Anda di halaman 1dari 81

Jurnal

Kesehatan Masyarakat
DEWAN REDAKSI

PENANGGUNGJAWAB
Prof. dr. Supomo Sukardono, Sp.THT-KL(K)

PIMPINAN REDAKSI
Siti Uswatun Chasanah, S.K.M., M.Kes.

SEKERTARIS REDAKSI
Heni Febriani, S.Si., M.P.H.

BENDAHARA
Sigit Hartono, S.E.

EDITOR
Ariana Sumekar, S.K.M., M.Sc.
Prastiwi Putri Basuki, S.K.M., M.Si.
Budi Setiawan, S.K.M., M.Sc.

PENYUNTING
Tedy Candra Lesmana, S.Hut., M.Kes.

HUMAS DAN PUBLIKASI


Sri Lestari, S.K.M.

Penerbit
PROGRAM STUDI S-1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES WIRA HUSADA
Jl. Babarsari, Glendongan, Depok, Sleman 55281
Telepon 0274-485110, Faksimil: 0274-485113

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT adalah jurnal mengenai kesehatan masyarakat yang diterbitkan
oleh prodi kesehatan masyarakat STIKES Wira Husada. Jurnal terbit dua kali dalam satu tahun untuk
volume yang sama. Jurnal ini diterbitkan sebagai wahana komunikasi ilmiah antar akademisi, peneliti,
pakar dan pemerhati untuk pengembangan IPTEK dalam bidang kesehatan masyarakat. Isi jurnal ini
berupa hasil penelitian, kasus lapangan, resensi buku, atau kajian ilmiah bidang kesehatan masyarakat.
Artikel topik khusus dimungkinkan untuk diterbitkan di dalam jurnal. Pengiriman naskah, surat-menyurat
dan permintaan berlangganan, dialamatkan kepada redaksi.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami ucapkan atas tersusunnya Jurnal
Kesehatan Masyarakat Volume 07/Nomor 1/Maret/2014. Dalam tersusunnya Jurnal
Kesehatan Masyarakat edisi ini, semoga dapat memberikan manfaat dan memperluas
wawasan dibidang penelitian dan pendidikan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pada para penulis dalam Jurnal
Kesehatan Masyarakat yang telah berkenan menjalin kerjasama dalam menerbitkan
naskah Jurnal ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada segenap jajaran
Jurnal Kesehatan Masyarakat atas dedikasi dan kerjasamanya dalam upaya
mewujudkan penerbitan Jurnal Kesehatan Masyarakat edisi ini.

Salam,

Redaksi
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Volume 07/Nomor 1/Maret/2014

Daftar Isi:
ARTIKEL PENELITIAN

Prevalensi Kusta Pausibasiler dan Multibasiler Berdasarkan Karakteristik


Kepadatan Hunian, Riwayat Kontak, Sosial Ekonomi di Kabupaten Belu
Provinsi Nusa Tenggara Timur ................................................................................ 155
Surveilans Epidemiologi Faktor Risiko ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sedayu II Bantul Yogyakarta ................................................................. 161
Harga Diri pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Violet Community
Yogyakarta (Studi Kasus) ......................................................................................... 167
Pengetahuan Kontrasepsi pada Mahasiswa Kesehatan dan non-Kesehatan
Terhadap Perilaku Penggunaan Kontrasepsi ............................................................ 175
Pengaruh Sterilisasi Alat Saat Pemerahan Terhadap Angka Kuman pada
Susu Segar pada Peternakan X di Wilayah Pakem Sleman Yogyakarta ................... 184
Hubungan Pola Makan dengan Aktivitas Olahraga pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Berbah Sleman.................................... 192
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung Terhadap Waktu Didih Air .................................................. 199
Pemberian Leaflet dan Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan
Wanita Usia Subur Tentang Alat Kontrasepsi KB...................................................... 209
Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik dengan Perilaku Individu dengan
Kejadian Frambusia di Puskesmas Biudukfoho Kabupaten Belu .............................. 217
Efektivitas Karbon Aktif dan Kaca Wol Sebagai Adsorben dalam Mengurangi
Emisi Karbon Monoksida dan Hidrokarbon Sepeda Motor ........................................ 225
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 155 - 160
PREVALENSI KUSTA PAUSIBASILER DAN MULTIBASILER BERDASARKAN
KARAKTERISTIK KEPADATAN HUNIAN, RIWAYAT KONTAK, SOSIAL EKONOMI
DI KABUPATEN BELU PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Alexander Fahik1, Imam Wahjoedi 2, FX. Supardi3

1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
2
Dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta
3
Dosen Program Studi Kesehatan Lingkungan STIKES WH

ABSTRACT
Background: Leprosy, a tropical diseases are still a health problem in the
world. Distribution of leprosy at 2007 were 61 cases, in 2008, 33 cases, 2009
were 30 cases, 30 cases in 2010, 25 cases at 2011 and 2012 as many as 25
cases and increased to 37 cases. The increasing cases of leprosy were
allegedly caused by things associated with the incidence of leprosy in the
district of Belu residential density, contact history and social-economy.
Objective: To know the prevalence of pausibasilery and multibacillary
leprosy building on the characteristic of residential density, contact history,
social economy in Belu regency, Nusa Tenggara Timur Province.
Methods: This research is a observational descriptive study with cross
sectional design. The sampling technique used is Totality Sampling by
univariate analysis.
Results: Respondents leprosy Pausibasiler type as many as 23 (62.2%) and
multibacillary type were 14 (37.8%). Respondents with residential density>
8m2 as many as 16 (43.2%) people, and respondents with residential density
<8m2 were 21 (56.8%) people. 25 (67.6%) of respondents had a history of
contact with leprosy patients and 12 (32.4%) of respondents did not have a
history of contact with leprosy patients. 13 (35.1%) of respondents had
incomes > Rp. 925.000, while respondents with income <Rp. 925 000 were
24 people (64.9%).
Conclusions: Respondents with residential density <8m2 were 21 (56.8%).
Respondents who had a history of contact with leprosy patients were 25
(67.6%), and respondents with incomes lepers <Rp.925.000 were 24
(64.9%).

Keywords: Density Residential, Contact History, Social economy, and


Leprosy.

PENDAHULUAN penyakit keturunan melainkan penyakit


kronik yang disebabkan oleh kuman
Penyakit kusta merupakan salah
Mycobacterium leprae yang intraseluler
satu penyakit tropis yang masih menjadi
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
masalah kesehatan di dunia, khususnya
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
negara-negara yang berkembang. Selain
respiratorius bagian atas, kemudian
menimbulkan dampak psikologis juga
dapat ke organ lain kecuali susunan
menimbulkan dampak sosial ekonomis.
saraf pusat, Mycobacterium leprae hanya
Penyakit kusta bukan merupakan

155
Pravelensi Kusta Pausibasiler dan Multibasiler Berdasarkan Karakteristik Kepadatan Hunian,
Riwayat Kontak, Sosial Ekonomi di Kabupaten Provinsi NTT
dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, Kabupaten Belu merupakan salah
kelenjar keringat, dan air susu, jarang satu daerah dengan angka prevalensi
terdapat pada urine. Sputum dapat kusta sangat tinggi Selama tahun 6
mengandung Mycobacterium leprae tahun yaitu dari tahun 2007-2012
yang berasal dari teratus respiratorius sebanyak 221 penderita yang terdiri dari
atas, penyakit kusta dapat menyerang 111 orang penderita kusta tipe
semua umur, anak-anak maupun orang pausibasiler dan 110 orang penderita
dewasa (Djuanda, dkk. 2011). Penyakit multibasiler, kemudian pada tahun 2012
kusta masih merupakan masalah meningkat menjadi 37 kasus kusta
kesehatan di 55 negara di dunia dan (Dinkes Kabupaten Belu. 2012).
Indonesia termasuk urutan ke-3 di bawah Meskipun faktor-faktor yang mendukung
India dan Brazil. Pada awal tahun 1997 peningkatan kusta tersebut tidak
di perkirakan jumlah penderita kusta di diketahui secara pasti namun ada
dunia sebanyak 1.150.000 orang dan beberapa faktor penting yang
sekitar 888.340 penderita yang tercatat berhubungan dengan peningkatan
memperoleh pengobatan (WHO, 1997). prevalensi kusta seperti kepadatan
Sebagaimana yang dilaporkan oleh hunian, riwayat kontak, dan sosial
WHO tentang situasi kusta, pada awal ekonomi, diduga meningkatkan
tahun 2007, secara epidemiologi prevalensi kejadian kusta (Depkes,
distribusi penyakit kusta dengan angka 2006).
Prevalensi Rate 10.000 populasi, yaitu Berdasarkan uraian latar belakang
Asia Tenggara (0,70), Afrika (0,55), menunjukkan Kabupaten Belu mem-
Amerika (0,76), Mediterania Timur (0,09), punyai angka prevalensi kusta cukup
dan Pasifik Barat (0,06) (Depkes RI, tinggi, sehingga penyakit ini masih
2007). menjadi masalah kesehatan bagi
Di Indonesia pada tahun 1997 masyarakat di Kabupaten Belu dengan
tercatat 33.739 penderita dengan melihat adanya angka prevalensi kusta
prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk yang masih tinggi belum mencapai target
(Depkes RI, 2005). Secara nasional, yang ditetapkan oleh WHO yaitu kurang
Indonesia telah mencapai eliminasi kusta dari 1 per 10.000 penduduk, maka
sejak tahun juni 2000, dengan kriteria peneliti tertarik melakukan penelitian
angka prevalensi kusta di Indonesia lebih untuk mengetahui prevalensi kusta
kecil dari 1 per 10.000 penduduk, namun Pausibasiler dan Multibasiler ber-
untuk tingkat provinsi dan kabupaten dasarkan krakteristik kepadatan hunian,
sampai akhir tahun 2002 masih ada 13 riwayat kontak, sosial ekonomi di
Provinsi dan 111 Kabupaten yang angka Kabupaten Belu.
prevalensinya di atas 1 per 10.000
penduduk, Provinsi tersebut adalah METODE PENELITIAN
Nanggroe Aceh Darussalam, DKI
Jenis penelitian ini kuantitatif
Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan
deskriptif observasional menggunakan
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
rancangan penelitian cross sectional
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
yaitu meneliti mengukur variabel bebas
Tenggara, Nusa Tenggara Timur,
dan variabel terikat pada saat yang
Maluku, Papua, Maluku Utara dan
bersamaan. Sampel dalam penelitian ini
Gorontalo (Depkes RI, 2008).
sebanyak 37 sampel.

156
Alexander Fahik, Imam Wahjoedi, FX. Supardi

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jenis


Hasil Penelitian Pekerjaan Responden Kabupaten Belu
Karakteristik responden Pekerjaan Frekuensi (f) %
Umur Petani 30 81,1
Jumlah responden dalam penelitian Pensiunan 3 8,1
ini adalah sebanyak 37 orang. Umur Swasta 4 10,8
termudah responden adalah 50 tahun Jumlah 37 100,0
dan umur tertua adalah 70 tahun yang Catatan. Dari data primer.
kemudian dikategorikan dalam empat
kategori. Distribusi frekuensi umur Hasil Analisis Variabel Tunggal
responden dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis variabel tunggal dilakukan
untuk mendapatkan gambaran umum
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap
Responden di Kabupaten Belu variabel yang menjadi objek penelitian.
Umur Frekuensi (f) %
Kepadatan hunian
50-55 15 40,5
Untuk mengetahui Distribusi
56-60 13 35,1
frekuensi kepadatan hunian maka, dapat
61-65 7 18,9
dilihat pada Tabel 4.
65-70 2 5,4
Jumlah 37 100,0
Catatan. Dari data primer. Tabel 4. Distribusi Frekuensi
Kepadatan Hunian Responden di
Pendidikan Kabupaten Belu
Untuk mengetahui distribusi Kepadatan Frekuensi (f) %
frekuensi tingkat pendidikan responden < 8 m2 /orang 21 56,8
dapat dilihat pada Tabel 2. ≥ 8 m2 /orang 16 43,2
Jumlah 37 100,0
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Catatan. Dari data primer.
Pendidikan Responden di Kabupaten
Belu Riwayat kontak
Pendidikan Frekuensi (f) % Untuk mengetahui distribusi
Tidak frekuensi riwayat kontak responden
18 48,6 penderita kusta dapat dilihat pada Tabel
Sekolah
5.
SD 12 32,4
SMP 3 8,1 Tabel 5. Distribusi Frekuensi
SMA 4 10,8 Responden Berdasarkan Riwayat
Jumlah 37 100,0 Kontak di Kabupaten Belu
Catatan. Dari data primer. Riwayat Frekuensi %
Kontak (f)
Pekerjaan Ya 25 67,6
Untuk mengetahui distribusi Tidak 12 32,4
frekuensi responden berdasarkan jenis Jumlah 37 100,0
pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 3. Catatan. Dari data primer.

