah mau kiamat. Orang semua sudah
gila.”97

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa untuk


mendeskripsikan segala tentang tokoh dan peristiwa yang terjadi
dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis jauh dari
penggunaan estetika bahasa atau kata-kata indah.

7. Amanat
Amanat yang terkandung dalam novel ini adalah selama kita
memiliki sebuah keinginan, cita-cita, ataupun sebuah pengharapan
selama itu pula terdapat jalan yang harus dilalui walau tidak mudah,
tetap harus yakin bahwa kita akan mendapatkan hasil dari apa yang
kita perjuangkan. Jangan biarkan rasa takut menghentikan kita dalam
sebuah perjuangan, karena rasa takut yang muncul bukan hanya faktor
yang sedang terjadi tetapi juga rasa takut itu mucul dari dalam diri
kita. Bahwa setiap orang memiliki rasa takutnya masing-masing,
hanya bagaimana caranya kita dapat mengatasi ketakutan yang hadir
dalam diri sendiri dan melawannya, mengatasi dengan melakukan
yang terbaik sebisa yang dapat kita lakukan. Seperti pada kutipan
berikut:
“Manusia mesti belajar menguasai ketakutannya. Merasa takut
adalah satu perasaan yang sehat, dan kerja kita adalah melawan
rasa takut.”98

96
Ibid, h.6
97
Ibid, h.19
98
Ibid, h.120
72

C. Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar
Lubis
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal itu
penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan
suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Latar juga
mempunyai hubungan dengan unsur novel yang lain.
1. Hubungan dengan Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakan.99
Kaitan tema dengan latar tempat yaitu Kota Jakarta yang diliputi
ancaman penyerangan dan penyerbuan yang dilakukan oleh serdadu
Belanda pada tahun 1946-1947. Rasa takut dialami oleh Guru Saleh
dan juga Tuan Hamidi.
“Saya maksud mau pindah saja ke Purwakarta. Sama orang tua.
Tidak tahan terus-terus begini. Saban malam tidak bisa tidur.
Sebentar-sebentar geledahan.”100
“Is, engkau tahu, Tuan Hamidi di sebelah telah pergi mengungsi ke
Yogya. Hanya tinggal pamannya yang menjaga rumah.”101

Keadaan yang terjadi di Jakarta membuat orang-orang terdekat


Guru Isa memilih pergi, pindah ke luar kota yang aman dibanding
dengan Jakarta. Mereka meninggalkan kota karena takut menjadi
korban kebrutalan serdadu Belanda.
Tema berkaitan dengan unsur novel yang lain, salah satunya terkait
dengan latar. Karena, tema yang dibangun pengarang dalam
menciptakan karya sastra harus didukung oleh latar yang menguatkan
tema. Tema yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung adalah
rasa takut. Rasa takut yang tidak hanya dialami oleh tokoh utama yaitu
Guru Isa dan Hazil, namun juga rasa takut yang dialami oleh banyak
tokoh.
99
Siswanto, op.cit, h.161
100
Ibid, h.94
101
Ibid, h.108
73

2. Hubungan Penokohan
Latar yang dimaksudkan adalah tempat dan suasana lingkungan
yang mewarnai peristiwa. Ke dalamnya tercakup lokasi peristiwa,
suasana lokasi, sosial budaya setempat, dan bahkan suasana hati
tokoh. Yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara latar dengan
peran yang dimainkan oleh tokoh.102 Karakter seseorang akan
dibentuk oleh keadaan latarnya. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
berlatarkan cerita pada saat awal revolusi yaitu tepatnya pada tahun
1946-1947, di mana serdadu Belanda atau lebih dikenal dengan NICA
menjadi ancaman di Jakarta, novel ini yang lebih mendominasi adalah
tokoh Guru Isa dan Hazil, mereka memiliki karakter yang berbeda.
Guru Isa seorang yang menginginkan ketenangan. Hazil, pemuda yang
pemberontak dan memiliki semangat untuk perjuangan yang
dipilihnya.
“Melihat anak-anak muda itu membawa pistol tumbuh rasa kecut
hatinya. Tetapi bagaimana ia akan menolak? Jika ditolaknya, dia
akan disyak dan dimusuhi orang sekampung. Lebih hebat dia
mungkin dituduh mata-mata musuh.”103

Latar sosial yang terjadi pada saat itu, memberikan pengaruh


terhadap sikap Guru Isa. Membuat Guru Isa yang memiliki rasa takut
yang amat besar, terpaksa menjadi anggota organisasi perjuangan. Dia
pencinta damai selama hidupnya dia tidak pernah berkelahi, dia takut
dengan hal-hal yang berbau kekerasan, di sisi lain Guru Isa takut
dengan keadaan, berlatarkan cerita pada saat serdadu-serdadu NICA
kerap melakukan penyerangan, penembakan dan penggeledahan,
membuat orang yang menolak berjuang dalam revolusi dianggap
sebagai mata-mata lalu akan dibunuh.
“Aku takut sebenarnya Fat, katanya. Tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata. Memakai pistol saja aku

102
Atmazaki. loc. cit,
103
Lubis, op. cit, h.38
74

tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata
orang.”
“Tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas, “bukankah
semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-jangan nanti
kita di cap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa mudahnya
orang dipotong kerena soal yang bukan-bukan saja.”104

Karakter Guru Isa selain berkaitan dengan latar cerita yang terjadi
pada novel JTAU, juga berkaitan dengan profesinya sebagai seorang
Guru. Pendidikan dan tugas Guru menyebabkan ia mengutamakan
sikap-sikap tertentu. Misalnya, Guru Isa mengutamakan pengajaran
yang lemah lembut. Ia mesti mengutamakan pendidikan ke arah
kebaikan, sehingga pembunuhan binatang pun akan dianggap kejam
olehnya.

