Stine
Pembalasan Di Malam Halloween
(Goosebumps #48)
Chapter 1
Chapter 2
PESTA Halloween di rumah Lee sudah ramai ketika Walker dan aku datang.
Orangtua Lee telah memasang pita hiasan berwarna jingga dan hitam di ruang
tamu. Tiga buah jack-o'-lantern—lentera yang dibuat dari labu besar, yang diukir
berbentuk wajah menyeramkan—di ambang jendela depan menatap kami sambil
nyengir.
Orang pertama yang kujumpai tentu saja Tabby. Biarpun memakai kostum, ia
langsung bisa kukenali. Habis, ia berkostum putri kerajaan.
Tabby mengenakan gaun berwarna pink dengan lengan panjang dan kerah renda
yang tinggi. Rambutnya yang pirang disisir ke atas, dan dihiasi mahkota
berkilauan.
Ia menyambutku sambil tersenyum dengan bibirnya yang dipoles lipstik.
"Eh, Drew, ya?" ia bertanya sambil berlagak tidak mengenaliku. "Kau jadi apa,
sih? Tikus, ya?"
"Bukan!" semburku. "Aku bukan tikus. Aku orang Klingon. Kau tidak pernah
nonton Star Trek di TV, ya?"
Tabby terkekeh-kekeh. "Kau yakin kau bukan tikus?"
Lalu ia berbalik dan meninggalkanku sambil tersenyum-senyum. Tampaknya ia
senang sekali telah berhasil mengejekku.
Aku menggeram tertahan, lalu memandang berkeliling untuk mencari teman
mengobrol. Aku melihat Shane dan Shana di depan perapian. Mereka mudah
dikenali. Mereka sama-sama berkostum orang-orangan salju.
"Kostum kalian bagus sekali!" kataku kepada mereka.
Mereka memakai dua bola salju berwarna putih. Satu bola salju besar untuk
menutupi badan, dan satu lagi yang lebih kecil untuk menutupi kepala.
Bola salju yang lebih kecil diberi lubang untuk mata. Tapi aku tidak tahu yang
mana Shane, dan yang mana Shana.
"Bola saljunya terbuat dari apa?" tanyaku.
" Styrofoam," jawab Shana. Suaranya kecil melengking, dan aku langsung
mengenalinya. "Kami menghabiskan dua blok besar styrofoam untuk kostum ini."
"Wow, keren," ujarku.
"Pestanya ramai, ya?" kata Shane. "Semua teman sekelas kita datang. Sudah lihat
kostum Bryna Morse? Dia menyemprot seluruh badannya dengan cat semprot
warna perak. Muka dan rambutnya juga!"
"Jadi apa dia?" aku bertanya sambil memandang berkeliling untuk mencarinya.
"Silver surfer?"
"Bukan. Menurutku dia jadi Patung Liberty," sahut Shane.
"Soalnya, dia bawa obor dari plastik."
Suara berderak dari perapian membuatku tersentak kaget.
Sebagian besar lampu dipadamkan, sehingga suasananya jadi remang-remang,
cocok sekali untuk pesta Halloween. Api di tempat perapian menghasilkan
bayangan-bayangan yang menari-nari di lantai.
Aku membalik dan melihat Walker menghampiri kami. Seluruh tubuhnya
terbungkus perban dan kain kasa. Kelihatannya ia jadi mumi.
"Aku ada masalah," katanya.
"Masalah apa?" tanya Shane.
"Ibuku kurang rapi sewaktu membungkusku tadi," Walker menggerutu.
"Perbannya sudah mulai terlepas."
Ia berusaha mengencangkan perban yang tampak mengendur di sekeliling
lehernya.
"Aaaagh!" ia berseru kesal. "Semuanya sudah mau copot."
"Tapi kau pakai baju, kan?" tanya Shana.
Shane dan aku tertawa. Aku membayangkan Walker berdiri di tengah pesta cuma
dengan pakaian dalam, sementara di kakinya bergulung-gulung tumpukan perban.
"Ya, tentu saja pakai baju," jawab Walker. "Tapi kalau perban ini copot semua, aku
bakal terpelanting."
"Hei—ada apa?" Lee menyela percakapan kami. Ia memakai kostum Batman, tapi
aku mengenali matanya yang gelap di balik topeng. Dan aku juga mengenali
suaranya.
"Pestanya ramai ya," ujar Shana.
"Yeah, memang," aku mengulangi.
Lee hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang sangat, keras membuat semua anak
memekik kaget. Semua berdiri seperti patung.
"Apa itu?" seru Lee.
Suasana jadi hening.
Bunyi itu terdengar lagi. Disusul bunyi benturan. Dan suara orang berbisik-bisik.
"K-kedengarannya dari ruang bawah tanah!" kata Lee tergagap-gagap. Ia
melepaskan topeng Batman. Aku segera melihat ekspresi ngeri yang tercermin di
wajahnya. Kami semua menoleh ke pintu terbuka di ujung ruang tamu.
Aku bisa melihat tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.
"Oh...!" Lee berseru tertahan ketika bunyi benturan kembali terdengar.
Lalu menyusul suara langkah berat—menaiki tangga.
"Ada orang masuk!" Lee menjerit ketakutan. "Ada perampok! Perampok!"
Chapter 3
"MOM! Dad!" teriak Lee. Suaranya terdengar melengking di ruang tamu yang
mendadak sunyi. Semua anak seakan-akan terpaku di tempat.
Aku merinding ketika mendengar suara langkah yang menaiki tangga itu.
"Mom! Dad! Tolong!" Lee kembali berteriak sambil membelalakkan mata karena
ngeri.
Tak ada jawaban.
Ia berlari ke arah kamar orangtuanya di bagian belakang rumah.
"Mom? Dad?"
Aku hendak mengikutinya. Tapi beberapa detik kemudian ia sudah kembali ke
ruang tamu. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Orangtuaku—mereka hilang!"
"Panggil polisi!"
"Ya! Telepon sembilan-satu-satu!" teriak Walker.
Lee bergegas ke pesawat telepon di samping sofa. Kakinya menyenggol kaleng
Pepsi yang ditaruh di karpet. Tapi ia tidak menghiraukannya.
Ia menyambar gagang telepon dan langsung menempelkannya ke telinga. Aku
memperhatikannya menekan nomor untuk keadaan darurat. Tapi kemudian ia
berpaling ke arah kami, dan membiarkan gagang telepon terlepas dari tangannya.
"Teleponnya mati!"
Beberapa anak memekik tertahan.
Aku berpaling ke arah Walker dan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu.
Tapi sebelum aku sempat bicara, dua sosok besar muncul dari pintu ruang bawah
tanah.
"Ahhhh!" Lee meraung ketakutan. Tabby mundur selangkah dan setengah
bersembunyi di belakang Lee. Matanya yang bermake-up tebal terbelalak karena
ngeri.
Kedua sosok tak dikenal itu cepat-cepat melintasi ruang tamu dan menghalangi
pintu keluar. Salah satu memakai topi rajut biru yang ditarik sampai menutupi
wajah, sedang rekannya memakai topeng gorila yang terbuat dari karet.
Keduanya memakai jaket kulit hitam dan celana jeans hitam.
"Waktunya berpesta!" si gorila berseru dengan suara parau. Ia tertawa. Tawanya
terdengar kejam. "Ayo, mari berpesta semuanya!"
Beberapa anak memekik ketakutan. Jantungku mulai berdegup-degup. Tiba-tiba
saja aku jadi panas-dingin.
"Siapa kalian?" tanya Lee di tengah hiruk-piruk. "Bagaimana kalian bisa masuk?
Di mana orangtuaku?"
"Orangtua?" balas orang yang memakai topi rajut. Matanya biru cerah, hampir
sama birunya dengan topi yang menyelubungi wajahnya. "Memangnya kau punya
orangtua?"
Keduanya tertawa.
"Di mana mereka?" seru Lee.
"Mungkin mereka kabur sewaktu melihat kami datang!" jawab si topi rajut.
Lee menelan ludah.
Tabby maju sedikit. "Kalian tidak boleh seenaknya masuk ke sini!" ia menghardik
kedua orang tak dikenal itu. "Kami sedang berpesta!"
Si gorila berpaling kepada temannya dan tertawa. Keduanya tertawa terpingkal-
pingkal sambil menengadah.
"Sekarang giliran kami yang pesta!" seru si gorila. "Pesta ini kami ambil alih!"
Di sekeliling ruangan terdengar bisik-bisik. Kakiku mendadak lemas. Aku terpaksa
berpegangan pada pundak Walker agar jangan sampai ambruk.
"M-mau apa kalian?" tanya Tabby tergagap-gagap.
Chapter 4
Chapter 5
Begitulah Tabby dan Lee mengacaukan perayaan Halloween dua tahun lalu.
Aku dan Walker—Shane dan Shana juga—benar-benar kesal.
Bukan. Kami bukan cuma kesal. Kami benar-benar marah.
Halloween adalah perayaan kesukaan kami. Dan kami keberatan kalau ada yang
mengacaukannya dengan lelucon konyol seperti itu.
Jadi, tahun lalu kami memutuskan untuk membuat perhitungan.
Chapter 6
"KITA perlu dekor istimewa," ujar Shana. "Jangan hanya labu dan kerangka
tulang. Itu sudah biasa."
"Yeah, kita perlu sesuatu yang lebih menyeramkan," usul Shane.
