Anda di halaman 1dari 31

Tugas Resume

Aspek Hukum Dalam Bisnis

Tentang

Hukum Perbankan

Disusun oleh :

Dzikra

(1713060261)

Dosen pembimbing :

Aslan Deri Ichsandi SH.,MH

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (EKSYA-A)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1442 H / 2020 M
A. Pengertian bank dan sejarah bank

Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang
dipasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau
penyalur kredit dan juga perantara dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Undang-undang negara
republik Indonesia No 10 tahun 1998. Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud
dengan bank adalah adalah " badan usaha yang menghimpun dana dana dari masyarakat dalam bentuk
kredit dan bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".

Beberapa ahli mengemukakan pengertian-pengertian Bank, di antaranya:

G.M. Verryn Stuart,

Bank is a company who satisfied other people by giving a credit with the money they accept as a gamble
to the other, eventough they should supply the new money. (Bank adalah badan usaha yang wujudnya
memuaskan keperluan orang lain, dengan memberikan kredit berupa uang yang diterimanya dari orang
lain, sekalipun dengan jalan mengeluarkan uang baru kertas atau logam). Jadi bank dalam hal ini telah
melakukan operasi pasif dan aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan dana
menyalurkan kredit kepada masyarakat yang
(surplus spending unit – SSU ), dan
membutuhkan dana (defisit spending unit – DSU);

B.N. Ajuha,

Bank adalah tempat menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat
menggunakan secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya
lebih produktif untuk dapat menguntungkan masyarakat;

Malayu S.P. Hasibuan,

Bank umum adalah lembaga keuangan, pencipta uang, pengumpul dana dan
penyalur kredit, pelaksana lalu-lintas pembayaran, stabilisator moneter, serta
dinamisator pertumbuhan perekonomian.

Dari definisi bank sebagaimana tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa pada
hakikatnya sebuah bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan dua
fungsi utama yang dimilikinya yaitu sebagai badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat serta memberikan aneka ragam jasa perbankan lainnya dalam
kegiatan lalu-lintas pembayaran Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang
dijalankannya. Sebaliknya, sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai
kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan
ekonomi dan kesempatan kerja.

Sejarah bank

Perkataan bank berasal dari bahasa Italia yaitu Bonco yang berarti kepingan
papan yang digunakan sebagai tempat meletakkan buku yang sejenis meja
( Muhammad muslehuddin, 1998). Fungsi ini berubah secara luas yaitu sebagai
meja menukarkan uang. Aktivitas ini dilakukan oleh para pemberi pinjaman
(kreditor) dan para penukar uang di eropah untuk menunjukkan atau
mempamerkan uang mereka kepada para pedagang dan orang-orang berlayar.
Aktivitas seperti ini telah mulai dilakukan pada abad pertengahan dan dari sinilah
timbul istilah "Bank". Berkaitan dengan aktivitas ini, jika sekiranya pengusaha
bank tersebut gagal dalam melakukan urusan dan kewajibannya kepada
pelanggan atau nasabah maka pelanggan atau nasabah itu akan marah dan banco
tersrbut akan dirusak dan di musnahkan. Dari peristiwa pengrusakan dan
pemusnahan banco inilah timbul istilah "bankrap" (ibid).

Ahmad Salaby (1982) menguraikan sejarah kemunculan bank ini dari versi yang
agak berbeda. Menurut Salaby pada zaman dahulu terdapat penukar-penukar
uang yang menanti dibelakang meja masing-masing di pantai-pantai laut
Mediterranean. Meja ini didalam bahasa Italia disebut Banco dan diletakkan
berbagai macam jenis mata uang yang diperlukan oleh orang-orang yang berlayar
ke timur. Para pedagang dan pelayar akan menukarkan uang mereka dikawasan
ini sehingga sehingga dapat dipergunakan ditempat tujuan perdagangan.
Disamping aktivitas penukaran seperti ini, kadang-kadang penukar uang tersebut
juga memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan. Aktivitas ini
dikatakan semakin berkembang sehingga timbul yayasan yang menjalankan
aktivitas keuangan dan yayasan ini kemudian disebut "bank"

Disamping uraian diatas ada pula yang menyebutkan pada zaman dahulu orang-
orang Babylonia telah menyimpan uang mereka di kuil-kuil yang dijaga oleh para
paderi atau pendeta agar uang mereka tidak mengalami resiko pencurian. Hal
yang sama juga terjadi di greek dimana uang masyarakat banyak disimpan di
Gereja-gereja kebangsaan seperti gereja Delph, delos dan ephesus ( Muhammad
Muslehuddin 1998). Dalam perkembangan selanjutnya golongan jahudi telah
menentang disiplin Gereja dan negara dalam hal pengendalian uang mereka.
Firma Yahudi mulai memberi pinjaman uang dengan mengenakan bunga kepada
peminjam.