“Engkau lihat, aku seorang Guru. Aku tidak suka pada kekerasan.
Semenjak dahulu aku tidak pernah ikut berkelahi. Aku benci
berkelahi. Aku anggap berkelahi pekerjaan kasar dan orang biadab.
Tetapi mereka pilih aku menjadi salah seorang pemimpin.” 105

Dari kutipan berikut menunjukkan bahwa Guru Isa ikut dalam


organisasi perjuangan hanya karena terpaksa, dia takut dengan
keadaan pada masa revolusi ini. Rasa takut yang dialami oleh Guru Isa
adalah rasa takut yang terdapat dalam kehidupan Guru Isa, seorang
guru biasa yang sepanjang tahun 1946-1947 dengan tidak sepenuh
hati, terpaksa turut serta dalam perjuangan menentang musuh-musuh
asing.
“Engkau tahu mengapa aku terima? Bukan karena semangat
revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api, aku
memang cinta tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum
ada itu tradisi yang mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk
tanah air, untuk itu aku belum pernah hidup dalam tanah air yang
mesti dibela dengan darah, jadi jika ada orang berkata mempunyai
semangat seperti ini, maka itu semangat palsu dan dibikin-bikin.

104
Ibid, h.39
105
Ibid, h.73
75

Aku terima karena aku takut. Dan aku bertambah takut setelah
menerimanya.”106

Di satu sisi yang lain profesi Guru Isa dapat menguntungkan bagi
organisasi yang dipelopori oleh Hazil. Profesinya sebagai guru
memungkinkan gerak-gerik yang dilakukan Guru Isa dalam
perjuangan melawan Belanda tidaklah diketahui atau dicurigai.
“Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena
kedudukannya sebagai guru, maka dia menjadi wakil ketua panitia
keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasehat Badan
Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR.”107
“Alangkah terkejutnya dia, ketika dia terpilih menjadi kurir,
pengantar senjata dan surat-surat di dalam kota Jakarta. Alasan-
alasan pemuda-pemuda itu ialah, karena dia guru sekolah, maka
orang tidak akan curiga padanya.”108

Karakter berbeda ditunjukkan oleh Hazil, seorang pemuda yang


pemberani dan pemberontak. Pemberontakan yang dilakukan Hazil
adalah saat ia tidak mendengarkan perkataan Ayahnya untuk tidak
berjuang melawan Belanda.
“Jangan Ayah! Kita perlu senjata ini untuk perjuangan
kemerdekaan.”
“Kemerdekaan? Nah!” Sumpah Mr. Kamaruddin.
“Kamu anak-anak muda sudah gila. Apa engkau pikir kamu bisa
menang berperang melawan Belanda? Berontak-berontak seperti
orang gila!”109
Kedatangan Belanda pada saat itu membuat Hazil memilih jalan
perjuangan, membela tahan air lantaran ia tidak ingin bangsanya
dijajah kembali. Dengan gigih ia berjuang, melakukan perlawanan
atau mengatur strategi dalam perjuangannya.
“Ini jalan perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini
revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai
kemerdekaan.”110

106
Ibid, h.74
107
Ibid, h.27
108
Ibid, h.39
109
Ibid, h.20
110
Ibid, h.46
76

“Manusia Indonesia sebagai gerombolan dapat dijajah oleh


Belanda lebih dari 350 tahun. Itu massa begitu saja tidak ada
artinya. Gerombolan pun hanya dapat bergerak karena ada
individu-individu yang dapat mengangkat diri mereka di atas
gerombolan-gerombolan itu. Maka musikku bukan musik
gerombolan, tetapi musik manusia seorang-seorang.”111

Apa dilakukan Hazil, ia tidak begitu memperdulikan berapa banyak


orang yang mengikuti jejaknya, berjuang melawan serdadu Belanda
pada saat itu, yang dia lakukan hanyalah menjalankan apa yang sudah
menjadi pilihannya.
“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “Kita pergi mengambil senjata
dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan
kemudian akan diselundupkan ke Karawang. Engkau Masih
berani?”112
“Dan ketika Hazil kemudian berkata, bahwa yang akan melempar
granat ialah Rakhmat dan dia, dan Guru Isa perlu ikut hanya untuk
melihat apa mereka berhasil.”113

Hazil dapat dikatakan sebagai penggerak perjuangan melawan


serdadu NICA, ia yang mengatur siasat dan rencana dalam melawan
serdadu Belanda dengan mengatur untuk menyeludupkan senjata
keluar kota dan melakukan penyerangan kepada serdadu Belanda
dengan melemparkan granat ke arah mereka.
Berdasarkan perbadaan antara Guru Isa dengan Hazil juga
berdasarkan usia mereka yang berbeda. Guru Isa relatif tua sedangkan
Hazil relatif muda dan juga seorang bujang. Maka, Guru Isa seorang
yang menjadi dewasa pada masa ketenangan sebelum kedatangan
Jepang, sehingga tak heran kalau ia menginginkan ketenangan. Hal
yang berbeda dengan Hazil yang mengalami pendewasaan pada masa
pendudukan Jepang dan revolusi, sehingga ia memang terbiasa pada
kehidupan yang resah. Guru Isa terpaksa menjadi kaum revolusioner

111
Ibid, h.47
112
Ibid, h.78
113
Ibid, h.131
77

lantaran keadaan sosial yang menuntutnya, sedangkan Hazil memilih


menjadi pejuang revolusi karena ingin terbebas dari ancaman NICA.

3. Hubungan Waktu Peristiwa


Latar atau setting novel setelah kemerdekaan berbicara tentang
masa ditulisnya yaitu tahun 50-an, meskipun setengah dari setting
kekinian itu berupa pula setting masa yang belum lama berlaku, yakni
kisah-kisah revolusi.114 Peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang
diangkat ke dalam cerita fiksi memberikan landasan waktu secara
konkret. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung
atau tidak langsung, harus berkesesuaian waktu sejarah yang menjadi
acuannya. Hal ini terjadi pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis pertama kali terbit yaitu pada tahun 1952, namun cerita
di dalamnya berlatarkan cerita pada tahun 1946-1947.
Novel JTAU berlatarkan saat Belanda atau yang dikenal dengan
NICA kembali ke Indonesia untuk melakukan penjajahan kembali.
Namun, semangat revolusi pada cerita ini tergambarkan oleh peran
Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat yang berjuang melawan serdadu yang
mengancam kota. Dalam novel JTAU secara jelas digambarkan
penyerangan yang dilakukan oleh NICA, seperti pada kutipan berikut;
“Tapi setelah Belanda menyerang tanggal dua puluh satu yang lalu,
maka sekarang kita harus bergerak dalam kota.”115