"Kurasa Jack-o'-lantern cukup menakutkan," aku berkeras. "Terutama kalau kita
pasang lilin di dalamnya. Tampangnya yang gelap kan jadi menyala-nyala, dan
senyumnya tampak bengis."
"Ah, Jack-o'-lantern terlalu kekanak-kanakan," Walker membantah. "Mana ada
yang takut pada Jack-o'-lantern. Shana benar. Kita butuh sesuatu yang lebih
menyeramkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee."
Waktu itu seminggu sebelum Halloween. Kami berempat sedang bekerja keras di
rumahku. Kami sedang mempersiapkan pesta Halloweenku.
Ya. Tahun lalu aku mengadakan pesta Halloween. Kenapa aku memutuskan untuk
membuat pesta?
Alasannya cuma satu. Untuk membalas dendam.
Untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee.
Walker, Shane, Shana, dan aku telah menghabiskan satu tahun untuk berunding
dan menyusun rencana. Kami hendak membuat kejutan paling mengerikan bagi
mereka.
Kami tidak ingin membuat lelucon kejam seperti orang yang berlagak jadi
perampok.
Itu terlalu kejam. Dan terlalu menakutkan.
Sampai sekarang masih ada beberapa temanku yang bermimpi buruk tentang
orang-orang dengan topi rajut dan topeng gorila.
Kami berempat tidak bermaksud menakut-nakuti semua tamu. Kami cuma ingin
mempermalukan Tabby dan Lee—dan membuat mereka ngeri setengah mati.
Dan sekarang, seminggu sebelum malam yang ditunggu-tunggu, kami berempat
sedang berkumpul di ruang duduk di rumahku sehabis makan malam. Seharusnya
kami mengerjakan PR. Tapi Halloween sudah di ambang pintu. Kami tidak punya
waktu untuk memikirkan PR. Seluruh waktu kami habis tersita untuk menyusun
rencana.
Shane dan Shana ternyata punya banyak ide menyeramkan. Padahal tampang
mereka begitu manis dan lugu. Tapi itu cuma kesan dari luar saja. Kalau kita sudah
mengenal mereka, kita akan tahu bahwa mereka sebenarnya sangat jail.
Walker dan aku cenderung memilih ide yang sederhana. Makin sederhana, makin
menyeramkan. Begitulah jalan pikiran kami berdua.
Aku hendak menjatuhkan sarang labah-labah tiruan dari atas tangga, untuk
menjerat Tabby dan Lee. Aku tahu toko yang menjual sarang labah-labah tiruan
yang sangat lengket.
Walker punya labah-labah tarantula yang dipeliharanya di dalam kandang kaca di
rumahnya. Itu tarantula sungguhan. Ia mengusulkan untuk menempelkan tarantula
itu ke sarang labah-labah, lalu menjatuhkannya ke rambut Tabby.
Asyik juga idenya.
Walker juga ingin membuat pintu kolong di lantai ruang duduk.
Begitu Tabby dan Lee menginjak pintu kolong itu, kami akan membukanya dan
mereka akan terperosok ke ruang bawah tanah.
Sebenarnya sih aku suka ide itu. Tapi dengan berat hati aku terpaksa menolaknya.
Aku tidak yakin Mom dan Dad akan mengizinkan kami menggergaji lantai ruang
duduk.
Lagi pula, aku cuma ingin menakut-nakuti kedua anak brengsek itu. Aku tidak
ingin mereka sampai patah leher.
"Genangan darah palsunya mau kita taruh di mana?" tanya Shane.
Ia memegang genangan darah plastik berwarna merah di kedua tangan. Bersama
Shana, ia telah membeli selusin genangan seperti itu di sebuah toko kostum.
Ukurannya berbeda-beda, dan darahnya persis seperti darah sungguhan.
"Dan jangan lupa lendir hijau ini," Shana mengingatkan kami. Di sampingnya ada
tiga kantong plastik berisi lendir hijau.
Walker dan aku membuka satu kantong, lalu meraba-raba lendir kenyal dan
lengket di dalamnya.
"Di mana kalian beli lendir ini?" tanyaku. "Di toko yang sama?"
"Bukan. Ini keluar dari hidung Shana!" Shane berkelakar.
Shana langsung memprotes dan meraih salah satu kantong plastik. Ia mengayun-
ayunkan kantong plastik itu, seakan-akan hendak memukul saudara kembarnya.
Shane tertawa dan langsung melompat dari sofa.
"Hei! Hati-hati!" aku berseru. "Kalau kantong itu sampai pecah..."
"Lendirnya mungkin bisa kita tempel ke langit-langit," Walker mengusulkan.
"Yeah! Ide bagus!" ujar Shane. "Biar Tabby dan Lee terkena tetesan dari atas."
"Bagaimana kalau kita oleskan sekalian ke tubuh mereka!"
Walker menambahkan dengan penuh semangat. "Biar mereka jadi monster lendir
hijau!"
"Blub blub blub!" Shana mengayun-ayunkan tangan sambil berlagak tenggelam
dalam genangan lendir.
"Memangnya lendir ini bisa menempel di langit-langit?" aku bertanya. "Bagaimana
caranya supaya lendirnya menempel cukup lama di atas? Dan bagaimana cara kita
menggiring mereka supaya berdiri persis di bawahnya?"
Akulah yang selalu memikirkan urusan pelaksanaan. Kawan-kawanku memang
punya banyak ide gila. Tapi mereka tak pernah tahu cara melaksanakannya. Itu
sudah jadi tugasku.
"Mana aku tahu," jawab Walker. Ia bangkit dari kursinya. "Aku mau ambil minum
dulu."
"Bagaimana kalau lendirnya tersembur dari Jack-o'-lantern?"
Shane mengusulkan. "Cukup seram, kan?"
"Bagaimana kalau ada darah palsu yang tersembur dari Jack-o'-lantern?" ujar
Shana. "Itu lebih seram lagi."
"Kita harus bisa menjebak Tabby dan Lee," kata Shane sambil berpikir keras.
"Lendir, sarang labah-labah, dan darah palsu ini gri ebumemang seru. Tapi kita
harus bisa membuat mereka menyangka diri mereka benar-benar terancam bahaya.
Kita harus bisa membuat mereka percaya bahwa mereka akan mengalami sesuatu
yang benar-benar mengerikan."
Aku baru saja hendak menyetujui pendapat Shane ketika lampu-lampu mendadak
padam.
"Oh...!" aku berseru kaget. Mataku berkedip-kedip dalam gelap.
"Ada apa ini?" Shane dan Shana tidak menyahut.
Tirai jendela sudah ditutup semua, sehingga cahaya dari luar tidak bisa masuk.
Saking gelapnya, aku tidak bisa melihat kedua temanku yang duduk persis di
depanku!
Dan kemudian aku mendengar suara parau berbisik-bisik, dekat sekali di telingaku:
"Kalian harus ikut aku. Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke
tempat asal kalian. Pulanglah—ke kuburan."
Chapter 7
AKU berdiri persis di samping pesawat telepon ketika telepon itu berdering. Suara
mendadak itu membuatku tersentak kaget.
Apakah aku agak tegang?
YA!
Aku langsung menyambar gagang telepon. "Halo?"
Kemudian aku mendengar suara yang akrab di telingaku. "Hai, Drew. Ini Tabby."
"Tabby!" seruku. Aku menyangka ia hendak menanyakan jam berapa pestanya
dimulai. "Pestanya dimulai jam delapan," ujarku.
"Tapi kalau kau dan Lee..."
"Justru karena itu aku meneleponmu," Tabby memotong. "Lee dan aku tidak bisa
datang nanti malam."
"Hah?"
Gagang telepon itu sampai terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.
Aku segera membungkuk untuk memungutnya. Tapi karena terburu-buru, aku
hampir membuat mejanya terbalik.
"Apa? Apa katamu?" aku bertanya cepat-cepat, takut salah dengar.
"Lee dan aku tidak bisa datang," Tabby mengulangi. "Kami mau ke rumah saudara
sepupu Lee. Sepupunya boleh keliling sampai tengah malam untuk mengumpulkan
permen. Dia akan mendatangi empat daerah berbeda, dan dia bilang kami bakal
dapat berkantong-kantong permen. Sori."
"Tapi, Tabby..." aku mencoba memprotes.
"Sori," katanya. "Sampai ketemu, ya. Bye."
Ia menutup telepon.
Aku meraung dengan suara parau, lalu jatuh berlutut di lantai.
"Ada apa, sih?" tanya Walker.
"Mereka—mereka—mereka..." Aku tidak sanggup menyampaikan kabar buruk itu.
Teman-temanku berkerumun di sekelilingku. Walker berusaha membantuku
berdiri. Tapi kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak ingin bangkit dari lantai.
"Mereka tidak jadi datang!" aku akhirnya mampu berkata. Suaraku parau. "Mereka
tidak jadi datang."
"Oh," Walker mengeluh dengan lesu. Shane dan Shana menggeleng-gelengkan
kepala, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kami semua terpaku di tempat. Kami benar-benar patah semangat. Segala kerja
keras kami ternyata percuma.
Satu tahun kerja keras ternyata sia-sia.
Aku tidak akan menangis, kataku pada diriku sendiri. Rasanya aku ingin menangis,
tapi aku menahannya.
Aku bangkit dengan tubuh gemetaran. Dan menoleh ke arah sofa.