157
Pravelensi Kusta Pausibasiler dan Multibasiler Berdasarkan Karakteristik Kepadatan Hunian,
Riwayat Kontak, Sosial Ekonomi di Kabupaten Provinsi NTT
Sosial ekonomi multibasiler), atau kusta multibasiler.
Untuk mengetahui distribusi Meskipun belum diketahui secara pasti
frekuensi responden mengenai cara penularannya tetapi sebagian besar
penghasilan dapat dilihat pada Tabel 6. para ahli berpendapat bahwa penyakit ini
kusta dapat tertular apabila terjadi kontak
Tabel 6. Distribusi Frekuensi
langsung antara kulit yang lama dan erat
Responden Mengenai Penghasilan di dengan penderita kusta serta keter-
Kabupaten Belu batasan kemampuan dari suatu negara
dalam pemberian pelayanan kesehatan
Penghasilan Frekuensi %
yang memadai dalam bidang kesehatan,
(Rp) (f)
pendidikan, kesejahteraan sosial
< 925.000,00 24 64,9
ekonomi pada masyarakat (Depkes,
≥925.000 13 35,1 2006). Berdasaran hasil penelitian yang
Jumlah 37 100,0 dilakukan di Kabupaten Belu terhadap
Catatan. Dari data primer.
prevalensi kejadian kusta di pengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu:
Kasus Penyakit Kusta
Untuk mengetahui distribusi Kepadatan Hunian
frekuensi responden penderita kusta Kepadatan penghuni adalah
dapat dilihat pada Tabel 7. perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam
Tabel 7. Distribusi Frekuensi satu rumah tinggal. Persyaratan
Responden Penderita Kusta di kepadatan hunian untuk seluruh
Kabupaten Belu perumahan biasa dinyatakan dalam m²
Umur Frekuensi % per orang. Luas minimum per orang
(f) sangat relatif, tergantung dari kualitas
Pausibasiler bangunan dan fasilitas yang tersedia.
23 62,2 Untuk perumahan sederhana, minimum
(PB)
Multibasiler 8m²/orang, kamar tidur sebaiknya tidak
14 37,8 dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk
(MB)
Jumlah 37 100,0 suami istri dan anak dibawah dua tahun
Catatan. Dari data primer. (Lubis, 1989). Berdasarkan hasil peneliti-
an yang dilakukan menunjukkan bahwa
PEMBAHASAN responden dengan kepadatan hunian
lebih dari sama dengan 8m2 sebanyak
Penyakit kusta merupakan penyakit 16 orang (43,2%), sedangkan responden
menular yang menahun dan kronik dengan kepadatan hunian kurang dari
disebabkan oleh Mycobacterium leprae 8m2 sebanyak 21 orang (56,8%).
yang menyerang saraf tepi, kulit dan Penelitian ini sejalan dengan penelitian
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan yang dilakukan di Ternate rata-rata
saraf pusat penyakit kusta dapat masing-masing kepadatan hunian kurang
menyerang semua umur, anak-anak dari 8m2/orang (Tauda, 2008). Hasil
maupun orang dewasa. Penyakit kusta observasi dan wawancara terhadap
dibedakan menjadi 2 yaitu kusta responden mengatakan bahwa terjadinya
tuberkuloid (Inggris : paucibacillary), dan kepadatan hunian tersebut disebabkan
kusta lepropmatosa (penyakit Hansen oleh kondisi sosial ekonomi sehingga

158
Alexander Fahik, Imam Wahjoedi, FX. Supardi

rumah yang ditempati masih tergolong dengan penderita kusta responden


sederhana atau semi permanen (di tersebut masih ada hubungan kekerabatan
bawah ketentuan rumah sehat), dengan dalam keluarga dengan penderita kusta
jumlah penghuni lebih dari 2 kepala sehingga memungkinkan terjadinya
keluarga dalam satu rumah terdapat 6 penularan Mycobakterium leprae. Selain
anggota keluarga dengan jumlah kamar itu secara keseluruhan responden tidak
tidur kurang dari 3 kamar tidur dalam mengetahui jika penyakit kusta merupakan
satu rumah sehingga menimbulkan penyakit yang bisa menulari orang lain
kepadatan hunian hal ini disebabkan melalui kontak langsung, hal ini
karena keterbatasan ekonomi yang disebabkan oleh adat-istiadat atau
berhubungan dengan pekerjaan yang kebiasaaan yang mengganggap bahwa
ditekuni oleh responden yaitu petani penyakit kusta merupakan penyakit
dengan demikian penelitian ini sejalan kutukan dari nenek moyang dan bahkan
dengan teori yang menyatakan bahwa dianggap sebagai hasil guna-guna atau
kepadatan hunian kurang dari 8m2 dapat santet.
mempengaruhi terjadinya peningkatan
kejadian kusta (Lubis, 1989). Sosial Ekonomi
Faktor ekonomi sangat berpengaruh
Riwayat Kontak terhadap semua aspek di mana faktor
Riwayat kontak adalah riwayat ekonomi sangat berperan dalam
seseorang yang berhubungan dengan pengaruhnya terhadap faktor-faktor lain
penderita kusta baik serumah maupun khususnya penyakit kusta. Faktor
tidak serumah. Sumber penularan kusta ekonomi dapat mempengaruhi tingkat
adalah kusta utuh yang berasal dari pendidikan, lingkungan, status gizi,
penderita kusta, jadi penularan kusta perumahan dan pemukiman serta akses
lebih mudah terjadi jika ada kontak pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2007).
langsung dengan penderita kusta (Brakel Berdasarkan hasil penelitian bahwa
dan Kaur, 2002). responden, yang menderita penyakit
Berdasarkan hasil penelitian kusta dengan penghasilan lebih dari
menunjukkan bahwa, sebagain besar sama dengan Rp 925.000,00 sebanyak
responden yang mempunyai riwayat 13 orang (35,1%), sedangkan responden
kontak dengan penderita kusta yaitu dengan penghasilan kurang dari Rp
sebanyak 25 orang (67,6%), sedangkan 925.000,00 sebanyak 24 orang (64,9%).
responden yang tidak mempunyai Penelitian ini menunjukkan status
riwayat kontak dengan penderita kusta ekonomi keluarga penyakit kusta
sebanyak 12 (32,4%). Penelitian ini berpenghasilan rendah dapat
sejalan dengan penelitian yang dilakukan mempengaruhi kejadian kusta (Tauda,
di Ternate bahwa rata-rata responden 2008).
mempunyai riwayat kontak dengan Berdasarkan hasil observasi dan
penderita kusta (Murniati, 2009). wawancara dengan responden
Hasil observasi dan wawancara mengatakan bahwa rendahnya
terhadap responden mengatakan bahwa penghasilan responden disebabkan oleh
terjadinya kusta tersebut dikarenakan sumber penghasilan yang tidak tetap,
responden tinggal serumah dengan dimana sebagian besar responden
penderita kusta, tidur sekamar dengan adalah petani, sehingga tidak lagi
penderita bahkan sering bergantian pakian memperhatikan kesehatan dan

159
Pravelensi Kusta Pausibasiler dan Multibasiler Berdasarkan Karakteristik Kepadatan Hunian,
Riwayat Kontak, Sosial Ekonomi di Kabupaten Provinsi NTT
pentingnya mengkonsumsi makanan WHO. 1997. A Guide To Elimating
yang bergizi sehingga dapat Leprosy As A Public Health
mempengaruhi penurunan kekebalan Problem, Edisi 1, Geneva
Switzerland, PP, 1-18.
atau imunitas tubuh terhadap infeksi
Depkes RI. 2007. Buku Pedoman
suatu penyakit, seperti Micobakterium Nasional Pengendalian Penyakit
leprae dapat menyebabkan seseorang Kusta, Direktorat Jenderal PPM
dengan mudah menderita penyakit kusta. dan PLP, Jakarta.
Memiliki jaminan kesehatan Depkes RI. 2005. Buku Pedoman
(Jamkesmas), namun tidak mendapatkan Nasional Pengendalian Penyakit
akses pelayanan kesehatan yang baik, Kusta, Direktorat Jenderal PPM
dan PLP, Jakarta.
karena jarak antara rumah dengan
Depkes RI. 2008. Pedoman
puskesmas ataupun rumah sakit sangat Pemberantasan Penyakit Kusta.
jauh, sehingga responden lebih memilih Available from
pengobatan alternatif yaitu pengobatan URL:http//www.depkes.go.id/dow
dengan menggunakan obat tradisional. nloads/kusta.pdf.Accssed 1 Maret
Selain itu, dari hasil pengamatan 2013.
terhadap responden penderita penyakit Dinkes Kabupaten Belu. 2012. Profil
Kesehatan Kabupaten Belu.
kusta tampak bahwa sebagian besar
Depkes, RI. 2006. Pedoman Kusta.
tidak memperhatikan pentingnya Available.
kebersihan diri (personal hygiene) serta http://www.ppp/depkes.go.id/imag
kebersihan lingkungan. es-data/ (Accssed 1 Maret 2013).
Perkembangan penyakit kusta Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Pusat
dalam diri penderita bila tidak ditangani Pendidikan Tenaga Kesehatan
Depkes RI.Jakarta.
secara cermat dapat menimbulkan cacat
Tauda, 2008. Faktor-Faktor Yang
dan keadaan ini menjadi halangan bagi Berhubungan Dengan Kejadia
penderita kusta dalam kehidupan Penyakit Kusta Dikota Ternate,
bermasyarakat untuk memenuhi Tesis, Program Pasca Sarnaja,
kebutuhan sosial ekonomi (Hiswani, Fakultas Kedokteran Universitas
2001). Gadjah Mada, Yogyakarta.
Murniati. 2009. Faktor Risiko dalam
Individu dan Luar Individu yang
KESIMPULAN
Berhubungan dengan Kejadian
Prevalensi kusta pausibasiler dan Kusta di Rumah Sakit Kusta
multibasiler berdasarkan krakteristik Makassar Sulawesi Selatan.
kepadatan hunian kurang dari 8m2 Brakel V.W.H., Kaur, H. 2002, Leprosy
Review; Is Beggary a Chosen
sebanyak 56%, riwayat kontak sebanyak Profession Among People Living
67,6% dan penghasilan kurang dari Rp in Leprosy Colony, The leprosy
925.000,00 sebanyak 64,9%. Mission Indian, New Delhi 110
001, Indian 24 Juli 2002.
DAFTAR PUSTAKA Hiswani. 2001. Kusta Salah Satu
Penyakit Menular Yang Masih
Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dijumpai Di Indonesia, FK
Dan Kelamin. Edisi keenam. Universitas Sumatera Utara,
Jakarta. Fakultas Kedokteran digitalizet by USU digital library,
Universitas Indonesia. 2001

160
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 161-166
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS SEDAYU II BANTUL YOGYAKARTA

Anna Tri Hardati1, Tedy Candra Lesmana2 Susilo Samsul Bahri3


1,2
Dosen Prodi IKM STIKES Wira Husada Yogyakarta
skm_ndableg@yahoo.co.id , tedylesmana58@yahoo.co.id
3
Dosen Prodi Kesling STIKES Wira Husada Yogyakarta

ABSTRACT
Background: The home environment affects the occurrence of ARI.
Puskemas Sedayu II has never been conducting environmental surveillance
and behavioral risk factors for respiratory patients treated at Health Centers
Sedayu II. The purpose of this study was to determine the risk factors and
behavior in patients with respiratory infection in infants and Argorejo village
Argodadi Sedayu Work Area Health Center II Bantul.
Methods: A research tool using checklists, questionnaires, luxmeter,
Thermohygro, roll meter. Preparation of checklists and questionnaires
referring to Standard Operating Procedures for Disease Prevention
Integrated ARI, ARI Patient Interview Guide and the Integrated Field Guide
Integrated Patient ARI. Environmental research variables include the
intensity of light, ventilation holes on the vast proportion of floor space, the
density of the bedroom, kitchen smoke hole, while the behavior includes the
habit of closing the mouth when coughing, customs opened the window in
the morning, and smoking habits of family members
Results: The work of parents with toddlers ARI as laborers 50%, employees
4.2%, 16.6 % self-employed and farmers 29.2%. Educated mothers SD 25%,
41.7% junior high, high school 25% , PT 8.3% and 16.7% fathers elementary
education, 33.3% junior high, high school 41.7%, PT 8.3%. Physical
environment requirements spacious bedroom with 62.04 lux light intensity,
temperature of 31.88°C, and humidity of 66.71%. The existence of bedroom
ventilation 79.2%, 83.3% transparent roof and chimney kitchen 66.7% .
Dense residential density as much as 20.8% and as much as 79.2% solid.
Risk factors of smoking 58.3%, 37.5% customs opened the window, sleeping
with 87.5% of patients, ripe with child care 54.2%, 100% waste carelessly
spit and shut your mouth when coughing 45.8%. The use of fuel for cooking
with gas 14.6%, 62.5% and firewood firewood and gas 20.8% .
Conclusion: Environmental risk factors associated with the incidence of ARI
in infants Puskesmas Sedayu II .

Keywords: ARI toddler, surveillance, risk factor.

PENDAHULUAN hidung (saluran atas) hingga alveoli


(saluran bawah) termasuk jaringan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
adneksanya, seperti sinus, rongga
(ISPA)
telinga tengah dan pleura (Depkes,
ISPA merupakan penyakit infeksi
2002). ISPA merupakan salah satu
yang menyerang salah satu bagian dan
penyakit yang banyak diderita oleh anak-
atau lebih dari saluran napas, mulai dari

161
Surveilans Epidemiologi Faktor Risiko ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Sedayu II Bantul Yogyakarta
anak terutama yang berumur di bawah Juli 2008) dengan rincian seperti tersaji
lima tahun. Penyebab ISPA di Indonesia pada Tabel 1.
terkait dengan lingkungan antara lain
polusi udara, perubahan cuaca, Tabel 1. Kejadian ISPA di Puskesmas
lingkungan rumah yang sirkulasi Sedayu II Periode Januari – Juli 2008
udaranya tidak bagus. Krisis ekonomi di
Indonesia dan meningkatnya penduduk UMUR (Thn)
BULAN Total
miskin khususnya di pedesaan <1 1 -4 >5
berdampak pada menurunnya Januari 26 52 138 216
kemampuan menyediakan lingkungan Februari 26 52 138 216
pemukiman yang sehat. Struktur fisik Maret 37 46 150 23
rumah yang jelek seperti ventilasi, suhu, April 26 50 137 213
kelembaban, dan penerangan alami Mei 54 65 179 298
diketahui dapat meningkatkan dan Juni 19 47 150 216
menyebarkan penyakit ISPA (Depkes, Juli 11 43 172 226
1999). Jumlah 199 355 1.046 1.618
Perilaku hidup bersih dan sehat Catatan. Laporan Bulanan Program P2 ISPA
penduduk merupakan salah satu upaya Puskesmas Sedayu II
mencegah terjadinya ISPA dengan
memperhatikan rumah dan Kegiatan surveilans faktor risiko
lingkungannya yang sehat. Beberapa lingkungan dan perilaku untuk penderita
perilaku penduduk yang dapat ISPA yang berobat ke Puskemas Sedayu
menimbulkan terjadinya ISPA antara lain II menurut kepala Puskemas Sedayu II
meludah sembarangan, membakar belum pernah dilakukan.
sampah, kebiasaan merokok, kebiasaan
membuka jendela, kebiasaan tidur. METODE
Faktor risiko penyebab ISPA dapat Penelitian ini untuk menggambarkan
diketahui melalui kegiatan surveilans. faktor risiko lingkungan dan perilaku
Data yang diperoleh dari kegiatan penderita ISPA pada balita. Penelitian
surveilans dapat memberikan informasi dilakukan di Desa Argodadi dan
tentang kejadian penyakit ISPA dan Argorejo, Kecamataan Sedayu,
digunakan untuk rencana tindak lanjut Kabupaten Bantul. Objek penelitian ini
dalam menekan kejadian kesakitan, adalah semua balita dengan umur
penyebaran dan penularan ISPA. kurang dari 5 tahun yang menderita ISPA
Puskesmas Sedayu II telah dan berobat ke Puskesmas Sedayu II.
melakukan kegiatan survei terhadap Pengumpulan data menggunakan
1.218 rumah penduduk. Sebanyak 624 daftar periksa, kuesioner dan alat ukur
rumah memenuhi syarat sebagai rumah meliputi Luxmeter, Thermohygro, roll
sehat dan 61,82%-nya (353 rumah) meter. Penyusunan daftar periksa dan
terdapat di Desa Argorejo. Penyakit ISPA kuesioner mengacu Standar Prosedur
dalam dua tahun terakhir masih Operasional Penanggulangan Penyakit
menempati peringkat pertama di wilayah ISPA Secara Terpadu, Panduan
kerja Puskesmas Sedayu II dengan Wawancara Penderita ISPA Secara
jumlah penderita sebanyak 1.845 kasus Terpadu dan Panduan Kunjungan
(tahun 2007) dan 1.618 kasus (sampai Lapangan Penderita ISPA Secara
Terpadu (Ditjen PL Dirjen P2MPL, 2003).

