Anda di halaman 1dari 235
PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA (Hukum Penitensier) UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2 Hak Cipta merupakan hak cksklusif bagi pencipta atau pemegang, Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secami otomatis setelah suatn ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang beslaku. 1. Hak Terkait Pasal 49 1 Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarng pihak Iain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagumana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat 2) dipidana dengan pidana penjaramasing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (anu juta tupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana ppenjara paling lama 5 (ima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp '500,000,000,00 (lima ratus juta rupiah) DR. Hj. Tina Asmarawati, S.H., M.H. PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA (Hukum Penitensier) @epublish ‘lotty ond cevelop he intelectual ot humors ite 9 deepublish| publisher JLRajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman JLKaliurang Km.9,3 - Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 1838-2316-8088, www.deepublish.co.id E-mail: deepublish@ymail.com Katalog Dalam Terbitan (KDT) ASMARAWATI, Tina Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier) /oleh Tina Asmarawati--Ed.1, Cet Yogyakarta: Deepublish, Maret 2015. xii, 222 blm.; Uk:14x20 em ISBN 978-602-280-633-2 1. Hukum Pidana 1 Judul 345, Cetakan Pestama: April 2014 Desain cover: Helambang Rahmadhan Penataletak —: Tka Patria Iriyanti PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076 /DIY /2012) Copyright © 2015 by Deepublish Publisher All Right Reserved Tsi diluar tanggung jawab percetakan Tak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menesjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin textulis dari Penesbit. KATA PENGANTAR Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadlirat Alloh SWT atas kesempatan yang diberikanNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan buku ini. Buku yang berjudul “Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum Di Indonesia“ ini didasarkan atas hasil penelitian studi literatur dan lapangan yang dilakukan Penulis agar khalayak umum dan para Dosen serta Peneliti akan lebih terbuka wawasannya dalam pemahaman terhadap sistem hukum di Indonesia. Dalam buku ini diketengahkan mengenai Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Dimensi Kebijakan Hukum Pidana, Perbuatan Melawan Hukum dan Pertanggung- jawaban Pidana, Tinjauan Tentang Hukum Penitensier, Pidana Jenis Pidana dan Pemidanaan, Sistem Perumusan Sanksi Pidana, Tindakan Tata Tertib di Lembaga Pemasyarakatan, Peniadaan Hukuman dan Pengurangan Hukuman, Sistem Pemidanaan Terhadap Anak di Indonesia. Banyak manfaat yang bisa dipetik dengan membaca buku ini, tetapi tiada gading yang tak retak, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran dari Pembaca kami nantikan guna perbaikan di penerbitan yang akan datang. Semoga bermanfaat. Cirebon, Februari 2015 Penulis vi KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR ISI ABSTRAK xi BAB | BAB II BAB III GOR PS > A. SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA oo Proses Pidana pada Lembaga Kepolisian........... Proses Pidana pada Lembaga Kejaksaan.. Lembaga Peradilan..... Lembaga Pemasyarakatan DIMENS! KEBIWAKAN HUKUM PIDANA........ 39 Korelasi Kebijakan Kriminal dan Sosial dengan Kebijakan Hukum Pidana.............0000 39 Tujuan dari Pemidanaan..... es Hubungan Tujuan Pemidanaan dari Lembaga-lembaga Pemidanaan, Penindakan dan Kebijaksanaan .............0:se0 50 Pemikiran Pembentuk KUHP Tentang Lembaga-lembaga Pemidanaan dan Tujuan dari Pemidanaan...........csccseseeeeeeeeee 51 PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN PERTANGGUJAWABAN PIDANA..............0++ 53 Perbuatan Melawan Hukum ..........csccssessessees 53 vii BAB IV BAB V BAB VI QA Pertanggungjawaban Pidana ............cscesceee 57 Pembuktian Tindak Pidana «0... 70 Berbagai Cara Penafsiran dalam Ilmu TINJAUAN TENTANG HUKUM PENITENSIER Tinjauan Umum..... soeeeenteneeneeaes Hukum Penitensier Tidak Hanya Berkenaan dengan Masalah Pidana dan Pemidanaan....... Lembaga Pemidanaan, Penindakan dan Kebijaksanaan .... Penempatan di Bawah Pengawasan Pemerintah. PIDANA, JENIS PIDANA DAN PEMIDANAAN Arti Pidana .. Jenis—jenis Pidan: a. Pidana Mat b. Pidana Penjara.. ec. Pidana Kurungan d. Pidana Kurungan sebagai Pengganti Pidana Dend: e. Pidana Dend: Pemidanaan...... SISTEM PERUMUSAN SANKSI PIDANA... 139 viii Dow > BAB VII Sistem Perumusan Tunggal/Imperatif........... 139 Sistem Perumusan Alternatif. Sistem Perumusan Kumulati Sistem Perumusan Kumulatif-Alternatif.......146 TINDAKAN TATA TERTIB DAN CARA PEMIDANAAN A. Tindakan Tata Tertib bagi Para Terpidana....151 BAB VIII A. Izin Sementara Waktu Meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan ..........sssessseeesees 152 Izin Hidup Bebas di Luar Lembaga Pemasyarakatan.... Usaha Memperbaiki Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan .......ccssesseeseeseeoe 154 PENIADAAN HUKUMAN, PENGURANGAN HUKUMAN ..........:::ee0 155 Grasi .... 155 1. Pengertian Grasi 155) 2. Bentuk-bentuk Grasi 156 3. Hakikat dari Grasi 157 4. Permohonan Grasi menurut Undang- undang Nomor 5 Tahun 2010. 159 Pemberian Amnesti dan Abolisi di Indonesia. 1. Pengertian Remisi 2. Syarat-syarat © Pemberian adalah ...... BAB X DAFTAR PUSTAKA CURRICULUM VITAE 3. Tata Cara Pemberian Remisi..............+ 166 SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA. sesseeeeeee 173 Konvensi Internasional _ Perlindungan Ana Pemeriksaan Pengadilan dan Putusan Hakim (Adjucation and Disposition) ............ 177 The United Nations Rules For The Protection of Juvenile Depreved of Liberty . Perlindungan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia..... setters 181 1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU 8/ 1981)... 2. Undang-undang Peradilan Anak (UU 3/1997) 3. Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999)... 4. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU 23/2002)..... 5. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak KESIMPULAN. ABSTRAK Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam untuk menanggulangi masalah kejahatan Di Indonesia, Sistem Peradilan Pidana (SPP) dilaksanakan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum. Keempat lembaga tersebut adalah Lembaga Kepolisian. Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana. Lembaga Kejaksaan, sebagai penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili, Lembaga Peradilan merupakan lembaga pemutus perkara. Pidana. Terakhir adalah Lembaga Pemasyarakatan. tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 memiliki asas-asas antara lain, asas praduga tidak bersalah, hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; hak untuk memperoleh bantuan hukum, hak adanya kehadiran terdakwa di depan persidangan, peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya. Asas tersebut dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana menurut Reksodipoetro membagi sistem dalam tiga tahap, yaitu (a) tahap sebelum sidang pengadilan/tahap pra- adjudikasi (pre-adjudication), (b) tahap — sidang xi pengadilan/tahap adjudikasi (adjudication), (c) tahap setelah sidang pengadilan/tahap purna-adjudikasi (post adjudication) Tahap adjudikasi harus dianggap “dominan” dalam seluruh proses. Terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Apabila dikaitkan dengan dua model pendekatan yang popular dalam sistem peradilan pidana (due process model dan crime control model dapat dikemukakan sistem peradilan pidana_ Indonesia versi KUHAP telah mempergunakan pendekatan due process model. Namun, dalam kenyataan masih mencerminkan crime control model. Asas asas yang ada di dalam Kuhap masih belum sepenuhnya dijalankan karena berbagai faktor yang dilakukan oleh oknum oknum aparat penegak hukum. Saran adanya sosialisasi Undang-undang, bagi oknum aparat yang melanggar hukum agar diterapkan peraturan tanpa pandang bulu. xii BABI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. _ Proses Pidana pada Lembaga Kepolisian Hakikatnya ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kepolisian diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan KUHAP.Sebagai lembaga penegak hukum, maka berdasarkan KUHAP, hakikatnya Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana. Pasal | butir 5 KUHAP menentukan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Berikutnya, Pasal 1 butir 4 dan Pasal 4 KUHAP menyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP maka penyelidik: a) Kewajibannya/mempunyai wewenang: 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2) Mencari keterangan dan barang bukti; 3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 4 di Indonesia (Hukum Penitersier) b) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. Menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP mempunyai wewenang: a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) |Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 2| _Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) i) Mengadakan penghentian penyidikan; j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHAP, dalam melakukan hal tersebut di atas kepada seorang tersangka, penyidik membuat Berita Acara Pemeriksaan dan menyerahkannya kepada Lembaga Kejaksaan. Alat Bukti dalam Penyidikan Dalam suatu proses penyelidikan kriminalistik merupakan sarana secara_ teknis berfaedah untuk memecahkan kausalitas perbuatan seseorang yang timbul dalam suatu perkara pidana. Alat bukti yang ditinggalkan pelaku tindak pidana, bagi penyidik mempergunakan alat-alat bukti: (1). Saksi hidup yaitu orang yang menyaksikan, melihat atau mengetahui (2). Bukti mati yaitu bukti-bukti yang ditinggalkan pelaku tindak pidana Bukti mati tersebut sebagai bukti benda-benda yang mati, jumlah dan macamnya tidak terbatas, dan merupakan bukti yang penting untuk diperhatikan oleh penyidik, bahwa bukti-bukti di atas yang dipergunakan dan berlaku bagi penyidik sudah tentu berbeda dengan macam-macam alat bukti yang dipakai oleh hakim dipersidangan sebagaimana penerapan dari pasal 184 ayat (1) KUHAP. yaitu: a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | g di Indonesia (Hukum Penitersier) Suatu kasus perkara tindak pidana akan jelas bila mana pelaku tindak pidana meninggalkan bukti-bukti mati maupun saksi-saksi yang mengetahui. Pasal 120 KUHAP mengatur: dalam hal penyidik menganggap perlu minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucap- kan janji dimuka penyidik bahwa akan memberi keterangan menurut pengetahunan dengan sebaik-baiknya kecuali bila sebab karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan karena pekerjaan atau jabatan yang menentukan kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan ayat itu, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut (pasal 170 KUHAP dan penjelasannya) Buku pedoman pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01 PW 07.003 tahun 1982, Departemen Kehakiman RI halaman 22-24 diterang-kan sebagai berikut: oleh karena itu tersebut 1, 2, dan 3 maka jiwa dan materi KUHAP sangat berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang lama (HIR), dan terjadi perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana yang mempengaruhi pola sistem penyidikan tersebut berubah sebagai berikut: a. Sistem peradilan pidana yang mengutamakan perlindungan hak azasi manusia dimana masyarakat 4 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) dapat menghayati hak dan kewajibanya, yang dalam bidang penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka dan perlakuan terhadap tersangka secara layak dan sebagai subyek. Peningkatan pembinaan sikap para petugas penegak hukum sesuai wewenangan dan fungsi masing- masing dengan pembidangan berarti_ mengkotak- kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi. Kedudukan Polri sebagai penyidik yang mandiri tak dapat terlepas dari fungsi dan intansional serta adanya sinkronisasi penuntutan dan pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan _ koordinasi fungsional pelaksanaaan. Polri sebagai penyidik utama wajib meng- koordinasikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan. Adanya pembatasan wewenang yang lebih sempit dan pengawasan yang lebih ketat bagi penyidik penegakan hukum dan perlindungan hak azasi. Kewajiban penyidik untuk memberikan pelakuan yang layak disertai kewajiban memberikan perlindungan dan pengayoman, misalnya dalam hal tersangka tak mampu dan tak mempunyai penasihat hukum. Pembatasan wewenang dan pengetatan pengawasan terhadap penyidik, yang dilengkapi dengan pendamping dari pembela kepada tersangka yang diperiksa.' Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 5 di Indonesia (Hukum Penitersier) Penyidikan Berdasarkan Sistem Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Di dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01 PW 07.003 th 1982, Departemen Kehakiman RI halaman 22-24 diterang- kan sebagai berikut: bahwa jiwa dan materi KUHAP sangat berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang lama (HIR), terjadi perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana yang mempengaruhi pola sistem penyidik, antara lain sebagai berikut: a. Sistem peradilan pidana yang mengutamakan perlindungan hak azasi manusia dimana masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya, dalam bidang penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka dan perlakuan terhadap tersangka secara layak sebagai subyek. b. Peningkatan pembinaan sikap para petugas penegak hukum sesuai wewenang dan fungsi masing-masing dengan pembidangan berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan tanggung jawab tapi mengandung koordinasidan sinkronisasi. c. Kedudukan Polri sebagai penyidik yang mandiri tak dapat terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan koordinasi fungsional dan internasional serta adanya sinkronisasipelaksanaaan. d. Polri sebagai penyidik utama wajib meng- koordinasikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan. 6 | _Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) e. Adanya pembatasan wewenang yang lebih sempit dan pengawasan yang lebih ketat bagi penyidik penegakan hukum dan perlindungan hak asasi. f. _ Kewajiban penyidik untuk memberikan pelakuan yang layak disertai kewajiban memberikan perlindungan dan pengayoman, misalnya dalam hal tersangka tak mampu dan tak mempunyai penasihat hukum. Pembatasan wewenang dan pengetatan pengawasan terhadap penyidik, yang dilengkapi dengan pendam- pingan oleh pembela kepada tersangka yang diperiksa.' Dalam Penyidikan Kejahatan yang harus diperhatikan adalah antara lain adalah adanya perlindungan bagi tersangka di mana hakim tak akan menjatuhkan hukuman, kecuali apabila terbukti niat jahat yang terkandung pada perbuatan tersangka dan dilakukan dengan kesalahan (Mens rea). Di samping hakim, diperlukan juga seorang psikolog dan psikhiater sangat penting kehadiran dalam proses pradilan pidana.” Berdasarkan pengamatan penulis melalui berbagai wawancara dengan anggota masyarakat, aparat penegak hukum bahwa dalam masa penyidikan ini masih ada oknum aparat yang menyalahgunakan wewenangnya antara lain, dalam kasus narkoba barang bukti bisa sebagian diambil oleh oknum aparat. Disini sama-sama untung, menurutnya jika barang/narkoba yang disita sedikit maka tuntutannya akan lebih ringan. Juga barang bukti uang yang ada di ATM 1 Soepramono,Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, cet 1, Semarang, Satya Wacana.1989.him. 11-12. 2 — Soedjono, D., /imu Jiwa Kejahatan , Karya Nusantara, Bandung, 1977 him. 90-92 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 7 di Indonesia (Hukum Penitersier) hasil perdagangan narkoba, jika ada Rp.200.000.000,- maka dibagi dua. Pelaku Tindak pidana merasa lebih untung dapat separuh dari pada hilang sama sekali.? Baru-baru ini ditayangkan di media elektronik atasan ditembak oleh bawahannya. Ada apa gerangan?Menurut penulis oknum aparat sangat perlu disediakan tim/Iembaga counseling, agar dapat menghilangkan stres karena tugasnya yang berat dengan begitu oknum aparat dapat mengontrol emosinya. HAM belum sepenuhnya diterapkan adalah masih ada tindak kekerasan dari oknum aparat pada saat mengintrogasi tersangka.Walaupun sudah ada Undang- undang HAM. Sangat perlu untuk adanya sosialisasi Undang-undang terkait bukan saja untuk penegak hukum juga kepada masyarakat agar mengetahui hak-haknya. Kadang oknum aparat juga masih ada yang tidak mengetahui perubahan undang-undang. Sebagai contoh, untuk anak (0-18 tahun) di media elekronik oknum aparat penegak hukum mengatakan hukuman terhadap anak dikurangi sepertiga (KUHP) padahal sejak tahun 1997 undang-undang untuk anak yang melakukan tindak pidana sudah berubah (dari KUHP pasal 45; 46; 47 berubah dengan UU Pengadilan Anak Tahun 1997), yaitu ancaman pidana untuk anak dikurangi separuh dari ancaman pidana untuk dewasa dan saat ini sudah tiga kali ganti Undang- undang, terakhir yaitu Undang-undang No 11 tahun 2012. Kejadian ini sangat memprihatinkan.Yang sangat dirugikan adalah anak yang melakukan tindak pidana dari kalangan 3 Hasil Wawancara Penulis dengan Aparat Penegak Hukum dan Mantan Narapidana tanggal 23 Desember 2013. 8| _Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) yang belum/tidak mengerti hukum.* Demikian pula ada oknum yang tidak meneruskan perkaranya bila memberi sejumlah uang. Menurut Sudarto, bahwa ada baiknya untuk pelaku jika dibebaskan ada dasar hukum yang jelas tidak mungkin/tidak perlu semua perkara yang diterima Polisi diteruskan kepada Kejaksaan, tentunya harus ada pengaturannya yang memungkinkan adanya pengawasan. Memang diakui dasar hukum tertulis dari tindakan tersebut di atas tak ada, tetapi tak dapat disembunyikan bahwa untuk perkara-perkara kecil sifatnya tak mempunyai efek yang membahayakan kepada masyarakat, Polisi cukup memberi pengertian kepada pelaku yang melakukan pelanggaran hukum/tindak pidana. Di dalam media elekronik atau media massa ada kasus pencurian ringan yang ditindak lanjuti/ diproses melalui hukum pidana, menurut penulis sebaiknya tidak perlu untuk ditindak lanjuti, karena hanya buang waktu tidak ada manfaatnya. Menurut Sunaryati Hartono bahwa hukum/kaidah itu bukan merupakan tujuan tapi hanya merupakan jembatan yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.> B. Proses Pidana pada Lembaga Kejaksaan Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga kejaksaan diatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan KUHAP. Sebagai lembaga penuntut dalam perkara pidana, maka berdasar- 4 Tayangan Media Elektronik Pebruari 2014 5M. Faal, Penyaringan Perkara oleh Polisi (Diskresi kepolisian), cet 1 Jakarta, Pradnya Paramita, 1990, him 16 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | g di Indonesia (Hukum Penitersier) kan ketentuan Pasal 137 KUHAP, penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Dalam melakukan fungsinya, berdasarkan Pasal 14 KUHAP. Penuntut umum berwenang: 1) 2) 3) 4) 6) 7) 8) 9) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu; Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; Membuat surat dakwaan; Melimpahkan perkara ke pengadilan; Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu —perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; Melakukan penuntutan; Menutup perkara demi kepentingan hukum; Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang; 10) Melaksanakan penetapan hakim. 10| Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) Berdasarkan pengamatan penulis dalam proses peradilan di kejaksaan pun kadang ada penyalahgunaan wewenang/kekuasaan oleh oknum kejaksaan. Antara lain tuntutannya diperkecil/dikurangi oleh oknum aparat bila memberi sejumlah uang istilahnya negoisasi. Hal ini dilakukan juga oleh oknum aparat wanita. Harus menebus putusan dengan harga mahal, padahal pelaku hanya mencuri yang nilainya kurang dari harga menebus putusan, karena tidak punya uang ya tidak ditebus. Dampaknya ia kehilangan kesempatan untuk dapat remisi, karena belum menebus putusannya.Haknya sebagai manusia yang menjadi napi dizholimi oleh oknum aparat. Ada oknum dari Kejaksaan yang menghubungi pihak pelaku/Keluarga pelaku tindak pidana untuk negoisasi dalam hal tuntutanya® Solusinya adalah ada tindakan dari yang berwenang untuk diberi hukuman administratif maupun hukuman pidana dan siraman rohani, agar tidak menzholimi orang/narapidana.” C. Lembaga Peradilan Lembaga Peradilan merupakan lembaga pemutus perkara yang dilimpahkan oleh kejaksaan. Eksistensi lembaga peradilan nampak dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, tentang peradilan umum lalu diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 terakhir adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, tentang Peradilan Umum. Pada lembaga_peradilan, 6 — Wawancara dengan mantan narapidana, Nopember 2013 7 Wawaneara dengan mantan narapidana, 30 Desember 2013 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 44 di Indonesia (Hukum Penitersier) terdakwa diperiksa, diadili, dan diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri.® Berdasarkan data dari Departemen Kehakiman dan HAM RI, di seluruh Indonesia terdapat 27 Pengadilan Tinggi, serta 295 Pengadilan Negeri dengan perincian: Pengadilan Negeri Kelas IA berjumlah 34, Pengadilan Negeri Kelas IB sebanyak 53, dan Pengadilan Negeri Kelas Il mencapai 209. Berdasarkan UU 2/1986, UU 14/1970 jo UU 35/1999 dan KUHAP. Tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa) dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memeriksa seorang terdakwa, majelis hakim bertitik tolak pada surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum dan alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP. Kemudian, dengan 2 (dua) alat bukti dan keyakinannya, hakim menjatuhkan putusan. 1. Peranan Hakim Ketua Sidang Peranan hakim ketua sidang dan anggotanya secara aktif. Memimpin persidangan dan menjaga, memelihara agar ketentuan-ketentuan dalam beracara pidana tidak dilanggar dan dikurangi hak dan kewajiban penuntut umum dan terdakwa. Hal ini sesuai dengan sistem accusatoir yang dianut dalam KUHAP, dimana terdakwa sebagai subyek berhadapan dengan penuntut umum, kedua pihak ini mempunyai kedudukan yang setara. Berdasarkan pasal 217 KUHAP, bahwa hakim ketua berwenang mengusut siapa saja yang mengganggu jalannya persidangan. 8 Indonesia Legal Center Publising, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, cet. 1, Jakarta, 2010. 12 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) Dalam mengadili sesuatu perkara menurut hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan: a. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah didalam sisrtem hukum atau jika tidak ada yang dapat diterapkan, mencapai satu kaidan untuk perkara itu (yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai satu. kaidah untuk perkara lain sesudahnya) berdasarkan bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang ditunjukkan oleh sistem hukum. b. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasannya yang dimaksud. c. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian.'