"Astaga, apa itu?" aku memekik.
Semua menoleh, dan mengikuti pandanganku. Sebuah lubang besar tampak di
salah satu sofa yang terbuat dari kulit cokelat.
"Aduh!" Shana meratap. "Tadi aku sempat main-main dengan bola lendir. Rupanya
bolanya jatuh ke sofa waktu aku berdiri tadi. Dan sekarang sofanya berlubang!"
"Cepat—tutup lubang itu sebelum Mom dan Dad tahu...," kataku.
Tapi tentu saja tepat pada detik itulah Mom dan Dad muncul di ruang duduk.
"Bagaimana? Sudah siap menyambut tamu-tamu kalian?" tanya Dad.
Aku menyilangkan jari sambil berharap mereka tidak melihat lubang menganga di
jok sofa.
"Astaga! Kalian apakan sofanya?" Mom memekik.
***
Baru lama kemudian Mom dan Dad bisa melupakan sofa yang rusak itu.
Sementara aku bahkan butuh waktu lebih lama lagi untuk melupakan pestaku yang
gagal total.
Begitulah kejadian pada malam Halloween tahun lalu. Jadi, dua tahun berturut-
turut perayaan Halloweenku kacau balau.
Sekarang sudah satu tahun berlalu.
Dan Halloween tahun ini sudah di ambang pintu. Tahun ini, kami punya alasan dua
kali lebih banyak untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee.
Kalau saja kami punya rencana....
Chapter 9
Chapter 10
BEGITULAH khayalanku.
Aku sedang berdiri di tepi jalan di depan rumahku, menunggu kedatangan teman-
temanku. Dan sambil menunggu, aku berkhayal bahwa Tabby dan Lee dijebak oleh
dua orang tua yang suka menyekap anak-anak berkostum untuk selama-lamanya.
Dalam khayalanku itu, Walker dan aku berhasil lolos melalui sebuah pintu
samping.
Tapi Tabby dan Lee tertangkap sebelum mereka sempat kabur. Dan setelah itu
mereka tak pernah terlihat lagi.
Seru, kan?
Aku masih asyik membayang-bayangkan kejadian itu ketika Walker, Shane, dan
Shana akhirnya tiba. Langsung saja kami masuk ke rumah dan naik ke kamarku.
"Kenapa sih kau senyum-senyum terus, Drew?" tanya Shana sambil duduk di tepi
tempat tidurku.
"Aku baru saja membayangkan sesuatu yang lucu," sahutku. "Tentang Tabby dan
Lee."
"Kalau mengenai mereka, apanya yang lucu?" tanya Walker.
Ia memungut bola tenis dari lantai dan melemparkannya kepada Shane. Keduanya
mulai bermain oper-operan di kamarku.
"Kejadiannya lucu sekali," kataku sambil duduk tegak dan meregangkan otot.
"Terutama bagian akhirnya. Aku menceritakan khayalanku kepada teman,
temanku. Mereka semua tertawa senang.
Tapi kemudian Shana menegurku. "Kita tidak punya waktu untuk bermimpi, Drew.
Kita perlu rencana nyata. Sebentar lagi Halloween akan tiba."
Walker melempar bola terlalu tinggi. Bola itu menghantam lampu baca di meja
belajarku, hingga terbalik. Shane melesat ke arah lampu dan menangkapnya
sebelum membentur lantai.
"Wah, hebat!" seru Walker. "Gerakan paling cekatan bulan ini!"
Ia menepuk punggung Shane. Saking kerasnya, hampir saja lampu yang dipegang
Shane terlepas.
"Grrrr!" Aku melotot pada Walker sambil menggeram, lalu menunjuk kursi
belajarku. "Duduk di situ. Kita harus memeras otak sekarang."
"Drew benar," ujar Shana. "Tahun ini kita harus berhasil menakut-nakuti Tabby
dan Lee. Kita harus membuat perhitungan untuk membalas dua Halloween yang
kacau. Harus!"
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Walker sambil menjatuhkan badannya
yang jangkung kurus ke kursi belajarku. "Bersembunyi di balik semak-semak lalu
mengagetkan mereka?"
Sikapnya benar-benar tidak mendukung.
"Aku punya beberapa ide seram untuk acara pesta," ujarku. "Menurutku..."
"Jangan! Jangan bikin pesta lagi!" sela Shana.
"Betul. Jangan bikin pesta," saudara kembarnya menimpali.
"Tahun lalu kita sudah bekerja begitu keras untuk mempersiapkan pesta itu. Dan
tahu-tahu Tabby dan Lee tidak jadi datang."
"Grrrrr." Aku langsung menggeram ketika teringat peristiwa tahun lalu itu.
"Tapi, kalau kita tidak bikin pesta, bagaimana cara kita menakut-nakuti mereka?"
tanya Walker sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajar.
"Shane dan aku punya beberapa ide seru," kata Shana.
"Yeah. Tahun ini kalian harus mendengarkan Shana dan aku," ujar Shane. "Kami
punya rencana yang bagus sekali. Percayalah, Tabby dan Lee bakal gemeteran
sepanjang tahun. Sungguh!"
Walker menggeser kursinya lebih dekat. Shane duduk di sampingnya. Aku
mencondongkan badan ke arah Shana di tempat tidur.
Sambil berbisik-bisik, Shana menceritakan rencana mereka kepada Walker dan
aku. Rencana mereka ternyata memang sangat menyeramkan.
Cuma mendengarkan penjelasan Shana saja sudah membuatku merinding.
"Gampang, kan?" Shana mengakhiri penjelasannya. "Dan pasti berhasil. Aku jamin
deh."
"Kita akan membuat Halloween paling berkesan untuk Tabby dan Lee!" Shane
berkoar.
"Wow, jahat sekaliii," Walker bergumam.
Aku menatap si kembar yang gendut dan berpipi kemerahan. Tampang mereka
begitu polos. Begitu manis dan lugu. Tapi otak mereka, bukan main! Rencana yang
telah mereka siapkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee benar-benar
mengerikan!
"Rencana kalian memang jahat," aku membenarkan. "Dan kejam, dan seram, dan
menakutkan." Aku menyeringai lebar. "Dan aku suka!"
Kami semua tertawa.
"Jadi bagaimana? Semuanya setuju?" tanya Shane. Kami semua mengangguk, lalu
bersalaman.
"Bagus," kata Shana. "Nah, Drew, tugasmu adalah mengajak mereka ikut acara
trick or treat alias berkeliling untuk mengumpulkan permen bersamamu.
Selebihnya biar Shane dan aku yang urus."
"Beres," aku menyahut, masih sambil tersenyum lebar. "Tenang saja."
Kemudian kami bersorak-sorai dan saling memberi selamat. Kami tahu bahwa
inilah saat yang kami tunggu-tunggu—saat kemenangan kami.
Shana hendak mengatakan sesuatu—tapi tiba-tiba Mom mengintip dari pintu.
"Wah, kelihatannya kalian serius sekali. Apa sih yang sedang kalian bicarakan?"
"Ehm... tidak penting kok," jawab Walker cepat-cepat.
"Kami lagi bikin rencana untuk Halloween, Mom," ujarku.
Mom menggigit bibir. Roman mukanya jadi serius.
"Begini, Drew," katanya sambil menggelengkan kepala, "rasanya lebih baik kalau
tahun ini kau tetap di rumah pada malam Halloween."
Chapter 11
"MOM—aku harus ikut acara trick-or-treat! Harus! Kalau tidak, rencana kami
untuk balas dendam bakal gagal total!"
Hampir saja kata-kata itu tersembur dari mulutku. Tapi untung aku masih bisa
menguasai diri. Aku menahan lidah sambil mengamati Mom untuk mengetahui
apakah ia serius atau cuma bercanda.
Ternyata ia memang serius.
"Aduh, Mom—memang kenapa, sih?" aku berseru. "Apa salahku? Kenapa aku
dihukum tidak boleh keluar rumah?"
"Drew, ini bukan hukuman." Mom tertawa. "Cuma menurut Mom tahun ini lebih
baik kau jangan ikut trick-or-treat. Jangan keluar malam-malam. Masak kau belum
membaca berita-berita di koran? Banyak orang hilang di kota ini."
"Hah? Hilang?"
Aku teringat pada khayalanku. Aku kembali membayangkan pasangan orang tua
yang menyekap anak-anak di ruang belakang rumah mereka.
"Ada anak-anak yang hilang?" aku bertanya.
Mom menggelengkan kepala. "Bukan. Bukan anak-anak. Orang dewasa. Kemarin
ada satu orang lagi yang hilang. Ini sudah yang keempat. Nih, lihatlah."
Mom sedang mengepit gulungan koran. Ia membuka koran itu dan mengangkatnya
agar kami semua bisa melihat halaman depan.
Judul berita utamanya ditulis dengan huruf-huruf besar dan tebal:
KEJADIAN MISTERIUS: 4 ORANG MENGHILANG
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Mom. Shane dan Shana
bertukar pandang dengan cemas. Roman muka Walker juga kelihatan waswas.
Dengan gelisah ia mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajarku.
Aku mengambil koran dari tangan Mom dan mengamati foto keempat orang yang
hilang. Tiga pria dan seorang wanita.
"Polisi memperingatkan warga kota untuk berhati-hati," Mom berkata pelan-pelan.
