Tentang
Hukum Perbankan
Disusun oleh :
Dzikra
(1713060261)
Dosen pembimbing :
1442 H / 2020 M
A. Pengertian bank dan sejarah bank
Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang
dipasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau
penyalur kredit dan juga perantara dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Undang-undang negara
republik Indonesia No 10 tahun 1998. Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud
dengan bank adalah adalah " badan usaha yang menghimpun dana dana dari masyarakat dalam bentuk
kredit dan bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".
Bank is a company who satisfied other people by giving a credit with the money they accept as a gamble
to the other, eventough they should supply the new money. (Bank adalah badan usaha yang wujudnya
memuaskan keperluan orang lain, dengan memberikan kredit berupa uang yang diterimanya dari orang
lain, sekalipun dengan jalan mengeluarkan uang baru kertas atau logam). Jadi bank dalam hal ini telah
melakukan operasi pasif dan aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan dana
menyalurkan kredit kepada masyarakat yang
(surplus spending unit – SSU ), dan
membutuhkan dana (defisit spending unit – DSU);
B.N. Ajuha,
Bank adalah tempat menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat
menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya
lebih produktif untuk dapat menguntungkan masyarakat;
Bank umum adalah lembaga keuangan, pencipta uang, pengumpul dana dan
penyalur kredit, pelaksana lalu-lintas pembayaran, stabilisator moneter, serta
dinamisator pertumbuhan perekonomian.
Dari definisi bank sebagaimana tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa pada
hakikatnya sebuah bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan dua
fungsi utama yang dimilikinya yaitu sebagai badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat serta memberikan aneka ragam jasa perbankan lainnya dalam
kegiatan lalu-lintas pembayaran Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang
dijalankannya. Sebaliknya, sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai
kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan
ekonomi dan kesempatan kerja.
Sejarah bank
Perkataan bank berasal dari bahasa Italia yaitu Bonco yang berarti kepingan
papan yang digunakan sebagai tempat meletakkan buku yang sejenis meja
( Muhammad muslehuddin, 1998). Fungsi ini berubah secara luas yaitu sebagai
meja menukarkan uang. Aktivitas ini dilakukan oleh para pemberi pinjaman
(kreditor) dan para penukar uang di eropah untuk menunjukkan atau
mempamerkan uang mereka kepada para pedagang dan orang-orang berlayar.
Aktivitas seperti ini telah mulai dilakukan pada abad pertengahan dan dari sinilah
timbul istilah "Bank". Berkaitan dengan aktivitas ini, jika sekiranya pengusaha
bank tersebut gagal dalam melakukan urusan dan kewajibannya kepada
pelanggan atau nasabah maka pelanggan atau nasabah itu akan marah dan banco
tersrbut akan dirusak dan di musnahkan. Dari peristiwa pengrusakan dan
pemusnahan banco inilah timbul istilah "bankrap" (ibid).
Ahmad Salaby (1982) menguraikan sejarah kemunculan bank ini dari versi yang
agak berbeda. Menurut Salaby pada zaman dahulu terdapat penukar-penukar
uang yang menanti dibelakang meja masing-masing di pantai-pantai laut
Mediterranean. Meja ini didalam bahasa Italia disebut Banco dan diletakkan
berbagai macam jenis mata uang yang diperlukan oleh orang-orang yang berlayar
ke timur. Para pedagang dan pelayar akan menukarkan uang mereka dikawasan
ini sehingga sehingga dapat dipergunakan ditempat tujuan perdagangan.
Disamping aktivitas penukaran seperti ini, kadang-kadang penukar uang tersebut
juga memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan. Aktivitas ini
dikatakan semakin berkembang sehingga timbul yayasan yang menjalankan
aktivitas keuangan dan yayasan ini kemudian disebut "bank"
Disamping uraian diatas ada pula yang menyebutkan pada zaman dahulu orang-
orang Babylonia telah menyimpan uang mereka di kuil-kuil yang dijaga oleh para
paderi atau pendeta agar uang mereka tidak mengalami resiko pencurian. Hal
yang sama juga terjadi di greek dimana uang masyarakat banyak disimpan di
Gereja-gereja kebangsaan seperti gereja Delph, delos dan ephesus ( Muhammad
Muslehuddin 1998). Dalam perkembangan selanjutnya golongan jahudi telah
menentang disiplin Gereja dan negara dalam hal pengendalian uang mereka.