Aktivitas pengendalian uang ini kemudian berubah kepada para tukang emas
sejak berdirinya perang saudara di Inggris pada tahun 1642-1645. Perang ini
mengakibatkan tiap orang berusaha menyelamatkan hartanya masing-masing
dan para tukang emas dianggap sebagai tempat dan pilihan yang terbaik untuk
menyimpan uang dan harta mereka karena para tukang emas ini mempunyai
peti-peti besi dan sistim pengamanan yang lainnya. Dalam memberikan
pelayanan simpanan kepada saudara, teman, tetangga, dan lainnya, para tukang
emas ini biasanya menggunakan sebuah Banco atau banku pada sat berurusan
dengan pelanggannya. Dari perkataan Banco ini kemudian muncul istilah "bank"
yang terus dipakai sampai sekarang.

B. Pengaturan Perbankan

Fungsi pengaturan terhadap Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan


merupakan salah satu fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan.
Fungsi mengatur Perbankan sangat penting artinya oleh karena dalam kegiatan
operasional Perbankan yang demikian luas dan kompleksnya membutuhkan satu
kelembagaan untuk menjalankan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan
terhadap Perbankan. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan menentukan fungsi (Pasal 5) dan tugas (Pasal 6) hingga wewenang
(Pasal 7, 8, dan 9). Ditentukan bahwa Otoritas Jasa Keuangan berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5).
Ditentukan kemudian bahwa Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan


c.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6).

Selanjutnya mengenai wewenang Otoritas Jasa Keuangan, di dalam Undan-


Undang No. 21 Tahun 2011 ditentukan dalam Pasal 7 bahwa: “Untuk
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang:

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,


rencanan kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber daya, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1. Likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal


minimum, batas maksimum pemberian kredit, arsip pinjaman terhadap simpanan,
dan pencadangan bank;

2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. Sistem informasi debitur;

4. Pengujian kredit (credit testing); dan

5. Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. Manajemen resiko;

2. Tata kelola bank

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencuciak uang; dan


4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan

5. Pemeriksaan bank

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut di atas, jelaslah bahwa Otoritas Jasa


Keuangan berwenang: dalam pengaturan dan pengawasan mengenai
kelembagaan bank; Otoritas Jasa Keuangan berwenang: dalam pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank; Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
dalam pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank; serta
Otoritas Jasa Keuangan berwenang: dalam pemeriksaan bank.

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam pengaturan dan pengawasan


Perbankan antara lain dan dalam perizinan pendirian bank, pembukaan kantor
bank, anggaran dasar dan lain-lainnya, khususnya dalam hal perizinan, semula
menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk menerbitkan perizinan pendirian
Bank maupun pembukaan kantor bank. Hal itu tampak dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan “Setiap pihak yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa giro, deposito, 12UU. No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(Pasal 7). sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-Undang
tersendiri” (Pasal 16 ayat (1). Selanjutnya ditentukan pula bahwa “Izin Usaha
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diberikan oleh Menteri setelah
mendengar pertimbangan Bank Indonesia “ (Pasal 16 ayat (2)

C. Jenis-jenis Bank

1) Jenis-jenis bank berdasarkan fungsinya

a) Bank Umum

Menurut Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan


menyatakan “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan bank umum antara lain:

(1) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan.

(2) memberikan kredit.

(3) menerbitkan surat pengakuan hutang.

(4) membeli, menjual, menjamin resiko sendiri maupun kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.

(5) memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan


nasabah.

b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Menurut Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 Bank Perkreditan Rakyat


(BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.

2) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya

Menurut Kasmir (2008 b: 36-37) jenis-jenis bank berdasarkan kepemilikannya


dibedakan menjadi dua yaitu bank milik pemerintah dan bank milik swasta.

a) Bank Milik Pemerintah

Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya
dan akte pendiriannya didirikan oleh pemerintah.

b) Bank Milik Swasta

Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya
dan akte pendiriannya didirikan oleh swasta.
3) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Status

Jenis-jenis bank berdasarkan status dibedakan menjadi dua yaitu bank devisa dan
bank non devisa (2008 b: 39-40).

a) Bank Devisa

Bank devisa adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara


konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dapat memberikan
pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri dan sudah mendapat izin
dari Bank Indonesia.

b) Bank Non Devisa

Bank non devisa adalah bank yang belum mendapat izin dari Bank Indonesia
untuk memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri
seperti bank devisa.

4) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Cara Menentukan Harga

Jenis-jenis bank berdasarkan cara menentukan harga dibedakan menjadi dua


yaitu bank berdasarkan prinsip konvensional dan bank berdasarkan prinsip
syariah.

a) Bank Berdasarkan Prinsip Konvensional

Bank yang berdasarkan prinsip konvensional menetapkan bunga sebagai


harga dan mengenakan biaya dalam nominal atau persentase tertentu (fee base)
dalam mendapatkan keuntungan dan menentukan harga produk bank.

b) Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

Bank yang berdasarkan prinsip syariah menggunakan aturan perjanjian


menurut hukum islam dalam pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

D. Pendirian dan Likuidasi Bank

1. Pendirian Bank

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan


AtasUndang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pendirian Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari
Pimpinan Bank Indonesia,kecuali bila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.Kemudian di Pasal 16 ayat (2)
disebutkan syarat-syarat untuk memperoleh izin dariPimpinan Bank Indonesia
yaitu:

a.Susunan organisasi dan kepengurusan

b.Permodalan

c.Kepemilikan.

d.Keahlian di bidang perbankan

e.Kelayakan rencana kerja

Untuk mendirikan Bank Umum selanjutnya diatur dalam Peraturan Bank


Indonesia No.11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum, yaitu:

Pasal 4

(1)Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin
GubernurBank Indonesia.