162
Anna Tri Hardati, Tedy Candra Lesmana, Susilo Samsul Bahri

Variabel penelitian yang diukur dan penelitian termasuk dalam wilayah kerja
diamati adalah lingkungan meliputi Puskesmas Sedayu II dengan jumlah
intensitas cahaya, proporsi luas lubang penduduk sebanyak 22.302 jiwa terdiri
ventilasi terhadap luas lantai, kepadatan dari 10.817 penduduk laki-laki dan
kamar tidur, lubang asap dapur, 11.485 penduduk perempuan dengan
sedangkan perilaku meliputi kebiasaan jumlah kepala keluarga 4.374. Tingkat
menutup mulut pada waktu batuk, kepadatan penduduk rata-rata di wilayah
kebiasaan membuka jendela pada pagi ini 1.210 jiwa/km2 (Tabel 1).
hari, dan kebiasaan merokok anggota Jumlah balita yang menderita ISPA
keluarga. berdasarkan data Puskesmas Sedayu II
selama penelitian diketahui terdapat 24
HASIL orang dengan rincian 10 orang terdapat
di Desa Argodadi dan 14 orang di Desa
Penelitian dilakukan di Desa
Argorejo.
Argodadi dan Argorejo Kecamatan
Sedayu dengan luas 1.844,08 ha. Lokasi

Tabel 2. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Sedayu II

Jumlah Penduduk Kepala


No. Desa Luas (ha)
Laki-Laki Perempuan Jumlah Keluarga
1. Argodadi 1.121,4995 5.290 5.688 10.978 2.008
2. Argorejo 722,5850 5.527 5.797 11.324 2.368
Total 1.844.0845 10.817 11.485 22.302 4.374
Catatan. Profil Kesehatan Puskesmas Sedayu II Bantul, 2005

Karakteristik Responden
Balita dengan penyakit ISPA di Pekerjaan orang tua yang
wilayah kerja Puskesmas Sedayu II mempunyai balita menderita ISPA
diketahui (Gambar 1) paling banyak berprofesi sebagai buruh sebanyak 50%,
mempunyai ibu berpendidikan sekolah sedangkan sisanya bekerja sebagai
menengah pertama (41,7%) dan ayah karyawan, wiraswasta dan petani
berpendidikan sekolah menengah atas (Gambar 2). Profesi pekerjaan sangat
(41,7%). terkait dengan tingkat pendidikan. Profesi
buruh biasa cenderung mempunyai
10 10 penghasilan yang rendah dan keadaan
10 8 kondisi yang miskin sulit untuk
8 6 6 memenuhi persyaratan hidup sehat.
6 4 Balita dengan orang tua yang miskin dan
4 2 2 berpendidikan rendah mempunyai risiko
2 lebih besar daripada orang tua yang
0 berpendidikan menengah atas atau tinggi
SD SMP SMA PT (Cohen, 2002).
Ayah Ibu

Gambar 1. Tingkat Pendidikan Orang Tua


Balita ISPA

163
Surveilans Epidemiologi Faktor Risiko ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Sedayu II Bantul Yogyakarta
Berdasarkan data pada Tabel 2.
12 diketahui lingkungan fisik ruang kamar
15
tidur yang memenuhi persyaratan
10
7 adalah intensitas cahaya (>60 luks) dan
4 angka kelembaban (40-70%), tetapi
5 1 sebagian besar intensitas cahaya rumah
responden (17 rumah) tidak memenuhi
0
Jenis Pekerjaan
syarat, sedangkan suhu rata-rata
sebesar 31,8oC melebihi kondisi
Buruh Petani Wiraswasta Karyawan o
lingkungan nyaman (30 C).
Gambar 2. Pekerjaan Responden
19 20
20 16
Faktor Risiko Lingkungan
Pengamatan kondisi rumah yang 15
8
memenuhi persyaratan lingkungan fisik 10 5 4
disajikan pada Gambar 3.
5
0
17 19 19 Ventilasi Atap Cerobong
20 8 kamar transparan dapur
7 5
10
Ada Tidak Ada
0
Gambar 4. Keberadaan ventilasi kamar,
atap transparan dan cerobong dapur

Memenuhi syarat Keberadaan ventilasi kamar tidur


Tidak Memenuhi Syarat dan cerobong dapur penting untuk
sirkulasi udara dalam ruangan sehingga
Gambar 3. Persyaratan lingkungan fisik
dapat mengurangi debu yang dapat
rumah
memacu ISPA. Cerobong dapur
berfungsi untuk membuang asap
Pengamatan kondisi fisik faktor
maupun zat-zat hasil pembakaran.
lingkungan fisik yang diukur dalam
Keberadaan asap yang melebihi ambang
penelitian ini meliputi intensitas cahaya,
batas dapat memacu balita sesak napas.
suhu dan kelembaban di kamar tidur
Berdasarkan Gambar 4. diketahui
penderita. Hasil pengukuran disajikan
persyaratan lingkungan fisik rumah
pada Tabel 2.
penderita ISPA pada balita untuk
ventilasi kamar tidur sebesar 66,7%, atap
Tabel 3. Rata-Rata Pengukuran transparan 83,3% dan cerobong dapur
Persyaratan Lingkungan Fisik Ruang 66,7%. Pengamatan untuk tingkat
Kamar Tidur
kepadatan hunian diketahui rumah
Persyaratan Lingkungan Rata-Rata dengan kriteria padat sebanyak 79,2%.
Fisik
Intensitas cahaya 62,04 luks
Suhu 31,880C
Kelembaban 66,71%

164
Anna Tri Hardati, Tedy Candra Lesmana, Susilo Samsul Bahri

Tabel 4. Tingkat Kepadatan Hunian


kejadian ISPA pada balita karena
kebiasaan anggota keluarga yang
Kepadatan hunian N % merokok sebesar 58,3%.
Padat 5 20,8
Tidak padat 19 79,2
Jumlah 24 100 15
20 4 5
Faktor Risiko Perilaku 10
0
Jenis bahan bakar untuk
24
25 21 memasak
20 14 15 1311
15 10 9 1113 Gas Kayu Bakar Gas+Kayu Bakar
10 3
5 0
Gambar 6. Penggunaan bahan bakar
0
untuk memasak

Penggunaan bahan bakar untuk


memasak dapat mempengaruhi kejadian
Ya Tidak ISPA pada balita (Bautista, et al. 2008.
Ibu rumah tangga di daerah pedesaan
Gambar 5. Distribusi frekuensi faktor
biasanya menggunakan bahan bakar
perilaku
kayu untuk memasak. Ventilasi atau
cerobong asap yang minim akan
Faktor risiko yang dominan
menyebabkan kumpulan asap menjadi
menyebabkan kejadian ISPA pada balita
polusi yang berakibat balita sesak napas.
di Argodadi dan Argorejo yaitu adanya
Ibu rumah tangga balita penderita ISPA
anggota keluarga yang merokok (58,3%),
di desa Argodadi dan Argorejo (Gambar
tidak membuka jendela (62,5%), ibu
6) diketahui banyak menggunakan bahan
memasak di dapur sambil mengasuh
bakar kayu untuk memasak (62,5%). Hal
anak (54,2%), membuang ludah
ini juga dikemukakan oleh Kilabuko dan
sembarangan (100%), memasak
Nakai (2007) bahwa penggunaan bahan
menggunakan bahan bakar kayu
bakar berupa kayu bakar karena
(62,5%), sedangkan kebiasaan
menghasilkan polusi di dapur
membuka jendela pada pagi hari dan
mempengaruhi kejadian ISPA lebih
menutup mulut waktu batuk begitu
besar daripada menggunakan minyak
mempengaruhi.
tanah.
Asap rokok sangat berisiko
menyebabkan kejadian ISPA (Roy, 2008)
KESIMPULAN
dan biasanya dihasilkan dari anggota
keluarga di sekitar penderita. Kebiasaan Kesimpulan penelitian menunjukkan
merokok antara perokok dan bukan faktor risiko lingkungan dan perilaku
perokok dalam keluarga berhubungan berhubungan dengan kejadian ISPA
erat terhadap kejadian ISPA balita (Park pada balita di wilayah kerja Puskesmas
dan Kim, 1986). Kebiasaan merokok Sedayu II. Diharapkan masyarakat
yang dilakukan penduduk desa memperbaiki kondisi lingkungan rumah
cenderung lebih banyak dibanding penderita agar intensitas pencahayaan
penduduk kota. Dalam penelitian ini dan suhu rumah memenuhi syarat

165
Surveilans Epidemiologi Faktor Risiko ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Sedayu II Bantul Yogyakarta
kesehatan dan pihak puskesmas untuk Yonsai Medical Journal vol 27 no.
merubah perilaku masyarakat untuk 4:261-170.
menghindarkan dan mencegah kejadian Roy, M. 2008. Smoking and Nicotine
ISPA pada masa yang akan datang. Addiction. Community Addiction
Recovery Association (CARA) ,
DAFTAR PUSTAKA Sacramento CA.
Bautista, L.E., et al. 2008. Indoor
Charcoal Smoke and Acute
Respiratory Infections in Young
Children in the Dominican
Republic. American Journal of
Epidemiology 2009 (1): 1-9.
Cohen, S. 2002. Social Status and
Susceptibility to Respiratory
Infections. Department of
Psychology, Camegie Mellon
University, Pittsburgh,
Pennsylvania 15213-3890, USA
Ditjen PL Dirjen P2MPL. 2003. Prosedur
Kerja Surveilans Faktor Risiko
Penyakit Menular Dalam
Intensifikasi Pemberantasan
Penyakit Menular Terpadu
Berbasis Wilayah: Khusus Faktor
Risiko Lingkungan dan Perilaku
Penyakit ISPA, Malaria, TBC,
Campak, Difteri, Pertusis
Tetanus, Polio dan Hepatitis B.
Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Kilabuko, J.H, dan Nakai, S. 2007.
Effects of Cooking Fuels on Acute
Respiratory Infections in Children
in Tanzania. Int. J. Environ. Res.
Public Health 2007, 4(4), 283-
288.
Depkes RI. 1999. Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999
Tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan.
Park, J.U. dan Kim, I.S. 1986. Effect of
Family Smoking on Acute
Respiratory Diseases in Children.

166
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 167-174
HARGA DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
DI VIOLET COMMUNITY YOGYAKARTA (STUDI KASUS)

Despita Pramesti

aryo_desphita@yahoo.co.id

ABSTRACT
Background: Source of stress which resulted in people with HIV/AIDS
(ODHA) is the high rate of death caused by this disease and especially
society's view of people with HI AIDS (ODHA) so this will affect the self-
esteem of people with HIV/AIDS (ODHA) .
Objective: Observe the description of self-esteem of people with
HIV/AIDS(ODHA) and the factors that affect the self-esteem of people with
HIV/AIDS(ODHA) in Yogyakarta community Violet.
Methods: The use of non-experimental research exploratory descriptive
study design with qualitative methods. Type the sampling is purposive
sampling by taking a subject of study of people with HIV/AIDSin the
Community Violet Yogyakarta about 20 people. 5 ODHA taken as
respondents.
Conclution: The results of this study indicate that the picture self-esteem of
people with HIV/AIDS(ODHA) in the criteria feeling accepted, respected and
competent 5 respondents indicated a high level of self-esteem. And the
feeling of valuable criteria 1 respondent indicated a high level of self-esteem
and 4 respondents indicated a low level of self-esteem. Factors affecting the
formation of self-esteem of people with HIV/AIDS(ODHA) in Violet
community due to the conditions of acceptance of the individual as well as
the advantages and disadvantages of himself, success, respect from others,
the support of fellow sufferers of HIV / AIDS, and support from the
community.

Keyword: People with HIV/AIDS(ODHA), Self-esteem, Violet community

PENDAHULUAN sampai 49 tahun terjangkit virus tersebut


(UNAIDS, 2003).
Diperkirakan 40 juta pengidap AIDS
Kasus HIV/AIDS di Indonesia
atau HIV di dunia sekitar 7,4 juta tinggal
mencuat pertama kali dengan
di Asia dan Pasifik. Satu juta di
ditemukannya wisatawan Belanda yang
antaranya akan terserang penyakit yang
meninggal di Bali pada April 1987.
belum ditemukan obatnya itu pada tahun
Hingga akhir desember 2007 telah
2003, bahkan setengah juta di antaranya
terdapat tambahan 2947 kasus AIDS dan
terancam meninggal dunia. Angka
927 pengidap infeksi HIV, sehingga
perkiraan mengenai HIV pada orang
jumlah kumulatif orang dengan HIV/AIDS
dewasa berada di bawah satu persen.
sejak April 1987 hingga akhir Desember
Angka tersebut masih kecil jika
2007 adalah 17207 orang. Jumlah kasus
dibandingkan dengan negara-negara di
HIV/AIDS di Yogyakarta sebanyak 103
Afrika Selatan di mana seperempat dari
orang dengan perincian 29 orang HIV
orang dewasa berusia antara 15 tahun

167
Harga Diri pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
di Violet Community Yogyakarta (Studi Kasus)
positif, 61 orang AIDS, dan meninggal Harga diri merupakan salah satu
sebanyak 13 orang (Dinkes RI, 2007). komponen konsep diri yang memiliki arti
Kebijakan pemerintah tentang penilaian pribadi terhadap hasil yang
HIV/AIDS ini yaitu Peraturan Presiden dicapai dengan menganalisa seberapa
Republik Indonesia No. 75 Tahun 2006 jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart
tentang Komisi Penanggulangan AIDS & Sundeen, 2005). Harga diri adalah
Nasional yang tertera pada Pasal 3 perasaan menjadi dihormati, diterima,
bahwa Komisi Penanggulangan AIDS kompeten dan berharga. Seseorang
Nasional bertugas menetapkan kebijakan yang mempunyai harga diri yang tinggi
dan rencana dan strategi Nasional serta umumnya lebih bahagia dan lebih bisa
pedoman umum pencegahan, mengatasi kebutuhan dan stresor dari
pengendalian, dan penanggulangan pada orang dengan harga diri rendah
AIDS serta kebijakan pemerintah yang Seseorang dengan harga diri rendah
lain yaitu melalui SK Menteri Kesehatan merasa tidak dicintai dan sering
No. 8332/X/2006, pemerintah telah mengalami depresi dan kecemasan
menyediakan rumah sakit rujukan bagi (Potter & Perry, 2005).
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Sumber yang mengakibatkan stres
sehingga orang dengan HIV/AIDS pada orang dengan HIV/AIDS adalah
mendapatkan pelayanan kesehatan yang tingginya tingkat kematian yang
layak. Program pemerintah untuk mengakibatkan oleh penyakit ini dan
menangani masalah HIV/AIDS ini terutama pandangan masyarakat
dengan menerapkan program kampanye terhadap orang dengan HIV/AIDS.
anti-HIV/AIDS, yaitu promosi kesehatan Masyarakat sebagian besar lebih
reproduksi dan seks khususnya pada mengetahui jika HIV/AIDS hanya dapat
anak-anak muda. Salah satu bentuk ditularkan melalui hubungan seks
nyata dari program pemerintah saat ini terutama hubungan seks yang dianggap
yaitu kampanye penggunaan kondom tidak lazim dalam masyarakat seperti
(kondomisasi) dan hidup sehat bersama homoseksual. Kelompok homoseksual
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan non-heteroseksual lainnya biasanya
(Depkes RI, 2006). menghadapi stigmatisasi yang lebih kuat
Hari AIDS Sedunia bermula pada dari masyarakat Kedua hal tersebut
tahun 1988, ketika ada pertemuan dapat membentuk harga diri orang
puncak para Menteri Kesehatan dari dengan HIV/ AIDS, tinggi maupun
berbagai negara. Mereka menyerukan rendah.
perlunya toleransi dan pertukaran Dari hasil wawancara dengan ketua
informasi tentang AIDS, sehingga sejak 1 Violet Community didapatkan data bulan
desember diperingati sebagai hari AIDS Oktober 2007 terdapat 20 orang yang
sedunia untuk meningkatkan kesadaran menderita HIV/AIDS, 6 orang menderita
masyarakat terhadap AIDS, dan AIDS dan 14 orang menderita HIV. Dari
membentuk komitmen baru untuk 20 orang tersebut 6 orang ditemukan
memerangi AIDS, sehingga masyarakat mengalami perubahan pada perilakunya.
dapat memberikan perhatian yang lebih Berdasarkan uraian tersebut peneliti
pada orang dengan HIV/AIDS dan tidak tertarik mengetahui bagaimanakah
bersikap mengucilkan atau menjauhkan gambaran harga diri orang dengan
penderita HIV/AIDS (Anonim, 2003). HIV/AIDS (ODHA) di Violet Community
Yogyakarta.