Walker menghampiriku dan mengambil koran dari tanganku. Sejenak ia
mengamati foto-foto yang terpampang. "Hei—orang-orang ini semuanya gendut!"
serunya.
Kini kami semua berkerumun di sekeliling Walker dan menatap foto-foto hitam-
putih itu. Walker benar. Keempat orang yang hilang memang gendut-gendut. Salah
satunya, seorang pria gendut berkepala botak yang memakai sweter, mempunyai
paling tidak enam lipatan lemak di bawah dagunya!
"Aneh," aku bergumam.
Shane dan Shana membisu. Mungkin karena terlalu takut.
"Kenapa empat orang gemuk mendadak hilang tanpa bekas?" tanya Walker.
Mom menghela napas.
"Polisi juga bingung," ujar Mom.
"Tapi, Mom, kalau hanya orang dewasa yang hilang, kenapa aku tidak boleh keluar
untuk ikut trick-or-treat?" tanyaku.
"Drew boleh ikut, ya?" Shana memohon. "Ini kesempatan terakhir kami untuk
keluar pada malam Halloween."
"Sori. Lebih baik jangan," sahut Mom. Ia menggigit bibir.
"Tapi kami akan sangat sangat sangat hati-hati!" aku berjanji.
"Mom keberatan," Mom menegaskan.
Dan dengan demikian acara Halloween kami sekali lagi rusak total.
Chapter 12
TAPI akhirnya Dad bilang aku boleh keluar pada malam Halloween.
Waktu itu sudah dua hari berlalu. Dan selama itu Dad dan Mom terus membahas
masalah itu.
"Kau boleh ikut kalau kau pergi beramai-ramai," kata Dad. "Jangan pergi jauh-
jauh. Dan jangan berpisah dari teman-temanmu. Oke, Kurcaci?"
"Thanks, Dad!" aku berseru. Saking gembiranya, aku tidak keberatan dijuluki
Kurcaci! Aku malah mengejutkan Dad dengan memeluknya erat-erat.
"Kau yakin Drew akan baik-baik saja?" tanya Mom pada Dad.
"Tentu saja Dad yakin!" seruku.
Pokoknya aku takkan membiarkan mereka berubah pikiran.
Cepat-cepat aku menuju ke pesawat telepon untuk memberitahu Walker bahwa
rencana kami tidak jadi batal!
"Pada malam Halloween akan ada seribu anak yang berkeliling dari rumah ke
rumah," kata Dad pada Mom. "Lagi pula, Drew dan teman-temannya sudah cukup
besar dan cukup pintar untuk menjaga diri."
"Thanks, Dad!" aku berseru sekali lagi.
Mom sebenarnya masih ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku keburu kabur dari
dapur dan berlari ke kamarku sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Aku menelepon Walker untuk menyampaikan kabar baik ini. Ia akan menghubungi
Shane dan Shana, untuk meminta mereka bersiap-siap pada malam Halloween.
Semuanya sudah siap. Sekarang tinggal satu masalah kecil saja. Aku harus bisa
membujuk Tabby dan Lee untuk ikut bersama kami.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menelepon Tabby. Ibunya mengatakan ia
sedang di rumah Lee, untuk membantu Lee mempersiapkan kostum Halloween.
Jadi aku bergegas ke rumah Lee. Waktu itu hari Sabtu sore yang kelabu. Sepanjang
pagi turun hujan, dan awan-awan badai masih menyelubungi langit.
Rumput di pekarangan rumah-rumah yang kulewati tampak berkilau-kilau karena
basah. Aku melompati genangan-genangan air hujan di trotoar. Aku mengenakan
sweter abu-abu yang tebal. Tapi udara terasa dingin dan lembap, sehingga aku
menyesal tidak melapisinya dengan jaket.
Blok terakhir menjelang rumah Lee kulewati sambil berlari kecil, antara lain agar
aku tidak kedinginan. Aku berhenti di depan pintu rumah Lee dan mengatur napas.
Kemudian aku menekan bel pintu.
Beberapa detik kemudian Lee membuka pintu.
"Wah!" aku berseru ketika melihat kostumnya. Di kepalanya berayun-ayun
sepasang antena. Ia mengenakan rompi kuning berbulu di atas baju renang cewek
bergaris hitam-kuning.
"K-kau jadi lebah?" aku tergagap-gagap.
Lee mengangguk. "Tabby dan aku masih sibuk menyiapkan kostum ini. Tadi pagi
kami membeli celana ketat hitam untuk kakiku."
"Keren lho," kataku. Padahal penampilannya benar-benar konyol. Tapi untuk apa
aku memberitahunya?
Tabby menyapaku ketika aku masuk ke ruang baca. Ia baru saja mengeluarkan
celana ketat Lee dari kotak dan sedang menarik-nariknya.
"Eh, Drew—kayaknya kau tambah kurus, ya?" ia bertanya.
"Hah? Masa, sih?"
"Oh. Jadi kau suka pakai sweter yang kedodoran begitu, ya?"
Jailnya memang tak ada habis-habisnya.
Ia memalingkan muka. Tapi aku sempat melihatnya cengar-cengir sendiri. Ia pikir
dirinya lucu sekali.
"Atau itu kostummu, ya?" ia bertanya.
Aku tidak menggubris leluconnya yang konyol. "Bukan. Kali ini aku jadi pahlawan
super," sahutku. "Aku akan memakai jubah dan celana ketat. Kau sendiri mau jadi
apa?"
"Balerina," jawabnya. Ia menyerahkan celana ketat kepada Lee.
"Ini kaki lebahmu," katanya. "Kau punya kertas karton tebal?"
"Untuk apa?" tanya Lee.
"Kita perlu bikin sengat. Untuk ditempel di belakang celanamu."
"Tidak usah!" Lee memprotes. "Aku tidak mau pakai sengat. Aku tidak butuh.
Paling-paling juga patah karena kududuki."
Aku membiarkan mereka berdebat selama beberapa menit. Aku sendiri tidak ikut
campur.
Akhirnya Lee yang menang. Ia tidak sudi pakai sengat.
Tabby pasang tampang cemberut. Ia paling sebal kalau keinginannya tidak
terpenuhi. Tapi Lee bahkan lebih keras kepala lagi daripada Tabby.
"Begini," aku angkat bicara. "Walker, Shane, Shana, dan aku mau keliling
bersama-sama pada malam Halloween nanti." Aku menarik napas dalam-dalam
sebelum mengajukan pertanyaan. "Kalian mau ikut?"
"Boleh saja," jawab Lee.
"Oke," kata Tabby.
Dan dengan demikian selesailah tugasku. Perangkap sudah terpasang.
Tabby dan Lee bakal mengalami Halloween paling menakutkan seumur hidup
mereka. Masalahnya, hal yang sama juga terjadi pada kami.
Chapter 13
WAKTU berjalan dengan lambat. Padahal aku sudah tak sabar menanti Halloween.
Akhirnya, malam yang kutunggu-tunggu pun tiba. Saking gugupnya, aku nyaris
tidak sanggup menyiapkan kostum pahlawan super yang akan kukenakan.
Kostumku seadanya saja. Aku memakai celana ketat berwarna biru cerah dan kaus
biru. Ditambah celana pendek berwarna merah.
Untuk jubahku, aku memotong taplak meja bekas berwarna merah dan
mengikatnya ke leherku. Selain itu aku mengenakan sepatu bot putih dari bahan
vinil. Dan untuk penutup muka, aku memakai topeng merah yang kubuat dari
karton.
"Super Drew!" aku berseru sambil berkaca di cermin.
Aku tahu kostumku kurang bagus. Tapi aku tidak peduli. Malam ini kostum tidak
penting. Malam ini adalah malam teror.
Malam untuk menakut-nakuti dua anak brengsek, sampai mereka ngeri setengah
mati!
Aku mengambil dua kantong belanja dari lemari untuk menampung permen yang
bakal kami dapat. Lalu aku bergegas menuruni tangga. Aku berharap bisa
menyusup keluar dari rumah sebelum kepergok orangtuaku. Aku ingin
menghindari ceramah panjang-lebar bahwa aku harus berhati-hati di luar.
Ternyata aku kurang beruntung.
Dad mencegatku di kaki tangga.
"Wow! Kostummu bagus sekali, Kurcaci!" ia berseru. "Kau jadi apa, sih?"
"Tolong jangan panggil aku Kurcaci," aku bergumam. Aku berusaha menyelinap di
sampingnya dan berlari ke pintu depan, tapi Dad menghalang-halangi langkahku.
"Tunggu sebentar!" katanya. "Kita bikin foto dulu."
"Aku sudah terlambat," ujarku. Aku telah berjanji pada Walker untuk menemuinya
di pojok jalan pukul setengah delapan tepat. Dan sekarang sudah jam delapan
kurang seperempat.
"Hati-hati, ya!" Mom memperingatkanku dari ruang baca.
Dad berbalik untuk mengambil kamera. Aku menunggu di kaki tangga sambil
mengetuk-ngetukkan jari ke pagar tangga.
"Jangan bicara dengan orang yang tidak kaukenal!" Mom berseru lagi.
Itu sih aku sudah tahu dari zaman Taman Kanak-kanak!
"Oke. Satu foto saja," kata Dad sambil membidikku dengan kameranya. "Coba
berdiri di depan pintu, Drew. Kau jadi Wonder Woman, ya?"
"Cuma pahlawan super," aku bergumam. "Aku harus berangkat, nih."