(2)Pemberian izin sebagaimana dimaksud Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap:

1. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan
2. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.

Pasal 5

Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga
triliun rupiah).

Pasal 6

1. Bank hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:

a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau

b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan.

2. Kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b paling banyak sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank.

Kemudian untuk pendirian Bank Prekreditan Rakyat (BPR) selanjutnya diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 8/26/PBI/2006 tentang Bank Prekreditan Rakyat. Sebagaimana Bank Umum, Bank
Prekreditan Rakyat memerlukan izin prinsip dan izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. Untuk izin
prinsip BPR, wajib memenuhi persyaratan tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 6 urat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/35/KEP/DIR yang berbunyi:

1. Rancangan akta pendirian badan hukum, anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan
instansi berwenang

2. Data kepemilikan berupa:

a. daftar pemegang saham berikut rincian besar kepemilikan saham bagi bank yang
berbentu PT atau PD

b. daftar calon anggota beserta rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib daftar
hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi

3. Daftar susunan Dewan Komisaris dan Direksi


4. Renncana dan susunan organisasi

5. Rencana kerja untuk tahun pertama

6. Bukti pelunasan modal sekurang-kurangnya 30% dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada
Bank Umum di Indonesia dan atas nama Direksi Bank Indonesia salah seorang calan pemilik
BPR yang bersangkutan.

7. Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum
koperasi, bahwa pelunasan modal disetor tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain di Indonesia atau tidak
berasal dari kegiatan yang melanggar hukum.

2. Likuidasi Bank

2.1 Pengertian Likuidasi Bank


Pengertian Likuidasi Bank menurut Pasal 1 angka 13 Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 1/PLPS/2011 adalah tindakan penyelesaian seluruh asset dan kewajiban bank
sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.
Likuidasi adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya, dapat
membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan
para debitur tanpa terjadi penangguhan.” Menurut pengertian ini bank dikatakan likuid apabila:
1. Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk
memenuhi likuiditasnya;
2.Bank tersebut memiliki cash assets yang lebih kecil dari yang tersebut diatas, tetapi yang
bersangkutan juga memiliki asset lainnya (khususnya surat-surat berharga) yang dapat
dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya;
3. Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets baru melalui
berbagai bentuk hutang.

2.2 Dasar Hukum Likuidasi Bank


Ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum yang dipakai
sebagai landasan bagi likuidasi suatu bank yang bermasalah dalam sistem perekonomian
nasional adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan likuidasi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yaitu terdapat
dalam :
a. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
1. pemegang saham menambah modal;
2. pemegang saham mengganti .Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
3. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan
memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
4. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
6. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
7. bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak
lain.
b. Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, apabila:
1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi bank, dan/atau,
2. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem
perbankan, pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan
direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna
membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
c. Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan
Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank
Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran
badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan likuidasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, tanggal 3
Mei 1999 tentang Pencabutan izin usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersebut, pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Pimpinan
Bank Indonesia apabila :
a. Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat (1) Pasal 3 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa
apabila :
1.tindakan sebagaimana dimaksud ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank, dan/atau,
2.menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan
sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank
dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa pencabutan izin usaha
bank dilakukan oleh Pimpinan Bank Indonesia.
b. Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan likuidasi bank oleh Bank Indonesia
ditetapkan dan diserahkan kepada Badan Khusus yang bersifat sementara dalam rangka
penyehatan perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 37 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
tetap mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
c. Pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal para pemegang saham akan membubarkan
badan hukum bank atas keinginan sendiri, pembubaran tersebut hanya dapat dilakukan setelah
pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.
3. Ketentuan likuidasi menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank umum dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat :
a. Pasal 2 dari kedua Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa pencabutan izin usaha Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dilakukan oleh Direksi Bank Indonesia apabila:
1. Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat; dan/atau
2. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat
dapat membahayakan sistem perbankan; atau
Terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat.
b. Pasal 3 dari surat keputusan tersebut di atas menyebutkan bahwa pencabutan izin usaha kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dilakukan oleh direksi Bank Indonesia
berdasarkan alasan tindakan penyelamatan belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh
Bank atau membahayakan sistem perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a atau
huruf b:
1. Terdapat permintaan kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri; atau
2. Izin usaha kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri dicabut dan/atau kantor
pusat dimaksud dilikuidasi oleh otoritas yang berwenang di negara setempat.
Dalam perkembangannya, sebagai tindak lanjut pengaturan mengenai penjaminan dana
masyarakat khususnya dalam rangka mewujudkan apa yang telah diamanatkan dalam ketentuan
Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu tentang perlunya pembentukan Lembaga
Penjaminan Simpanan, pada tahun 2004 pemerintah membentuk suatu badan khusus yang
disebut Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan telah dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan
tersebut, ketentuan mengenai likuidasi diatur pula di dalam :
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009;
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 3 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang- Undang Nomor 7
Tahun 2009;
C. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/38/PBI/2005;
d. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2005 tentang Likuidasi
Bank, yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 2/PLPS/2008 tentang Likuidasi Bank;
Walaupun telah terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan, dalam ketentuan Pasal 98
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, menyebutkan
bahwa proses likuidasi yang dimulai sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
mengenai likuidasi bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Selain memperhatikan
peraturan khusus dalam pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank dalam proses
tersebut, maka sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan perbankan perlu juga
memperhatikan peraturan yang bersifat umum seperti:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, bagi pembubaran bank yang
berbentuk hukum perseroan terbatas;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, bagi pembubaran
bank yang berbentuk hukum koperasi;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, bagi pembubaran
bank yang berbentuk hukum perusahaan daerah.