Firma Yahudi mulai memberi pinjaman uang dengan mengenakan bunga kepada
peminjam.
Aktivitas pengendalian uang ini kemudian berubah kepada para tukang emas
sejak berdirinya perang saudara di Inggris pada tahun 1642-1645. Perang ini
mengakibatkan tiap orang berusaha menyelamatkan hartanya masing-masing
dan para tukang emas dianggap sebagai tempat dan pilihan yang terbaik untuk
menyimpan uang dan harta mereka karena para tukang emas ini mempunyai
peti-peti besi dan sistim pengamanan yang lainnya. Dalam memberikan
pelayanan simpanan kepada saudara, teman, tetangga, dan lainnya, para tukang
emas ini biasanya menggunakan sebuah Banco atau banku pada sat berurusan
dengan pelanggannya. Dari perkataan Banco ini kemudian muncul istilah "bank"
yang terus dipakai sampai sekarang.
B. Pengaturan Perbankan
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber daya, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
1. Manajemen resiko;
5. Pemeriksaan bank
C. Jenis-jenis Bank
a) Bank Umum
(1) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan.
(4) membeli, menjual, menjamin resiko sendiri maupun kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.
Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya
dan akte pendiriannya didirikan oleh pemerintah.
Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya
dan akte pendiriannya didirikan oleh swasta.
3) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Status
Jenis-jenis bank berdasarkan status dibedakan menjadi dua yaitu bank devisa dan
bank non devisa (2008 b: 39-40).
a) Bank Devisa
Bank non devisa adalah bank yang belum mendapat izin dari Bank Indonesia
untuk memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri
seperti bank devisa.
1. Pendirian Bank
b.Permodalan
c.Kepemilikan.
Pasal 4
(1)Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin
GubernurBank Indonesia.
(2)Pemberian izin sebagaimana dimaksud Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
1. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan
2. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 5
Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga
triliun rupiah).
Pasal 6
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan.
2. Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank.
Kemudian untuk pendirian Bank Prekreditan Rakyat (BPR) selanjutnya diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 8/26/PBI/2006 tentang Bank Prekreditan Rakyat. Sebagaimana Bank Umum, Bank
Prekreditan Rakyat memerlukan izin prinsip dan izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. Untuk izin
prinsip BPR, wajib memenuhi persyaratan tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 6 urat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/35/KEP/DIR yang berbunyi:
1. Rancangan akta pendirian badan hukum, anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan
instansi berwenang
a. daftar pemegang saham berikut rincian besar kepemilikan saham bagi bank yang
berbentu PT atau PD
b. daftar calon anggota beserta rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib daftar
hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi
6. Bukti pelunasan modal sekurang-kurangnya 30% dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada
Bank Umum di Indonesia dan atas nama Direksi Bank Indonesia salah seorang calan pemilik
BPR yang bersangkutan.
7. Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum
koperasi, bahwa pelunasan modal disetor tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain di Indonesia atau tidak
berasal dari kegiatan yang melanggar hukum.
2. Likuidasi Bank
Pasal 4
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
d. kegiatan treasury;
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5
Kegiatan Usaha bank umum konvensional yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan:
g) jasa lainnya;
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim
dilakukan oleh Bank dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
e) jasa lainnya;
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:
5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.
Pasal 6
Kegiatan Usaha yang dilakukan bank umum syariah dan unit usaha syariah dikelompokkan:
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
d. kegiatan treasury;
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Kegiatan Usaha bank umum syariah dan unit usaha syariah yang dapat dilakukan pada masing-masing
BUKU ditetapkan:
g) jasa lainnya;
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim
dilakukan oleh Bank yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-
undangan.
b. BUKU 2 dapat melakukan:
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
e) jasa lainnya;
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:
5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
peraturan perundang-undangan;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia
dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia
dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.
Pasal 8
(1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh unit usaha syariah mengacu pada BUKU bank umum
konvensional yang menjadi induknya.