° Pada masa lalu tiga langkah tugas hakim dikelirukan sebagai suatu penafsiran. Semata mata terdiri dari menapsirkan satu kaidah yang diberikan oleh penguasa, yang seluruhnya berasal dari luar pengadilan terlepas dari hasil persidangan pengadilan. Proses persidangan yang teliti berupa mendeduksikan isinya yang dapat diketahui dengan mempergunakan logika dan secara mekanis menerapkan kaidah yang diberikan tafsir yang logis. Anggapan hukum seperti ini berasal dari tingkatan hukum sejati (strict aw) dalam percobaan hendak menghindari perincian-perincian yang berlebih lebihan tanpa perlu.” Ada tiga teori tentang penerapan hukum yang terdapat dalam ilmu hukum saat ini tetapi di antara teori- 9 Rousco Pound , /ocit. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 43 di Indonesia (Hukum Penitersier) teorinya analitis yang mempunyai pengikut paling banyak di dalam kalangan praktikus hukum di dalam uraian dogmatis tentang hukum.'® Penerapan tentang penghukum menjadi wewenang hakim yang disertai dasar memiliki perasaan yang peka, karena harus mampu menilai dengan objektif sesuai dengan keadilan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 05/1973, meminta perhatian Hakim agar dalam, menjatuhkan hukuman harus sesuai dengan berat ringannya kejahatan dan jangan sampai penjatuhan hukuman menyinggung perasaan yang ada di dalam masyarakat."' Suatu perbuatan pidana dapat dihukum atau tidak, tergantung pada penilaian hakim setelah melihat fakta yang ada melalui berita acara pemeriksaan pendahuluan maupun selama pemeriksaan dimuka sidang. Harus menguraikan sesuatu perbuatan yang dituduhkan maka uraian tersebut akan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tindak pidana yang bersangkutan secara konkrit. Agar mendapat gambaran yang jelas perlu diperinci hal-hal yang pada umumnya harus mendapat perhatian pembuat tuduhan untuk ditonjolkan. Dalam menguraikan sesuatu tindak pidana harus dinyatakan secara umum bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa, harus dapat disimpulkan dari surat berita acara pemeriksaan, yang sangat penting karena merupakan dasar dari surat tuduhan. Jika belum 10 — Rousco Pound, ibid. Him. 66 11 Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, cet. 2, Alumni, 1984,him. 17 14| Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) jelas perlu diadakan penyempurnaan hal-hal sebagai berikut:"? a) Bagaimana cara terdakwa melakukan tindak pidana. b) Dalam melaksanakan perbuatan tersebut upaya apa yang telah digunakan.Cara-cara melakukan kejahatan dan upaya yang digunakan dalam melaksanakan perbuatan pidana. Hal ini harus dinyatakan secara jelas. c) Kejahatan tersebut ditujukan kepada siapa baik langsung maupun tidak langsung. Dalam surat tuduhan harus disebut orang yang telah menjadi korban. a) Bagaimana sifat dan keadaan orang yang telah menjadi korban b) Terdakwa itu mempunyai sifat yang bagaimana. c) Apakah obyek dari delik yang bersangkutan dll. Segala yang diterangkan di atas belum tentu harus diuraikan dalam setiap tuduhan tapi dinyatakan atau tidak tergantung pada unsur-unsur tindak pidana yang bersangkutan atau keadaan konkrit yang terjadi. Alasan- alasan yang memberatkan hukuman (groden van strafverzwaring) dibagi dalam 2 macam, yang bersifat umum dan bersifat khusus.'° Alasan-alasan pemberatan hukuman yang bersifat khusus dalam KUHP, diantaranya pasal 340 KUHP (pembunuhan yang direncanakan ancamannya hukuman mati atau seumur hidup, sedang pembunuhan biasa hanya 12 A.Karim Nasution, Masalah Surat Tahunan dalam Proses Pidana, 1972, him. 135-136 13 A. Karim Nasution, /bidl him. 154 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 15 di Indonesia (Hukum Penitersier) 15 tahun). Hal tersebut di atas menunjukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang lebih berat dilakukan dalam keadaan tertentu. Merupakan alasan yang mem- beratkan hukuman. Keadaan ini dapat menyangkut sifat kelalaian pribadi dari terdakwa, misalnya karena recidive atau kejahatan dalam jabatan. Yaitu suatu keadaan- keadaan yang tidak merubah sifat dan isi perbuatan yang dituduhkan, tapi hanya merupakan suatu penambahan sehingga termasuk dalam suatu peraturan pidana yang lebih berat ancaman hukumannya. Peraturan tentang pemberatan tidak ada suatu pedoman yang pasti, kadang putusan hakim dalam keadaan-keadaan serupa dirasakan tidak wajar ataupun tidak memuaskan. Hukum tidak dapat disamakan dengan teori-teori ilmu pasti, yang dapat ditetapkan sampai pada konsekwensi-kosekwensi yang tidak terbatas. Aturan- aturan hukum diadakan untuk memenuhi segala macam kebutuhan dalam masyarakat, dan penerapannya secara konsekwen mungkin menimbulkan hal-hal yang tidak wajar. Putusan Pengadilan ada 3 macam:"* a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vriispraak) (pasal 191 ayat 1 KUHAP.) b. Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukum (191 ayat 2 KUHAP) c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa (pasal 193 KUHAP). del Terdapat perbedaan sifat antara pemeriksaan penyidik dan pemeriksaan di sidang. Pada pemeriksaan, di 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981 16 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) tingkat penyelidikan tersangka bersifat inquisator, tersangka berkedudukan sebagai objek pemeriksaan. Dalam pemeriksaan di Sidang pengadilan terdakwa dapat memungkiri hasil pemeriksaan penyidik, sering terjadi perbedaan antara hasil pemeriksaan sidang terhadap seorang terdakwa dan hasil pemeriksaan oleh penyidik penyidik. Pada pemeriksaan di sidang bersifat accusatoir terdakwa sebagai subjek mempunyai nilai yang sama dengan penuntut umum, sehingga terdakwa dapat memberikan keterangan dalam keadaan bebas pada sidang terbuka untuk umum, dengan maksud masyarakat dapat melakukan kontrol atas jalannya sidang. Hakim pidana di dalam sidang pengadilan pidana berdiri diantara kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana antara mereka menurut peraturan hukum pidana yang berlaku. Di dalam hukum pidana terdapat banyak teori yang dipakai untuk menetapkan hubungan kausa/ secara normatife, akan tetapi bagaimanapun untuk mengukur suatu kelakuan dapat ditentukan menjadi musabab dari suatu akibat yang dilarang dan mengingat pula kompleknya keadaan yang telah terjadi disekitar itu, maka diperlukan logic obyektif yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lain. Hakim sebagai penerap hukum j/nkongkrito tidak mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang hal itu, sehingga diperlukan bantuan ahli yang menguasai ilmu pengetahuan bantu, seperti ilmu pengetahuan kedokteran yang digunakan dalam hukum pidana.'® Pasal 133 KUHAP dalam hal penyidik mengenai suatu kasus dan menyangkut jiwa manusia, baik luka, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 47 di Indonesia (Hukum Penitersier) keracunan atau mati, penyidik berwenang meminta bantuan ahli secara tertulis dan di dalamnya agar dijelaskan pemeriksaan apa yang dimaksud, misalnya pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat dan atau bedah mayat (Otopsi) “Manfaat dari segi masyarakat “menunjukan pandangan yang nomatif mengenai kesalahan, ini dulu orang berpandangan bidang psychologisch, dati pembentuk Wvs, tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang lalu berkembang berpandangan normative. Ada atau tidaknya kesalahan tidak ditentukan bagaimana dalam keadaan bathin terdakwa, _ tetapi bergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan bathin itu, dinilai ada ataukah tidak ada kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugas walaupun mempunyai kebebasan tetapi kebebasan yang terbatas, dalam menerapkan hukum pidana memperhatikan hak asasi manusia dan faktor kesalahan pembuat/pelaku tindak pidana. Selain hal tsb diatas hakim mempunyai kode etik profesi hakim Indonesia yang di dalamnya terdiri antara lain mengatur tingkah laku para hakim (pedoman tingkah laku) yang dikenal dengan “Panca Dharma Hakim”"*: 1 Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab. 15 Bambang Poernomo,Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang- undang R.. No. 8 Tahun 1981, Jogyakarta, Liberty, 1986, him. 200 16 Wahyu Affandi, Opeithim. 12 18 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) 2 Cakra, yaitu mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman danketidak adilan. 3 Candra yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. Sari yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela 5 Tirta yaitu bersifat jujur. - Dari semua yang disebutkan diatas sesuai dengan Kode Etik Hakim maka Hakim yang ideal adalah hakim yang memiliki sikap bijaksana, cinta kepada kebenaran, adil dan jujur di dalam mengadili terdakwa (menjatuhkan vonis). Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum di Negara Indonesia. Sebagaimana telah disebut dimuka dalam UUD 1945 dalam pasal 27 secara khusus ditegaskan dalam kekuasaan kehakiman pasal 24 dan 25. dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh luar. Hakim menjalankan pekerjaannya dengan menggunakan metode silogisme. Jika menghadapai suatu perkara yang diajukan padanya hakim harus mampu memperhatikan duduk perkaranya menurut berbagai sudut pandang para pihak yang terlibat. Jika peraturannya ada hakim tinggal menyesuaikan, akan tetapi jika peraturanya tidak ada hakim harus menggali nilai- nilai hukum yang ada karena hakim mempunyai kebebasan, tanggung jawab dan suara hati. Nilai-nilai hukum seperti persepsi masyarakat tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan selalu berkembang setiap saat. Nilai nilai tadi selalu tarik menarik, sehingga pendulumnya suatu saat dekat dengan keadilan, tetapi saat yang lain dekat dengan kepastian hukum/kemanfaatan. Hakim harus mampu menangkap nusansa seperti itu. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 49 di Indonesia (Hukum Penitersier) Selama berabad abad hubungan antar perundang- undangan dengan putusan hakim menimbulkan polemik yang tak henti-hentinya melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. Penerapan Hukum Pidana yang berupa pemidanaan/penghukuman akan terjadi terhadap terdakwa, apabila: a. Telah terjadi penggunaan hak yang melewati batas/penyalahgunaan hak yang = merugikan kepentingan umum b. Pelaksanaan kewajiban itu sama_ sekali tidak dilakukan oleh pengembannya. c. Pelaksanaan kewajiban itu dilakukan tetapi tidak memadai untuk mencapai tujuan yang diharapkan, berarti pelaksanaan kewajiban tersebut kurang/ terlambat/salah. d. Pelaksanaan hak/kewajiban itu dilakukan secara sembrono sehingga mempunyai akibat negatif bagi kepentingan umum/orang lain. *° Dalam sidang pengadilan pada proses pemeriksaan hakim untuk menentukan sanksi pidana yang harus jeli sesuai untuk pelaku tindak pidana. Seorang Hakim dalam memilin dan menentukan sanksi pidana untuk seorang pelaku tindak pidana tertentu harus berorientasi dari keadaan psykhis dan sosial dari pelaku tindak pidana, kalau memungkinkan dapat meramalkan (predicted) bahwa dengan jenis pidana tertentu yang tepat. Jangan sampai hakim salah dalam menerapkan sanksi pidana. harus sesuai dengan kesalahan terdakwa. Penerapan pidana dalam pemidanaan bersifat universal, 20 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) sulit menentukan standard pemidanaan dalam penjatuhan pidana. Guna mengatasi hal-hal semacam ini, para Hakim diharapkan agak membuka diri dan mengambil inisiatif membentuk semacam Judicial Sentencing Institutes, forum pertemuan para Hakim yang memungkinkan mereka untuk mengadakan diskusi, dengan partisipasi dari pejabat- pejabat pemasyarakatan dan kalangan ilmu pengetahuan.'” Kesulitan yang timbul dalam menerapkan kaidah hukum dan sanksi hukum pada perkara-perkara yang kongkrit. Harus bertindak secara adil dan menyelami sungguh perkara-perkara yang kongrit, seolah-olah hakim melihat sendiri dan menggunakan epikeia suatu rasa tentang keadilan, apa yang tidak adil, dan apa yang pantas. Dalam teori ini epikeia termasuk regu/ar hukum Romawi dari semboyan yang terkenal yaitu “Lex dura, tametsi sunt scripta” dan “Summun ius summa iniuria’® Bagi seorang ahli hukum yang bekerja sehari-hari dalam peradilan, telah begitu dekat hubungannya dengan naskah undang-undang dan jurisprudensi, sehingga dirasakan tidak tepat jika mengatakan bahwa apa yang telah dikemukakan sebagai hukum itu masih mengandung kekurangan-kekurangan antara lain, kurang memperhatikan mengenai hakiki dari hukum itu sendiri, kepercayaan dan kesetiaan kepada undang-undang dan jurisprudensi itu baginya mengadili itu dapat menjadi sangat terbatas hanya sampai kepasemata-mata menerapkan undang-undang dan Jurisprudensi Akibat begitu percaya dengan hukum, melalui naskah undang-undang dan jurisprudensi. Maka ahli hukum 17 Muladi et.al, Bunga Rampai Hukum Pidana, Opcit. him. 97? 