2.3 Faktor Penyebab Likuidasi Bank


Pada saat suatu perusahaan mengalami resiko likuidasi ada beberapa sebab yang
melatarbelakanginya, yaitu :
1. Utang perusahaan yang berada pada posisi extreme leverage. Extreme leverage
artinya utang perusahaan sudah berada dalam kategori yang membahayakan perusahaan
itu sendiri.
2. Jumlah utang dan berbagai tagihan yang datang disaat jatuh tempo sudah begitu
besar, baik utang di perbankan,leasing, mitra bisnis, utang dagang,termasuk utang
dalam bentuk bunga obligasiyang sudah jauh tempo yang secepatnya dibayar, dan
berbagai bentuk tagihan lainnya.
3. Perusahaan telah melakukan kebijakan strategi yang salah sehingga memberi
pengaruh pada kerugian yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
4. Kepemilikan aset perusahaan tidak lagi mencukupi untuk menstabilkan perusahaan,
yaitu sudah terlalu banyak asset yang dijual sehingga jika asset yang tersisa tersebut
masih ingin dijual maka itu juga tidak mencukupi untuk menstabilkan perusahaan.
5. Perusahaan sering melakukan kebijakan gali lubang dan tutup lubang pada kewajiban
atau menyelesaikan persoalan likuidasi di pakai dari dana untuk membayar utang,
sehingga pada dana yang harusnya dialokasikan untuk membayar utang yang sudah
jatuh tempo namun dipakai untuk membayar gaji karyawan, listrik, dan sejenisnya yang
termasuk kategori short term liquidity.
2.4 Proses Likuidasi Bank
Saat terjadinya krisis perbankan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, Undang-
undang perbankan yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Menurut ketentuan undang-undang tersebut, pembinaan dan pengawasan
bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas pembinaan dan
pengawasan ini, Bank Indonesia menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia terhadap bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
sebelum dilakukan pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi. Dalam hal ini, Bank
Indonesia melaporkan suatu bank yang diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan langkah-langkah
penyelamatan yang dianggap perlu atau pencabutan izin usaha bank.
Selain itu, terkait dengan pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan bank tersebut,
dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank
Indonesia dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pencabutan izin usaha
bank yang bersangkutan. Menghadapi krisis tersebut, salah satu kebijakan yang akhirnya di
ambil oleh Pemerintah adalah mencabut izin usaha dan melikuidasi 16 bank swasta. Landasan
hukum yang digunakan oleh Pemerintah dalam pencabutan izin usaha dan likuidasi bank pada
saat itu adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dan peraturan
pelaksanaan dari ketentuan likuidasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran Dan Likuidasi Bank. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 tersebut
kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Alasan likuidasi (pembubaran) yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan tersebut
diatas sangatlah erat kaitannya dengan kepentingan umum. Likuidasi dalam hal ini merupakan
sanksi administratif/publik terhadap bank, sebagai akibat pelanggaran yang dilakukan oleh
perseroan terhadap Undang-Undang Perbankan (Pasal 29-36), yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Pelanggaran itu dilakukan sedemikian rupa sehingga membahayakan bagi
kelangsungan usahanya, dan membahayakan sistem perbankan. Mencermati ketentuan Pasal 37
Undang-Undang Perbankan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 jo. SK Direksi BI
No. 32/53/KEP/DIR tersebut, maka likuidasi bank dapat dipilah dalam 2 (dua) besaran pokok :
1. Pertama, likuidasi bank karena upaya penyelamatan tidak cukup mengatasi masalah
atau bank tersebut dinilai oleh Bank Indonesia membahayakan sistem perbankan,
dimana hal ini sering disebut juga dengan compulsory liquidation. Pada likuidasi ini,
Otoritas Pengawas Bank (Bank Indonesia) mencabut izin usaha bank menggunakan
kekuatan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Perbankan.
2. Kedua, likuidasi bank karena adanya permintaan sendiri dari pemegang saham atau
pemilik bank, termasuk dalam kategori ini adanya permintaan dari kantor pusat bank di
luar negeri yang akan menutup kantor cabangnya di Indonesia (self liquidation atau
sering disebut juga dengan voluntary liquidation). Secara proses, likuidasi jenis ini
relatif sederhana karena memang dikehendaki sendiri oleh pemilik atau pemegang
saham, sehingga pada dasarnya tidak mengandung unsur “dipaksa” oleh otoritas
sebagaimana tipe pertama karena keadaan yang memburuk dari bank yang
bersangkutan. Sebabnya dapat beraneka ragam, antara lain mungkin dari segi bisnis
oleh pemilik dipandang tidak prospektif lagi. Hal yang paling harus dicermati oleh
otoritas pada proses self liquidation adalah seluruh kewajiban kepada kreditur termasuk
nasabah penyimpan dana harus terbayarkan secara lunas, tidak boleh ada yang dirugikan
guna melindungi kepentingan masyarakat, utamanya penyimpan dana. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 memungkinkan proses self liquidation ini, namun
harus mendapat izin dari Bank Indonesia. Terkait hal tersebut, di dalam Pasal 26
Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur :
a. Dalam hal pada pemegang saham akan membubarkan badan hukum bank atas
keinginannya sendiri, pembubaran tersebut hanya dapat dilakukan setelah
pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.
b. Pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila
bank yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh
kreditor.
c. Pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Dalam hal ini, bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menyelesaikan semua
kewajiban kepada seluruh kreditur termasuk nasabah penyimpan dana dan kemudian dilakukan
pencabutan izin usaha oleh Bank Indonesia.