(2) Kegiatan Usaha tertentu pada BUKU bank umum konvensional yang menjadi induknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh unit usaha syariah setelah memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Istilah “kredit” itu sendiri berasal dari bahasa Latin, “creditus” yang merupakan bentuk past participle
dari kata “credere” yang dalam bahasa Inggris berarti to trust.2 Kata “trust” dalam bahasa Indonesia
berarti “kepercayaan.” Dengan demikian kredit pada hakekatnya adalah suatu kepercayaan dan atau
pemberian kepercayaan dari satu pihak kepada pihak lainnya yang dalam hal ini kini menjadi penamaan
sekaligus pelembagaan tradisi yang hidup dalam dunia bisnis khususnya di dunia jasa keuangan
perbankan. Makna dan keberadaan kredit dalam suasana kompleksnya dunia bisnis menjadi lebih dari
sekedar tradisi kepercayaan bisnis semata, melainkan telah menjadi suatu lembaga yang memiliki
sistematika sedemikian rupa namun demikian dimanapun, bagaimanapun arah dan perkembangannya
masih tetap mengandung unsur “kepercayaan,” yaitu -setelah melewati beberapa kriteria dan
persyaratan- pihak kreditor percaya bahwa pihak debitornya dapat dipercaya kemampuannya dalam
memenuhi janji untuk membayar utang yang telah diperjanjikan.
Dengan pesatnya perkembangan hukum bisnis maka kini pengertian kredit meskipun bermuatan pokok
sama namun dapat dijumpai dalam berbagai format redaksional, diantaranya:
a. Kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau
memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak
b. Janji untuk membayar di waktu yang akan datang yang diberikan sebagai penukar atas penyerahan
uang, barang atau jasa. Biasanya dengan tingkat bunga berbeda-beda sesuai resiko yang terkandung dan
reputasi sebagai resiko yang ditanggung peminjam.
c. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
d. One’s ability to borrow money; the faith in one’s ability to pay debts; the availability of funds either
from a financial institution or under a letter of credit.
e. The Ability to borrow on the opinion conceived by the lender that he will be repaid.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa kredit dalam perspektif hukum bisnis
mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditor dengan debitor, yang disebut dengan
perjanjian kredit.
b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditor sebagai pihak yang memberikan pinjaman, dan pihak debitor,
yang merupakan pihak yang meminjam atau menggunakan uang pinjaman tersebut.
c. Adanya unsur kepercayaan dari kreditor bahwa pihak debitor mau dan mampu membayar/mencicil
kreditnya.
e. Adanya pemberian sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak kreditor kepada pihak debitor
f. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak debitor kepada kreditor,
disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan.
g. Adanya perbedaan (rentang) waktu antara pemberian kredit oleh kreditor dengan pengembalian
kredit oleh debitor.
h. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tersebut. Semakin jauh
tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali
suatu kredit.
2. Jenis-Jenis Kredit
Penggolongan kredit sebagai produk perbankan konvensional dapat ditinjau dari berbagai aspek,
diantaranya:
a. Berdasarkan jangka waktu:
1) Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi satu tahun.
2) Kredit jangka menengah, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu satu hingga tiga tahun.
3) Kredit jangka panjang, yakni kredit yang memiliki jangka waktu di atas tiga tahun.
1) Kredit konsumtif, yakni kredit yang diberikan bank untuk kepentingan konsumtif debitornya seperti
kredit perumahan atau kredit kendaraan bermotor.
2) Kredit produktif:
a) kredit investasi, yakni kredit untuk keperluan pengadaan modal atau alat-alat produksi atau barang-
barang yang tahan lama. Kredit ini juga disebut kredit bantuan proyek.
b) kredit modal kerja, yakni kredit untuk membiayai pembelian modal lancar yang habis dalam
pemakaian, seperti barang dagangan/ritel, bahan baku dan sebagainya.
c) kredit likuiditas, yakni kredit yang diberikan sebagai bantuan terhadap perusahaan yang sedang
kesulitan likuiditas seperti kredit dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang memiliki likuiditas di
bawah jumlah tertentu.
1) Kredit uang (money credit), dimana pemberian dan pengembalian kreditnya dilakukan dalam bentuk
uang.
2) Kredit bukan uang (non money credit atau mercantile credit), dimana kredit diberikan dalam bentuk
barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang.
1) kredit domestik (onshore credit), yaitu kredit yang pihak kreditor utamanya beradal dari dalam negeri
2) Kredit luar negeri (offshore credit), yaitu kredit yang pihak kreditornya berasal dari luar negeri
2) kredit sindikasi (syndicated loan), yaitu kredit dimana pihak kreditornya lebih dari satu atau terdiri
dari beberapa badan hukum, dan biasanya salah satu di antara kreditor tersebut bertindak sebagai Lead
Creditor.