18 Theo Huijber, Osc, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. 1; Bandung: Yayasan Kanisius, 1982, him... 121 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 24 di Indonesia (Hukum Penitersier) dalam mengadili, cara bekerjanya seperti mesin, tidak melihat back ground mengapa pelaku melakukan kejahatan supaya tidak timbul reaksi yang controversial® Menurut penulis saat ini hukum belum mampu memberikan keadilan yang pantas kepada _pencari keadilan. Orang yang melakukan tindak pidana dalam pasal yang sama mendapat hukuman pidana yang berbeda- beda.” Menerapkan aturan hukum itu adalah manusia, dan manusia pula yang menjadi suatu fenomena dalam kasus harus diberlakukan suatu aturan hukum berdasarkan nilai- nilai dianut oleh manusia tersebut dan sangat mewarnai penerapan hukum. Faktor manusia ini dapat menerapkan aturan hukum dengan harapan memberikan porsi kemanfaatan pada keadilan pun kemanfaatannya secara kasuistis. Sebagai contoh pencurian benda-benda yang harganya kecil seperti maling cacao. Pisang, sandal jepit, terkadang ancaman pidana ataupun vonisnya hampir sama dengan pelaku yang melakukan korupsi yang nilainya ratusan kali. Menurut penulis sebaiknya pencurian ringan itu sebaiknya tidak perlu diproses. Padahal oknum aparat penegak hukum itu mempunyai diskresi untuk tidak melanjutkan perkara. Hanya akan membuang-buang waktu, biaya, dan pemikiran jika sampai dipidana. Kasus kasus pidana yang belum diadili menumpuk. Sebaiknya kasus- kasus besar yang diutamakan untuk segera diproses (kasus korupsi, money laudering) seperti kasus hakim 19 W. Van Gerven, Kebjaksanaan Hakim, ahli bahasa Hartini Tranggono, cet. 1; Erlangga, Jakarta, 1990, him. 30. 20 Wawaneara dengan mantan narapidana 30 Desember 2013 22| Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) agung yang berinitial AM yang menerima suap dari berbagai kasus/peristiwa.Sungguh sangat memalukan orang yang mempunyai kedudukan tinggi dan mulia tapi menyalahgunakan wewenangnya. Sesuai dengan tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan Penerapan Pidana Penjara maka hakim diharapkan tidak menjatuhkan pidana penjara sewenang- wenang. Tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan.”' Tujuan Pidana: 1 Untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri. 2 Membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana 3 Membuat penjahat-penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan tindak pidana. Dari tujuan hukum pidana dapat diambil tiga pokok, pertama tentang perbuatan yang dilarang, kedua tentang orang yang melanggar perbuatan yang dilarang, ketiga tentang pidana yang diancam pada pelanggar perbuatan yang dilarang. Apakah perbuatan yang dilarang itu mempunyai arti atau sifat tersediri lepas dari orang yang melakukannya atau perbuatan tersebut hanya mempunyai arti bila dihubungkan dengan sifat-sifat orang yang melakukannya. Dalam konsepsi kedua perbuatannya sendiri tidak mempunyai arti, yang penting adalah guilty mind yaitu sikap batin yang jahat dari orang yang melakukan perbuatan tersebut.” a1 Lamintang, Hukum Penintentier Indonesia, cet. 1, Bandung, Armico, 1994, him. 23. 22 Moeljatno, Fungsi dan Tyuan Hukum Pidana Indonesia, cet. 1, Jakarta, Bina Aksara, 1985 him . 19-20. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 23 di Indonesia (Hukum Penitersier) Hegel menghendaki “Dialektische —_vergelding’ (pembalasan yang bersifat ia/ektis) dalam arti mensyaratkan adanya keseimbangan antara kejahatan yang telah dilakukan dengan pidana yang dijatuhkan. Seimbang itu tidak berarti harus sejenis cukup bila pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku mempunyai nilai yang sama dengan kejahatan yang telah dilakukan.” D. Lembaga Pemasyarakatan Di dalam proses peradilan pidana yang terakhir adalah Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga pemasya- rakatan ialah suatu lembaga, yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara, yakni tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi pidana dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka. Lembaga-pemasyarakatan itu bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang- orang terpidana, agar mereka itu setelah selesai menjalankan pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warganegara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku. Sistem “PEMASYARAKATAN” yang diciptakan oleh Dr. Sahardjo, S.H. Konsepsi ini bernafaskan falsafah pengayoman. Konsepsi ini diterima sebagai sistem pembinaan narapidana (treatment of offenders) dan akhirnya dikenal sebagai “SISTEM PEMASYARAKATAN”. Konsepsi ini baru dikembangkan menjadi prinsip—prinsip 23 Lamintang, Opcit. Him. 26. 24 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) yang lebih operasional setelah diadakannya Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang — Bandung pada tanggal 27 April 1964. Dalam Konferensi tersebut dirumuskan 10 syarat sistem pemasyarakatan sebagaimana dikemukan oleh Dr. Sahardjo yaitu: 1) Orang yang tersesat diayomi, dengan memberikan bekal untuk hidup sebagai warga yang baik dan berguna di dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup yang tidak hanya finasial dan material, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan effektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan Negara. 2) Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, perawatan ataupun penempatan 3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 25 di Indonesia (Hukum Penitersier) Nara pidana dapat diikut-sertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menambahkan rasa hidup kemasyarakatan. 4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat dari sebelum pelaku tindak pidana masuk ke lembaga Pemasyarakatan. - Yang residivist dan yang bukan - Yang telah melakukan tindak pidana berat dan yang ringan - Macam tindak pidana yang diperbuat - Dewasa, dewasa muda dan anak-anak - Terpidana dan orang tahanan 5) Selama kehilangan kemerdekaan, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Menurut paham lama, pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat. Pada saat ini, menurut system pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara ‘cultural’. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah- tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan _ didasarkan kepada pembinaan yang ‘community centered” dan berdasarkan interaktivitas dan inter disiplinair approach antara unsur-unsur pegawai, masyarakat dan narapidana. 26 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) 6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu/hanya diperuntukan untuk kepentingan lembaga atau kepentingan Negara. Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat. Ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional. 7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila Pendidikan dan bimbingan harus berisikan azas-azas yang tercamtum dalam Pancasila, kepada narapidana harus diberi pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, jiwa bermusyawarah untuk bermufakat yang positif. Nara pidana harus diikut sertakan dalam kegiatan demi kepentingan bersama dan umum. 8) Tiap orang adalah manusia, harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia adalah penjahat. la harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu, petugas kemasyarakatan tidak boleh bersikap kasar, memakai kata-kata, yang dapat menyinggung perasaannya. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 27 di Indonesia (Hukum Penitersier) 9) Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarganya dengan cara menyediakan/memberikan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun — diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan di luar lembaga. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program-pembinaan. Memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-tengah kota ketempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan. Sebaiknya ada bangunan-bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara nara-narapidana: - Dewasa, dewasa muda dan anak-anak - Laki-laki dan wanita - Recidivist dan bukan recidivist - Yang melakukan tindak pidana berat dan yang ringan - Narapidana dan tahanan.” - Padja Perhitungan tentang mulai berlakunya pidana penjara/kurungan adalah pada saat penjatuhan putusan 10) 24 R Achmad S Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Binacipta, 1979, him. 13-15 28 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (i7 kracht van gewijsde). (vide pasal 32 KUHP). Penahanan yang berlarut-larut di lembaga pe- masyarakatan dapat mematikan ketahanan rokhaniah dari yang bersangkutan, dan ketahanan rokhaniah ini sangat penting artinya tidak saja dalam menghadapi penyelesaian perkaranya akan tetapi sangat penting pula artinya dalam mengatasi ‘pains of imprisonment” nantinya kalau sampai terjadi yang bersangkutan harus menjalani pidana”. Pidana penjara, gagasan dari satu setengah abad yang lalu, menurut aslinya harus “/ong and painful’, lama dan menyakitkan (Beccaria). Mengenai masalah_ ini Bahruddin mengutip pembahasan buku “the Society Of Captives’ karangan Gresham M. Syskes tentang “the pains of imprisonment’ yaitu kepedihan dalam penjara itu tidak semata-mata berujud hilangnya kemerdekaan itu, ialah kesakitan atau kepedihan yang disebut M. Sykes: ‘loos of hetero sexual relationship. Loos of autonomy, Loos of good and service and Loos of security,?” Sebagaimana kita ketahui melalui media massa terjadi pelarian itu di Lembaga Pemasyarakatan Banyak ahli yang mengemukakan sebab-sebabnya, meskipun dapat ditekankan bahwa faktor situasi (extern) serta faktor dalam diri terpidana itu sendiri. Tentang adanya kelengahan petugas agaknya tidak perlu diketengahkan dalam masalah ini karena bagaimana- pun juga niat atau itikad yang murni untuk melarikan diri Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 29 di Indonesia (Hukum Penitersier) bukan hanya karena kelengahan petugas. Sebab-sebab pelarian antara lain: a) b) c) qd) e) 9) h) Adanya situasi kehidupan yang mencekam, karena adanya tekanan-tekanan, pemerasan, perawatan makanan, kesehatan yang kurang (kesakitan- kesakitan). Tindakan yang tidak adil, seperti penahanan yang berlarut-larut, lamanya hukuman yang dirasakan terlalu berat tidak setimpal. Menurut seorang terpidana di Amerika, hukuman yang paling berat dirasakan ialah keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis yang tidak tersalurkan. Kecanduan atau terlalu terikat dengan kebiasaan merokok dan obat-obat atau ramuan-ramuan (ganja) (tidak dapat menahan diri), karena lingkungan yang serba terbatas terutama dalam bidang materi. Kerinduan kepada keluarga dan anak-anak. Keinginan membalas dendam terhadap oknum yang telah mencelakakannya. Keinginan melakukan lagi perbuatan criminal. Membalas dendam terhadap petugas yang pernah “menyakitinya” agar petugas tersebut lalu ditindak oleh yang berwenang karena peristiwa pelarian tersebut, dan lain-lain sebagainya. Eksistensi lembaga ini diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 3 UU 12/1995, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat 25 ‘Ac. Sanusi Has, /bid, him .83 30 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sebagai tahap eksekusi, Lapas mempunyai kegiatan untuk dilakukan Pembinaan Warga Binaan Pemasya- rakatan. Pembinaan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pasal 1 butir2 UU 12/1995 menentukan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki dir, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 3 UU 12/1995 menyebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena_ itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengem- bangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 34 di Indonesia (Hukum Penitersier) dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang ber- tentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatan- nya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Secara universal dapat dikatakan bahwa_fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepen- tingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan perkataan lain sebagai sarana kontrol sosial.”