E. Kegiatan Usaha Bank

1. Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional

Pasal 4

Usaha yang dilakukan bank umum konvensional dikelompokkan:

a. penghimpunan dana;

b. penyaluran dana;

c. pembiayaan perdagangan (trade finance);

d. kegiatan treasury;

e. kegiatan dalam valuta asing;

f. kegiatan keagenan dan kerjasama;

g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;

h. kegiatan penyertaan modal;

i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit;


j. jasa lainnya; dan

k. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 5

Kegiatan Usaha bank umum konvensional yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan:

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:

1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:

a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;

b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;

c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);

d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama;

e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas

f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; dan

g) jasa lainnya;

2. kegiatan sebagai pedagang valuta asing; dan

3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim
dilakukan oleh Bank dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

b. BUKU 2 dapat melakukan:

1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:

a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1;

b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;

c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance)


d) kegiatan treasury secara terbatas; dan

e) jasa lainnya;

2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:

a) keagenan dan kerjasama; dan

b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;

3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia;

4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; dan

5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia
dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.

2. Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Pasal 6

Kegiatan Usaha yang dilakukan bank umum syariah dan unit usaha syariah dikelompokkan:

a. penghimpunan dana;

b. penyaluran dana;

c. pembiayaan perdagangan (trade finance);

d. kegiatan treasury;

e. kegiatan dalam valuta asing;


f. kegiatan keagenan dan kerjasama;

g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;

h. kegiatan penyertaan modal;

i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan;

j. jasa lainnya; dan

k. kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Kegiatan Usaha bank umum syariah dan unit usaha syariah yang dapat dilakukan pada masing-masing
BUKU ditetapkan:

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:

1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:

a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;

b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;

c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);

d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama;

e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas;

f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; dan

g) jasa lainnya;

2. kegiatan sebagai pedagang valuta asing; dan

3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim
dilakukan oleh Bank yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-
undangan.
b. BUKU 2 dapat melakukan:

1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:

a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1;

b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;

c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);

d) kegiatan treasury secara terbatas; dan

e) jasa lainnya;

2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:

a) keagenan dan kerjasama; dan

b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;

3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia;

4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; dan

5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
peraturan perundang-undangan;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia
dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam
Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia
dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.

Pasal 8

(1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh unit usaha syariah mengacu pada BUKU bank umum
konvensional yang menjadi induknya.
(2) Kegiatan Usaha tertentu pada BUKU bank umum konvensional yang menjadi induknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh unit usaha syariah setelah memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

F. Aspek Hukum Perkreditan

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Kredit

Istilah “kredit” itu sendiri berasal dari bahasa Latin, “creditus” yang merupakan bentuk past participle
dari kata “credere” yang dalam bahasa Inggris berarti to trust.2 Kata “trust” dalam bahasa Indonesia
berarti “kepercayaan.” Dengan demikian kredit pada hakekatnya adalah suatu kepercayaan dan atau
pemberian kepercayaan dari satu pihak kepada pihak lainnya yang dalam hal ini kini menjadi penamaan
sekaligus pelembagaan tradisi yang hidup dalam dunia bisnis khususnya di dunia jasa keuangan
perbankan. Makna dan keberadaan kredit dalam suasana kompleksnya dunia bisnis menjadi lebih dari
sekedar tradisi kepercayaan bisnis semata, melainkan telah menjadi suatu lembaga yang memiliki
sistematika sedemikian rupa namun demikian dimanapun, bagaimanapun arah dan perkembangannya
masih tetap mengandung unsur “kepercayaan,” yaitu -setelah melewati beberapa kriteria dan
persyaratan- pihak kreditor percaya bahwa pihak debitornya dapat dipercaya kemampuannya dalam
memenuhi janji untuk membayar utang yang telah diperjanjikan.