Kredit sebagai produk “andalan” dari lembaga keuangan dijajakan secara “kompetitif” tentunya dengan
tawaran tingkat bunga pinjaman yang serendah-rendahnya yang dirasakan tidak akan membebani calon
nasabah debitornya. Hal ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena pada hakekatnya dari jasa
inilah bank banyak menaruh harapan agar dana masyarakat yang telah dikumpulkannya dapat diputar
dan diproduktifkan untuk mencari keuntungan dengan disalurkan kepada pihak-pihak yang
membutuhkannya.
Secara sepintas aktifitas lembaga jasa ini sudah cukup menunjukkan saratnya aspek hukum yang tidak
dapat diabaikan. Adanya sejumlah modal/uang yang ditransaksikan jelas telah menunjukkan bahwa
hubungan yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan adalah hubungan hukum dan bukan
hubungan moral walaupun terbentuknya hubungan tersebut berangkat dari adanya hubungan
kepercayaan antara kedua belah pihak. Untuk itu agar apa yang diharapkan selama masa perjanjian oleh
masing-masing pihak dapat tercapai dengan sebaik mungkin, maka keberadaan dasar hukum dan
kejelasan aturan main menjadi sangat penting. Dengan adanya aturan hukum yang jelas maka apa yang
menjadi hak dan wewenang bagi masing-masing pihak akan terlindungi secara hukum. demikian pula
apa yang menjadi kewajiban masing-masing pihak senantiasa berada dalam koridor tanggung jawab
yang berwatak yuridis. Selain itu khususnya untuk konteks Indonesia dimana sistem hukumnya
cenderung termasuk golongan Eropa Kontinental maka kejelasan aturan perundang-undangan menjadi
pijakan utama dalam mendasari setiap tindakan dan hubungan-hubungan hukum.
dasar hukum dan instrumen hukum yang berkaitan dengan masalah perkreditan perbankan terdiri dari
ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan umum yang dimaksud adalah ketentuan umum
perihal aturan perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata buku ketiga. Adapun ketentuan
khususnya yaitu segala peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkreditan
atau pembiayaan.
G. Aspek Hukum Perbankan syariah
Pendapat di atas menjelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam
bentuk peraturan perundang-undangan (order of law) dan hukum kebiasaan (costumary law) secara
antropologis membentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order machanism atau self
regulation) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal
berfungsi sebagai sarana menjaga keteraturan dan ketertiban sosisal. Hukum adalah institusi yang
dinamis dan mengalir, hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, antara hukum dan
manusia direalisasikan dalam masyarakat yang menjadi tempat berinteraksi. Ketiga ordinat (hukum,
manusia dan masyarakat) yang menyebabkan hukum menjadi institusi yang dinamis.
Perubahan/pergeseran hukum secara pelan-pelan terjadi dari “ the law ways” menuju “the sociological
ways” kemudian kepada “the sociological movement in law (hunt), atau “the sociological era”. Eksistensi
Undang-undang Peradilan Agama UU Nomor 3 Tahun 2006, Undang-undang. Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
KHI dan sekarang RUU Perbankan Syariah, tidak dapat dilepaskan dari historis (sejarah), artinya lahirnya
institusi di atas bukan institusi yang “a historis” melainkan “historisch bepaald”. Artinya munculnya
dinamika hukum itu tidak dapt melepaskan/menyembunyikan dinamika sosial dibelakangnya. Hukum
tumbuh, berkembang dan ambruk disebabkan oleh dinamika dalam masyarakat Polarisasi kewenangan
Peradilan Agama mengadili perkara sengketa perbankan syariah/perbankan Islam, yang dalam Undang-
Undang Perbankan Syariah pada Pasal 52 jika dilihat dari aspek filosofis yuridis pada dasarnya menjawab
kebutuhan rasa keadilan Umat Islam sebagai konsekuensi fluralisme hukum yang hidup dan tumbuh.
Karenanya penyerahan Penyelesaian Perkara bisnis Syariah ke Peradilan Umum/Pengadilan Negeri
dirasa kurang memenuhi rasa keadilan (kontradiktoris value) dan bertentangan dengan prinsip
historycal bepaald yang telah terjadi selama ini, karena itu penyelesaian sengketa perkara perbankan
Islam harus diserahkan kepada Pengadilan Agama.