Hal tersebut dalam sejarah Indonesia memang benar terjadi. Sekitar


bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah memutuskan bahwa mereka
harus menyerang Republik secara langsung. Pada tanggal 20 Juli 1947
tengah malam pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’. Pasukan-
pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa

114
Jacob Sumardjo. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. (Bandung: Alumni, 1999)
h.41
115
Lubis. op.cit, h.122
78

Barat (tidak termasuk banten), dan dari Surabaya untuk menduduki


Madura dan Ujung Timur.116
Latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung tidak
langsung, akan berpengaruh terhadap cerita dan pemlotan atau alur
cerita, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.117
Terkait dengan latar waktu yang terdapat dalam novel JTAU karya
Mochtar Lubis memberikan pengaruh terhadap alur yang terdapat
dalam cerita. Alur yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis yaitu alur maju, dimana kisah yang diceritakan
bersifat kronologis, yaitu peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti
oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hal tersebut diperkuat oleh latar
waktu setelah terjadinya peristiwa perjanjian Linggarjati, Belanda
justru menunjukkan agresinya dengan menyerang pada tanggal dua
puluh satu, klimaksnya adalah Hazil, Rakhmat dan juga Guru Isa
melaksanakan pembalasan dari yang sudah mereka rencanakan.
Mereka akan melempar granat atau bom tangan ke bioskop Rex di
Pasar Senen. Di tempat itu terdapat beberapa serdadu Belanda, Hazil
dan Rakhmat pun melempar granat itu dan mengenai beberapa
serdadu Belanda.
Novel JTAU merupakan novel yang menceritakan peristiwa-
peristiwa yang berhubungan dengan peristiwa sejarah. Karena jika
latar cerita dengan hubungan waktu tidaklah sesuai, maka novel
tersebut merupakan novel anakronisme, yaitu ketidaksesuaian latar
waktu dalam cerita yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam
realitas sejarah.

4. Hubungan dengan Kondisi Sosial Ekonomi


Datangnya kembali Belanda pascakemerdekaan mempengaruhi
keadaan ekonomi di Indonesia, hal ini tergambar pula pada novel
116
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1995) h.338
117
Nurgiyantoro, op. cit., h.313
79

Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dalam novel ini keadaan
ekonomi yang karut marut sesuai dengan keadaan kondisi ekonomi
masyarakat pada saat itu, yang tejadi adalah kekurangan akan
kebutuhan pokok mengakibatkan barang susah didapat seperti halnya
beras dan mengalami lonjakan harga yang tinggi. Seperti pada kutipan
berikut;
“Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang
menjaga warung.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit.” Bantah perempuan
itu.
“Beras susah masuk sekarang.”118

Keadaan yang membuat harga beras melonjak juga dikuatkan oleh


pernyataan Tuan Hamidi yang menjadi saudagar beras yang
mengalami kesulitan dalam pemasokan beras.
“Selamat pagi, Tuan Hamidy,” Katanya membalas senyum ramah,
dan dia berhenti, “bagaimana beras dari Karawang?” tanyanya.
“Minggu ini tidak sekarung yang bisa masuk. Semuanya ditahan di
Cikarang.”119

Mahalnya harga beras dan sulitnya mendapatkan kebutuhan pokok


mengakibatkan masyarakat kecil hanya bisa mengharapkan hutang
beras untuk makan sehari-hari.
“Saya ngutang saja,” sahut perempuan itu, dan tangannya
menjangkau bungkusan beras.
“Tidak boleh bon lagi sekarang,” kata Baba Tan dari pintu warung.
“Tapi saya langganan lama.”
“Ya, tapi sekarang semua susah, saya juga banyak yang susah.
Tidak bisa kasih hutang. Tidak bisa!”120

Keadaan sulit seperti itu juga dirasakan oleh Guru Isa yang
merupakan seorang guru namun gajinya tidak cukup untuk untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi setiap hendak berangkat

118
Lubis. Op.Cit, h. 5
119
Ibid, h.66
120
Ibid, h.5
80

kerja, Fatimah selalu mengharapkan Guru Isa pulang dengan


membawa uang untuk membeli kebutuhan makan esok.
“Kalau hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi ke
mana harus menghutang beras,” kata Fatimah padanya. “Gula pun
telah habis. Kepada Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima
liter. Belum aku ganti sudah seminggu. Sedanga aku berjanji
mengembalikannya dalam dua hari. Membon di warung susah
benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama amat tidak
dibayar.”121

Sehingga untuk memenuhi kebutuahn pokok kehidupannya Guru


Isa melakukan tindakan di luar norma seperti mencuri. Kesulitan
ekonomi membuat ia mencuri buku di sekolahnya. Padahal, Guru Isa
dikenal sebagai seorang yang lembut, orang yang baik-baik dan tidak
mengenal kekerasan.

Guru Isa berdiri dan pergi ke lemari menyimpan buku-buku yang


telah diperiksanya. Ketika dia hendak menutup lemari kembali,
tiba-tiba pandangannya terpaut pada bungkusan buku-buku tulis
yang baru….Sesuatu berkata, bahwa dengan mengambil dan
menjual beberapa puluh buku itu dia akan dapat uang.
Guru Isa tertegun. Perkelahian terjadi dalam hatinya. Tiba-tiba dia
merasa malu pada dirinya, bahwa pikirannya sendiri menyuruh ia
mencuri.

Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak


seharusnya dilakukan oleh seorang guru, tapi apa daya untuk
menghidupi dirinya dan keluarganya, tindakan ini ia lakukan walau
terselip rasa malu.
“Aku juga telah jatuh begitu rendah, mencuri dari sekolahku
sendiri,” pikir Guru Isa amat pahit dan amat malu.
“Ambillah barang sepuluh atau lima belas, tidak ada orang yang
akan tahu.” pikirannya menyuruh mencuri.
“Dijual sebentar laku di toko Tionghoa di Pasar Tanah Abang itu.
Dapat terjuang tujuh rupiah setengah sebuah. Sepuluh dapat uang
tujuh puluh lima rupiah. Lumayan.”
“Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan tangan yang
gemetar Guru Isa membuku bungkusan buku-buku tulis baru itu,
diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutup kembali. Buku

121
Ibid, h.65
81

tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa dimasukkannya ke


dalam tasnya. Baru setelah tas dikuncinya, dia merasa lega
sedikit.”122

Guru Isa terpaksa mencuri buku di sekolahnya. Ia menjual buku


tersebut, sedangkan uangnya untuk makan. Keadaan ekonomi pada
pada saat itu membuat Guru Isa sampai tidak hanya sekali saja
mencuri. Saat persediaan makan di rumahnya habis, Guru Isa mencuri
lagi. Keadaan ekonomi pada saat itu mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat, mereka harus hidup seadanya bahkan kesusahan, terlebih
lagi dalam keadaan ekonomi sulit pada tahun 1946-1947 masyarakat
dihadapkan oleh serangan atau perang yang dilakukan oleh NICA.

5. Hubungan Sosial Politik


Pada tahun 1946-1947 latar waktu yang terdapat dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Indonesia sedang berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang sudah didapat, hal tersebut
terjadi karena kembalinya Belanda untuk merebut kembali
kemerdekaan yang sudah didapat. Pada novel Jalan Tak Ada Ujung
diceritakan perjuangan politik generasi muda mempertahankan
kemerdekaan yang telah berhasil diraihnya. Tokoh Guru Isa ikut andil
dalam perjuangan tersebut. Ia bergabung dalam organisasi perjuangan
laskar rakyat. Guru Isa mengikuti revolusi dan menjadi bagian dari
BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pada masa itu BKR adalah badan
resmi yang di bentuk oleh pemerintah untuk menjaga keamanan
rakyat.
“Sebagai kebanyakan orang dihari-hari pertama revolusi itu, Guru
Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya
dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini ia membiarkan
dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak. Arus pikiran-
pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-macam orang.
Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena
kedudukannya sebagai guru, maka ia menjadi wakil ketua panitia

122
Ibid, h.68-69
82

keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan


Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR.”123

Tidak hanya membentuk organisasi, Hazil bersama Guru Isa dan


Rakhmat membuat rencara lain yaitu menyeludupkan senjata ke luar
kota, hal tersebut mereka lakukan untuk persediaan di luar kota,
karena kaum revolusioner seperti Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat
mengambil langkah politik menyerang di luar kota yang tidak terlalu
kuat pertahanan dari tentara Belanda.
“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan
membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan
kemudian akan diselundupkan ke Karawang.”
“Kalau mau perang juga bukan di Jakarta lagi,” kata Hazil. “Di sini
kita tidak bisa perang. Musuh terlalu kuat. Karena itu sekarang kita
bikin persediaan di luar kota. Sebab itu senjata-senjata mesti
dikirim ke luar kota.”124
Langkah politik tidak hanya dilakukan oleh Hazil dan Guru Isa,
Belanda pun memiliki strategi politik dengan membuat perjanjian
linggarjati. Perjanjian ini digunakan untuk memecah halangan yang
muncul dari rakyat. Mereka menipu rakyat dengan iming-iming
perdamaian. Rakyat merasa damai setelah penandatanganan perjanjian
Linggarjati. Rakyat berharap dengan adanya perjanjian tersebut
kondisi Indonesia tidak kacau lagi dan dapat hidup damai.
“Bukankah persetujuan Linggarjati sudah ditandatangani. Masa
kita msih terus berperang? Bukankah kita disuruh berdamai?” ….
Ketika perjanjian Linggarjati ditandatangani dengan upacara yang
hebat tanggal 25 Maret yang lalu, maka sebentar Guru Isa
mengecap sejuk udara kebebasan.”125

Padahal perjanjian Linggarjati sebenarnya digunakan oleh Belanda


untuk menipu dunia Internasional.
“Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk menipu dunia
internasional saja. Kita mesti lekas bersiap-siap.” Hazil memukul-
mukul meja dengan tangannya.”126
123
Ibid, h.27
124
Ibid, h.78
125
Ibid, h.106
126
Ibid, h.107
83

Perjanjian Linggarjati menghendaki pembentukan sistem federasi,


ditetapkan secara jelas bahwa sistem itu merupakan hasil kerja sama
antara Belanda dan Republik. Van Mook secara sepihak menciptakan
suatu sistem federasi yang sesuai ketetapan-ketetapan yang ia rasa
cocok. Kaum Republiken melihat sistem yang mulai ia bangun tak
ubahnya kebijakan memcahbelah dan menguasai yang terselubung
rapi dan yang pada akhirnya direncanakan sebagai upaya hegemoni
Belanda atas seluruh Indonesia.127
Meskipun Perjanjian Linggarjati telah disepakati, namun hal itu
tidak meruntuhkan niat Hazil untuk membebaskan Indonesia dari
Belanda. Hazil tetap menjalankan rencananya untuk menyerang
serdadu Belanda, bersama dengan Rakhmat dan Guru Isa mereka
menyerang serdadu Belanda dengan melemparkan granat di Bioskop
Rex yang saat itu banyak terdapat serdadu Belanda.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah


Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dapat dimanfaatkan
menjadi bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas
(SMA) yaitu disesuaikan dengan fungsi, unsur-unsur dan ketepatan
pemilihan bahan ajar sehingga dapat diterapkan dalam silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Hal itu dilakukan agar bahan
ajar yang disampaikan kepada peserta didik dapat tersampaikan dengan
baik sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Tujuan pengajaran apresiasi sastra sebenarnya dapat dikembalikan
kepada pemahaman hakikat cipta sastra itu sendiri. Dalam hal ini sastra
dipandang sebagai rekaman usaha manusia (sastrawan) untuk
mengekspresikan dan mengkomunikasikan gagasannya dengan harapan
manusia, impian, cita-cita, perasaan, pikiran, pengalaman dan
hubungannya dengan masyarakat. Tujuan umum tersebut harus dapat