Dengan pesatnya perkembangan hukum bisnis maka kini pengertian kredit meskipun bermuatan pokok
sama namun dapat dijumpai dalam berbagai format redaksional, diantaranya:

a. Kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau
memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak

b. Janji untuk membayar di waktu yang akan datang yang diberikan sebagai penukar atas penyerahan
uang, barang atau jasa. Biasanya dengan tingkat bunga berbeda-beda sesuai resiko yang terkandung dan
reputasi sebagai resiko yang ditanggung peminjam.
c. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

d. One’s ability to borrow money; the faith in one’s ability to pay debts; the availability of funds either
from a financial institution or under a letter of credit.

e. The Ability to borrow on the opinion conceived by the lender that he will be repaid.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa kredit dalam perspektif hukum bisnis
mengandung beberapa unsur sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditor dengan debitor, yang disebut dengan
perjanjian kredit.

b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditor sebagai pihak yang memberikan pinjaman, dan pihak debitor,
yang merupakan pihak yang meminjam atau menggunakan uang pinjaman tersebut.

c. Adanya unsur kepercayaan dari kreditor bahwa pihak debitor mau dan mampu membayar/mencicil
kreditnya.

d. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitor.

e. Adanya pemberian sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak kreditor kepada pihak debitor

f. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak debitor kepada kreditor,
disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan.

g. Adanya perbedaan (rentang) waktu antara pemberian kredit oleh kreditor dengan pengembalian
kredit oleh debitor.

h. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tersebut. Semakin jauh
tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali
suatu kredit.

2. Jenis-Jenis Kredit

Penggolongan kredit sebagai produk perbankan konvensional dapat ditinjau dari berbagai aspek,
diantaranya:
a. Berdasarkan jangka waktu:

1) Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi satu tahun.

2) Kredit jangka menengah, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu satu hingga tiga tahun.

3) Kredit jangka panjang, yakni kredit yang memiliki jangka waktu di atas tiga tahun.

b. Berdasarkan tujuan penggunaannya:

1) Kredit konsumtif, yakni kredit yang diberikan bank untuk kepentingan konsumtif debitornya seperti
kredit perumahan atau kredit kendaraan bermotor.

2) Kredit produktif:

a) kredit investasi, yakni kredit untuk keperluan pengadaan modal atau alat-alat produksi atau barang-
barang yang tahan lama. Kredit ini juga disebut kredit bantuan proyek.

b) kredit modal kerja, yakni kredit untuk membiayai pembelian modal lancar yang habis dalam
pemakaian, seperti barang dagangan/ritel, bahan baku dan sebagainya.

c) kredit likuiditas, yakni kredit yang diberikan sebagai bantuan terhadap perusahaan yang sedang
kesulitan likuiditas seperti kredit dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang memiliki likuiditas di
bawah jumlah tertentu.

c. Berdasarkan pihak objek yang ditransfer.

1) Kredit uang (money credit), dimana pemberian dan pengembalian kreditnya dilakukan dalam bentuk
uang.

2) Kredit bukan uang (non money credit atau mercantile credit), dimana kredit diberikan dalam bentuk
barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang.

d. Berdasarkan negara asal kreditor.

1) kredit domestik (onshore credit), yaitu kredit yang pihak kreditor utamanya beradal dari dalam negeri

2) Kredit luar negeri (offshore credit), yaitu kredit yang pihak kreditornya berasal dari luar negeri

e. Berdasarkan jumlah kreditor


1) kredit dengan kreditor tunggal (single loan), yaitu kredit yang pihak kreditornya hanya terdiri dari satu
(single) badan hukum saja.

2) kredit sindikasi (syndicated loan), yaitu kredit dimana pihak kreditornya lebih dari satu atau terdiri
dari beberapa badan hukum, dan biasanya salah satu di antara kreditor tersebut bertindak sebagai Lead
Creditor.

3. Dasar Hukum Perjanjian Kredit

Kredit sebagai produk “andalan” dari lembaga keuangan dijajakan secara “kompetitif” tentunya dengan
tawaran tingkat bunga pinjaman yang serendah-rendahnya yang dirasakan tidak akan membebani calon
nasabah debitornya. Hal ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena pada hakekatnya dari jasa
inilah bank banyak menaruh harapan agar dana masyarakat yang telah dikumpulkannya dapat diputar
dan diproduktifkan untuk mencari keuntungan dengan disalurkan kepada pihak-pihak yang
membutuhkannya.