Peradilan Agama, secara yuridis normatif merupakan amanat konstitusi Undang-undang NKRI 1945 Pasal
24, Pasal 25, yang konkritisasi formalitasnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan dipayungi oleh
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang perbankan syariah, jika diteropong dari aspek yuridis merupakan hukum yang baik,
karena hukum yang baik adalah hukum yang mempunyai kekuatan yuridis yang memberikan kepastian
hukum. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum unsur penegakan hukum dari Friedman
(substansi,struktur dan kultur) penekanan unsur manusia merupakan pelaku utama dalam segala
kegiatan untuk mewujudkan keadilan.
Pendekatan hukum yang bersifat empirik possitivistik tidak cukup untuk mewujudkan keadilan, tetapi
proses interaksi antara manusia dengan lingkungan yang dilandasi dengan budaya akan lebih menjadi
bermakna. Dalam hal ini maka pemahaman hukum melalui pengalaman internal para subyek pelaku dan
hukum merupakan makna mereka. Berdasarkan pemahaman (verstehen) dan interpretasi, kita dapat
menangkap makna, nilai-nilai dibalik perilaku mereka. Karenanya kajian yang digunakan bukan lagi
semata-mata yuridis dogmatik melainkan pendekatan sosio legal-antro yang diorientasi pada
fungsionalisasi hukum.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dilihat dari pendekatan yuridis formalistik dengan payung hukum
(UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 4 Tahun 2004) tentu pemahaman hukum dalam konteks kehidupan
masyarakat Indonesia yang sedang berubah, lalu lintas kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks
merupakan realitas tuntutan kebutuhan hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan
pengkajian secara logis rasional melainkan hukum dibuat untuk dijalankan. Perwujudan tujuan, nilai-nilai
ataupun ide-ide yang terkandung dalam peraturan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri
sendiri, melainkan mem-punyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.
Rancang bangun berfikir menyamaratakan penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan non
syariah dapat mengakibatkan hukum menjadi disorder of law, karena kompetensi absolut ekonomi
syariah berada di Peradilan Agama beserta perangkat hukumnya, yang syarat dengan nilai, azas dan ide
serta tujuan yang sudah jelas. Jika kemudian penerapannya tidak pas, artinya tidak berasal atau
ditumbuhkan dari kandungan masyarakat akan merupakan masalah, karena terjadi ketidakcocokan,
antara nilai-nilai yang men-jadi pendukung sistem hukum yang bersangkutan dengan nilai-nilai yang
dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Untuk itu penyelesaian sengketa perbankan syariah oleh
Pengadilan Umum bertentangan dengan pemahaman hukum “yuridis sosiologis antropologis”. Dengan
demikian sangat relevan kalau penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah di Pengadilan Agama.
Persoalan keadilan merupakan masalah yang tidak pernah akan selesai secara tuntas dibicarakan orang,
bahkan akan makin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Keadilan bukan
sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui penalaran atau logika saja melainkan melibatkan perilaku
seseorang secara utuh.
Hukum memiliki dimensi nilai-nilai etika moral yang terwujud dalam azas-azas hukum dan tertuang
dalam norma-norma serta terumuskan dalam aturan-aturan. Oleh sebab itu, seorang hakim dalam
menjalankan tugasnya mencari kebenaran untuk menentukan kesalahan seseorang tidak cukup hanya
memakai landasan yuridis semata tetapi juga landasan filosofis dan sosiologis.
Aturan normatif materiil dalam rangka untuk menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah belum
ada. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam menyelesaikan
perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Belum adanya aturan hukum materiil dapat
mengakibatkan kurangnya kepastian hukum sebagai akibat dari perbedaan pegangan bagi hakim dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Oleh karena itu, peran dan fungsi hakim diharapkan memiliki
kemampuan menterjemahkan nilai-nilai keadilan dalam persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui
keputusan-keputusan-nya.
Hakim dalam mencari dan menegakkan kebenaran atas dasar landasan yuridis, hendaknya memiliki
landasan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengetahui dan memahami
aspirasi serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Apa yang diungkapkan di atas mendasari lahirnya
Undang-undang Perbankan Syariah, artinya nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat muslim tereduksi
dalam Undang-undang Perbankan Syariah yang sudah diundangkan.
Pada dasarnya hukum perbankan mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dalam proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada
prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang
bank yang mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara dalam proses pelaksanaan kegiatan
usahanya.
Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum
dalam arti materil. Sumber hukum dalam arti materil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum
itu sendiri dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya.
Apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Sumber hukum formil adalah
tempat ditemukannya ketentuan hukum perundang-undangan baik tertulis maupun tidak tertulis.