127
Kahin, Op.Cit., h.278-279
84

dijabarkan oleh guru menjadi tujuan-tujuan yang lebih khusus yang hasil
pencapaiannya akan menghasilkan berbagai aspek unit pengajaran yang
menyarankan aktivitas siswa.128
Mengekspresikan karya sastra dengan demikian berarti menanggapi
sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-
nilai yang dikandung karya yang bersangkutan, baik yang tersurat maupun
yang tersirat. Di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut berupaya
memahami nilai yang diperoleh dari bacaan dengan konteks
persoalannya.129
Pembelajaran apresiasi karya sastra, khususnya pada novel berfungsi
sebagai cara memotivasi siswa agar dapat belajar secara optimal.
Penggunaan novel JTAU sebagai bahan pembelajaran menarik siswa untuk
mengetahui keadaan sejarah pada masa setelah kemerdekaan. Siswa
diharapkan agar dapat lebih tertarik untuk mengembangkan daya
imajinasinya dengan bahan pembelajaran karya sastra bernuansa sejarah
yang belum diketahui sebelumnya, terlebih lagi siswa dapat mengkaitkan
latar pada novel JTAU dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa itu. Dari segi latar waktu, tempat dan juga latar sosial pada
novel JTAU menceritakan tentang keadaan masyarakat pada tahun 1946-
1947, tidak hanya itu dalam kurun waktu yang terdapat dalam novel JTAU
mereka juga mendapatkan semangat dalam mempertahankan kemerdekaan
yang sudah didapat Indonesia namun Belanda atau NICA datang kembali
dan melakukan penyerangan terhadap rakyat sipil. Dalam proses
mengapresiasi sastra siswa akan mengetahui bahwa karya sastra bukan
hanya karya rekaan atau fiksi yang dibuat, tetapi juga dapat berisikan
informasi sejarah atau merefleksikan berdasarkan zaman sastra itu dibuat.
Hakikat pengajaran ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai
yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati

128
Mukhsin Ahmadi. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi
Sastra. (Malang: Yayasan Asah Asuh Asih, 1990) h.87-88
129
Bambang Kaswanti Purwo. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa. (Yogyakarta: Kanisius, 1991) h.
58
85

pengalaman-pengalaman yang disajikan itu. Secara khusus, pengajaran


sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai
indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial.130
Dalam bentuknya yang paling sederhana, pembinaan apresiasi sastra
membekali siswa dengan keterampilan mendengarkan, membaca, menulis,
dan berbicara.
Nilai-nilai yang dapat diambil dari novel JTAU adalah nilai
keberanian dalam berjuang mempertahankan tanah air yang dilakukan
Hazil untuk melawan musuh asing, terdapat pula kerja sama yang baik
untuk saling tolong-menolong dan yang terpenting adalah dalam novel
JTAU keberanian melawan rasa takut, karena semua orang memiliki
ketakutannya masing-masing. Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat
diapliksikan oleh siswa, untuk saling bekerja sama dan tolong-menolong
sesama teman maupun orang disekitarnya.
Berbagai metode dicetuskan untuk melaksanakan tugas pengajaran
seefektif mungkin, baik metode dasar yang bersifat umum maupun metode
yang khusus untuk kondisi siswa dan juga kondisi kelas tertentu dan juga
mata pelajaran tertentu. Namun, pada kenyataannya di lapangan
menunjukkan bahwa kunci keefektifan pengajaran terletak pada cara
komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa. Agar bahan pembelajaran
tersebut dapat dipelajari oleh siswa dengan baik maka diperlukan metode
pengajaran yang sesuai. Beberapa metode pembelajaran, yaitu metode
ceramah, tanya jawab, diskusi dan penugasan. Kombinasi keempat metode
tersebut secara bergantian dengan tujuan agar siswa tidak mudah jenuh dan
dari metode tersebut diharapakan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan
dengan efektif dan mencapai tujuan dari pembelajaran.
Metode ceramah dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atau
informasi mengenai bahan pembelajaran yang akan dibahas dalam diskusi,
sehingga diskusi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai. Dalam kegiatan diskusi ini terdapat

130
Ibid, h.61
86

proses mempresentasikan hasil kerja kelompok, tidak hanya itu perwakilan


anggota harus berdialog terkait kutipan yang digunakan. Dilanjutkan
proses tanya jawab dari siswa satu ke siswa yang lain atau dapat juga tanya
jawab antara guru dengan siswa. Pada akhir kegiatan diskusi, siswa
diberikan beberapa tugas yang harus dikerjakan baik saat itu juga ataupun
dikerjakan di rumah. Maksudnya untuk mengetahui hasil yang dicapai
siswa melalui diskusi tersebut. Dengan demikian, tugas ini sekaligus
merupakan umpan balik bagi guru terhadap hasil diskusi dan proses tanya
jawab yang dilakukan siswa.
Bahan pembelajaran ini diterapkan pada pembahasan materi yang
sesuai dengan panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Dalam KTSP terdapat Kompetensi Dasar yang mengamati siswa
untuk terampil dalam memahami novel. Di kelas XI (sebelas) semester
ganjil pada Standar Kompetensi 6 (keenam) (memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/novel terjemahan) kompetensi dasar 6.2 (menganalisis
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan).
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Dari sejumlah uraian yang dilakukan oleh penulis, mengenai latar atau
setting dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan
pemanfaatannya sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah
Menengah Atas (SMA), maka dapat disimpulkan:
1. Novel Jalan Tak Ada Ujung (JTAU) karya Mochtar Lubis berhasil
merefleksikan zaman revolusi melalui latar atau setting pada tahun
1946-1947, pada saat itu adalah masa kembalinya Belanda atau NICA
yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Indonesia merdeka.
Novel JTAU dapat dikatakan sebagai dokumen sejarah bangsa
Indonesia berupa karya sastra, pada saat itu latar atau setting yang
terdapat dalam novel memaparkan banyak tentang peristiwa yang
terjadi di berbagai tempat dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun
saat keberadaan NICA di Indonesia, tidak hanya itu dalam novel JTAU
juga menjelaskan latar sosial berupa keadaan ekonomi dan politik pada
saat kembalinya Belanda ke Indonesia. Pada saat itu pergerakan
nasional dilakukan oleh kaum muda untuk memberontak dan melawan
serdadu NICA, para kaum revolusioner pada saat itu membentuk
kelompok perlawanan dengan mendirikan sebuah organisasi. Bentuk
perlawanan lainnya adalah dengan berjuang melawan serdadu NICA
dengan aksi penyerangan yang dilakukan kaum revolusioner pada
masa itu.
2. Karya sastra sebagai salah satu bahan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam menyampaikan
pesan atau amanat yang ingin disampaikan penulisnya kepada
pembaca. Amanat itu antara lain, semangat perjuangan nasional
terhadap bangsa dan Negara kepada peserta didik. Salah satu