Secara sepintas aktifitas lembaga jasa ini sudah cukup menunjukkan saratnya aspek hukum yang tidak
dapat diabaikan. Adanya sejumlah modal/uang yang ditransaksikan jelas telah menunjukkan bahwa
hubungan yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan adalah hubungan hukum dan bukan
hubungan moral walaupun terbentuknya hubungan tersebut berangkat dari adanya hubungan
kepercayaan antara kedua belah pihak. Untuk itu agar apa yang diharapkan selama masa perjanjian oleh
masing-masing pihak dapat tercapai dengan sebaik mungkin, maka keberadaan dasar hukum dan
kejelasan aturan main menjadi sangat penting. Dengan adanya aturan hukum yang jelas maka apa yang
menjadi hak dan wewenang bagi masing-masing pihak akan terlindungi secara hukum. demikian pula
apa yang menjadi kewajiban masing-masing pihak senantiasa berada dalam koridor tanggung jawab
yang berwatak yuridis. Selain itu khususnya untuk konteks Indonesia dimana sistem hukumnya
cenderung termasuk golongan Eropa Kontinental maka kejelasan aturan perundang-undangan menjadi
pijakan utama dalam mendasari setiap tindakan dan hubungan-hubungan hukum.

dasar hukum dan instrumen hukum yang berkaitan dengan masalah perkreditan perbankan terdiri dari
ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan umum yang dimaksud adalah ketentuan umum
perihal aturan perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata buku ketiga. Adapun ketentuan
khususnya yaitu segala peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perkreditan
atau pembiayaan.
G. Aspek Hukum Perbankan syariah

1. Aspek Filosofis Undang-undang Perbankan Syariah

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS), keberadaannya


sesungguhnya merupakan tuntutan untuk memenuhi ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama, khususnya perubahan lembaga peradilan agama menyangkut
(kompetensi) yang harus diemban oleh peradilan agama dalam memenuhi amanat Undang-undang.
Apabila dirunut dari aspek historis eksistensi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman penjajah sampai
kemerdekaan, hingga sekarang reformasi tidak dipersoalkan lagi hanya saja yang menjadi persoalan
mengapa kewenangan pengadilan agama yang telah mempunyai status sama kedudukannya dengan
peradilan yang lain, namun kompetensi mengadili perkara bagi orang Islam belum semua dapat
dilaksanakan oleh Peradilan Agama, artinya masih terjadi tarik menarik dengan peradilan yang lain,
padahal masing-masing telah mempunyai kompetensi sendiri-sendiri. Peradilan Agama dengan Undang-
undang No. 3 Tahun 2006 mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam
(orang yang beragama Islam) meliputi hukum keluarga (Nikah, Waris, Zakat) dan ekonomi syariah
mencakup bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, surat berjangka menengah syariah, Securitas syariah, Pegadaian syariah,
DPLK syariah, dan bisnis syariah. Kewenangan absolut dari Peradilan Agama yang ada sekarang apabila
dilihat aspek filosofis menunjukan bahwa perkembangan kebutuhan hukum masyarakat (muslim
khususnya) terhadap kesadaran menjalankan syariat Islam sebagai konsekuensi dari keyakinannya
semakin tinggi. Ini berarti bahwa pluralisme hukum harus diterima sebagai realitas (Real of Entity) yang
majemuk (legal fluraly) dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Cotterral: 1995
”We should think of law as a phenomenon pluralistically, as a regulation of many krud existing in a
veriety of relationships, same of the quit tenuous, with the primary legal institutions of the centralized
state”.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam
bentuk peraturan perundang-undangan (order of law) dan hukum kebiasaan (costumary law) secara
antropologis membentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order machanism atau self
regulation) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal
berfungsi sebagai sarana menjaga keteraturan dan ketertiban sosisal. Hukum adalah institusi yang
dinamis dan mengalir, hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, antara hukum dan
manusia direalisasikan dalam masyarakat yang menjadi tempat berinteraksi. Ketiga ordinat (hukum,
manusia dan masyarakat) yang menyebabkan hukum menjadi institusi yang dinamis.
Perubahan/pergeseran hukum secara pelan-pelan terjadi dari “ the law ways” menuju “the sociological
ways” kemudian kepada “the sociological movement in law (hunt), atau “the sociological era”. Eksistensi
Undang-undang Peradilan Agama UU Nomor 3 Tahun 2006, Undang-undang. Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
KHI dan sekarang RUU Perbankan Syariah, tidak dapat dilepaskan dari historis (sejarah), artinya lahirnya
institusi di atas bukan institusi yang “a historis” melainkan “historisch bepaald”. Artinya munculnya
dinamika hukum itu tidak dapt melepaskan/menyembunyikan dinamika sosial dibelakangnya. Hukum
tumbuh, berkembang dan ambruk disebabkan oleh dinamika dalam masyarakat Polarisasi kewenangan
Peradilan Agama mengadili perkara sengketa perbankan syariah/perbankan Islam, yang dalam Undang-
Undang Perbankan Syariah pada Pasal 52 jika dilihat dari aspek filosofis yuridis pada dasarnya menjawab
kebutuhan rasa keadilan Umat Islam sebagai konsekuensi fluralisme hukum yang hidup dan tumbuh.
Karenanya penyerahan Penyelesaian Perkara bisnis Syariah ke Peradilan Umum/Pengadilan Negeri
dirasa kurang memenuhi rasa keadilan (kontradiktoris value) dan bertentangan dengan prinsip
historycal bepaald yang telah terjadi selama ini, karena itu penyelesaian sengketa perkara perbankan
Islam harus diserahkan kepada Pengadilan Agama.