Ia terus membidikkan kamera. "Senyum, dong!"
Aku meringis.
Ia menekan tombol.
"Oh. Tunggu. Lampu kilatnya tidak menyala, ya?" ia bertanya.
"Sepertinya Dad lupa menghidupkan lampu kilat." Ia memeriksa kameranya.
"Dad...!" aku mulai memprotes.
Aku membayangkan Walker berdiri sendirian di pojok jalan. Ia paling sebal kalau
harus menunggu. Ia pasti uring-uringan.
Aku juga begitu.
"Dad, teman-temanku sudah menunggu."
"Kalau ada orang yang mencurigakan, kau harus segera lari," Mom kembali
memperingatkanku dari ruang baca.
"Ayo, sekali lagi, Kurcaci." Dad kembali membidikkan kamera. "Senyum."
Ia menekan tombol. Lampu kilatnya tetap tidak menyala.
"Ya ampun..." Sekali lagi Dad memeriksa kameranya.
"Ayo dong, Dad..." aku memohon.
"Oh, pantas," Dad bergumam. "Filmnya belum dipasang." Ia menggelengkan
kepala. "Tunggu sebentar. Dad mau ambil film dulu di atas. Cuma sebentar, kok."
"Dad...!" aku berseru.
Bel pintu berdering. Kami berdua tersentak kaget.
"Pasti anak-anak yang mau minta permen," ujar Dad.
Aku bergegas ke pintu dan membukanya. Seorang anak laki-laki berdiri di
depanku. Pakaiannya serbahitam. Ia mengenakan sweter hitam dan celana hitam.
Kepalanya tertutup topi rajut berwarna hitam. Wajahnya diberi make-up hitam.
Dan ia juga memakai sarung tangan hitam.
"Kostum bagus," puji Dad. "Coba ambilkan permen untuknya, Drew."
Aku mengerang. "Dad, dia tidak mau minta permen. Ini kan Walker."
Aku membuka pintu kasa agar Walker bisa masuk.
"Katanya kita mau ketemu di pojok jalan," Walker bersungut-sungut.
Dad mengamati kostum Walker yang serba hitam. "Wah, kau jadi apa, sih?"
"Malam gelap yang dihantam badai," jawab Walker.
"Badai? Mana badainya?" tanyaku.
"Ini," sahut Walker. Ia membidikkan pistol air berwarna hitam dan menyemprot
wajahku.
Dad langsung tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap tingkah Walker lucu sekali.
Ia memanggil Mom dari ruang baca agar melihat kostum kami.
"Kalau begini terus, kita tak bakal bisa keluar," aku berbisik kepada Walker. "Kita
pasti terlambat untuk menemui Tabby dan Lee."
Kami telah merencanakan segala sesuatu dengan cermat. Tapi sekarang rencana
kami terancam gagal total. Perutku serasa diaduk-aduk. Leherku mendadak seperti
tercekik jubahku sendiri.
Mom dan Dad masih mengagumi kostum Walker.
"Malam gelap yang dihantam badai. Bagus sekali," kata Mom. "Tapi bagaimana
orang lain bisa melihatmu dalam gelap? Sebaiknya kau berhati-hati kalau
menyeberang jalan."
Bukan main! Malam ini Mom tak bosan-bosannya memberi nasihat kepada semua
orang.
Aku tidak tahan lagi. "Kami harus berangkat. Sampai nanti," kataku. Aku
mendorong Walker keluar pintu dan segera menyusulnya.
Mom masih menyerukan sesuatu untuk memperingatkan kami, tapi aku sudah
tidak mendengarkannya. Aku menyeret Walker ke trotoar, dan kami pun bergegas
ke pojok jalan. Di situlah kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee. Kedua
korban kami.
"Mestinya kau tetap menunggu di sini," aku menegur Walker. "Jangan-jangan
Tabby dan Lee kemari tadi dan sekarang sudah pergi lagi."
"Habis, kau telat, sih," Walker memprotes. "Kupikir ada yang tidak beres."
Jantungku berdegup kencang. Aku semakin gelisah.
"Oke, oke," ujarku. "Kita harus tetap tenang."
Udara malam terasa dingin. Langit bertaburan bintang. Embun es membuat rumput
di pekarangan tampak berkilau-kilau. Bulan sabit seakan-akan melayang di atas
atap-atap rumah.
Lampu-lampu di sebagian besar rumah menyala terang. Aku melihat dua kelompok
anak kecil di seberang jalan. Mereka bergegas ke rumah yang sama. Seekor anjing
menggonggong di rumah sebelah.
Aku menoleh ke pojok jalan, tempat kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee.
Tak ada siapa-siapa.
Walker dan aku berhenti di bawah lampu penerangan jalan. Aku mengendurkan
jubah yang terikat di leherku. Jubah itu benar-benar membuatku tercekik. Ternyata
aku kurang pendek memotongnya. Bagian bawahnya basah karena terseret-seret di
trotoar.
"Di mana mereka?" tanyaku.
"Kau kan tahu sendiri, mereka selalu telat," sahut Walker.
Ia benar. Tabby dan Lee paling senang membuat orang lain menunggu.
"Mereka pasti akan segera datang," ujar Walker.
Pekarangan di pojok jalan dibatasi pagar hidup. Walker dan aku mulai mondar-
mandir di antara tepi pagar dan tepi jalan. Saking gelapnya kostum Walker, ia
sama sekali tak kelihatan kalau berdiri di bayangan pagar.
"Jangan mondar-mandir terus...!" aku hendak berkata.
Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan ketika aku mendengar bunyi batuk. Dari
balik pagar hidup. Bunyinya aneh sekali.
Bukan seperti batuk manusia, melainkan lebih mirip geraman binatang.
Aku menoleh dan melihat Walker juga mendengarnya. Ia berhenti mondar-mandir
dan menatap pagar.
Aku mendengar bunyi berkeresak. Pagar hidup itu seakan-akan bergetar.
"S-siapa itu?" aku tergagap-gagap.
Pagar itu kembali bergoyang.
"Hei—siapa itu?" seru Walker.
Hening.
Pagarnya terguncang-guncang dengan keras.
"Jangan bercanda!" Walker berseru dengan suara gemetaran.
Sekali lagi terdengar geraman binatang.
"Ahhh!" aku memekik ketika sepasang makhluk mengerikan menerobos pagar
hidup itu.
Aku cuma sempat melihat bulu-bulu kusut. Rahang yang ternganga lebar. Dan
gigi-gigi yang berlumuran ludah.
Sebelum aku bisa berbalik, sesosok makhluk telah menerjangku sambil
menggeram keras. Aku terjatuh ke rumput. Dan kemudian taringnya yang runcing
menggigit pundakku.
Chapter 14
Chapter 15
KAMI berhenti di teras depan rumah itu dan mengintip melalui pintu kaca. Seekor
kucing berbulu jingga dengan mata besar berwarna biru cerah menatap kami dari
balik pintu itu.
Aku menekan bel pintu.
Beberapa detik kemudian seorang wanita muda bercelana jeans dan berkaus kerah
tinggi berwarna kuning membuka pintu sambil tersenyum. Ia membawa keranjang
berisi cokelat Snickers dan Milky Ways.
"Kostum kalian bagus sekali," ia berkata sambil memasukkan sepotong cokelat ke
kantong permen kami masing-masing.
"Drew—kantongmu dibuka, dong!" kata Tabby dengan nada tinggi.
"Oh. Sori." Aku masih sibuk memikirkan Shane dan Shana.
Aku menyodorkan kantong permenku ke hadapan wanita muda itu.
Kucing tadi menatapku dengan matanya yang biru.
"Kau jadi putri raja, ya?" wanita itu bertanya pada Tabby.
"Bukan. Balerina," sahut Tabby.
"Dan kau pasti sepotong arang," kata wanita itu pada Walker.
"Yah, kira-kira begitulah," Walker bergumam. Ia tidak menampilkan atraksi
"malam gelap yang dihantam badai".
Tampaknya Walker juga kuatir karena Shane dan Shana belum muncul.
"Selamat Halloween," kata wanita itu, lalu menutup pintu.
Kami turun dari teras dan melintasi rumput yang berselubung embun es ke
pekarangan sebelah. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat kucing tadi masih
memperhatikan kami.
Rumah yang kami datangi ternyata gelap. Karena itu kami segera menuju ke rumah
berikutnya. Sekelompok anak sudah menggerombol di depan pintu. Mereka
berseru, "Trick or treat! Trick or treat!"
"Kenapa mereka belum datang?" aku berbisik kepada Walker.
Ia angkat bahu.
"Kalau mereka sampai tidak muncul..." kataku. Tapi kemudian aku sadar Tabby
sedang memperhatikanku. Karena itu aku langsung tutup mulut.
Kami menunggu sampai kelompok anak itu pergi, lalu menggantikan mereka di
depan pintu. Sepasang anak kecil—anak laki-laki dan anak perempuan berumur
sekitar tiga atau empat tahun—membagi-bagikan kantong kecil berisi popcorn
manis.
Mereka tertawa sewaktu melihat kostum Lee. Mereka ingin memegang antena di
kepalanya. Salah satu dari mereka bertanya kenapa Lee tidak punya sengat.
"Soalnya sudah kupakai untuk menyengat anak nakal," sahut Lee.
Kedua anak kecil itu mengamati kostum Walker sambil mengerutkan kening.