° Di sisi lain, bila disoroti aspek bekerjanya hukum, kita akan sampai pada pembicaraan tentang efektivitas dan hukum yang baik. Pembicaraan pun tidak dapat dilepaskan dari budaya hukum (/ega/ culture) yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Secara institusional, setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen yang berintikan budaya hukum, yaitu komponen struktural, komponen yang substantif, dan komponen budaya.”” 26 Roscoe pound membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan publik, dan kepentingan sosial. Menurut pound, fungsi hukum adalah untuk menyeimbangkan —kepentingan-kepentingan tersebut. Lihat Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, ‘Cambridge, Harvad University Press, 1962, him. 111 32 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) Komponen struktural dan sistem hukum mencakup berbagai institusi, bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Apabila melihat bekerjanya hukum semata-mata dari segi aspek struktural, maka kita akan terpaku pada kerangka bekerjanya sistem hukum sebagaimana digambarkan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Begitu pula apabila hanya melihat dari segi substantif, maka hukum akan tampak sebagai perangkat norma yang logis, konsisten dan bersifat otonom, karena, hukum hanya dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dogmatif sehingga realita sosial terlupakan. Komponen struktural dan substantif akan sangat ditentukan oleh budaya hukum, dimana komponen tersebut berada. Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. (Pasal 3) Sistem pembinaan pemasya- rakatan dilaksanakan berdasarkan asas:a. pengayoman;b. persamaan perlakuan dan pelayanan;c. pendidikan;d. pembimbingan;e. penghormatan harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan; g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. (Pasal 5) 27 Lawrence M. Friedman. “Legal Culture and Social Development” dalam Lawrence M. Friedman & Stewart Macaulay, Law and The Behavioral Science, The Bobbs Merril Company Inc, him. 1003. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 33 di Indonesia (Hukum Penitersier) Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap: a. b. Terpidana bersyarat. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar. Pendaftaran mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. Pendaftaran meliputi: a. gpaon 34 Pencatatan: 1. Putusan pengadilan. 2. dati diri. 3. Barang dan uang yang dibawa. Pemeriksaan kesehatan; Pembuatan pasfoto; Pengambilan sidik jari; Pembuatan berita acara serah terima Terpidana. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: a. Umur; b. Jenis kelamin; c. Lama pidana yang dijatuhkan; d. Jenis kejahatan; e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Hak-hak Narapidana: a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan Keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j.. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; |. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.( Pasal 14) Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 35 di Indonesia (Hukum Penitersier) Menurut pendapat penulis hukum yang mengatur lembaga pemasyarakatan belum diterapkan sebagaimana mestinya, masih ada penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan oleh oknum tertentu. Sebagai contoh:” 1. 28 Lembaga Pemasyarakatan banyak yang sudah melebihi kapasitas. Terkadang Lembaga Pemasya- rakatan yang melebihi kapasitas ini malah disalahgunakan oknum tertentu untuk disalahgunakan agar mendapat keuntungan materi, dengan membayar sejumlah uang agar mendapat ruangan yang enak (bersih penghuninya tidak padat). Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Makanan yang disediakan untuk napi jatahnya dikurangi oleh oknum. Untuk mendapatkan remisi harus membayar sejumlah uang kepada/biaya kapada oknum petugas. Untuk naik banding itu ada biaya tertentu yang lumayan besar, malah ada pakar hukum berbicara di Lawyer Club menyatakan hanya orang yang mempunyai uang banyak yang dapat melakukan peninjauan kembali. Dapat membawa peralatan hidup, padahal menurut hukum yang dapat membawa peralatan hidup hanya orang yang dijatuhi hukuman kurungan (hak pistole). Untuk menjenguk/membesuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tertentu harus membayar uang administrasi kepada oknum.Malah ada yang menyatakan bahwa narapidana (napi), jika ada yang Wawaneara dengan aparat dan mantan narapidana, Juli 2013, 36 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) membesuk untuk keluar kamar tahanan harus setor uang kepada tamping (napi yang dipercaya sebagai pengurus).”° Jika kita perhatikan 10 syarat sistem pemasyarakatan sebagaimana dikemukan oleh Dr. Sahardjo antara lain seperti, Pengayoman, Bukan tindakan balas dendam, Harus diperlakukan sebagai manusia. belum sepenuhnya hal tersebut dipenuhi, Yang utama adalah masalah pengayoman, masih jauh api dari pada panggang.Tapi masalah HAM sudah lebih baik. Kalau dulu jika ada napi yang baru masuk dipermak dulu alasannya biar kapok, sekarang hal ini tidak lagi terdengar. Masalah yang lain, adanya perdagangan narkoba di lembaga pemasyarakatan,dan napi tersebut dapat menghubungi pihak diluar lembaga pemasyarakatan. Ini artinya bahwa larangan membawa hand phone (HP) telah dilanggar. Bagaimana ini dapat terjadi?. Ada napi initial G, bisa keluyuran ke luar negeri, hal ini menunjukan bahwa, banyak peraturan yang dilanggar atau penerapannya hukum belum baik.Equality before the law tidak berlaku, seolah-olah hukum hanya berlaku untuk orang kecil, ibarat pisau tajam kebawah tumpul di atas. Solusi dari masalah ini adalah: 1. Tingkat kesejahteraan pegawai ditingkatkan agar tidak mempan disogok. 2. Bagi pelanggar peraturan agar diberikan sanksi yang tegas tidak pandang bulu. 29 — Wawanecara dengan aparat dan mantan narapidana, Desember 2013 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 37 di Indonesia (Hukum Penitersier) 3. Sering diadakan sidak dari pimpinan secara acak baik waktu dan locusnya. 4. Perbanyak kamera CCTV ditempat yang dianggap rawan/penting. 38 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) BAB II DIMENSI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA A. Korelasi Kebijakan Kriminal dan Sosial dengan Kebijakan Hukum Pidana Pada dasarnya, sebagai kebijakan berdiri sendiri untuk penanggulangan kejahatan, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari tujuan kriminal. Menurut Sudarto, politik kriminal diartikan ke dalam 3 (tiga) pengertian.° Menurut bagi Hamdan, dalam pengertian praktis, politik kriminal adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, _kepolisian, _kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya masing- masing.** Selanjutnya, proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan melalui kebijakan penal/hukum pidana sangat penting eksistensinya. Aspek ini tersirat 30 Ketiga pengertian politik itu adalah dalam pengertian yang sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan dalam arti yang paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dari badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. (Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Alumni, 1986. him. 113-114) 31M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997, him. 23. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 39 di Indonesia (Hukum Penitersier) melalui seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 disebutkan bahwa: “Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk socia/ defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap _—kejahatan (rehabilitatie) dengan memperbaiki atau memulihkan kembali pelaku tindak pidana tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.”** Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana)., karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (/aw enforcement policy).° Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada __hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha_perlindungan masyarakat (socia/ defence). Sehingga. wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (socia/ policy). 32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Opcit., him. 92. 33M. Hamdan, Opcit. Him. 24. 40 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) Menurut Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain: a) b) c) d) e) Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai u/timum remedium); Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana dan lebih menuntut “biaya tinggi”); Sanksi hukum pidana merupakan ‘remedium“ yang mengandung —sifat_ kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/atau efek samping yang negatif; Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan menanggulangi/ menyembuhkan gejala. Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana; Hukum/sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio- psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya); Sistem pemidanaan bersifat fagmentair dan individual’ personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 44 di Indonesia (Hukum Penitersier) g) Keefektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalah- kan.°” Mengingat pelbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana sebagaimana dikemukakan di atas. dilihat dari sudut kebijakan maka penggunaan atau intervensi penal seyogianya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan sarana penal. Nigel Walker pernah mengingatkan adanya prinsip-prinsip pembatas (the /imiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain: i. Jangan hukum pidana (HP) digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan/retributif; ii. Jangan menggunakan HP untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; iii, Jangan menggunakan HP untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; iv. Jangan menggunakan HP apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; v. Larangan-larangan HP jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah; vi. HP jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik; dan Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) 42 vii, HP jangan memuat_ larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan/dipaksakan.** Konkretnya, menurut Jeremy Bentham, janganlah Hukum Pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious.* Demikian pula, Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/ menya- maratakan (indiscriminates by) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu§ “pengancam yang utama” (prime threatenen.*° Karena keterbatasan penal, maka dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu penal dengan meng- gunakan sanksi pidana (termasuk politik hukum pidana) dan kebijakan nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya). Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu/integrated approach) antara politik, kriminal dan sosial serta keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal. Selanjutnya, menurut Sudarto,” diperlukan upaya pengin- tegrasian penanggulangan dan perencanaan sosial dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pem- bangunan nasional, kemudian, keterpaduan upaya penang- gulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal juga diperlukan. Di samping adanya keterbatasan apabila hanya 34 bid, him. 48 35 Ibid, him. 39 36 Herbert |. Packer, The Limit of The Criminal Sanction, First sdition, california, stanford univercity press, 1968. 37 Sudarto, Op. Cit,, him. 96 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 43 di Indonesia (Hukum Penitersier) dipergunakan sarana penal, sarana nonpenal diperlukan karena secara tidak langsung memberi (dampak/pengaruh preventif terhadap kejahatan. Menurut Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain: a) Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai u/timum remedium); b) Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana dan lebih menuntut “biaya tinggi’); c) Sanksi hukum pidana merupakan ‘remediumt yang mengandung - sifat_—_ kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/atau efek samping yang negatif; d) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “‘kurieren am symptor” (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik’ dan bukan “pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana; e) Hukum/sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio- psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya); Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) 44 f) Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g) Keefektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena_ itu masih_— sering dipermasalahkan.°* B. — Tujuan dari Pemidanaan Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara adalah: = Menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak. = Membimbing terpidana agar bertobat. "= Mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia yang berguna. Secara umum alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu golongan Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan. 1. Teori Absolut/Pembalasan Pelaku tindak pidana mutlak harus ada pembalasan yang berupa pidana. Jadi seseorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang mengatakan darah hutang pati nyaur pati, nyawa bersabung nyawa’’. Teori ini terbagi 5 (lima): a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dan etika. 38 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebjjakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:PT Citra Adiya Bakti, 1998, him, 139-140, 39 Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung.,1986, him. 21 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 45 di Indonesia (Hukum Penitersier) Penganut teori ini adalah Hegel mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemer- dekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan Pem- balasan demi keindahan atau kepuasan. Teori ini dikemukakan oleh Herbert menyatakan bahwa merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidak puasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan Teori ini dikemukakan oleh Stahl Gewin dan Thomas Aquino, mengemukakan bahwa keja- hatan adalah merupakan pelangaran terhadap keadilan dan harus ditiadakan, mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan Pembalasan sebagai kehendak manusia . Teori ini dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau, Hugo De Groot, Grotius, Beccaria. Memandang Negara sebagai hasil dari kehendak manusia, mendasarkan pemidanaan juga se- bagai perwujudan dari kehendak manusia. 2. Teori Tujuan (Teori Relatif atau Teori Perbaikan) Suatu pidana dapat dijatuhkannya untuk menakut- nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki atau menyingkirkan penjahat. Teori ini terbagi 4 (empat). Pencegahan terjadi suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat 46 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) untuk menakut-nakuti calon penjahat. Teori ini di kemukakan oleh Paul Anselm van Feuerbach. b. Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat. Penjahat diberikan pendidikan berupa pidana, agar ia kelak dapat kembali kelingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna. Teori ini di kemukakan oleh Grolman, Van Krause Roder. c. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan/ per- gaulan masyarakat. Penjahat yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usha menakut-nakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, ahkan jika perlu dengan hukuman mati. Teori ini di kKemukakan oleh Ferri dan Garofalo. d. Menjamin ketertilban hukum, mengadakan norma-norma yang menjadi ketertiban umum. Teori ini dikemukakan oleh Frans Von Litz, Van Hamel, Simons. 3. Teori Gabungan Penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri, disamping kepada masyarakat. Harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Pendapat penulis yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah teori gabungan, karena lebih bersifat manusiawi dan seimbang serta mencerminkan rasa keadilan apabila diterapkan.Hal tersebut juga selaras dengan Standard Minimum Rules for the Treatment of Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 47 di Indonesia (Hukum Penitersier) Prisoners 1957 dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, peng- hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 40 a) b) c) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan Untuk membuat penjahat-penjahat —_tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat- penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu masih dapat dibagi menjadi dua macam teori, yakni :*° a. Teori-teori pencegahan umum atau algemene preventietheorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu semata mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Teori-teori pencegahan khusus atau bijzondere preventie theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan memperbaiki dan dengan membuat pejahatnya Paf Lamintang, Opcit. Him. 27 48 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi. Dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian teori- teori pencegahan umun, yaitu: a. Afschrikkings theorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat jera semua warga masyarakat agar mereka itu tidak melakukan kejahatan-kejahatan. b. de leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan_ secara__psikologis. Ancaman hukuman itu harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan kejahatan-kejahatan, dalam arti yaitu apabila orang menyadari bahwa mereka telah melakukan sesuatu kejahatan itu mereka pasti akan dipidana, maka mereka itu pasti akan meninggalkan niat mereka untuk melakukan sesuatu kejahatan.** Dimasukkan ke dalam pengertian _ teori-teori pencegahan khusus yaitu untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya menjadi tidak berbahaya atau dengan membuat penjahatnya itu menjadi jera untuk melakukan sesuatu kejahatan kembali. Tujuan dari pidana dan tujuan dari pemidanaan bukanlah merupakan bagian dari hukum penitensier, akan tetapi hal-hal tersebut adalah perlu untuk diketahui, yakni untuk dapat mengerti tentang perlunya lembaga-lembaga pemidanaan, lembaga-lembaga penindakan dan lembaga- lembaga kebijaksanaan yang akan dibicarakan selanjutnya 41 P.A.F.Lamintang , /bid. Him. 27-28 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 49 di Indonesia (Hukum Penitersier) dan telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang- undangan oleh pembentuk Undang-undang kita. C. Hubungan Tujuan Pemidanaan dari Lembaga- lembaga Pemidanaan, Penindakan dan Kebijaksanaan Pertumbuhan pemikiran mengenai tujuan dari pemidanaan itu, seringkali mendorong orang untuk menciptakan lembaga-lembaga pemidanaan, lembaga- lembaga penindakan atau lembaga-lembaga kebijaksanaan yang baru, yang sebelumnya belum pernah dikenal orang di dalam praktek. Agar lembaga-lembaga baru seperti itu dapat dipergunakan secara sah menurut hukum, maka sebaiknya lembaga-lembaga tersebut harus dituangkan terlebih dahulu di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hubungan yang erat antara tujuan yang ingin dicapai orang dengan suatu pemidanaan dengan lembaga- lembaga pemidanaan,. Penindakan dan kebijaksanaan seperti dimaksudkan dapat dilihat secara jelas di dalam cara orang memperlakukan para terpidana di lembaga- lembaga pemasyarakatan dihubungkan dengan pemikiran- pemikiran orang mengenai pidana, yang tumbuh dalam sejarah, yakni dari pemikiran-pemikiran yang tidak manusiawi hingga pemikiran-pemikiran yang menghendaki agar harkat dan martabat dari terpidana sebagai manusia itu tetap dihargai, walaupun ia telah melakukan sesuatu tindakan yang melawan hukum. 50 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) D. Pemikiran Pembentuk KUHP Tentang Lembaga- lembaga Pemidanaan dan Tujuan dari Pemidanaan Para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menjelaskan tentang teori mengenai pidana atau tentang teori mengenai pemidanaan yang manakah, yang telah mereka pergunakan sebagai pedoman untuk membentuk Kitab Undang-Undang hukum Pidana yang dewasa ini berlaku di negara kita. Profesor Simons berpendapat, bahwa menurut pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum _ Pidana, penjatuhan pidana itu harus dilakukan untuk kepentingan masyarakat, dan bertujuan untuk melindungi tertib hukum. Apabila pendapat dari professor Simons itu benar, maka walaupun pembentuk Undang-undang sendiri tidak secara tegas mengatakan demikian, dapat diduga bahwa pada waktu membentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, para pembentuknya itu telah mendapat pengaruh dari feori-teori relatip, seperti telah dikatakan di atas teori- teori tersebut telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada suatu tujuan yang sifatnya umum, yakni untuk mengamankan tertib hukum. Pemberian sebutan yang baru kepada rumah penjara sebagai lembaga pemasyarakatan itu erat hubungannya dengan gagasan Doktor Sahardjo, untuk menjadikan lembaga-lembaga pemasyarakatan itu bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang- orang terpidana, agar mereka itu setelah_ selesai menjalankan pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 54 di Indonesia (Hukum Penitersier) pemasyarakatan sebagai warganegara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku. 52 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) BAB III PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN PERTANGGUJAWABAN PIDANA A. Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum dibagi atas 2 (dua) sebagai berikut:** a. Perbuatan Melawan Hukum Formal Alasan-alasan penganut bersifat melawan hukum formal dari adagium “Setiap orang dianggap mengetahui undang-undang” (een feder wordt geacht de wet te kennen), maka tidak perlu dicari, apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat atau tidak. Bukankah setiap orang mengetahui undang- undang dan ia telah melanggar undang-undang. Apabila dianut pendirian bersifat melawan hukum yang material, maka setiap orang akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang- undang.