168
Despita Pramesti

METODE PENELITIAN diterima, dihormati, kompeten dan


berharga.
Penelitian ini adalah non-
eksperimental yang menggunakan
Harga Diri pada Kriteria Diterima
rancangan penelitian deskriptif
Diterima adalah perasaan bahwa
eksploratif dengan metode kualitatif.
orang lain (keluarga dan masyarakat)
Jenis sampling yang digunakan adalah
menerima dirinya apa adanya (Potter &
purposive sampling dengan mengambil
Perry, 2005). Berdasarkan hasil
subjek penelitian orang yang mengidap
wawancara mendalam semua responden
HIV/AIDS di Violet Community
mengatakan bahwa menerima kondisi-
Yogyakarta berjumlah 20 orang. Yang
nya walau dengan adanya stigma atau
diambil 5 ODHA sebagai responden.
tidak ada stigma dari masyarakat,
Pengumpulan data dilakukan
seperti yang diungkapkan responden
dengan wawancara mendalam yang
berikut ini:
dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh
Responden M:
pendamping pada sampel yang
“Aku menerima apa adanya,
memenuhi kriteria inklusi menggunakan
soalnya aku belum dapat stigma
pedoman wawancara dan alat bantu tape
atau diskriminasi dari masyarakat
recorder. Selain itu peneliti juga
karena aku benar.
melakukan pencatatan selama
Responden N:
wawancara untuk dokumentasi.
“Saya tau di luar sana pembicaraan
Wawancara dilakukan selama kurang
tentang HIV+ banyak sekali dalam
lebih 1-2 jam, minimal satu kali. Apabila
bentuk yang tidak baik, tetapi itu
ada data yang perlu diklarifikasi atau ada
membuat aku tidak menerima
data yagg kurang lengkap maka peneliti
kondisi saya”.
dapat menanyakan pada pendamping-
Responden Y :
nya atau melakukan wawancara lanjutan
“Saya mau tidak mau harus
sesuai dengan kontrak waktu yang telah
menerima dong kondisi saya ini, ini
disepakati.
toh resiko hidup saya. Dan saya juga
Pengamatan dilakukan oleh peneliti
enggak peduli dengan omongan
sendiri selama wawancara berlangsung
orang tentang penyakit saya ini”.
dan dituliskan pada lembar observasi.
Responden S:
Metode ini memungkinkan peneliti untuk
“Saya menerima apa adanya, kalo
melihat dan mengamati sendiri serta
orang berbicara yang enggak-
menjawab keraguan peneliti akan data
enggak di kuping saya tentang
yang diperoleh sebelumnya (Moleong,
penyakit saya ini, cuek aja... yang
2006). Dalam melakukan observasi,
penting saya tetap PD aja dan
peneliti memberikan item ”ya” bila sesuai
anggap aja diri kita enggak sakit”.
dengan lembar observasi dan ”tidak” bila
Responden O:
tidak sesuai.
“Saya sekarang menerima apa
adanya dengan status ODHA saya
HASIL PENELITIAN
tapi sampai saat ini saya belum
Penelitian ini membahas tentang dapat stigma dari masyarakat,
gambaran harga diri orang dengan karena tetangga di sekitar saya
HIV/AIDS (ODHA) di Violet Community banyak yang belum tahu kondisi
Yogyakarta, yang meliputi kriteria saya ini”.

169
Harga Diri pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
di Violet Community Yogyakarta (Studi Kasus)
Berdasarkan wawancara mendalam Responden N dan responden S merasa
diketahui yang mempengaruhi sikap bahwa dukungan dari teman komunitas
mereka, karena dari diri mereka sendiri sangat penting bagi penerimaan dirinya.
dan juga adanya dukungan dari teman- Dan semua responden menerima
teman orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kondisinya dengan adanya kesadaran
serta dukungan dari teman komunitas, diri sendiri serta dukungan dari teman-
Seperti yang diungkapkan responden teman orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
berikut: dan teman komunitas yang mendorong
Responden M : mereka menerima kondisinya. Menurut
”Di violet ini kita bisa saling tuker Florida (2007), tinggi rendahnya harga
pikiran antar ODHA yang lain, dan diri dirinya sendiri serta dukungan dari
sudah sama-sama senasib, jadi orang lain, bila individu merasa dirinya
semua ini ada hubungannya dengan diterima di kelompok dan dihargai oleh
dukungan dari temen-temen dan lingkungannya maka ia akan memiliki
dari diri saya juga, akhirnya saya harga diri yang tinggi.
jadi punya semangat hidup lagi”.
Responden N : Harga Diri pada Kriteria Dihormati
“Karena dukungan dari temen-teman Dihormati adalah perasaan bahwa
violet“. orang lain (keluarga dan masyarakat)
Responden Y : melihat dan memahami dirinya (Potter &
“Karena ini menyangkut dengan diri Perry, 2005). Berdasarkan hasil
saya jadi saya yang berhak wawancara dengan responden
bertanggung jawab dengan hidup didapatkan bahwa dengan status orang
saya”. dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak
Responden S : membuat mereka tidak dihargai oleh
“Yang pastinya sih karena dukungan masyarakat dan teman komunitas
dari temen-temen ODHA yang ada seperti yang diungkapkan berikut:
di violet”. Responden M:
Responden O : “Dihargai benerlah sama orang lain”.
“Saya punya kepercayaan diri jadi Responden N:
bisa terima kondisi saya dan “Saya dihargai sama orang yang
dukungan dari temen-temen ODHA. tertentu aja seperti temen-temen
Saya selalu dikasih semangat terus”. ODHA yang di violet“.
Responden Y:
Jadi faktor yang mempengaruhi “Disini saya merasa sangat
harga diri adalah penerimaan terhadap diperhatikan, mereka mengerti
diri sendiri dan orang lain. Dari hasil kondisi saya dan saya juga
wawancara tersebut, responden M dan sangat dihargai, karena saya
responden O merasa bahwa dari menghargai orang lain jadi saya juga
penerimaan dirinya didapatkan dari dihargai”.
kesadaran diri sendiri dan dukungan Responden S:
teman-teman orang dengan HIV/AIDS “Itu kan tergantung dari diri kita
(ODHA). Satu orang responden yakni sih..kalo kita bisa bawa diri, kita
responden Y merasa bahwa kesadaran akan dihargai orang lain. Jadi saya
dari diri sendiri yang membuatnya bener-bener dihargai pisan”.
menerima kondisinya sekarang.

170
Despita Pramesti

Responden O: Responden N:
“Alhamdulillah saya selalu “Saya merasa berhasil karena saya
menghargai orang jadi mereka juga bisa merubah tingkah laku saya.
menghargai saya, apa lagi Responden Y:
masyarakat sini selalu baik ke saya”. “Saya merasa berhasil karena saya
seseorang dipengaruhi bagaimana bisa menjauhi kegiatankegiatan
individu menilai dan menerima. yang beresiko itu dan merubah
tingkah laku saya”.
Stuart dan Sundeen (2005) Responden S:
mengatakan harga diri diperoleh dari diri “Saya merasa berhasil dong.. saya
sendiri dan orang lain. Aspek utam berhasil karena bisa menjadi
adalah di cintai dan menerima pendamping ODHA”.
penghargaan dari orang lain. Dari hasil Responden O:
data di atas bentuk penghargaan dari “Saya merasa jadi orang yang
orang lain adalah ketika orang dengan berhasil dengan status ODHA saya
HIV/AIDS (ODHA) dibutuhkan oleh orang ini dan hidup saya jauh lebih
lain dan saling membutuhkan sehingga berubah dari pada dulu”.
itu turut membangun harga diri
responden. Berdasarkan hasil Dari hasil wawancara tersebut
wawancara didapatkan semua menunjukkan bahwa semua responden
responden merasa bahwa lingkungan mengatakan merasa berhasil dan
dan teman-teman menghargai dan mampu merubah hidupnya. Menurut
membutuhkan mereka. Maka harga diri DariyoLing (2002), harga diri merupakan
responden akan tinggi jika individu evaluasi individu terhadap dirinya sendiri
merasa dihargai oleh lingkungannya secara positif atau negatif. Evaluasi ini
(Potter & Perry, 2005). memperlihatkan bagaimana individu
menilai dirinya sendiri dan diakui
Hasil Penelitian Harga Diri pada tidaknya kemampuan dan keberhasilan
Kriteria Kompeten yang diperolehnya. jadi Individu akan
Kompeten adalah perasaan yang merasa harga dirinya tinggi bila sering
berhubungan dengan kesuksesan, mengalami keberhasilan.
kemampuan menghadapi masalah, dan Hasil observasi terhadap orang
mencapai tujuan (Potter & Perry, 2005). dengan HIV/AIDS di Violet Community
Berdasarkan hasil wawancara didapat- Yogyakarta turut menegaskan jawaban
kan bahwa setelah menderita HIV/AIDS yang telah diberikan. Hasil observasi
responden mampu merubah pola menunjukkan bahwa responden terlihat
hidupnya dan menjauhi kegiatan- sering membanggakan suatu tentang
kegiatan yang berisiko serta dapat dirinya dan tak jarang membicarakan apa
menjadi pendamping orang dengan yang telah dilakukannya kepada orang
HIV/AIDS (ODHA) yang lain. Seperti lain. Hal ini juga diungkapkan pada hasil
yang diungkapkan responden berikut: wawancara mendalam, seperti yang
Responden M: diungkapkan responden berikut:
“Kalo dibandingkan dulu aku bisa Responden M:
dibilang berhasil…pola hidup saya “Saya bangga bisa mudah bergaul”.
jauh lebih berubah dari pada dulu. Responden N:
Artinya lebih bertanggung jawab”.

171
Harga Diri pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
di Violet Community Yogyakarta (Studi Kasus)
“Saya itu tidak pernah berulah dan kondisinya, ada yang PD dan tidak malu
enggak pernah buat orang lain dengan status ODHA-nya, senang
susah “. karena mempunyai teman yang senasib
Responden Y: dan jauh lebih tenang karena adanya
“Yang bisa saya banggakan yaitu support dari teman, seperti yang
disaat saya bisa belajar dari diungkapkan responden berikut:
penderitaan saya ini dan saya bisa Responden M:
mengkritisi apa-apa yang saya “Ya, kalo saya perasaannya jauh
lakukan dan itu bisa saya benahi lebih tenang karena tementeman
dengan baik dan saya juga bisa disini mensupport saya dan mereka
menularkan omongan-omongan tahu kondisi saya seperti apa”.
saya berdasarkan pengalaman Responden N:
saya”. “Perasaan saya sih biasa aja”.
Responden S: Responden Y:
“Saya bangga bisa akrab dengan “Saya sudah mulai terbiasa dengan
siapa aja dan bisa melayani kondisi saya ini dan saya juga tidak
masyarakat”. malu untuk membuka status saya
Responden O: ke orang yang concern dengan
“Saya bangga bisa mudah bergaul ODHA. Malah saya seneng bisa
dan saya bisa melayani berbagi. Dan yang paling penting PD
masyarakat”. aja walaupun kondisi saya seperti
ini, apa lagi temen-temen justru
Dari hasil wawancara tersebut mensupport saya. Jadi saya
semua responden merasa bangga merasa harga diri saya tidak jatuh
dengan dirinya karena mereka bangga karena status ODHA ini”.
bisa mudah bergaul, dapat melayani Responden S:
masyarakat, tidak pernah berulah dan “Saya enggak malu kalo orang tahu
membuat susah orang lain serta bisa status saya ODHA, yang penting PD
belajar dari kondisinya yang menderita aja”.
HIV/AIDS. Hasil observasi juga turut Responden O:
menegaskan bahwa responden sering “Ya, merasa seneng karena ada
membanggakan sesuatu tentang dirinya. temen-temen yang senasib dengan
Menurut Potter & Perry (2005) seseorang saya dan mereka tidak menjauhi
dengan harga diri yang tinggi akan saya karena status saya ini”.
menghubungkan kualitas personal
dengan usaha dan kesuksesannya. Hasil observasi turut menegaskan
hasil wawancara mendalam tersebut.
Hasil Penelitian Harga Diri pada Hasil observasi yang dilakukan terhadap
Kriteria Berharga orang dengan HIV/AIDS di Violet
Berharga adalah menerima dan Community Yogyakarta, didapatkan hasil
berharga terhadap dirinya sendiri yang sama yaitu semua responden tidak
(Potter & Perry, 2005). Responden mengalami gangguan dalam ber-
mempunyai perasaan yang berbeda hubungan dengan orang lain dan
dengan adanya HIV/AIDS yang mereka responden tidak berusaha menutupi
derita. Ada yang merasa biasa saja informasi mengenai keadaan dirinya.
karena sudah mulai terbiasa dengan Responden terlihat santai saat menemui