2. Aspek Yuridis Perbankan Syariah

Peradilan Agama, secara yuridis normatif merupakan amanat konstitusi Undang-undang NKRI 1945 Pasal
24, Pasal 25, yang konkritisasi formalitasnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan dipayungi oleh
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang perbankan syariah, jika diteropong dari aspek yuridis merupakan hukum yang baik,
karena hukum yang baik adalah hukum yang mempunyai kekuatan yuridis yang memberikan kepastian
hukum. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum unsur penegakan hukum dari Friedman
(substansi,struktur dan kultur) penekanan unsur manusia merupakan pelaku utama dalam segala
kegiatan untuk mewujudkan keadilan.

Pendekatan hukum yang bersifat empirik possitivistik tidak cukup untuk mewujudkan keadilan, tetapi
proses interaksi antara manusia dengan lingkungan yang dilandasi dengan budaya akan lebih menjadi
bermakna. Dalam hal ini maka pemahaman hukum melalui pengalaman internal para subyek pelaku dan
hukum merupakan makna mereka. Berdasarkan pemahaman (verstehen) dan interpretasi, kita dapat
menangkap makna, nilai-nilai dibalik perilaku mereka. Karenanya kajian yang digunakan bukan lagi
semata-mata yuridis dogmatik melainkan pendekatan sosio legal-antro yang diorientasi pada
fungsionalisasi hukum.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dilihat dari pendekatan yuridis formalistik dengan payung hukum
(UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 4 Tahun 2004) tentu pemahaman hukum dalam konteks kehidupan
masyarakat Indonesia yang sedang berubah, lalu lintas kebutuhan yang semakin beragam dan kompleks
merupakan realitas tuntutan kebutuhan hukum dan hukum bukan sekedar untuk menjadi bahan
pengkajian secara logis rasional melainkan hukum dibuat untuk dijalankan. Perwujudan tujuan, nilai-nilai
ataupun ide-ide yang terkandung dalam peraturan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri
sendiri, melainkan mem-punyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat.

Rancang bangun berfikir menyamaratakan penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan non
syariah dapat mengakibatkan hukum menjadi disorder of law, karena kompetensi absolut ekonomi
syariah berada di Peradilan Agama beserta perangkat hukumnya, yang syarat dengan nilai, azas dan ide
serta tujuan yang sudah jelas. Jika kemudian penerapannya tidak pas, artinya tidak berasal atau
ditumbuhkan dari kandungan masyarakat akan merupakan masalah, karena terjadi ketidakcocokan,
antara nilai-nilai yang men-jadi pendukung sistem hukum yang bersangkutan dengan nilai-nilai yang
dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Untuk itu penyelesaian sengketa perbankan syariah oleh
Pengadilan Umum bertentangan dengan pemahaman hukum “yuridis sosiologis antropologis”. Dengan
demikian sangat relevan kalau penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah di Pengadilan Agama.

Persoalan keadilan merupakan masalah yang tidak pernah akan selesai secara tuntas dibicarakan orang,
bahkan akan makin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Keadilan bukan
sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui penalaran atau logika saja melainkan melibatkan perilaku
seseorang secara utuh.

Hukum memiliki dimensi nilai-nilai etika moral yang terwujud dalam azas-azas hukum dan tertuang
dalam norma-norma serta terumuskan dalam aturan-aturan. Oleh sebab itu, seorang hakim dalam
menjalankan tugasnya mencari kebenaran untuk menentukan kesalahan seseorang tidak cukup hanya
memakai landasan yuridis semata tetapi juga landasan filosofis dan sosiologis.

Aturan normatif materiil dalam rangka untuk menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah belum
ada. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam menyelesaikan
perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Belum adanya aturan hukum materiil dapat
mengakibatkan kurangnya kepastian hukum sebagai akibat dari perbedaan pegangan bagi hakim dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Oleh karena itu, peran dan fungsi hakim diharapkan memiliki
kemampuan menterjemahkan nilai-nilai keadilan dalam persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui
keputusan-keputusan-nya.

Hakim dalam mencari dan menegakkan kebenaran atas dasar landasan yuridis, hendaknya memiliki
landasan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengetahui dan memahami
aspirasi serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Apa yang diungkapkan di atas mendasari lahirnya
Undang-undang Perbankan Syariah, artinya nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat muslim tereduksi
dalam Undang-undang Perbankan Syariah yang sudah diundangkan.

H. Aspek Hukum Kebanksentralan (Bank Indonesia)

1.Pengertian hukum perbankan

Pada dasarnya hukum perbankan mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dalam proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada
prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang
bank yang mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara dalam proses pelaksanaan kegiatan
usahanya.

2. Sumber hukum perbankan di Indonesia

Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum
dalam arti materil. Sumber hukum dalam arti materil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum
itu sendiri dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya.

Apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Sumber hukum formil adalah
tempat ditemukannya ketentuan hukum perundang-undangan baik tertulis maupun tidak tertulis.

Anda mungkin juga menyukai