Tampaknya mereka agak ngeri melihatnya.
"Kau monster, ya?" si anak perempuan bertanya dengan waswas.
"Bukan. Aku sepotong arang," jawab Walker.
Anak perempuan itu mengangguk-angguk.
Kami segera pergi dan mendatangi tiga rumah lagi sebelum sampai di ujung blok.
Aku melihat dua anak yang kukenal. Mereka mengenakan kostum robot yang
serasi. Aku berhenti sebentar untuk menyapa mereka.
Setelah itu aku berlari untuk menyusul teman-temanku. Mereka sudah melintasi
jalan dan mulai mendatangi rumah-rumah di seberang.
Tiupan angin yang kencang membuat jubahku berkibar-kibar.
Aku menggigil. Dengan gelisah aku kembali melirik jam tangan.
Di mana mereka? Di mana Shane dan Shana? Padahal seluruh rencana kami
tergantung pada mereka.
"Wah! Sejauh ini hasilnya lumayan juga!" ujar Lee. Ia membuka kantong
permennya dan mengamati isinya.
"Ada yang dapat Kit Kat?" tanya Tabby. "Aku mau tukar, nih."
"Ada satu orang yang memberikan apel," kata Lee sambil meringis. Ia merogoh
kantong permennya dan mengeluarkan apel itu. Kemudian ia melemparnya sejauh
mungkin melintasi pekarangan.
Apel itu membentur batang pohon, lalu menggelinding ke depan garasi rumah
sebelah.
"Aku tidak mengerti kenapa ada orang yang membagikan apel," Lee menggerutu.
"Seharusnya mereka sudah tahu kita cuma ingin permen dan cokelat!"
"Dasar pelit!" Tabby menimpali. Ia mengambil apel dari kantongnya, dan
membuangnya ke rumput. Ditendangnya apel itu dengan ujung sepatu baletnya.
Tabby dan Lee memang patut mendapat ganjaran, aku berkata dalam hati. Kedua-
duanya brengsek sekali.
Tapi di mana Shane dan Shana?
Kami mendatangi semua rumah sampai ke ujung blok. Malam semakin larut, dan
kini tinggal sedikit anak yang masih berkeliling.
Lampu jalanan di ujung blok ternyata rusak, sehingga suasana di daerah itu jadi
remang-remang.
Salah satu antena di kepala Lee tidak bisa berdiri tegak, merosot terus. Entah sudah
berapa kali Lee membetulkan letaknya. Mungkin sudah sepuluh kali.
Sewaktu kami mendekati pojok jalan, sebuah pohon besar menghalangi cahaya
bulan. Suasana semakin gelap.
"Awww...!" aku memekik ketika dua sosok tubuh menerjang kami dari balik
pohon.
Semula aku menyangka Todd dan Joe kembali lagi. Tapi kemudian aku sadar
sosok-sosok itu bukan mereka.
Kedua sosok itu berdiri membelakangi kami, menghalangi jalan. Keduanya
mengenakan jubah panjang yang menggantung sampai menyentuh trotoar. Dan
kepala mereka....
Kepala mereka....
Kepala mereka tertutup labu!
Labu besar bulat terpasang sempurna di pundak mereka.
"Hei...!" Walker memekik kaget. Ia mundur beberapa langkah dan menabrakku.
Tabby dan Lee memekik tertahan.
Tapi kejutan yang paling mengerikan masih menyusul.
Ketika kedua sosok itu berbalik, kami melihat wajah mereka yang mirip Jack-o-
lantern.
Kami melihat senyum lebar dan mengerikan yang diukir di kepala labu mereka.
Mata mereka berbentuk segitiga yang menyala-nyala. Mata itu diterangi lidah api!
Lidah api berwarna jingga dan kuning tampak menari-nari di dalam kepala
mereka!
Dan ketika kepala-kepala labu itu menatap kami sambil tersenyum menyeringai,
Walker dan aku menjerit sekeras-kerasnya.
Chapter 16
KAMI berjalan sejauh tiga blok, semakin jauh meninggalkan daerah kami. Kami
melewati sederet rumah besar di tengah halaman-halaman luas yang dibatasi pagar
hidup tinggi. Di blok berikut terdapat sebidang tanah kosong. Sebuah rumah yang
baru setengah jadi berdiri di sana.
Kedua kepala labu berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Kepala mereka
berayun-ayun. Mereka terus memandang lurus ke depan, tak sekali pun menoleh ke
arah kami.
"Mau ke mana kita?" Lee bertanya sambil mengejar mereka. Ia menarik pundak
salah satu kepala labu. "Di seberang kan banyak rumah yang bisa kita datangi."
Makhluk Jack-o’-lantern itu tidak mengurangi kecepatan. "Kita akan mencoba
tempat baru," katanya.
"Yesssss," kawannya mendesis. "Tempat baru. Tempat yang lebih baik. Lihat saja
nanti."
Mereka mengajak kami melewati tanah kosong. Melewati sederetan rumah kecil
yang gelap.
"Mau ke mana kita?" Walker berbisik. Ia menggerakkan dagu ke arah Shane dan
Shana. "Kenapa sih mereka? Kenapa tingkah mereka jadi aneh begini? Lama-lama
malah aku yang jadi ngeri, nih."
Aku memandang berkeliling. Tinggal sedikit anak yang masih mondar-mandir di
jalan. Sebagian besar sudah pulang, karena malam memang sudah larut.
Di pekarangan berikut kulihat dua anak bertubuh jangkung—berkostum gorila dan
badut gendut—sedang merogoh kantong permen masing-masing sambil
membungkuk. Mereka tidak menoleh ketika kami lewat.
"Hei—kenapa kita jalan terus?" Lee memprotes. Ia menunjuk sebuah rumah di
pojok jalan. "Kita mampir ke situ, oke? Penghuni rumah itu selalu membagikan
permen banyak-banyak. Betul, lho. Sampai bergenggam-genggam!"
Kedua kepala labu tidak menghiraukan kata-katanya. Mereka terus berjalan dengan
cepat.
"Hei—HEI! Berhenti!" Tabby berseru.
Ia dan Lee menyusul kedua kepala labu. "Berhenti dulu, dong!"
"Tempat yang lebih baik," kata salah satu kepala labu dengan suara serak.
"Kita coba tempat yang baru," kawannya menimpali. "Tempat yang lebih baik."
Aku merinding. Tingkah Shane dan Shana memang aneh sekali.
Jubahku tersangkut pada serumpun rumput liar. Aku menariknya sampai terlepas.
Udara tiba-tiba terasa lebih dingin dan lembap. Kubungkus badanku dengan
jubahku.
Lee, yang berjalan di depan, kembali mengotak-atik antena lebahnya. Kulihat
sepatu balet Tabby telah berlepotan lumpur.
Kami mengikuti kedua kepala labu menyeberang jalan. Mereka meninggalkan
trotoar, dan masuk ke hutan yang gelap.
Walker bergegas menyusulku. Biarpun wajahnya diolesi make-up tebal, bisa
kulihat wajahnya tampak cemas. "Kenapa mereka mengajak kita ke hutan?" ia
berbisik.
Aku angkat bahu. "Barangkali mereka ingin menteror Tabby dan Lee di sini."
Ranting-ranting dan daun-daun mati bekersak-kersak di bawah kaki kami ketika
kami menerobos pepohonan.
Sebuah pikiran mengerikan terlintas dalam benakku. Tiba-tiba aku teringat pada
keempat orang gendut yang hilang.
Empat orang. Hilang tanpa bekas, tanpa jejak.
Aku teringat semua nasihat Mom. Aku teringat pesannya bahwa aku harus tetap
berada di tempat ramai dan terang.
Aku ingat bahwa ia sebenarnya tak setuju aku keluar malam ini.
Ada yang tidak beres, aku menyadari.
Peringatan Mom memang beralasan. Seharusnya malam-malam begini kami tidak
masuk ke dalam hutan.
Seharusnya kami tetap di jalanan, di dekat rumah-rumah yang terang.
Seharusnya kami tidak nekat masuk ke hutan yang gelap dan menyeramkan ini.
"Tempat yang baru," salah satu kepala labu kembali berkata.
"Di balik hutan ini," kawannya menyambung. "Tempat yang lebih bagus. Lihat
saja nanti."
Cahaya dari dalam kepala mereka tampak berkelap-kelip, menerangi pohon-pohon
dan rerumputan.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aku mempercepat langkah agar tidak
ketinggalan.
Shane dan Shana sahabat kami, kataku dalam hati. Mereka pasti punya rencana
bagus. Tapi ini tidak sesuai dengan rencana kami. Sama sekali bukan rencana
kami.
Kenapa aku tiba-tiba dapat firasat buruk?
Chapter 18
"SHANE! Shana! Apa-apaan sih kalian?" Tabby memprotes dengan sengit. "Lihat,
nih! Lihat baju balerina-ku!"
Ia menarik bagian depan bajunya. Walaupun keadaan sekeliling hampir gelap, aku
tetap bisa melihat bercak-bercak lumpur di bagian depan bajunya itu.
"Aku mau keluar dari hutan ini!" Tabby berseru dengan gusar.
"Yeah. Di sini terlalu gelap. Dan kita terlalu banyak membuang waktu," Lee
menimpali.
Kantong permennya tersangkut pada dahan pohon yang rendah. Ia menariknya
keras-keras, berupaya melepaskannya.