172
Despita Pramesti

orang asing yang sebenarnya telah sesuaian dengan yang didapatkan pada
mengetahui keadaan dirinya. Orang hasil wawancara mendalam, karena
dengan harga diri yang tinggi akan dalam hasil observasi responden
mampu menerima keberadaan dirinya menyalahkan dirinya atas ketidak-
(Rini, 2002). sempurnaannya dan terlihat mengejek
Harga diri lebih mengacu pada atau mengkritik diri sendiri. Menurut
evaluasi seseorang terhadap kualitas diri Ubaydillah (2007), harga diri positif akan
sendiri (Stuart dan Sundeen, 2005). memproduksi kualitas hubungan yang
Dalam hal kekurangan-kekurangan yang positif. Misalnya harmonis dengan diri
dirasakan setelah menderita HIV/AIDS sendiri, mengetahui kelebihan dan
hampir semua responden merasakan kelemahan secara lebih akurat, atau
ada kekurangan. Hal ini diutarakan oleh punya penilaian positif terhadap diri
responden akan kekurangan dirinya sendiri. Harga diri yang negatif jika tidak
dalam wawancara berikut ini: dapat memproduksi kualitas hubungan
Responden M: yang negatif, seperti tidak mengetahui
“Yah, banyak banget.. setiap orang kelebihan dan kelemahan secara akurat,
juga punya”. atau punya nilai negatif terhadap dirinya
Responden N: sendiri.
“Setiap orang saya rasa punya, tapi
untuk aku sendiri itu, kenapa saya KESIMPULAN
dilahirkan di dunia ini mempunyai
Gambaran harga diri orang dengan
kelainan, aku bingung apakah
HIV/AIDS (ODHA) di violet Community
perempuan atau laki-laki”.
Yogyakarta: kriteria diterima, dihormati,
Responden Y:
kompeten 5 responden menunjukkan
“Banyak, tiap orang punya. Yah
tingkat harga diri tinggi. Kriteria berharga
aku sadar kalo kekuranganku
1 responden menunjukkan tingkat harga
banyak”.
diri tinggi dan 4 responden menunjukkan
Responden S:
harga diri rendah. Bagi Violet Community
“Kalo bagi saya kekurangan saya itu
perlu diadakan pendekatan secara
banyak”.
personal untuk melihat kelebihan dan
Responden O :
kekurangan yang ada pada orang
“Setiap orang punya... dan banyak
dengan HIV/AIDS (ODHA) sehingga
banget hal-hal buruk dari diri saya”.
dapat dikembangkan lagi agar orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) lebih memiliki
Hasil wawancara mendalam
kepercayaan diri yang tinggi sehingga
didapatkan bahwa semua responden
merasa dirinya berharga.
mengakui adanya kekurangan dalam
Bagi Responden (ODHA),
dirinya dan menerima kondisinya. Satu
responden sudah mengetahui per-
responden mempunyai kekurangan
masalahannya yang ada dalam dirinya
dengan kepribadiannya, 4 responden
sehingga responden memiliki strategi
merasa bahwa banyak kekurangan
koping yang baik dan dapat
dalam dirinya namun pertanyaan ini
mempertahankan harga dirinya agar
dianggap pribadi sehingga responden
harga dirinya tetap tinggi.
tidak menyebutkan kekurangan yang
dalam dirinya. Hasil observasi
menunjukkan bahwa adanya ketidak-

173
Harga Diri pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
di Violet Community Yogyakarta (Studi Kasus)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Pengidap HIV/AIDS Bertambah
799 Orang Selama 2002.
www.mediaindo.co.id
Dariyo, A. & Ling, Y. 2002. Interaksi
Sosial di Sekolah & Harga Diri
Pelajar Sekolah Menengah
Umum. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan. Jakarta: Fakultas
Psikologi Universitas
Tarumanegara. Vol. 4. No.7. Juni
2002.
Dinkes RI. 2007. Jumlah Kumulatif
Kasus HIV/AIDS. Depkes RI.
2006. Kebijakan tentang
HIV/AIDS.
Florida, A. 2007. Gambaran Harga Diri
Penderita Kusta di Wilayah Kerja
Puskesmas Kunduran
Kabupaten Blora Jawa Tengah.
Skripsi.Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah
Mada.
Moleong, L. 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Potter & Perry. 2005. Fundamental of
Nursing : Concepts, Proces and
Practice. Buku 2. Missouri :
Mosby Year Book.
Rini, J. F. 2002. Konsep Diri. www.e-
psikologi.com.
Stuart, G. W. & Laraira, M. T. 2005.
Stuart & Sundeen Principles And
Practice Of Psychiatric Nursing.
6th ed. New York : Mosby.
Ubaidillah,AN.2007. Harga Diri.
Available on: http://www.e-
psikologi.com/.
UNAIDS. 2003. AIDS Epidemic Update.

174
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 175-183
PENGETAHUAN KONTRASEPSI PADA MAHASISWA KESEHATAN
DAN NON-KESEHATAN TERHADAP PERILAKU
PENGGUNAAN KONTRASEPSI

Heni Febriani

Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH


Email: h_febriani@yahoo.com

ABSTRACT
Background: as many as one million women in Indonesia each year
experiencing unwanted pregnancies. Family planning counselling Data
gathering of the Yogyakarta special region, mention pregnancy outside of
marriage during 2007 as much as 460 cases and 30 cases has increased
from 2006. One of the factors which aspects influenced the Pregnancy was
not expected was the lack of knowledge of contraception and sexual
behavior that can lead to pregnancy. Knowledge about contraception for
adolescents should be given as early as possible so that they can know
clearly what's called contraception.
Objective: to know the difference in level of knowledge on health majors with
non-contraceptive use behavior towards health.
Methods : This study used a cross - sectional design. Population and
research subjects were students at Gadjah Mada University Department of
health and non-health that as many as 688 randomly selected people.
Measuring instruments used questionnaires. Analysis of the data used
include : analysis of a univariate, bivariate, and multivariate. Statistical tests
using Chi - Square ( X2 ) and ordinal logistic regression with a significance
level of p<0.05 and 95 % Confidence Interval (CI ).
Results: Analysis of bivariare showed no differences in knowledge about
contraceptive methods among health departments and non-health.
Behavioral health students will be 0.53 times the risk of having sexual
intercourse without contraception. This study also shows there are other
variables that affect the behavior of contraceptive use, the age and source
information from the internet .
Conclusion: Knowledge of medical students about contraception method is
better than the non-health majors. There are differences in the behavior of
contraceptive use among students majoring in health with non-health majors.

Keywords: Department, knowledge, contraception, behavior.

PENDAHULUAN Surabaya yang akibatnya bisa terjadi


kehamilan diluar pernikahan dan pada
Remaja pada masa sekarang ini
saat terjadi kehamilan kondisi mental dan
rentan terhadap adanya pergaulan
usia mereka masih sangat terlalu muda.
bebas. Pelecehan seksual pada remaja,
Kondisi ini melatarbelakangi para remaja
baik pada remaja awal maupun pada
akan melakukan tindakan-tindakan yang
remaja akhir sering ditemukan di kota-
tidak seharusnya dilakukan dan akan
kota besar seperti Jakarta, Bandung dan

175
Pengetahuan Kontrasepsi pada Mahasiswa Kesehatan dan Non-Kesehatan
Terhadap Perilaku Penggunaan Kontrasepsi
melanggar hukum yang ada, seperti putri saja tetapi laki-laki juga harus
pencobaan tindakan aborsi. Aborsi mengetahui masalah itu karena pilihan
merupakan hal yang tidak legal di remaja dapat menentukan masa depan
Indonesia, maka banyak dari mereka bangsa. Pengetahuan mengenai
yang melakukan tindakan aborsi ini kontrasepsi bukan hanya mendorong
dengan cara yang tidak aman. Faktor remaja untuk menjadi aktif secara
yang melatarbelakangi terjadinya seksual tetapi diharapkan berguna bagi
kehamilan tidak diinginkan (KTD) di remaja saat perencanaan menjadi
antaranya karena ketidaktahuan atau keluarga. Idealnya remaja yang
minimnya pengetahuan tentang perilaku mengetahui tentang kontrasepsi
seksual yang dapat menyebabkan setidaknya akan terhindar dari risiko
kehamilan (Depkes, 2003). kehamilan yang tidak diinginkan.
Penanganan masalah aborsi pada Menurut Rowen et al (2011)
remaja perlu dilakukan secara mahasiswa kedokteran yang seksual
komprehensif dan terintegratif antara aktif sebagian kecil tidak memanfaatkan
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan beberapa metode kontrasepsi. Hal nilah
individu remaja itu sendiri. Beberapa yang melatarbelakangi peneliti tertarik
upaya yang perlu dilakukan antara lain: dengan penelitian mengenai pengetahu-
1) upaya meningkatkan ketahanan an mengenai metode kontrasepsi
remaja dan peran keluarga; 2) perbaikan terhadap perilaku penggunaan kontra-
pelayanan keluarga berencana (KB) dan sepsi pada saat melakukan hubungan
kesehatan reproduksi; 3) menciptakan seksual. Pengetahuan kontrasepsi pada
lingkungan yang kondusif bagi remaja; 4) mahasiswa memberikan beberapa
pemberian informasi dan advokasi; 5) keuntungan antara lain dapat mencegah
pelayanan konseling; dan 6) pemberian terjadinya kehamilan yang tidak diingin-
keterampilan dalam kehidupan seksual kan dan mencegah infeksi menular
remaja. Dengan berbagai upaya tersebut seksual (IMS) sedangkan para maha-
maka kejadian KTD dan tindakan aborsi siswa kedokteran dapat dijadikan
akan menurun, sehingga kematian sebagai kemampuan untuk menyampai-
maternal dapat berkurang (Wilopo, kan konseling pada pasiennya mengenai
2010). pencegahan kehamilan. Dengan demi-
Pengetahuan mengenai kontrasepsi kian mahasiswa kedokteran harus mem-
bagi remaja harus diberikan sedini punyai kemampuan untuk menguasai
mungkin sehingga mereka dapat pengetahuan mengenai kontrasepsi.
mengetahui dengan jelas apa yang
dinamakan kontrasepsi. Metode yang METODE PENELITIAN
digunakan, dan manfaat dari
Penelitian ini menggunakan
penggunaan kontrasepsi tersebut.
rancangan cross-sectional yang ber-
Remaja harus mengetahui tentang
tujuan untuk melihat hubungan antara
kontrasepsi karena remaja merupakan
variabel bebas dengan variabel terikat
masa depan suatu bangsa. Menurut
yang diamati secara serentak dalam
BKKBN dkk. (2010) 85% remaja
periode tertentu. Sampel terdiri dari
menginginkan adanya penyuluhan
mahasiswa jurusan kesehatan dan non-
kesehatan reproduksi dan metode
kesehatan yang berada di Universitas
keluarga berencana. Penyuluhan
Gadjah Mada. Sampel dihitung dengan
kesehatan reproduksi tidak hanya remaja

176
Heni Febriyani

menggunakan program PASS 2008 dan tidak homogen dan berstrata secara
diperoleh sebanyak 688 responden, proporsional.
masing-masing jurusan sebanyak 344
responden yang akan dipilih secara acak
HASIL PENELITIAN
dengan menggunakan teknik propability
sampling yang memberikan peluang Karakteristik Responden
yang sama bagi setiap unsur (anggota) Karakteristik responden dalam
populasi untuk dipilih menjadi anggota penelitian ini disajikan dalam bentuk
sampling. Teknik yang digunakan adalah distribusi frekuensi dan persentase,
teknik proportionate sratified random seperti yang terlihat pada Tabel 1.
sampling. Teknik ini digunakan karena
populasi mempunyai anggota/unsur yang

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Penelitian menurut


Jurusan

Jurusan
Karakteristik Responden Kesehatan Non Kesehatan
N % N %
Umur
16-19 Tahun 153 45,0 127 37,0
20-24 Tahun 187 55,0 216 63,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 151 44,4 62 18,1
Perempuan 189 55,6 281 81,9
Tingkat Pendidikan
Tingkat I dan II 217 63,8 214 62,4
Tingkat III dan IV 123 36,2 129 37,6
Catatan. n=Jumlah Sampel

Data Tabel 1. memberikan mengenai metode kontrasepsi lebih baik


gambaran tentang responden dari dibandingkan dengan mahasiswa
jurusan kesehatan maupun jurusan non- jurusan non-kesehatan. Hal ini dapat
kesehatan lebih banyak berusia 20-24 dilihat pada Tabel 2.
tahun dan dominan responden berjenis
kelamin perempuan serta masih dalam
tingkat pendidikan I dan II.

Pengetahuan berdasarkan jurusan


kesehatan dan non-kesehatan
Gambaran pengetahuan berdasar-
kan jurusan kesehatan dan jurusan non-
kesehatan menunjukkan bahwa
pengetahuan mahasiswa kesehatan

177
Pengetahuan Kontrasepsi pada Mahasiswa Kesehatan dan Non-Kesehatan
Terhadap Perilaku Penggunaan Kontrasepsi

Tabel 2. Persentase Pengetahuan menurut Jurusan

Jurusan
Pengetahuan dan Sikap Kesehatan Non-kesehatan
N % n %
Kontrasepsi Kondom
Baik 295 86.0 254 74.7
Cukup 48 14.9 86 25.3
Kontrasepsi Alamiah
Baik 334 97.4 303 89.1
Cukup 9 2.6 37 10.9
Kontrasepsi Hormonal
Baik 289 84.3 178 52.3
Cukup 54 15.7 162 47.7
Kontrasepsi IUD
Baik 285 83.1 204 60.0
Cukup 58 16.9 136 40.0
Kontrasepsi Mantap
Baik 232 67.6 138 40.6
Cukup 111 32.4 202 59.4

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Perilaku Penggunaan Kontrasepsi menurut Jurusan

Jurusan
Perilaku Penggunaan
Kesehatan Non kesehatan
Kontrasepsi
F (n=335) % F (n=340) %
Seks tanpa alkon 8 72,7 3 27,3
Seks dengan alkon 47 35,1 87 64,9
Tidak seks 280 52,8 250 47,2

Tabel 3 memperlihatkan mahasiswa yang bermakna antara perilaku


jurusan kesehatan lebih banyak penggunaan kontrasepsi terhadap
melakukan hubungan seksual tanpa alat jurusan. Prevalensi mahasiswa
kontrasepsi dibandingkan dengan kesehatan 0,53 akan semakin berisiko
mahasiswa jurusan non-kesehatan. untuk melakukan hubungan seksual
tanpa melakukan alat kontrasepsi
Hubungan jurusan kesehatan dan dibandingkan dengan jurusan non-
non-kesehatan dengan perilaku kesehatan (lihat Tabel 4). Hasil analisis
penggunaan kontrasepsi dua variabel antara pengetahuan dengan
Hasil analisis bivariabel antara perilaku penggunaan kontrasepsi dapat
variabel bebas (jurusan kesehatan dan dilihat pada Tabel 5.
non-kesehatan) dengan variabel terikat
(perilaku penggunaan kontrasepsi)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

178
Heni Febriyani

Tabel 4. Hubungan Jurusan dengan Perilaku Penggunaan Kontrasepsi

Seks tanpa Seks


alkon dengan Tidak seks OR
Variabel p
alkon (95%CI)
n % n % n %
Kesehatan 8 72,7 47 35,1 280 52,8 0,000* 0.53
Non-Kesehatan 3 27,3 87 64,9 250 47,2 (0,36-0,77)

Tabel 5. Hubungan Pengetahuan Mahasiswa dengan Perilaku Penggunaan Kontrasepsi

Seks tanpaSeks
Variabel
alkon dengan Tidak seks
pengetahu p OR 95%CI
alkon
an
n % n % n %
Pengetahuan mengenai Kondom
Baik 106 79,1 9 81,8 426 80,4 0,938 0,93 0,59-1,47
Cukup 28 20,9 2 18,2 104 19,6
Pengetahuan mengenai kontrasepsi alamiah
Baik 130 97,0 10 90,9 489 92,3 0,143 2,38 0,93-6,14
Cukup 4 3,0 1 9,1 41 7,7
Pengetahuan mengenai kontrasepsi hormonal
Baik 93 69,4 6 54,6 362 68,3 0,596 1,01 0,68-1,50
Cukup 41 30,6 5 45,4 168 31,7
Pengetahuan mengenai IUD
Baik 103 67,9 4 36,4 374 70,6 0,013 1,22 0,81-1,84
Cukup 31 23,1 7 63,6 156 29,4
Pengetahuan mengenai kontrasepsi mantap
Baik 65 48,5 7 63,6 292 55,1 0,318 0,80 0,55-1,15
Cukup 69 51,5 4 36,4 238 44,9
Catatan. OR = Odds Ratio; CI= Confidence Interval, χ²=chi-square; *= Significance (p<0,05).