87
88

kompetensi yang harus dicapai peserta didik dalam mata pelajaran


bahasa dan sastra Indonesia adalah memahami karya sastra.
Pemahaman tentang latar atau setting dalam novel JTAU menjadi
penting dalam pembelajaran apresiasi sastra. Tujuan dari pengajaran
novel JTAU agar siswa dapat mengetahui latar waktu, tempat, sosial
yang mencakup keadaan ekonomi dan politik pada saat itu dengan
mengkaitkan dengan peristiwa yang benar terjadi pada saat itu. Selain
itu, lewat karya sastra dapat meelatih peserta didik untuk berpikir logis
dan memperoleh pengetahuan baru yaitu mendapatkan informasi
tentang sejarah bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu, novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis sebagai karya sastra yang menjadi
dokumen sejarah perjuangan revolusioner saat melawan serdadu NICA
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di
sekolah.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka ada beberapa saran
yang penulis ajukan:
1. Penelitian yang membahas tentang latar atau setting yang terdapat
dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis masih jauh dari
sempurna, oleh sebab itu penelitian-penelitian yang mengangkat
masalah serupa masih perlu dilakukan. Pernyataan tersebut berkaitkan
dengan esensi penelitian yang pada hakekatnya adalah suatu
penyempurnaan yang bersifat melengkapi penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya.
2. Guru diharapkan tuntas dalam menyampaikan teori mengenai analisis
unsur intrinsik karya sastra, karena pembahasan mengenai karya sastra
tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pembentuknya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mukhsin. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan


Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asah Asuh Asih. 1990.
Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar.


Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Butar-butar, Charles. Analisis Struktur pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya
Mochtar Lubis. Indonesia Scientific Journal Database. Vol.6, 2008.

Depdiknas, Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013.

Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra, terj. Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005.
Hardjana, Andre. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983.

Harian Sinar Harapan. “Idealisme Bersastra dan Melawan Takut: Pelajaran dari
Mochtar Lubis”. Edisi Sabtu, 14 Agustus 2004.

Harian Tempo. “Mochtar Lubis Dianugerahi Bintang Mahaputera”. Edisi Minggu,


15 Agustus 2004.
Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Terj. Tim
Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Baru. 2013.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2012.
Kompas. “Hadiah Sastra Chairil Anwar untuk Sastrawan Mochtar Lubis”. Edisi
Sabtu, 15 Agustus 1992.
Lubis, Mochtar. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.2003.

Luxemburg, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia. 1996.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2009.

89
90

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press. 2013.
Oesman, Boen S. “Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar”
dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa.
Yogyakarta: Kanisius. 1991.
Pedoman Rakyat. “ Pembicaraan Singkat Beberapa Karya Fiksi Mochtar Lubis”.
Edisi 02 Februari 1984.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Ratna, Nyoman Khuta. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


2009.
_____. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. 1995.
Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pustaka. 2010.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sumardjo, Jacob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni.


1999.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 2011.

Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia. Cet. 1. Flores: Indonesia Nusa Indah. 1980.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah : SMA Budi Mulia Ciledug


Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI/1 (satu)
Alokasi Waktu : 4 x 45 menit (2 x pertemuan)

A. Standar kompetensi
6. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.

B. Kompetensi dasar
6.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik novel Indonesia/novel terjemahan.

C. Indikator KD
1. Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan,
sudut pandang, gaya bahasa, latar, dan amanat) novel Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis
2. Siswa mampu memahami latar yang terjadi dalam cerita pada novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan mengkaitkan peristiwa yang terjadi pada
tahun 1946-1947.
3. Siswa mampu mengkaitkan latar yang terdapat dalam novel dengan peristiwa
yang benar terjadi dalam sejarah Indonesia.

D. Tujuan Pembelajaran
Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsic dan mampu memahami latar
yang terjadi pada cerita dalam novel JTAU dan mengetahui apa saja peristiwa
yang terjadi pada latar waktu novel tersebut.
E. Target Penanaman Karakter
Dapat dipercaya (Trustworthines)
Rasa hormat dan perhatian (Respect)
Tekun (Diligence)
Tanggung jawab (Responsibility)
Berani (Courage)
Percaya diri (Self-Confident)
Santun (Polite)

E. Materi Pembelajaran
Memahami novel dan unsur-unsur yang terdapat dalam novel.

F. Metode Pembelajaran
1. Metode : Ceramah, diskusi, tanya jawab dan penugasan.
2. Strategi : observasi, eksplorasi, dan implementasi.

G. Langkah-langkah Pembelajaran
Pertemuan 1
Tahap Kegiatan Waktu
(menit)
Kegiatan  Guru memberi salam dan memeriksa kesiapan
Awal kelas.
 Guru menjelaskan materi yang akan dibahas dan
tujuannya. 10’
 Guru memberikan apersepsi.
 Guru membagi siswa ke dalam beberapa
kelompok.
Kegiatan  Guru menjelaskan tentang novel Indonesia
Inti  Guru menjelaskan tentang unsur intrinsik novel 55’
dan mengklasifikasikan latar yang terdapat dalam
novel.
 Guru dan siswa bertanya jawab mengenai unsur
intrinsik novel dan klasifikasikan latar yang
terdapat dalam novel
 Guru memberikan contoh penggalan novel untuk
dianalisis unsur-unsur intrinsiknya
 Guru menjelaskan cara mengklasifikasikan latar
yang terdapat dalam novel.
 Siswa secara berkelompok membaca novel
kemudian menentukan unsur intrinsik dan latar
yang terdapat dalam novel.
 Guru menugaskan kepada siswa secara
berkelompok untuk menganalisis unsur-unsur
intrinsik dan latar yang terdapat dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung.
 Guru memberikan novel Jalan Tak Ada Ujung
untuk tugas kelompok.
 Perwakilan kelompok menyampaikan hasil kerja
kelompoknya.
 Guru memberi penguatan terhadap hasil kerja
yang disampaikan siswa.
Kegiatan  Siswa dan guru membuat kesimpulan akhir materi
Akhir hari ini
 Guru menindaklanjuti pelajaran pada pertemuan
berikutnya. 10’
 Guru menyampaikan salam penutup
 Guru dan siswa merancang pembelajaran yang
akan datang.