Shane dan Shana tidak menghiraukan protes Tabby dan Lee. Kepala labu mereka
berayun-ayun ketika mereka menerobos hutan dengan langkah panjang dan cepat.
Beberapa menit kemudian kami tiba di sebuah jalan sempit.
Kami bersorak gembira ketika melihat lampu-lampu jalanan yang terang serta
deretan rumah-rumah kecil.
"Sekarang kita bisa mulai," kata salah satu kepala labu.
Aku memandang ke kiri-kanan, dan melihat deretan rumah yang semua berukuran
kecil. Halaman-halamannya juga sempit.
Sebagian besar lampu teras menyala. Dan kebanyakan rumah dihiasi dekorasi
Halloween.
Rumah-rumah itu membentang dari ujung ke ujung, berderet di kiri-kanan, sejauh
mata memandang.
"Wow, tempat ini memang asyik untuk trick-or-treat!" ujarku.
Perasaanku langsung jauh lebih enak. Aku tak lagi ngeri seperti tadi.
"Yeah!" kata Lee. "Kita bisa mendapat sekarung permen di sini!"
"Di mana kita?" tanya Walker. "Rasanya aku belum pernah ke daerah ini."
Tak ada yang menanggapinya. Kami semua sudah tak sabar untuk segera mulai
berkeliling.
Aku membuang beberapa helai daun basah yang menempel di jubahku, dan
membetulkan letak topengku. Penampilan kami agak berantakan gara-gara
menerobos hutan. Kami menghabiskan beberapa detik untuk merapikan kostum
masing-masing.
Kemudian kami berenam bergegas menuju ke rumah pertama.
Seorang wanita muda membuka pintu. Ia sedang menggendong bayi. Ia
memasukkan batang-batang cokelat berukuran mini ke kantong-kantong kami. Si
bayi menatap kedua kepala labu dan tersenyum.
Di rumah berikut, kami harus menunggu lama sekali sebelum sepasang suami-istri
yang sudah lanjut usia muncul di pintu. "Trick or treat!" kami berseru lantang.
Mereka segera menutup telinga dengan tangan. Agaknya mereka tidak tahan
mendengar suara bising.
"Maaf, tapi kami tidak punya permen," ujar wanita tua di hadapan kami. Ia
membagi-bagikan uang logam. Masing-masing mendapat satu keping lima sen.
Kami bergegas ke rumah berikutnya. Dua cewek berumur tujuh atau delapan tahun
menyambut kami di pintu. "Kostum kalian bagus sekali," kata salah satu dari
mereka kepada Shane dan Shana. Mereka membagi-bagikan cokelat M&M.
"Wah, ini baru asyik!" kata Lee ketika kami bergegas ke rumah sebelah. Semua
rumah di sini berdekatan," Tabby menambahkan. "Kita bisa mendatangi seratus
rumah dalam waktu singkat!"
"Seharusnya dari dulu kita sudah kemari," Walker menimpali.
"Trick or treat!" kami berseru ketika menekan bel pintu di rumah berikutnya.
Seorang cowok berambut pirang gondrong, dengan anting di sebelah telinga,
membuka pintu. Ia tertawa ketika melihat kostum kami. "Wow, keren," ia
bergumam. Kemudian ia memasukkan beberapa bungkus permen ke kantong-
kantong kami.
Kami pindah ke rumah sebelah. Terus ke rumah-rumah berikutnya.
Kami mendatangi setiap rumah di blok berikut. Kemudian kami menyusuri dua
blok lagi. Rumah-rumah kecil itu seakan-akan tak ada habisnya.
Kantong permenku sudah hampir penuh. Kami berhenti di pojok jalan karena tali
sepatu Walker terlepas. Ia membungkuk untuk mengikatnya, dan kami
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengatur napas.
"Cepat!" desak salah satu kepala labu. Lidah api tampak menyembur-nyembur dari
lubang matanya.
"Ya, cepat," seru kepala labu yang lain. "Jangan buang-buang waktu."
"Sabar, dong," Walker bergumam. "Tali sepatuku harus diikat dulu."
Sementara ia mengotak-atik tali sepatu, kedua kepala labu bergoyang-goyang
seakan-akan sudah tak sabar untuk jalan lagi.
Akhirnya Walker kembali berdiri tegak dan meraih kantong permennya. Kedua
kepala labu sudah berjalan ke blok berikut.
"Aku sudah mulai capek," aku mendengar Lee berbisik kepada Tabby. "Jam berapa
sih sekarang?"
"Kantongku sudah hampir penuh," sahut Tabby. Sambil mengerang ia
memindahkan kantong yang berat itu dari tangan kanan ke tangan kiri.
"Cepat," salah satu kepala labu kembali mendesak. "Masih banyak rumah yang
harus kita datangi."
"Masih banyak rumah," rekannya mengulangi.
Kami menyusuri dua blok lagi. Kami mendatangi semua rumah di kedua sisi jalan.
Kira-kira dua puluh rumah.
Kantong permenku sudah penuh. Aku terpaksa membawanya dengan kedua
tangan.
Tali sepatu Walker terlepas lagi. Ketika ia membungkuk untuk mengikatnya, tali
sepatu itu malah putus. "Aduh, brengsek," gerutunya.
"Cepat," salah satu kepala labu kembali memaksa. "Masih banyak rumah."
"Aku mulai capek," Tabby mengeluh, kali ini cukup keras untuk didengar oleh
semuanya.
"Aku juga," Lee menambahkan. "Dan kantong permenku sudah berat."
"Tali sepatu sialan," Walker memaki. Ia masih membungkuk.
"Malam memang sudah larut," kataku sambil memandang berkeliling. "Lagi pula
sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Anak-anak lain sudah pulang semua."
"Masih banyak rumah," salah satu kepala labu berbisik.
"Cepat. Masih banyak rumah," yang satu lagi menimpali. Lidah api di dalam
kepalanya tampak menari-nari.
"Tapi kami mau berhenti!" seru Lee.
"Ya, kami sudah capek," Tabby menambahkan. Suaranya melengking.
"Kalian tidak bisa berhenti!" sahut si kepala labu.
"Hah?" Lee tercengang.
"Ayo, terus! Kalian tidak bisa berhenti!" kepala labu itu berkeras.
Tiba-tiba keduanya terangkat dari tanah, lalu mengambang, melayang-layang di
atas kami. Api di balik lubang mata mereka berkobar-kobar.
"Kalian tidak bisa berhenti! Untuk SELAMA-LAMANYA!"
Chapter 19
"HA-HA. Lucu sekali," Tabby berkata dengan gayanya yang sok tahu. Ia
menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi aku melihat Lee melangkah mundur ketakutan. Lututnya seakan-akan
mendadak kehilangan tenaga, dan kantong permennya nyaris terlepas dari
tangannya.
"Satu blok lagi," kepala labu pertama berkeras.
"Satu blok. Lalu satu lagi," kepala labu kedua menimpali.
"Hei! Tunggu dulu!" Tabby memprotes. "Kalian jangan seenaknya mengatur kami.
Aku mau pulang."
Ia berbalik dan hendak pergi. Tapi kedua kepala labu cepat-cepat menghalangi
jalannya.
"Jangan ganggu aku!" jerit Tabby.
Ia mengelak ke kanan. Tapi kedua makhluk labu terus mengikutinya. Senyum
mereka yang menyala-nyala tampak bertambah lebar. Bertambah terang.
Keduanya mulai bergerak mengitari kami, semakin lama semakin cepat—sampai
kami merasa seolah dikelilingi api.
Kami seakan-akan dikepung dinding api!
"Kalian harus patuh!" suara parau itu memerintah.
Kami digiring lidah api dari belakang. Kami dipaksa maju.
Kami tak punya pilihan selain menurut. Kami telah menjadi tawanan. Tawanan
makhluk-makhluk labu yang menyemburkan api.
Seorang pria tua berdiri di pintu rumah yang kami datangi. Ia meringis ketika kami
naik ke teras. "Wah, bukankah sekarang sudah kemalaman untuk berkeliling?" ia
bertanya.
"Memang," sahutku.
Ia memasukkan beberapa bungkus Chuckle ke kantong-kantong permen kami.
"Cepat," desak salah satu kepala labu sementara kami melintasi rumput yang basah
untuk menuju ke rumah berikutnya. "Cepat!" Kantong permen Lee sudah begitu
berat, sehingga ia terpaksa menyeretnya.
Aku membawa kantong permenku dengan kedua tangan. Tabby terus menggerutu
sambil geleng-geleng kepala.
Kami mendatangi semua rumah di blok itu. Aku tidak melihat anak-anak lain. Tak
ada mobil yang lewat. Lampu-lampu di beberapa rumah sudah mulai dipadamkan.
"Cepat!" salah satu kepala labu mendesak.
"Masih banyak rumah. Masih banyak blok."
"Aku tidak mau!" seru Lee.
"Aku tidak mau!" Tabby mengulangi. Ia pura-pura galak. Tapi suaranya terdengar
gemetar.
Sekali lagi kedua kepala labu melayang di atas kami. Mereka menatap kami
dengan mata menyala-nyala.
"Cepat. Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Tidak BISA!"
"Tapi sekarang sudah terlalu malam!" aku memprotes.
"Dan sepatuku terus-menerus copot," Walker menimpali.
"Kami sudah capek keliling tanpa henti," keluh Tabby.
"Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Cepat jalan!"
"Masih banyak rumah. Ini daerah PALING HEBAT!"
"Enak saja!" Tabby dan Lee menyahut berbarengan. Mereka mulai berteriak-teriak.
"Pokoknya tidak bisa! Tidak bisa! Tidak bisa!"
"Kantong-kantong permen kami sudah penuh," ujarku.
"Kantongku malah sudah mulai robek," Walker mengeluh.
"Tidak bisa! Tidak bisa!" Tabby dan Lee berseru.
Kedua Jack-o'-lantern kembali mengitari kami, semakin lama semakin cepat,
sehingga kami kembali dikelilingi dinding api.
"Kalian tidak bisa berhenti!" seru salah satu dari mereka.
"Kalian harus keliling terus!"
Mereka bergerak mendekat. Saking dekatnya, aku bisa merasakan sengatan panas
yang memancar dari lidah api.
Dan sambil berputar, keduanya mulai mendesis-desis—bagaikan ular yang siap
memagut.
Bunyi mendesis itu bertambah keras—sampai kami seakan-akan dikepung ular!
Kantong permenku terlepas dari genggamanku.
"Berhenti...!" aku membentak mereka. "Berhenti! Kalian bukan Shane dan Shana!"
Lidah api menyembur-nyembur dari mata mereka. Bunyi mendesis yang
mengelilingi kami bertambah keras.
"Kalian bukan Shane dan Shana!" aku memekik. "Siapa kalian?"
Chapter 20
MEREKA berputar semakin pelan, dan akhirnya berhenti sama sekali. Lidah api
menjulur-julur dari mulut mereka yang menyeringai.
Teriakan mereka yang melengking memantul pada pohon-pohon yang gersang, dan
membelah keheningan malam.
"Siapa kalian?" aku kembali bertanya. Suaraku bergetar.
Seluruh tubuhku gemetaran. Tubuhku serasa dirasuki dinginnya malam.
"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan terhadap teman-temanku?"
Tak ada jawaban.
Aku berpaling pada Walker. Cahaya api tampak menari-nari di wajahnya.
Meskipun mukanya tertutup make-up hitam, parasnya jelas tampak ketakutan.
Aku menelan ludah dan menoleh ke arah Tabby dan Lee.
Mereka tersenyum mengejek sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi begini cara kalian membuat lelucon Halloween?" tanya Tabby sambil
mencibir. "Ya, ampun. Kalian pikir Lee dan aku bakal tertipu?"
"Ooh—aku ngeri! Aku ngeri!" Lee pura-pura ketakutan. Ia sengaja
menggoyangkan kedua lutut hingga saling membentur. "Lihat, nih—aku
gemetaran."
Ia dan Tabby tertawa keras-keras.
"Kostumnya memang bagus. Dan permainan apinya juga boleh. Tapi kami tahu ini
Shane dan Shana," ujar Lee. "Kalian tidak bisa menakut-nakuti kami, Drew."
"Tentu saja tidak bisa," Tabby menimpali. "Lihat saja...!"
Ia dan Lee mengangkat tangan. Masing-masing meraih satu kepala labu—dan
menariknya keras-keras.
"Hei!"
Kedua kepala labu langsung copot dari pundak makhluk-makhluk itu.
Dan kemudian kami berempat menjerit sekeras-kerasnya—sebab kedua sosok
berkostum itu ternyata tidak berkepala!
Chapter 21
"SIAPA kalian?" aku bertanya sekali lagi. Aku terpaksa berseru kuat-kuat untuk
mengalahkan tawa mereka yang parau. "Mana Shane dan Shana? Mana teman-
teman kami?"
Lidah api menyembur dari mulut dan mata kedua kepala labu. Seringai mereka
semakin lebar.
"Drew—kita harus kabur," Walker berbisik. "Mungkin kalau kita mendadak
lari...."
Kami segera berbalik dan berlari. Tabby dan Lee menyusul dengan terseok-seok.
Kakiku terasa lemas seolah tak bertenaga. Aku yakin aku takkan sanggup berlari
jauh. Jantungku berdegup-degup. Napasku tersengal-sengal.
"Lari!" teriak Walker sambil menarik lenganku. Napasnya juga terengah-engah.
"Cepat, Drew!"
Tapi kami tidak berhasil lari jauh-jauh.
Kedua makhluk itu segera menyusul dan kembali berputar-putar mengelilingi kami
sambil mendesis-desis. Kami terperangkap. Kami menjadi tawanan di tengah
lingkaran api.
Kami tidak bisa melarikan diri. Kami tidak mungkin lolos.
Dengan putus asa aku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bergerak. Tak ada mobil. Tak ada orang.
Bahkan anjing atau kucing pun tidak kelihatan.
Kedua makhluk itu menghampiri kami. Mereka berdiri di hadapan kami sambil
mengangkat kepala tinggi-tinggi.
"Masih banyak rumah. Masih banyak rumah," mereka berkata tanpa menggerakkan
bibir. Keduanya menatap kami dengan mata menyala-nyala.
"Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak."
"Kalian tidak bisa berhenti. Kalian harus terus berkeliling!"
"Angkat kantong permen kalian. Ayo—cepat!" salah satu dari mereka menggeram.
Kepala yang ada di tangan mereka menatap kami sambil menyeringai jahat.
"K-kami tidak mau berkeliling lagi!" Lee meratap sambil berpegangan pada
Tabby.
"Kami mau pulang!" Tabby berseru.
"Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak. Masih banyak,"
kedua kepala labu menyahut berbarengan.
Kami didorong dan digiring maju.
Kami tak punya pilihan. Dengan letih kami memungut kantong permen masing-
masing dari rumput.
Kedua makhluk itu berjalan di belakang kami. Tanpa henti mereka berbisik,
"Masih banyak. Masih banyak."
Mereka menggiring kami ke rumah pertama di blok berikut. Mereka menggiring
kami ke teras depan. Kemudian mereka bersembunyi di tempat gelap.
"B-berapa lama lagi kita harus berkeliling?" tanya Tabby.
Kedua kepala labu itu kembali menyeringai.
"Selama-lamanya!" sahut mereka.
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
"AKU... tidak... bisa... makan... apa-apa lagi," Tabby berkata dengan susah-payah.
Sudah beberapa menit kami menggigit dan mengunyah tanpa henti.
Mulut Tabby berlepotan cokelat. Bahkan ada cokelat yang tersangkut di rambutnya
yang pirang.
Lee membungkuk di rumput. Ia memegang perutnya sambil mengerang-erang.
"Oh, perutku tidak keruan rasanya," gumamnya. Ia bersendawa keras-keras. Dan
kembali mengerang.
"Habis ini aku tidak mau melihat permen lagi," bisik Walker.
Aku hendak menyahut. Tapi mulutku penuh.
"Masih banyak rumah!" ujar salah satu kepala labu. "Masih banyak rumah! Kalian
tidak bisa berhenti!"
"Jangan begitu, dong!" Tabby memohon.
Lee masih membungkuk. Sekali lagi ia bersendawa keras-keras.
"Sekarang sudah hampir tengah malam!" Tabby memprotes. "Kami harus pulang."
"Masih banyak rumah yang harus didatangi," salah satu kepala labu berkata
padanya sambil memicingkan matanya yang menyala-nyala. "Kalian harus terus
berkeliling. Untuk selama-lamanya!"
"Tapi kami sudah tidak kuat!" Lee mengerang sambil memegang perutnya. "Kami
sudah tidak sanggup lagi berkeliling!"
"Lagi pula semua orang sudah tidur," ujar Walker. "Takkan ada yang membukakan
pintu malam-malam begini."
"Daerah ini BERBEDA!" balas si kepala labu.
"Di daerah INI tak ada masalah!" makhluk yang satu lagi menimpali. "Di daerah
ini, kalian bisa keliling SELAMA-LAMANYA!"
"Tapi—tapi—tapi..." aku tergagap.
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua makhluk itu akan memaksa kami
terus berkeliling. Mereka takkan peduli pada protes kami. Dan mereka takkan
membiarkan kami pulang.
"Masih banyak rumah! Ayo, keliling lagi! Keliling selama-lamanya!"
Tabby membantu Lee berdiri. Ia memungut kantong permen Lee dan
menyerahkannya padanya. Ia menepis rambut yang menutupi wajahnya, dan
meraih kantong permennya sendiri.
Berempat kami melintasi jalan sambil menyeret kantong-kantong permen yang
sudah penuh sesak. Udara malam terasa dingin dan lembap. Angin kencang
menggoyang pepohonan dan membuat daun-daun mati beterbangan di sekitar kaki
kami.
"Orangtua kita pasti sangat cemas," Lee bergumam. "Sekarang sudah larut
malam."
"Mereka memang harus cemas!" komentar Tabby dengan suara gemetar. "Bisa jadi
kita takkan pernah bertemu lagi dengan mereka."
Lampu teras di rumah pertama yang ada di seberang jalan masih menyala. Kedua
kepala labu memaksa kami melangkah ke teras.
"Sudah terlalu malam untuk minta permen," Lee memprotes.
Tapi kami tak punya pilihan. Aku menekan bel pintu. Kami menunggu. Tubuh
kami menggigil. Perutku terasa tidak keruan akibat terlalu banyak dijejali permen
dan cokelat.
Perlahan-lahan pintu depan membuka.
Dan kami semua memekik kaget.
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
END