Berdasarkan hasil analisis Tabel 5. Hubungan antara usia, jenis kelamin,


menunjukkan bahwa pengetahuan tingkat pendidikan dan sumber
mengenai kondom, kontrasepsi alamiah, informasi terhadap perilaku
kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi penggunaan kontrasepsi.
mantap terhadap perilaku penggunaan Hasil analisis bivariabel antara
kontrasepsi tidak ada perbedaan yang variabel bebas (usia, jenis kelamin,
signifikan, dimana nilai p>0,05. Pada tingkat pendidikan dan sumber informasi)
pengetahuan mengenai IUD dengan dengan variabel terikat (perilaku
perilaku penggunaan kontrasepsi penggunaan kontrasepsi) dapat dilihat
terdapat perbedaan yang signifikan pada Tabel 6.
dimana nilai p<0,05 dengan OR 1,22
(0,81-1,84).

179
Pengetahuan Kontrasepsi pada Mahasiswa Kesehatan dan Non-Kesehatan
Terhadap Perilaku Penggunaan Kontrasepsi

Tabel 6. Hubungan Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Sumber Informasi
dengan Perilaku Penggunaan Kontrasepsi

Perilaku penggunaan kontrasepsi


Variabel Seks tanpa Seks
pengetah alkon dengan Tidak seks
p OR 95%CI
uan alkon
n % n % n %
Umur
20-24 th 299 56,4 10 90,9 90 67,2 0,007* 1,68 1,14-2,49
16-19 th 231 43,6 1 9,1 44 32,8
Jenis kelamin
Perem- 358 67,5 1 9,1 10 79,8 0,000* 0,67 0,44-1,02
puan 7
Laki-laki 172 32,5 10 90,9 27 20,2
Tingkat Pendidikan
I dan II 336 63,4 8 72,7 81 60,5 0,652 1,10 0,75-1,61
III dan IV 194 36,6 3 27,3 53 39,5

TV
Ya 446 84,2 10 90,9 119 88,8 0,345 1,51 0,86-2,67
Tidak 84 15,8 1 9,1 15 11,2
Surat kabar
Ya 255 48,1 6 54,5 76 56,7 0,196 1,40 0,97-2,03
Tidak 275 51,9 5 45,5 58 43,3
Internet
Ya 399 75,3 10 90,9 112 83,6 0,068 1,73 1,06-2,80
Tidak 131 24,7 1 9,1 22 16,4
Petugas Kesehatan
Ya 262 49,4 5 45,5 76 56,7 0,301 1,30 0,90-1,89
Tidak 268 50,6 6 54,5 58 43,3
Catatan. OR = Odds Ratio; CI= Confidence Interval, χ²=chi-square; *= Significance
(p<0,05).

Hasil analisis pada Tabel 6. PEMBAHASAN


menunjukkan bahwa tidak ada per-
Pengetahuan Mahasiswa mengenai
bedaan yang bermakna tingkat pen-
Kontrasepsi
didikan, sumber informasi tv, surat kabar,
Pada mahasiswa jurusan kesehatan
internet dan petugas pelayanan
dan non-kesehatan, terdapat perbedaan
kesehatan, ditandai dengan nilai p>0,05.
pengetahuan mengenai kontrasepsi
Lain halnya dengan usia dan jenis
kondom, kntrasepsi alamiah, korasepsi
kelamin, analisis ini menunjukkan bahwa
hormonal, kontrasepsi IUD dan
ada perbedaan dan hubungan yang
kontrasepsi mantap yang signifikan
bermakna.
anatara keduanya. Hal ini disebabkan
karena mahasiswa jurusan kesehatan
lebih mengenal mengenai kontrasepsi

180
Heni Febriyani

karena di dalam pembelajarannya ada pada laki-laki dibandingkan pada perem-


mata kulaih yang berhubugan dengan puan. Hasil survey yang dilakukan oleh
keluarga berencana sedangkan pada BPS et al. (2008) menyatakan bahwa
mahasiswa jurusan non-kesehatan, penggunaan kondom pada saat
mereka banyak mengetahui hal itu dari melakukan hubunga seksual pada laki-
sumber-sumber lain seperti informasi laki sebesar 18%.
dari surat kabar, internet maupun dari
teman sebaya atau dari orang tuanya. Hubungan Jurusan dan Pengetahuan
Secara umum pengetahuan terhadap perilaku penggunaan
mahasiswa mengenai kontrasepsi pada kontrasepsi
masing-masing jurusan menunjukkan Hasil analisis jurusan merupakan
bahwa banyak responden yang pada Tabel 6. menunjukkan ada per-
mengeatui menenai kontrasepsi. Hal ini bedaan yang bermakna antara jurusan
sejalan dengan penelitian yang dilakukan kesehatan dengan non-kesehatan
oleh Okanlawon et al (2010) juga terhadap perilaku pengguna-an
menyatakan dalam penelitiannya bahwa kontrasepsi. Prevalensi mahasiswa
pengetahuan mengenai kontrasepsi kesehatan 0,53 kali akan berisiko
cukup tinggi, sebagian responden melakukan hubungan seksual tanpa
mengetaui dua metode kontrasepsi melakukan alat kontrasepsi. Hal ini dapat
modern, yaitu pil dan kondom. terjadi karena belum ada kesadaran
Responden menyetujui adanya peng- pada responden mengenai pentingnya
gunaan kontrasepsi tetapi ada beberapa alat kontrasepsi dalam melakukan
hambatan dalam penggunaan hubungan seksual. Pengetahuan me-
kontrasepsi. Hambatan ini terjadi karena ngenai kondom, kontrasepsi alamiah,
responden salah menerima informasi kontrasepsi hormonal, kontrasepsi IUD
dan memiliki pengetahuan yang rendah dan kontrasepsi mantap tidak bermakna
serta mendapatkan informasi yang secara signifikan, tetapi ada perbedaan
kurang. Menngkatnya kesadaran antara pengetahuan IUD dengan perilaku
mengenai kontrasepsi, KB dan penggunaan kontrasepsi. Penelitian lain
Kesehatan Reproduksi untuk mendorong menyatakan bahwa pengetahuan yang
mereka agar perilakunya berubah. tinggi tidak berpengaruh terhadap
Responden yang berpengetahuan penggunaan kontrasepsi. Dongurum and
baik mengenai kontrasepsi alamiah dan Osagbemi menyatakan bahwa peng-
kontrasepsi hormonal akan melakukan gunaan kontrasepsi masih rendah
hubungan seksual tanpa alat kontra- padahal pengetahuan mengenai metode
sepsi. Hal ini terjadi karena alat kontrasepsi tinggi. Hal ini tidak sejalan
kontrasepsi berupa kontrasepsi alamiah dengan penelitian yang dilakukan oleh
sangat memungkinkan mereka untuk Tilahun et al (2010) yang menyatakan
tidak menggunakannya, metode ini bisa bahwa pengetahuan yang tinggi akan
berupa metode senggama terputus mempengaruhi penggunaan kontrasepsi,
sedangkan metode kontrasepsi hormonal tetapi apabila dilihat dengan meng-
biasanya banyak digunakan oleh res- gunakan distribusi frekuensi maka
ponden perempuan, padahal dalam responden yang berpengetahuan baik
kenyataannya banyak yang melakukan mengenai kontrasepsi berupa kondom
hubungan seksual dengan menggunakan akan menggunakan alat kontrasepsi
kondom. Pemakain kondom lebih banyak pada saat melakukan hubungan seksual.

181
Pengetahuan Kontrasepsi pada Mahasiswa Kesehatan dan Non-Kesehatan
Terhadap Perilaku Penggunaan Kontrasepsi
Hubungan usia, jenis kelamin, tingkat melalui media masa elektronik tersebut,
pendidikan dan sumber informasi tetapi mereka tidak menyadari bahwa
terhadap perilaku penggunaan informasi itu belum tentu benar, sehingga
kontrasepsi pengetahuan yang tinggi belum tentu
Usia berpengaruh terhadap perilaku akan berpengaruh pada perilaku yang
penggunaan kontrasepsi. Hal ini sejalan baik.
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tilahun yang menyatakan bahwa KESIMPULAN DAN SARAN
responden yang usianya di atas 20
Kesimpulan
Tahun lebih berpengaruh terhadap
1. Prevalensi jurusan kesehatan 0,52
penggunaan kontrasepsi. Usia res-
kali akan berisiko melakukan
ponden berkisar antara 16-24 Tahun.
hubungan seksual tanpa alat
Berbeda dengan penelitian yang
kontrasepsi dibandingkan dengan
dilakukan oleh Hiwot and Tebeje (2009)
jurusan non-kesehatan.
yang menyatakan bahwa tidak ada
2. Pengetahuan mahasiswa kesehatan
perbedaan yang signifikan antara
lebih baik dibandingkan dengan
pengetahuan mengenai kontrasepsi
mahasiswa jurusan non-kesehatan
darurat, usia, penggunaan kontrasepsi
akan tetapi tidak berhubungan positif
dan penyebab aborsi.
dengan perilaku penggunaan
Tidak ada hubungan antara jenis
kontrasepsinya, karena masih
kelamin dengan penggunaan kontra-
banyak mahasiswa jurusan
sepsi. Hal ini sejalan dengan penelitian
kesehatan yang melakukan
yang dilakukan oleh Chipeta et al. (2010)
hubungan seksual tanpa meng-
yang menyatakan bahwa pengetahuan
gunakan alat kontrasepsi.
responden mengenai kontrasepsi
modern tinggi, perempuan dan laki-laki
Saran
sama-sama mengetahui mengenai
Meningkatkan kesedaran mengenai
kontrasepsi tersebut, tetapi perempuan
Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan
lebih tinggi pengetahuannya daripada
reproduksi untuk mendorong mereka
laki-laki
agar mengetaui masalah kesehatan
Tingkat pendidikan tidak berpe-
reproduksi dan KB sehingga diharapkan
ngaruh terhadap penggunaan kontra-
pengetahuannya bertambah dan
sepsi. Hal ini tidak sejalan dengan
perilakunya berubah karena
penelitian yang dilakukan oleh Tilahun
pengetahuan bukan merupakan faktor
yang menyatakan bahwa tingkat
utama dari terjadinya perilaku yang
pendidikan akan berpengaruh terhadap
buruk.
penggunaan kontrasepsi.
Sumber informasi pada analisis
DAFTAR PUSTAKA
bivariabel maupun analisis multivariabel
menunjukkan ada hubungan yang Abera Hiwot & Bosena Tebeje (2009)
signifikan. Informasi yang mereka dapat- Knowledge, attitude, and practice
kan sebagian besar dari media masa toword emergency contraception
sepeti internet. Internet merupakan among female Jimma University
media masa yang paling dekat dengan student, Jimma, Southwest
para remaja, karena semua informasi Ethiopia. Ethiopian Journal of
yang mereka ingin ketahui dapat dicari Reproductive Health, 337-43.

182
Heni Febriyani

Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Shindel, A. W. (2011)


Koordinasi Keluarga Berencana Contraceptive usage patterns in
Nasional, Kesehatan, D. & Macro North American medical students.
International (2008) Survei Contraception, 83(5): 459-465.
Demografi dan Kesehatan Sugiyono (2010) Statistika untuk
Indonesia 2007: Badan Pusat Penelitian, Bandung:Alfabeta.
Statistik (BPS), Badan Koordinasi Tilahun, D., Assefa, T. & Belachew, T.
Keluarga Berencana Nasional, (2010) Knowledge, attitude and
Departemen Kesehatan, Macro practice of emergency
International. contraceptives among adama
BKKBN, Puslitbang KB & Kesehatan university female students. Ethiop
Reproduksi (2010) Survei J Health Sci, 20(3): 195-202.
Indikator Kinerja Rencana Wilopo, S. A. (2010) Kesehatan
Pembangunan Jangka Menengah Perempuan: Prioritas Agenda
Nasional (RPJMN) Program Pembangunan Kesehatan di
Kependudukan dan KB Nasional Abad ke 21, Yogyakarta:Fakultas
Tahun 2010. Jakarta: BKKBN, Kedokteran Universitas Gadjah
Puslitbang KB dan Kesehatan Mada.
Reproduksi.
Chipeta, E. K., Chimwaza, W. & Kalilani-
Phiri, L. (2010) Contraceptive
knowledge, beliefs and attitudes
in rural Malawi: misinformation,
misbeliefs and misperceptions.
Malawi Med J, 22(2): 38-41.
Depkes (2003) Materi Inti Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) Bagi Petugas Kesehatan.
Dongurum, C. & Osagbemi, M. (2011)
Contraceptive knowledge and use
among adolescents: case study
of selected rural communities in
plateau state. journal of
Environmental Sciences, 14(2): 9-
21.
Gordis, L. (2004) Epidemiology,
Philadelphia:WB. Saunders.
Okanlawon, K., Reeves, M. & Agbaje, O.
F. (2010) Contraceptive use:
knowledge, perceptions and
attitudes of refugee youths in Oru
Refugee Camp, Nigeria. Afr J
Reprod Health, 14(4 Spec no.):
16-25.
Rowen, T. S., Smith, J. F., Eisenberg, M.
L., Breyer, B. N., Drey, E. A. &

183
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 184-191
PENGARUH STERILISASI ALAT SAAT PEMERAHAN TERHADAP ANGKA
KUMAN PADA SUSU SEGAR PADA PETERNAKAN X DI WILAYAH
PAKEM SLEMAN YOGYAKARTA

Rosariana Srirahmawati1, Indah Werdinigsih2, Eva Runi Kristiani3


1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
2
Dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta
3
Dosen Program Studi Kesehatan Lingkungan STIKES WH

ABSTRACT
Background: Milk is one food that is quite perfect, is currently consumed by
many people. Milk is also one of the farm products that are easily damaged,
especially in the tropics and high humidity because microbes will multiply
quickly. This condition is meaningless if it is not safe for consumers. Dairy
food safety is determined by the process of milking, handling, and
processing, as well as the marketing chain.
Objectif: To know the number of bacteria in raw milk before and after
sterilization equipment (bucket, milk can and a milk strainer).
Method: The research method used is a pseudo Experiment. Respondents
in this study were dairy farmers who were 3 farms.
Results: Results were analyzed using t-test statistical methods to look at the
differences in numbers of germs before and after sterilization (milkcan,
buckets, sieves) in fresh milk, suggests that there are differences in the total
number of germs fresh milk before and after the sterilization of fresh milk with
p = 0.017.
Conclusion: Number of bacteria in raw milk after sterilization is lower than
before sterilization. The total number of bacteria in raw milk before
sterilization process (Milkcan, bucket, scoop and sieve) average of 2158.33
CFU / ml, and after the sterilization process an averageo of 169,44 CFU/ml.
Keywords: Fresh milk, sterilization equipment, number of bacteria.