“* Berarti hakim harus membuktikan sifat terlarang dari perbuatan tersebut, dan harus dapat menginsafkan terdakwa bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Sebagai akibat dari tugas yang sulit ini, ada kemungkinan hakim akan melepaskan (ontslag van recht vervolging) terdakwa, 42 Aa Oka Dhermawan, Perlindungan Hukum Pelaksanaan Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan, cet, 1, Prambanan Agung Law Firm Jakarta, 2006, Him. 51 43 Aa Oka Dhermawan, /bia. him. 3 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 53 di Indonesia (Hukum Penitersier) yang berarti berlakunya KUHP diperlunak karena hal tersebut di atas. Sehubungan dengan uraian tersebut berarti kepada hakim telah dibebani suatu tugas lainnya, yaitu sebagai pembuat/pencipta undang-undang. b. Penganut Ajaran Bersifat Melawan Hukum Materiil Para penganut ajaran ini berpendapat bahwa walaupun suatu perbuatan telah sesuai dengan perumusan undang-undang (melawan hukum secara formil) tidaklah selalu berarti perbuatan itu seharusnya dipidana karena masih ada keharusan meneliti dan membuktikan apakah perbuatan yang dilakukan sesuai dengan perumusan undang-undang itu sebagai perbuatan melawan hukum secara marteriil atau tidak.Penganut ajaran ini tidak hanya menitikberatkan pada kelakuan dan kebakuan perumusan perundang-undangan saja tetapi juga adanya suatu penelitian terhadap asas-asas umum dari peraturan yang tidak tertulis untuk membuktikan ada atau tidaknya sifat melawan hukum secara materiil dari perbuatannya itu; lihat yurisprudensi Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 yang dikenal dengan Cohen Linderbaum Arrest Alasan-alasan penganut bersifat melawan hukum yang materiil* Adapun alasannya bahwa delik itu tidak hanya mempersoalkan tindakan yang dilarang saja, tetapi juga mempersoalkan, apakah pelaku dapat dicela karena melakukan suatu tindakan yang terlarang. Pelaku harus dapat dipersalahkan (dicela) karena ia tidak menghindari (vermeden) melakukan 44 Indrianto Seno Adji, dikutip oleh Aa Oka Dhermawan, /bid. Him. 54 54 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) tindakan yang tercela.“*(verweten), yang berarti bersifat melawan hukum. Orang yang melakukan perbuatan yang terpuji, tidak dilarang. Seseorang yang menolong seseorang lainnya yang dalam keadaan bahaya, tidak dilarang malahan terpuji. VOS mengajarkan bahwa hukum pidana ditujukan kepada perbuatan yang luar biasa (het strafrecht richt tegen uitzonderlike, buiten gewone gedragingen) Artinya kalau terjadi sesuatu perbuatan yang luar biasa, maka harus diberantas. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan luar biasa atau tidak, maka diambil sebagai patokan penentuan/ ukuran yaitu, jika dalam keadaan yang sama setiap orang akan melakukan perbuatan yang sama pula, maka dalam hal ini tidak dikatakan bahwa telah terjadi perbuatan yang luar biasa. Dari penyamaan arti bersifat melawan hukum (wederrechteljk) dengan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum (onrechimatigedaad), mengetahui bahwa bersifat melawan hukum harus disandarkan kepada faham kemasyarakatan, yaitu kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Menurut Bambang Poernomo: “Kapan suatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum? Sifat melawan hukum suatu perbuatan terdapat 2 (dua) ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formil (Formele Wederrechtelijkheid) dan sifat melawan hukum yang materil (Materiele 45 Indrianto Seno Adji,dikutip Aa Oka Dhermawan, /ocit. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 55 di Indonesia (Hukum Penitersier) Wederrechttelijkheia)’ *° Perbuatan melawan hukum secara formal lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang tertulis. Sementara itu suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara materiel, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lajim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap/dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum_ secara materiel. Bagi orang Indonesia belum pernah hukum dan undang-undang dipandang sama.‘” Sependapat dengan pandangan tentang perbuatan melawan hukum secara materiel yang diartikan negatif adalah seperti yang ungkapkan Wirjono Prodjodikoro:. 46 47 “‘Adanya hukum pidana dengan tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya itu, bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum dibidang hukum. Jadi dalam tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. Tetapi biasanya unsur Wederrechteljekheid ini tidak disebutkan dalam suatu pasal ketentuan hukum pidana, sedangkan, pada setiap tindak pidana tentu ada unsur Wederrechteliikheid (melanggar hukum.) dihilangkan itu ialah sifat melanggar hukum (Weaerrechtelijekheid), sehingga perbuatan pelaku tindak pidana tidak dijatuhkan hukuman (rechmatig), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana tip oleh dikutip oleh Aa Oka Dhermawan , ibid. Him. 55 Poernom: Seno Adji dikutip oleh dikutip oleh Aa Oka Dhermawan ibid. him. 53 56 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) (strafuitsluitings ground) ini juga dikatakan alasan pembenat/menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings ground)*® Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat dihindari perbuatan yang dilakukan yaitu: “menurut akibatnya, hal ini dapat dicela, menurut hakikatnya dia dapat dihindarinya bagian awal kelakukan yang melawan hukum itu. Kehendak sipembuat itu terlinat pada bagian kelakuan yang bersifat melawan hukum, yang dapat dicelakan padanya. celaan ini dimungkinkan karena sipembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan hukum, agar dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya. Yang dapat dihindarinya. Sampai sekian jauhnya_ kesalahan_ berarti sipembuat senyatanya dapat dihindari*. B. Pertanggungjawaban Pidana llmu hukum acara pidana mempunyai tujuan mencari dan mendapatkan suatu kebenaran materil suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya tentang perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu dengan tepat, serta bertujuan untuk 48 Seno Adji, dikutip oleh Aa Oka Dhermawan, /bid.him 56 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 57 di Indonesia (Hukum Penitersier) mencari pelaku sebagai terdakwa yang telah melanggar hukum.“* Salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum adalah pertanggung jawab pribadi terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan selalu dikaitkan pada kaedah tertentu dari mentalnya. Keadaan tertentu ini dalam bentuk negatif dirumuskan orang sebagai kondisi-kondisi memaaf- kan atau keadaan sebagai penghapus pengenaan pidana. Keadaan yang menghapuskan pengenaan pidana_ itu disebabkan karena dipandang terdakwa tidak mampu bertanggung jawab. ©° Masalah pertanggung jawaban disebut doktrin Mens rea ini disebut sebagai dasar dari hukum pidana dalam praktek bahkan ditambahkan orang bahwa pertanggung jawab pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi kondisi memaafkan tersebut.*' Asas actus reus dan mens rea itu menjadi suatu sendi penting oleh Cross dan Jones disebut sebagai cardinal of criminal law. Secara lengkap asas ini adalah “actus non facit reum, nisi mens sit rea. Actus reus berarti perbuatan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum pidana. Actus reus ini harus dilengkapi dengan mens rea yang harus dibuktikan dengan penuntutan bahwa tersangka telah melakukan actus reus dengan disertai mens rea yaitu niat jahat atau kesengajaan untuk melakukan tindak pidana. Secara keseluruhan artinya 49 Abdul Muin Idries, Pedoman imu Kedokteran Forensik, edisi Pertama, Jakarta, Bina Aksara him. 8. 50 Roeslan saleh, Opcit. Him. 20. 51 Roeslan saleh, Pikiran-pikiran tentang petanggungan jawab pidana, cet. 1, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, him. 20. 58 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) adalah sesuatu perbuatan tidak dapat dinyatakan orang itu bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat. Dua buah segi yang menjadi masalah penting dalam asas actus reus dan mens reaialah: Pertama, perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari pada kehendak. Kedua, kondisi jiwani apakah perbuatan tadi dilakukan dengan suatumaksud jahat atau tidak.** Mens rea merupakan unsur mental. Mens rea dalam perkara pidana berarti niat jahat untuk melakukan tindak pidana. Tidak ada unsur mens rea dapat menyebabkan gagalnya penuntutan pidana. Sehubungan dengan hal tersebut Asasactus non facit reum, nisi mens sit rea (sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang salah kecuali bilamana dilakukan dengan niat jahat). Dua segi yang menjadi masalah penting dalam asas actus reus dan mens rea adalah: 1. Perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari pada kehendak, misalnyaperbuatan mengambil dalam perkara pencurian. 2. Kondisi jiwani apakah perbuatan tadi dilakukan dengan suatu maksud jahat atau tidak. Mens reaadalah suatu unsur mutlak dalam pertanggungan jawab pidana dan harus ada lebih dulu sebelum adanya tuduhan. ini suatu yang harus diperhatikan di dalam menentukan pidana atau melepas terdakwa dari 52 Gerson W. Bawengan, Opit, him. 51. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 59 di Indonesia (Hukum Penitersier) tuduhan-tuduhan, dan untuk tujuan pidana itu sendiri. Hukum pidana harus dapat menjamin bahwa ia mengguna- kan dokrin ini dengan sungguh sungguh dan dengan keikhlasan. Di dalam penerapannya diharapkam agar sebelum diadakan penuntutan. benar-benar diyakini bahwa orang itu memang mengetahui atau menghendaki dan berjiwa sehat atau mempunyai unsur-unsur mental lainnya yang oleh Undang-undang dianggap sebagai syarat mutlak bagi pertanggungan jawab pidana.®® Doktrin mens rea disebut sebagai dasar dari hukum pidana, dan dalam praktek bahkan ditambahkan orang bahwa pertanggung jawab pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan itu.“Untuk pertanggung jawab pidana harus ada "moral culpability". Moral culpability dipandang tidak ada jika pada waktu dilakukannya perbuatan ada dan oleh hukum diakui adanya keadaan-keadaan memaafkan.** Suatu kelakuan melawan hukum belum cukup untuk dijatuhi hukuman. Disamping kelakuan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) bertanggung jawab atas kelakuannya. Pembuat harus bersalah (schuld hebben). Bersalah adalah pertanggungjawaban pidana. Untuk adanya suatu peristiwa pidana harus ada dua unsur (bertanddelen) yang harus dipenuhi sebelumnya antara lain 5° 53 Roeslan Saleh, opcit, him. 51. 54 Roeslan Saleh, ibid Him... 21 55 Roeslan Saleh. /bia, Him. 22-him 23. 56 H.Hasan Basri Saanin Dt Tan Pariaman, Dokter Ahii Jiwa dan Pengadilan, Psikiatri Forensik Indonesia, cet. .2; Jakarta Ghalia Indonesia, 1983. him... 118. 60 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) a) Suatu kelakuan melawan hukum (unsur melawan hukum) b) Seorang pelaku (pembuat) yang dianggap bertanggung jawab atas_ kelakuannya., unsur kesalahan (schuld in ruime zin) Hukum positif berpegangan pada tiada hukuman tanpa kesalahan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruime zin) terdiri dari tiga unsur:*” a. Toerekeningsvatbaarheia(dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. b. Suatu sikap psikis pembuat sehubungan dengan kelakuannya: 1. Kelakuan yang disengaja 2. Kelakuan karena kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan, culpa, schuld in enge zin) c. Tidak ada alasan-alasan yang dapat meng- hapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekenbaarheia) Unsur-unsur foerekenbaarheid menurut Pompe: a) Suatu kemampuan berpikir pada pembuat yang memungkinkan dia menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya atau kemauannya. b) Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya. c) Dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan jalan pikirannya. Kemampuan berpikir sebagaimana tersebut diatas terdapat pada orang normal. 57 H.Hasan Basri Saanin Dt Tan Pariaman, ibid. hml. 119 58 H.Hasan Basri Saanin Dt Tan Pariaman, ibid, him. 121 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 64 di Indonesia (Hukum Penitersier) Berdasarkan pasal 44 KUHP menyatakan: Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertang- gungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dalam pasal 44 KUHP ini sebab seseorang yang tidak dapat dihukum karena terdakwa berhubung perbuatanya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena: a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal’ disini ialah: kekuatan pikiran pikiran, kecerdasan pikiran, daya pikiran,. Teks bahasa belandanya —s mengatakan: “verstandeliike vermogens*. Kalau teks k.u.h.p. negeri belanda memakai kata: “geest vermogens* berarti: kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang dianggap sebagai kurang sempurna akalnya itu misalnya orang yang /dioot, imbicil, buta tuli dan bisul mulai lahir. Orang-orang semacam_ ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat- cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. 