Pertemuan 2
Kegiatan Waktu
Kegiatan  Guru memberi salam dan memeriksa kesiapan 10’
Awal kelas
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai
 Guru dan siswa bertanya jawab tentang tugas
kelompok yang diberikan pada pertemuan
sebelumnya
Kegiatan  Siswa berkelompok mendiskusikan tugas 55’
Inti rumahnya dengan bimbingan guru
 Guru mengarahkan proses diskusi
 Masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil tugas rumahnya secara bergantian
 Kelompok lain memberikan tanggapan tentang
hasil analisis dari kelompok lain
 Seluruh siswa bertanya jawab mengenai hasil
analisis
Kegiatan  Guru memberikan penilaian 15’
Penutup  Siswa dan guru membuat kesimpulan akhir materi
hari ini
 Guru menyampaikan salam penutup
H. Sumber Belajar/ Alat/ Bahan
1. Buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XI
2. Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
3. Sumber lain yang mendukung, seperti buku, majalah, artikel dll.
I. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian
Indikator Teknik Bentuk Instrumen
Instrumen
1. Siswa menganalisis unsur- 1. Bacalah novel
unsur intrinsik novel Tes Penugasan Jalan Tak Ada
2. Siswa dapat Tertulis Ujung, kemudian
mengidentifikasi latar atau menganalisis
setting yang terdapat dalam unsur intrinsik
novel 2. Kemukakan latar
3. Mampu mengkaitkan yang terdapat
peristiwa yang benar-benar dalam novel
terjadi berdasarkan latar 3. Mengkaitkan
waktu pada novel latar dengan
peristiwa sejarah
yang benar terjadi

J. Rubrik Penilaian dan Pedoman Penskroran


1. Jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel!
No. Aspek Skor
1. Tepat dan disertai kutipan 5
2. Tepat dan tidak disertai kutipan 4
3. Kurang tepat dan disertai kutipan 3
4. Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2
2. Jelaskan Macam-macam latar yang digunakan dalam novel tersebut!
No. Aspek Skor
1. Tepat dan disertai kutipan 5
2. Tepat dan tidak disertai kutipan 4
3. Kurang tepat dan disertai kutipan 3
4. Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

3. Peristiwa apa saja yang terdapat dalam novel yang sesuai dengan peristiwa
sejarah!
No. Aspek Skor
1. Tepat dan disertai kutipan 5
2. Tepat dan tidak disertai kutipan 4
3. Kurang tepat dan disertai kutipan 3
4. Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

Perhitungan Nilai Akhir


Skor yang diperoleh
Nilai = x 100=
Skor Maksimum

Jakarta, Agustus 2015


Mengetahui,
Kepala Sekolah SMA Budi Mulia Guru Bidang Studi

Dr. H. Moh. Suryadi Syarif, S.E.,M.M. Hardiyani Windari


1r

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen: FITK-FR-AKD-08i


UIN JAKARTA
FORM (FR)
Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK
Jl. b. H. JuaNa No 95 Ciputat 15412 lndonesia

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI


Nomor : Un.O lff. l/KM .01.3t..1!.?.l.DOt4 Jakarta, 3 Desember 2014
La.p. :-
Hal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth.
Ahmad Bahtiar, M. Hum
Pembimbing Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

As s alamu' al aikum wr.w b

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II


(materi/teknis) penulisan Skripsi mahasiswa:

Nama Hardiyani Windari


NIM I I I 1013000084
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester VII (Tujuh)
Judul Skripsi : Nasionalisme Dalam Novel Jalan
Tak Ada ujung karya Mochtar
Lubis dan rmplementasinya Terhadap pemberajaran Bahasa dan
Sastra fndonesia di SMA.
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal I Desember
2014 , abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul
tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi
Jurusan terlebih dahulu.

Bimbingan skripsi ini diharapkan setesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang
selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat.perpanjangan.

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Was s al amu' alailatm wr -wb.

Ketua Jurusan
. Buhuru dan Sastraj nesla
\

Tembusan:
1. Dekan FITK
2. Mahasiswa ybs
l
lr
f;.'r
6.
In'
V
LEMBAR UJI RDFERENSI
i:
it
ls
Seluruh referensi yang digsnakan dalam penelitian slaipsi berjudul "Analisis
Latar dalm Novel Jalan Tak Ada (IjungKarya Mochar Lubis serta lmplikasinya
terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolatr Menengah Atas (SMA)" yang
disusun oleh HARDIYANI WINDARI, NIM 11il013000084, Jurusan
Perdidikan Bahasa dan Sastra Indonesiq Fakultas Ihnu Tarbiyah dan Kegrruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah disetujui
kebenarannya oleh dosen pembimbing skrip'si pada selasa, 15 September 2015.

Jakarta, 15 September 201 5

DosenPembimbing
I
!::.

/(L^
.: t.

ii,
"i
t

/ t(, 'l
Ahmad Bahtiar. M.Hum.
NIP. 19760118 200912 I 002
I
!

:" $'
' Daftar Referensi

No Referensi HalamanBuku Paraf


Pembimbing
1. Robert Escarpit. Sosiologi Sa.stra,
ted. Ida Sundari Husen, Jakarta: I
Yayasan Obor lndonesi4 2005.
,\
2. Burhan Nurgiantoro. Teori
Pengkajian Filcsi, Yogyakarta: 23,151,302-304 &

3.
1:^i^L f,r.^l^
\JA.J.III

Marwati Djoened
r,JtlrVvrtraJ/ rT)-^^^
MA.rr4 rT-.:-,^-^:+-, nn ra
rv!D, /-WLJ.