PENDAHULUAN diperoleh dengan cara pemerahan yang


benar, kandungan alaminya tidak
Susu merupakan salah satu bahan
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun
makanan yang cukup sempurna saat ini
dan belum mendapat perlakuan apapun
banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
kecuali proses pendinginan tanpa
Sejalan dengan meningkatnya taraf
mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998
pendidikan dan taraf hidup masyarakat
dalam Habibah dan Kadhafi, 2011).
Indonesia, maka meningkat pula
Susu juga merupakan salah satu produk
kesadaran untuk memenuhi kebutuhan
peternakan yang bersifat mudah rusak,
terhadap pangan yang bergizi dan aman.
terutama di daerah tropis dan
Salah satu sumber pangan asal hewan
kelembaban tinggi karena mikroba akan
dengan kandungan protein tinggi selain
berkembangbiak dengan cepat. Kondisi
daging dan telur adalah susu. Susu
ini tidak ada artinya bila tidak aman bagi
merupakan cairan yang berasal dari
konsumen. Keamanan pangan susu
ambing sapi sehat dan bersih, yang

184
Rosariana Srirahmawati, Indah Werdiningsih, Eva Runi Kristiani

ditentukan oleh proses pemerahan susu, susu di KUD Jatianom (Yulistiani dkk.,
penanganan, dan pengolahan, serta 2009).
rantai pemasaran (Usmiati, Sri dan Kandungan bakteri di dalam susu
Abubakar, 2009). akibat kontaminasi dari lingkungan
Kasus keracunan setelah minum sekitar bisa bertambah sejalan dengan
susu di Indonesia sering dilaporkan, baik pertambahan waktu. Semakin lama susu
melalui media cetak maupun media dibiarkan maka hal itu akan memberi
elektronik. Pada bulan September 2004 kesempatan bakteri dalam susu untuk
telah terjadi keracunan setelah minum berkembang. Bakteri yang biasa terdapat
susu pada 72 siswa Sekolah Dasar (SD) dalam susu adalah Streptococcus lactis,
di Tulung Agung Jawa Timur, 300 siswa Aerobacter aerogenes dan Escherichia
SD di Bandung, dan 73 karyawan coli, Lactobacillus casei dan
Carefour di Surabaya. Menurut Badan Lactobacillus acidophilus. Jumlah bakteri
Pemeriksaan Obat dan Makanan dalam susu dapat digunakan sebagai
(BPOM), kasus tersebut disebabkan oleh indikator pencemaran dan kualitas
E. coli dan S.aureus (Kompas, 4 sanitasi. Jenis bakteri seperti
September 2004). Kasus serupa terjadi Enterobakteriaceae telah lama
pada tanggal 2 Juni 2009 pada 10 siswa dirumuskan sebagai bakteri indikator
SD di Cipayung Jakarta Timur dan 293 mutu. Biasanya untuk mendapatkan susu
siswa SD di Kecamatan Sindangkarta yang memenuhi SNI (Standart Nasional
Kabupaten Bandung yang mengalami Indonesia), pada peternakan sapi perah
mual-mual setelah mengkonsumsi susu dilakukan management pemerahan agar
dalam kemasan (Suwito, 2010). Kasus susu yang dihasilkan mengandung
keracunan terjadi akibat mengkonsumsi bakteri seminimal mungkin. Hal yang
susu pasteurisasi. Pada tanggal 13 bisa dilakukan untuk menjaga kualitas
Agustus 2004, dari program pemberian susu dari pencemaran bakteri adalah
makanan tambahan pada anak sekolah dengan menerapkan sistem manajemen
terdapat 62 siswa SD Waung II sapi perah. Langkah yang dilakukan
Boyolangu, Tulung Agung mengalami untuk menjaga kualitas susu adalah bisa
keracunan susu. Susu tersebut dimulai dari awal persiapan pemerahan
diproduksi oleh KUD Sri Sedono seperti membersihkan kandang dan
Ngunut,Tulung Agung. Pada tanggal 7 memandikan sapi, saat pemerahan
September 2004, keracunan susu pada berlangsung sampai penanganan susu
program makanan anak sekolah juga pasca pemerahan (Rahmawati, 2011).
terjadi di SDN Sawahan III Kota
Surabaya, yang disebabkan oleh Sumber Kontaminasi Mikroba Pada
kerusakan kemasan selama Susu Segar
penyimpanan sehingga terkontaminasi Susu yang keluar dari kambing
oleh mikroorganisme atau bahan lain selalu mengandung mikroba (Sanjaya
(Kompas, 2004). Dalam Surat kabar dkk., 2007). Pencemaran dapat berasal
tahun 2005, SDN 4 Klaten dan SD dari kambing sendiri atau masuk melalui
Muhammadiyah Tonggalan tanggal 15 puting susu. Jumlah mikroba bertambah
November 2005 juga terjadi kasus dengan adanya pencemaran dari tangan
keracunan susu yang disebabkan oleh dan baju pemerah, alat perah,
padamnya listrik saat proses pasteurisasi lingkungan seperti kandang, sapi, dan
peralatan lain seperti milk can, dan

185
Pengaruh Sterilisasi Alat Saat Pemerahan terhadap Angka Kuman pada Susu Segar
pada Peternakan X di Wilayah Pakem Sleman Yogyakarta
selama transportasi. Sumber dibersihkan dengan benar peralatan
kontaminasi bakteri pada susu segar tersebut mungkin meninggalkan residu
dapat diklasifikasikan dalam 3 hal yaitu: yang dapat menjadi media pertumbuhan
lingkungan, tubuh sapi, dan peralatan mikroba. Bakteri berkembang biak dan
pemerahan. Sumber lingkungan meliputi mencemari susu yang kontak melalui
air, tanah, tanaman, dan kandang alat-alat tersebut.
(Hayes, 2001). Secara umum, Sanitasi harus diperhatikan dalam
kontaminasi mikroflora psikotrofik penanganan susu untuk menjaga
berkaitan dengan kandang, air, tanah, kualitas susu dan mencegah milkborne
dan tanaman. Apabila sanitasi puting disease (Sanjaya dkk., 2007). Sanitasi
sebelum pemerahan tidak diperhatikan merupakan usaha pencegahan penyakit
dengan benar, akan menyebabkan cara menghilangkan faktor-faktor
adanya mikroorganisme dalam susu, lingkungan yang berkaitan dalam rantai
sedangkan bila puting dibersihkan dan perpindahan penyakit tersebut. Prinsip
dikeringkan sesegera mungkin sebelum sanitasi antara lain bersih secara fisik,
pemerahan akan menurunkan TPC kimiawi (tidak mengandung bahan kimia
termasuk koliform, Staphylococcus, dan berbahaya), dan mikrobiologis serta
juga mengurangi sedimen susu. diterapkan dengan memperbaiki,
Sedimen dijadikan ukuran untuk mempertahankan atau mengembalikan
kebersihan susu saat diperah dan kesehatan. Sanitasi berarti menciptakan
seharusnya tidak ada di dalam susu. lingkungan yang tidak dapat
Sedimen susu berupa debris atau menyediakan sumber nutrisi bagi
reruntuhan kotoran yang bisa melewati pertumbuhan mikroba sekaligus
saringan susu. Apabila sedimen susu membunuh sebagian besar populasi
tinggi maka kemungkinan TPC juga mikroba.
tinggi. Reruntuhan debris tersebut dapat
berasal dari debu kandang dan puting METODE PENELITIAN
serta ambing yang tidak dibersihkan(Kirk, Metode penelitian yang digunakan
2005). Sumber pencemaran mikroba adalah experimen semu. Penelitian ini
dalam pemerahan meliputi ember, milk menggunakan rancangan Non-
can, tabung penghisap dari mesin Equivalent Control Group. Rancangan ini
pemerahan, milk pipelines, bulk tanks, dapat digambarkan sebagai berikut:
dan transport tankers. Apabila tidak

Pretes Perlakuan Posstest

Perlakuan O1 X O2

O1 O2
Kontrol

Populasi dalam penelitian ini adalah adalah susu segar dari hasil pemerahan
susu segar dari hasil pemerahan yang sebanyak kurang lebih 250 ml sampel
diperoleh dari 3 peternakan sapi perah X, susu sebelum alat disteril dan 250 ml
yang berada di wilayah Pakem, Sleman, sampel susu setelah alat disterilisasi.
Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini

186
Rosariana Srirahmawati, Indah Werdiningsih, Eva Runi Kristiani

HASIL PENELITIAN di peternakan yang paling tinggi yaitu


pada peternak B sebesar 195 CFU/ml
peternakan A peternakan B peternakan C dan terendah pada peternak A sebesar
2855 123,33 CFU/ml.
26152675

19251925 19652015
peternakan A peternakan B
peternakan C
1095 1005
245
220
195 190
160 145145
120 105
Pengulangan 1 pengulangan 2 pengulangan 3

Gambar 1. Rata-rata angka kuman pada


susu segar di peternakan sebelum alat
disterilisasi (cfu/ml), berdasarkan hasil Pengulangan 1 pengulangan 2 pengulangan 3
pemeriksaan laboratorium
Gambar 2. Hasil pemeriksaan jumlah
angka kuman pada susu segar setelah
Jumlah kuman dari tiap pengulang-
alat di sterilisasi, berdasarkan hasil
an dan rata-rata jumlah angka kuman di pemeriksaan laboratorium
setiap peternakan sebelum alat-alat
(milkcan, gayung, ember dan saringan) Rata-rata jumlah angka kuman
disterilisasi dapat dilihat pada grafik 1. sebelum disterilisasi yaitu sebesar
Rata-rata jumlah angka kuman yang 2.158,33 CFU/ml dapat dilihat pada
paling tinggi di peternakan yaitu pada Tabel 1. Rata-rata jumlah angka kuman
peternak B sebesar 2.618,33 CFU/ml setelah disterilisasi sebesar 169,44
dan yang terendah pada peternak A CFU/ml. Dan rata-rata penurunan jumlah
1.668,33 CFU/ml. angka kuman setelah alat yang
Jumlah angka kuman dari tiap digunakan disterilisasi dengan
pengulangan di setiap peternakan dan menggunakan sabun dan air panas
rata-rata jumlah angka kuman setelah sebesar 1.838,89 CFU/ml.
alat-alat (milkcan, gayung, ember dan
saringan) disterilisasi dapat dilihat pada
grafik 2. Rata-rata jumlah angka kuman

Tabel 1. Rata-Rata secara Keseluruhan Jumlah Angka Kuman dari


Rata-Rata Jumlah Angka Kuman di Tiap Peternakan dan Penurunan
Angka Kuman

No Sampel Pretest Posstest Penurunan %


1 Peternakan A 1651,67 123,33 1528,34 92,53
2 Peternakan B 2618,33 195 2423,33 92,55
3 Peternakan C 2205 190 2015 91,38
Total 6025 508,33 5516,67 92,56
Rata-Rata 2158,33 169,44 1838,89 85,19
Catatan. berdasarkan data primer terolah.

187
Pengaruh Sterilisasi Alat Saat Pemerahan terhadap Angka Kuman pada Susu Segar
pada Peternakan X di Wilayah Pakem Sleman Yogyakarta

Tabel 2. Analisis Statistik Jumlah Angka Kuman Pretest dan Posttest dari
Semua Peternakan

Tingkat
Kelompok
Rata-Rata Kepercayaan Sig. Keterangan
Observasi
95%
Pre-test & postest t Df
Susu
2158.33 7.688 2 0.017 Signifikan
Catatan. berdasarkan data primer terolah.

Berdasarkan Tabel 2. terlihat rata- Sanitasi peternakan yang buruk


rata jumlah angka kuman pada susu adalah dari peralatan pemerahan.
segar sebelum dan sesudah sterilisasi Menurut Sanjaya dkk. (2007) higiene
alat sebesar 2.158,33 CFU/ml. Hasil uji yang buruk pada peralatan pemerahan
statistic dengan uji t-test P = 0,017 lebih susu seperti ember, lap, milkcan, dan
kecil dari 0,05 (α <0,05). Hal ini saringan bisa menyebabkan pertambah-
menunjukkan bahwa ada perbedaan an mikroba mencapai lebih dari satu juta
jumlah angka kuman pada susu segar cfu/ml. Bila manajemen pembersihan
dari masing-masing peternakan sebelum kandang tidak baik maka kandang
alat disterilisasi dan setelah alat menjadi kotor, lembab, dan tidak nyaman
disterilisasi. (Sarwono dan Arianto 2001 dalam
Sanjaya dkk. (2007). Peternakan yang
PEMBAHASAN hanya menggunakan air untuk
membersihkan peralatan pada saat
Jumlah angka kuman pada susu segar
pemerahan ada 2 dan satu peternakan
sebelum proses sterilisasi alat-alat
yang menggunakan air dan sabun, tetapi
(Milkcan, ember, gayung dan
tidak menggunakan air panas. Apabila
saringan) dengan larutan sabun
tidak dibersihkan dengan benar
(detergent) dan air panas
peralatan tersebut mungkin mening-
Rata-rata jumlah angka kuman susu
galkan residu yang dapat menjadi media
segar sebelum sterilisasi alat sebesar
pertumbuhan mikroba. Bakteri
2.158,33 CFU/ml. Pada Tabel 1 jumlah
berkembang biak dan mencemari susu
angka kuman tertinggi terdapat pada
yang mengalir melalui alat-alat tersebut
peternakan C sebesar 2.618,33 CFU/ml.
(Hayes dan Boor dalam Sirindon dan
Hal ini terjadi karena alat-alat (milkcan,
Madhumita (2008).
gayung, ember dan saringan merupakan
salah satu faktor yang secara langsung
Jumlah angka kuman pada susu segar
menjadi sumber kuman atau bakteri
setelah proses sterilisasi alat
pada susu segar. Hal ini dapat terjadi
(Milkcan, ember, gayung dan
karena lemak susu yang menempel pada
saringan) dengan larutan sabun
peralatan tersebut yang tidak bersih
(detergent) dan air panas.
dengan baik atau tidak menggunakan
Hasil penurunan jumlah angka
sabun dan air panas dalam penanganan
kuman terlihat pada Tabel 2. yaitu pada
susu mengakibatkan susu banyak
proses sterilisasi peralatan yang
mengandung kuman.
digunakan pada saat pemerahan di