62 Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) b. Sakit berobah akalnya: ‘Ziekelike storing der verstandelijke vermogans’. Yang dimaksud dalam pengertian ini antara lain, epi/epsie, sakit gila) manie, melancholie hysterie, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainya. c. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang yang diterangkan tersebut diatas, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknyaitu demikian rupa,sehingga ingatannya hilang sama sekali. Polisi dalam sistem peradilan pidana jika menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkara tersebut dan membuat proses—perbal. Hakim yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas tindak pidannya, meskipun ia dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psyckhiater). Jika hakim berpendapat bahwa orang itu betul tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan- nya, maka orang itu tidak dijatuhi hukuman (dibebaskan dari segala tuntutan pidana), tetapi sebagai tindakan untuk mencegah bahaya, baik bagi orangnya sendiri, maupun untuk keselamatan masyarakat, hakim dapat memerintah- kan supaya orang itu dimasukan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa.®° Jadi penetapan gangguan mental belumlah cukup untuk menetapkan seseorang tidak kompeten, tetapi 59 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet 1. Bogor, Politeia, 1976 him 51-52. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 63 di Indonesia (Hukum Penitersier) harus juga dapat diperlihatkan bahwa gangguan mental menyebabkan gangguan penilaian (impairment of judgement. Seseorang dianggap tidak siap mental untuk menghadapi pengadilan sebagai seorang pelaku kejahatan:©° a) Tidak dapat memahami jenis tuduhan terhadap- nya. b) Tidak dapat membela diri dari tuduhan dan menggunakan haknya untuk melawan. c) Tidak dapat mengerti jenis tindakan-tindakan (bahwa hal tersebut suatu pemeriksaan bila seseorang melakukan kejahatan). d) Tidak dapat mengikuti cara bertindak yang seharusnya. e) Tidak dapat mengerti pengaruh penting dari berbagai bukti yang mungkin dibolehkan untuk mendukung tuntutan. f) Tidak dapat membuat pembelaan atau menjawab tuduhan Mengenai pentingnya azas mensrea nampak jelas dalam kata-kata Lord Goddard C. J. sebagai berikut:*! “the general role applicable to criminal cases is actus non facit reum nisi mens sit rea. It is of the utmost importance for the protection of the liberty of the subject that a court should always blar in mind that, 60 Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat,.Qpeit; him. 79 61 Sudjono D, Kriminalistik dan Iimu Forensic , cet. 1, Bandung, 1976 ,him. 90- 92 64 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) unless a statute, either clearly of by necessary implication rules out mens rea as a constituent part of an offence against the criminal law unless he has a guilty mind”. Kata-kata tersebut mempunyai kesimpulan bahwa mensrea akan merupakan perlindungan bagi tersangka dimana hakim tak akan menjatuhkan hukuman; kecuali apabila terbukti niat jahat yang terkandung pada perbuatan tersangka. Uraian singkat diatas dalam hukum pidana yang maju, psikolog dan Dokter Ahli Jiwa sangat penting kehadirannya dalam proses pradilan pidana. Apabila suatu kejahatan dapat diungkapkan melalui proses investigasi berserta bukti yang ada, telah sampai pada proses dalam suatu berita acara penyidikan pro yustisia untuk kemudian di bawa kesidang pengadilan melalui penuntutan pidana, baru mulai diterapkan dan dilaksanakan oleh hakim dalam suatu “putusan pidana”, dengan menerapkan pasal-pasal kejahatan mana yang telah dilanggar dan terbukti dilakukan oleh terdakwa, disertai dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Hak terdakwa berikutnya mencari upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi atau peninjauan kembali.“Menurut Pompe bahwa kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum. Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena 62 — Soejono, D, limu Jiwa Kejahatan, ibid. him. 90-92. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 65 di Indonesia (Hukum Penitersier) pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit jiwa maka orang itu tidak dipidana.* Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggung jawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 itu, tidak dipidana. Ketentuan dalam hukum positif sesuai sekali dengan apa yang telah disebutkan diatas. Di atas dikatakan dalam teori disebut “...dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain.” Demikian ini yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab, sebaliknya orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat. Dalam menghadapi fakta tindak pidana ini hal pertama yang harus diperhatikan tertuju pada “keadaan batin* dari orang yang melakukan perbuatan, yang dalam ilmu hukum pidana merupakan unsur pembuat delik yang lazim disebut “kemampuan bertanggungjawab“. Hal yang kedua mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang merupakan bentuk perbuatan kesengaja- an, atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan bentuk dari kesalahan. Unsur-unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, kongkritnya tidak mungkin ada kesengajaan atau kealpaan bila orang itu tidak mampu bertanggung jawab.* Menurut Jurisprudensi \ndonesia kata “akal’ dalam pasal 44 KUHP diartikan sebagai kejiwaan (psikis) pelaku. “Kurang sempurna_ akal”’ dapat diartikan sebagai 63 Roeslan Saleh, opcit Him 79 64 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, cet. 3 Jakarta: Aksara Baru, 1963, him 78. 66 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) kekurangan perkembangan kecakapan jiwa, misalnya penyakit jiwa Oligophrenie (kepandiran), Schizophrenie dan beberapa jenis kegilaan lain yang mungkin sudah ada sejak dilahirkan. Sakit berubah akal yaitu beberapa penyakit jiwa yang menimpa untuk sementara waktu, berbeda dengan orang berfikiran waras. Penyakit ini dapat timbul untuk sementara, misalnya pada saat orang itu demam atau orang itu melakukan tindakan kekerasan.©° 1. Dalam pasal ini sebab seseorang tidak dapat dihukum karena_ perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:® a. Kurang sempurna akalnya, yaitu: Kekuatan pikiran, daya pikiran, kecerdasan pikiran. Dalam bahasa Belanda: “Verstandeliike vermogens’ Dalam teks KUHP Negeri Belanda memakai: “Geest vermogens’ artinya kekuatan atau daya jiwa. Siapa yang dianggap kurang sempurna akalnya yaitu /djot, imbici/, buta tuli dan bisu mulai lahir. Orang tersebut sebenarnya tidak sakit tetapi cacat mulai sejak lahir sehingga pikirannya tetap seperti anak-anak. b. Sakit berubah akalnya.’Ziekelijke storing der verstandelijke vermogens’ dalam katagori_ ini adalah sakit gila manie, Aysterie, epilepsie, Melancolie dan macam-macam penyakit jiwa lainnya. 2. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman keras pada umumnya tidak termasuk 65 Hev. Schravendijk, Jb Wolter, Hukum Pidana Indonesia, cet. 1. Jakarta: Groningen, 1956), him. 79. 66 R.Seesilo, opoit, him. 51-52. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 67 di Indonesia (Hukum Penitersier) golongan ini kecuali jika ia dapat dibuktikan mabuknya sedemikian rupan sampai ingatannya hilang sama sekali. 3. Dalam prakteknya seandainya polisi menjumpai kasus semacam ini ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggung jawabkan perbuatannya, walaupun ia dapat meminta nasihat dari dokter jiwa (psychiater) Seandainya hakim _ berpendapat tersangka betul tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, maka orang itu tidak dapat dipertang- gungjawabkan perbuatannya (dibebaskan dari segala tuntutan pidana) tetapi sebagai tindakan untuk mencegah bahaya, baik untuk pribadi terdakwa maupun untuk masyarakat. Hakim dapat memerintah- kan agar terdakwa dimasukan dalam Rumah Sakit Jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. Jika untuk hal di atas dikatakan "ditentukan dalam bentuk negatif? maka “dalam bentuk positif’ hal tersebut adalah terhukum telah melakukan perbuatan pidana atas dasar kehendaknya yang bebas. Pasal 44 berlaku jika ada kondisi-kondisi memaafkan.°” Actus reus berarti perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, yang harus dilengkapi dengan mens rea yang dibuktikan dengan penuntutan bahwa tersangka telah melakukan actus reus dengan disertai mens rea yaitu dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Secara keseluruhan 67 Roeslan Saleh, opcit. Him. 20. 68 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier) artinya adalah sesuatu perbuatan tidak dapat dinyatakan orang itu bersalah kecuali bila dilakukan kejahatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Asas Noella poena sine praviea lege. Tidak ada seorang pun dapat dihukum tanpa adanya kesalahan. (geen siraf zonder schula).*® Dalam hukum, pidana adalah perbuatan pidana yang pada intinya diatur dalam Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam aturan-aturan lain di luar KUHP, dinyatakan di dalamnya itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana adalah lebih luas dari kejahatan yang disebut di atas ini, karena meliputi pelanggaran-pelanggaran,yaitu per- buatan pidana yang ada di dalam KUHP. Diatur dalam Buku ke-IIl, dan di luar KUHP. Dinyatakan dalam tiap-tiap peraturan tersebut sebagai pelanggaran.* Pengertian kejahatan menurut Van bemmelen merumuskan: (‘Misdaad is iedere schadeliike tevens onzedelike gedraging, die zoveel onrust in een bepaalde gemeenschap verwerkt, dat die gemenschap gerechtigd is haar afkeuring en verweer daartegen te uiten in het stellen van opzettelijk toe te brengen leed op die gearaging.”) (Kejahatan adalah adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakan atas 68 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, cet. 1; Jakarta: Aksara Baru, 1987, him 42. 69 Roeslan Saleh, Pikiran Pikiran Tentang Pertanggung Jawab Pidana, opcit him. 47. Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum | 69 di Indonesia (Hukum Penitersier) kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut). Van bemmelen melihat kejahatan dari segi kriminologi, tidak menjadi masalah apakah perbuatan itu melanggar ketentuan pidana atau tidak. C. Pembuktian Tindak Pidana Suatu pembuktian yang benar sesuai dengan kebenaran sulit untuk dicapai, walaupun diberikan dasar pedoman melalui hukum acara pidana berusaha untuk mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran. Hukum pembuktian memberikan petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran.” Setiap aliran pembuktian mengajukan teori yang menjadi dasar dalam pembuktian. Sehubungan dengan ketentuan bahwa alat bukti pengetahuan hakim dapat menjadi dasar terhadap keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan suatu perkara. Sehingga dalam peraktek pengadilan menjadi dasar putusan hakim untuk berkeyakinan dengan disertai jalan pikiran mengenai pendapatan untuk sesama memeriksa perkara yang dirumuskan menjadi alasan-alasan yang logis. Ketentuan hukum acara pidana di Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian ‘negatief wettelik bewijstheorie” seperti yang dimaksud dalam pasal 294 (1) HIR, pasal 6 undang-undang pokok kehakiman No. 14 tahun 1970, dan pasal 183 KUHP. Tampaknya ketentuan 70 — Wirjono Prodjodikoro, opeit. him. 70. 70 | Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitersier)

Anda mungkin juga menyukai