Poesponegoro
ano 11r
JVA.J IJ
1
dan Nugroho Notosusanto. Sejamh 96
Nasionai lncionesia t/l. (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008)

4. George McTurnan Kahin.


Nasionalisme dan
Revolusi 305 & 278-279
Indonesia, terj. Tim Komunitas
Bambu. Depok: Komunitas Baru, ,\
2013.

t B. Rahmanto. Metode Pengajaran


Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1 988. 15

6. Depdiknas, Standar Isi untuk


A
Satuan Pendidikan Dasor dan 107
Menengah, Jakarta: Badan Standar
Nasional Pendidikan, 20A6. A
7. Sugihastuti. Teari Apresiasi Sastra.
Yogyakarta: Fustaka Pelaia,r, 2W7. l6R
A
8. Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
D.a*oi. D^.,1-1-^-,^
rwrrr4J(a
,)nn0
r\vrsanJ 4. -vw ).
4& II
,1
a
qt
I

i.

,+
9. Henry Guntur Tarigan. Prinsip-
Prinsip Dasar Sastra, Bandung: 12s &,164-t69
Angkasa,2011.
/-,
10, Wahyudi Siswanto. Pengantar 92, 142,151, 159-159
Teori Sastra. Jakarta: PT. & t6t
Grasindo,2008.
A
11. Jan Yan Luxqmburg, dkk.
Pengantar llmu Sastra. Terj. Dick

12.
Hartoko. Jakarta: Gramedia" 1996.

Wrjaya Heru Santosa dan Sri


8
Wahyuningtyas. Pengantar 47

I?
Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma
Pustaka.2010.
4
R.obert Stanton, Tccri Fihc;, teq.
Sugihastuti dan Rossi Abi Al 33 & 53-54
Irsyad. Yogyakarta:
Pelajar,20A7.
Pustaka
fr
t4. Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan
Terapan. Padang: Angkasa Raya, 62
1990.
E
15. Furqonul Aziez dan Abdul Hasim,
Mengonalisis Fiksi: Sebuah 74
Pengantar. Bogor:
Indonesia,20i0.
Ghalia
E
16. Heru Kurniawan, Tenri, Metode,
dan Aplikasi Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Graha llmu, 20 I 2.
3& t1
E
17. Andre Hardjana. Kritik Sastra.
Sebuah Pengantar. Jakarta 78
Gramedia, 1983.
A
18. Nyoman Khuta Ratna, Paradigma
Sos i ol ogi Sastr a, Yogyakarta: I
Pustaka Pelaiar. 20A9. cet.Il.
:F

ii
i
s

f.
t

rD
i 19. Suwardi Endraswara, Metadologi
ti Penelrtian Sastra. Yogyakarta: 77-79
CAPS.2OI3,
A
20. Nyoman Khuta Ratna, Teori,
Metode, dan Telmik Penelitian 339-340
Sastra, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009. A
21. Mochtar Lubis. Jhlan Tak Ada 1-8, 11, lg-20,23,25,
Wmg Jakarta:Yayasan Obor 27-28,30,37-39,46-
lndonesia.2003. 47,59,61,65-66,69-
69,73-74,7',1,79,79,
80 82 86 e? 94 e7
99, 100, 102, 106, ,4
107, 109, 113, 119,
l22,l2g-129, 131,
'14? 14R 1{r 1{{
157, 164-165, 166-
t 167
A. Teeuw Sastra Baru Indonesia.

I
22.
(aat 1
\-/vL. r, Itrl^-^^.
lvrvD, f-,{^-^^:^
itriJiJiiusiai IrL,^^
i.tUsA 141I
/,w
Indah, 1980.

./.). l-{tgiau
,rq, turt tT^*^^
etttpu. "\l[^^L+^o
rVlvvttai'a T.rLi-
iJijuis t

4
I
Dianugerahi Bintang Mahaputera",
edisi Minggu, 15 Agustus 2004.

L+. Konrpus. "Hacliah Sasfu'a Ciiairii


Anwar unfuk Sastrawan Mochtar I
Lubis", edisi Sabtu, 15 Agustus
1992.
h
25. Harian Sinar Harapan. "Idealisme
Bersastra dan Melawan Takut:
Peiajaran dari iviochtnr Lubis",
edisi Sabtu, 14 Agustus 2004.
\
I r*"
t;

[*
fi

ff'n
E
Ic
t,r
g5
I
t
26. Pedoman Rakyat. " Pembicaraan
laL Singkat Beberapa Karya Fiksi I
h
Mochtar Lubis". Edisi 02 Februari
i
::

I
1984. A
27. Jacob Sumardio. Konteks Sosial
Novel Indonesia
Bandung: Alumni, 1999.
1920-1977. 4t
A
28 M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, I 995.
338
A
29. M,:khsin Alumadi. St"at egi Be I aj ar-
Me ngaj ar K e t eramp i I an B erb ahas a
dan Apresiasi Sastra. Malang:
Yayasan Asah Asuh Asih, 1990.
57-58
h
I

l- 30. Boen S. Oesman '?embinaan


Apresiasi Sastra Dalam Proses 58
Belaj ar Mengajat'' dalam Bambang

1
Kas'wanti Pui**o (ed). Bulir-Bulir
Sastra dan Bahasa. Yogyakartra:
Kanisius, 1991.

\
PROFIL PENULIS

Hardiyani Windari lahir di Tangerang


pada 04 September 1993. Riwayat
pendidikannya dimulai dari SDN
Paninggilan 04 Ciledug, SMP Negeri 219
Jakarta Barat, dan SMA Budi Mulia
Ciledug. Kemudian melanjutkan
pendidikannya di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mengambil
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Tujuan utamanya menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta adalah untuk ikut perperan terhadap kemajuan bangsa melalui
pendidikan. Putri dari Bapak Harno dan Ibu Sri Winda mempunyai impian
untuk menjadi seorang guru dan anak yang bermanfaat bagi kedua orang
tua dan keluarga yang dicintainya. Semoga karya pertamanya ini skripsi
dengan judul “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra
di Sekolah Menengah Atas (SMA)” menjadi awal dari kesuksesan yang
akan mendatang.

Anda mungkin juga menyukai