188
Rosariana Srirahmawati, Indah Werdiningsih, Eva Runi Kristiani

peternakan mampu menurunkan jumlah pada peternakan akan menyebabkan


angka kuman pada susu segar yang pertambahan mikroba mencapai 500-
cukup besar dengan rata-rata yaitu 15000 cfu/ml. Menurut9), kondisi sanitasi
1.838,89. Hal ini di karenakan proses yang buruk menyebabkan jumlah
sterilisasi yang dilakukan cukup bagus, mikroba melebihi 105 cfu/ml. Sanitasi
penggunaan detergent yang tepat dan yang buruk tercermin dari jarak antara
penggunaan air panas yang baik. Proses kandang dan sumber pembuangan
sterilisasi yang dilakukan di peternakan kotoran.
telah mengikuti tahapan yang benar Berdasarkan pengamatan rata-rata
meliputi : pembuangan sisa susu segar, jarak antara sumur dan kandang yang
pencucian dengan detergent, pembilasan jaraknya 0-5 meter ada dua peternakan
dengan air dingin, pembilasan dengan air yaitu peternakan B dan C sedangkan
panas, penirisan atau pengeringan. jarak kandang dan tempat pembuangan
Rata-rata jumlah angka kuman pada kotoran yang jaraknya 0-5 m terdapat di
susu segar yang setelah sterilisasi alat- semua peternakan. Dengan memiliki
alat yang digunakan pada saat jarak yang sangat dekat antara sumur
pemerahan secara keseluruhan sebesar dan tempat pembuangan limbah kotoran
169,44 CFU/ml. Pada proses sterilisasi serta jarak kandang dan tempat
kali ini rata-rata hasil pemeriksaan pembuangan kotoran yang tidak sesuai
jumlah angka kuman setelah disteril yaitu < 10 m. Hal tersebut dapat
sebesar 169,44 CFU/ml menunjukkan menyebabkan pencemaran terjadi pada
bahwa pada proses sterilisasi alat yang sumber air. Seperti menurut Winarno
dilakukan pada saat pemerahan di (1993) dalam Sirindon dan Madhumita
peternakan baik, terbukti terdapat (2008), tempat pembuangan dan
penurunan jumlah angka kuman pada penampungan kotoran manusia yang
susu segar yang dihasilkan jika terlalu dekat dengan sumur, danau, atau
dibandingkan dengan angka kuman sungai, akan meningkatkan penyebaran
sebelum alat disterilisasi. Meskipun dan kontaminasi mikroba.
jumlah angka kuman tersebut lebih Tangan pemerah memiliki peranan
rendah dari rata-rata jumlah angka dalam pencemaran. Dari pengamatan
kuman sebelum proses sterilisasi alat, sebelum memerah para peternak,
hal ini tentu saja tetap menjadi masalah mereka mencuci tangan tapi hanya
karena rata-rata angka kuman yang dengan air sehingga dimungkinkan
dihasilkan masih berada di atas standar adanya feses sapi yang menempel saat
SNI 2011. Jumlah angka kuman yang memandikan sapi. Menurut Sanjaya dkk.
boleh ada di susu segar adalah di bawah (2007) sebelum memerah, tangan
1 x 106 CFU/ml ( SNI 2011). pemerah terlebih dulu dicuci dengan
Tingginya angka kuman pada susu sabun dan disikat sampai bersih. Selain
segar dapat di pengaruhi oleh berbagai itu pembersihan ambing dan puting sapi
macam faktor tidak hanya karena sebelum pemerahan hanya
peralatan yang tidak steril. Kondisi menggunakan air, dan puting tidak
lingkungan peternakan yang buruk dan dikeringkan. Menurut Sirindon dan
penggunaan air yang kurang baik juga Madhumita (2008), bila puting
dapat mempengaruhi tingginya dibersihkan dan dikeringkan sesegera
pencemaran mikroorganisme pada susu mungkin sebelum pemerahan akan
segar. Menurut6) sanitasi yang buruk menurunkan TPC (Total Plate Count)

189
Pengaruh Sterilisasi Alat Saat Pemerahan terhadap Angka Kuman pada Susu Segar
pada Peternakan X di Wilayah Pakem Sleman Yogyakarta
Tingginya jumlah angka kuman di Analisis perbedaan angka kuman
peternakan disebabkan karena sebelum pada susu segar sebelum dan
pemerahan sapi-sapi di peternakan ini sesudah peralatan disterilisasi
tidak dilakukan pencucian puting yang menggunakan larutan sabun
benar. Peralatan yang digunakan juga (detergent) dan air panas
hanya dibersihkan dengan air biasa Hasil uji statistic dengan uji t
bukan air panas dan tidak menggunakan menunjukkan bahwa ada perbedaan
sabun. Pemerah bertanggung jawab jumlah angka kuman pada susu segar
memerah sapi yang bersih dengan sebelum dan sesudah peralatan seperti
puting dan ambing yang kering serta ember, milkcan dan saringan disterilisasi
harus mengikuti protokol sanitasi dan menggunakan detergen. Hal ini
kebersihan kandang. Apabila tidak dibuktikan dengan nilai P=0,017 (<
diperhatikan maka akan meningkatkan 0,05).
jumlah angka kuman dalan susu.
Manajemen kebersihan kandang yang KESIMPULAN
baik dapat menurunkan TPC dan
Pengaruh sterilisasi alat
sedimen susu. Selain itu peralatan
menurunkan angka kuman susu segar.
pemerahan dibersihkan sebelum dan
Jumlah angka kuman pada susu segar
sesudah pemerahan dengan
sebelum proses sterilisasi alat (Milkcan,
menggunakan air dan sabun. Sabun
ember, gayung dan saringan) dengan
termasuk desinfektan golongan surfaktan
menggunakan larutan detergent dan air
(surface active agents) yang dapat
panas di Peternakan X rata-rata sebesar
membunuh bakteri dengan cara merusak
2.158,33 CFU/ml.
membran sel (Anonim 2006). Menurut
Jumlah angka kuman pada susu
Winarno (1993) dalam Sirindon dan
segar setelah proses sterilisasi alat
Madhumita (2008), pertumbuhan bakteri
(Milkcan, ember, gayung dan saringan)
pembusuk sebenarnya dapat dihambat
dengan larutan detergent dan air panas
dengan cara pendinginan, sehingga
di peternakan X rata-rata sebesar 169,44
memperlambat perkembangbiakan
CFU/ml.
mikroba. Pendinginan terhadap susu
segar dimaksudkan untuk
DAFTAR PUSTAKA
mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme. Menurut Gamroth dan Habibah dan Kadhafi. 2011.
Bodyfelt (1993) dalam Sanjaya dkk. Pertumbuhan Mikroorganisme
(2007) susu harus didinginkan pada suhu Selama Penyimpanan Susu
40oF kurang dari 2 jam setelah Pasteurisasi pada Suhu Rendah.
pemerahan dan bila susu dibiarkan Skripsi. Diakses Pada Tanggal 26
dalam suhu ruang lebih dari 4 jam maka Maret 2013,
jumlah bakteri meningkat. Pendinginan http://faperta.unlam.ac.id/web/wp
sesudah pemerahan untuk sebagian content/ plugins
peternakan tidak dilakukan karena /downloanmonitor/download.php?
alasan ekonomi maupun teknis. id=98
Hayes MC, Boor K. 2001. Raw Milk and
Fluid Milk Products. Dalam :
Marth EH, Steele JL, editor :
Applied Dairy Microbiology. Ed

190
Rosariana Srirahmawati, Indah Werdiningsih, Eva Runi Kristiani

ke-2, New York : Marcell Dekker, Pasteurisasi di Wilayah Surabaya


Inc. 59-76. Selama Masa Penyimpanan pada
Kirk JH. 2005. Milk Quality on The Dairy- Suhu Refrigerator, Artikel,
Who is Responsible?. Tulare : Diakses Pada Tanggal 26 Maret
University of California Davis. 2013,http://eprints.upnjatim.ac.id
http://www.vetmed.ucdavis.edu /1353/1/ratnayuli.pdf
/vetext /INFDA/ MilkQual-
responsib.pdf
Rahmawati, 2011. Jumlah Total Bakteri
Dalam Susu Segar Di Tiap
Tahapan Pasca Panen Pada
Peternakan Sapi Perah Di
Wonocolo Surabaya, Artikel,
Diakses Tanggal 26 Maret, 2013,
http://www.fkh.unair.ac.id
/artikel1/2011
/artikel%20indra%20
rahmawati.pdf
Sanjaya A.W. Sudarwanto M,
Soejoedono RR, Purnawarman T,
Lukman DW, Latif H. 2007.
Higiene Pangan. Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Bogor : FKH-IPB.
Sirindon dan Madhumita. 2008. Analisis
Koliform dalam Susu Segar
Sebagai Parameter Sanitasi
Peternakan, Skripsi, Diakses
Pada Tanggal 23 Maret 2013.
Suwito, W. 2010. Bakteri yang Sering
Mencemari Susu: Deteksi,
Patogenesis, Epidemiologi, dan
Cara Pengendaliannya, Jurnal
litbang pertanian, Diakses pada
Tanggal 26 Maret 2013,
http://pustaka.litbang.deptan.go.id
/ publikasi/ p3293103 .pdf
Usmiati, S. dan Abubakar. 2009.
Teknologi Pengolahan Susu.
Diakses Pada Tanggal 29 Maret
2013, http://pascapanen.
litbang.deptan.go.id/assets/media
/ publikasi/juknis_susu.pdf
Yulistiani, R.,. et al, 2009. Tingkat
Keamanan Susu Berlabel

191
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 192-198
HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN AKTIVITAS OLAHRAGA PADA PASIEN
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BERBAH SLEMAN

Rudy Santoso1, Siti Uswatun Chasanah2, Muryani3


1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
2
Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
3
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES WH

ABSTRACT
Background:. Diabetes is the fourth leading cause of death in the world.
Every year there are 3.2 million deaths caused by diabetes. That means
there is 1 person per ten seconds or 60 people per minute are dying from
DM. In the United States that have been developed though, the death rate
from diabetes could reach 200,000 people a year. Data from Sleman district
health profile in 2010 patients with DM who were treated in the clinic as
many as 21 867 cases and the results of preliminary studies in PHC Berbah
in 2012 there were 968 cases and 704 of them suffering from type 2 diabetes
milletus
Objective: To know the relationship of diet and exercise activity in patients
with type 2 DM in Puskesmas Berbah Sleman, Yogyakarta.
Methods: Including observational analytic study using cross-sectional
research design. The method used in the sampling in this study is the
accidental sampling method. Data analysis was performed using the
Spearman rank error level of 5% (0,05).
Results: The correlation of test results using statistical test tekhik Spearman
Rank Correlation Sig. (2-tailed) = 0.000, which indicates 0.000 <0.05, this
shows that there is a diet with exercise activity on the incidence of type 2 DM
health center working area Berbah Sleman Yogyakarta strong correlation
with levels of 0, 810.
Conclusion: There is a relationship between diet and health centers in the
region sports activities Berbah Sleman Yogyakarta strong correlation with the
level of 0.834
Keywords: Diet, sports activities, Diabetes mellitus tipe 2

PENDAHULUAN insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam


mengatur metabolisme glukosa. Akibat-
Kejadian Diabetes mellitus (DM)
nya, kadar glukosa darah meningkat1.
diawali dengan kekurangan insulin
Menurut WHO, Indonesia
sebagai penyebab utama. Di sisi lain
menempati urutan ke-4 terbesar dalam
timbulnya DM bisa berasal dengan
kasus kejadian DM didunia. Pada tahun
kekurangan insulin yang bersifat relative
2000 yang lalu saja terdapat sekitar
yang disebabkan oleh adanya resestensi
sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia
insulin. Keadaan ini ditandai dengan
mengalami penyakit DM, namun pada
ketidakrentanan atau ketidakmampuan
tahun 2006 jumlah penderita diabetes
organ menggunakan insulin, sehingga
meningkat menjadi 14 juta orang, di

192
Rudy Santono, Siti Uswatun Chasanah, Muryani

mana baru 50 persen yang baru DM tipe 1 terdapat 264 kasus,


menyadari menyidap diabetes dan di sedangkan DM tipe 2 yang umum
antara mereka baru 30 persen yang diderita penderita DM dengan jumlah 704
berobat teratur2. kasus.
Data dari profil kesehatan Berdasarkan latar belakang tersebut,
Kabupaten Sleman tahun 2010 penderita dengan tingginya kasus DM tipe 2 di
DM yang dirawat jalan di puskesmas Puskesmas Berbah kemungkinan ada
Kabupaten Sleman usia 45-54 tahun beberapa faktor penyebab yaitu adanya
sebanyak 5.008 kasus, usia 55- 59tahun pola makan dan aktivitas olahraga yang
sebanyak 4.176 kasus, usia 60-69 tidak seimbang oleh karena itu penulis
sebanyak 6.791 kasus usia >70 tahun akan melakukan penelitian tentang
sebanyak 2660 kasus dan semua hubungan pola makan dan aktivitas
golongan umur sebanyak 21.867 kasus. olahraga dengan kejadian DM tipe 2 di
Penderita DM yang dirawat jalan di Puskesmas Berbah Sleman Yogyakarta.
RSUD Sleman, usia 20-44 tahun
sebanyak 66 kasus, usia 45- 54tahun METODOLOGI PENELITIAN
sebanyak 213 kasus, usia 55- 59 Jenis penelitian kuantitatif dengan
sebanyak 144 kasus, usia 60- 69 rancangan observasional analitik dengan
sebanyak 61 kasus, usia >70 tahun pendekatan cross sectional. Populasi
sebanyak 91 kasus, dan semua penelitian adalah penderita DM tipe 2
golongan umur sebanyak 717 kasus yang di rawat dan menjalani pengobatan
penderita DM, sedangkan penderita DM di Puskesmas Berbah Kabupaten
yang dirawat inap di RSUD Sleman Sleman, Yogyakarta. Pengambilan
adalah usia 20- 44 tahun sebanyak 33 sampel pada penelitian ini menggunakan
kasus, usia 45- 54 tahun sebanyak 82 accidenta sampling. Analisis data
kasus, usia 55- 59 tahun sebanyak 35 menggunakan Spearman Rank.
kasus, usia 60- 69 tahun sebanyak 53
kasus, usia >70 tahun sebanyak 48 HASIL PENELITIAN
kasus dan semua golongna umur
Pola Makan Responden Penderita
penderita DM sebanyak 250 kasus.
Penyakit DM Tipe 2 di Wilayah
Meningkatnya penderita DM disebabkan
Puskesmas Berbah
oleh peningkatan obesitas, kurang
Distribusi frekuensi pola makan pada
aktifitas fisik, kurang konsumsi makanan
responden DM tipe 2 dari 24 responden
berserat, merokok dan tingginya
memiliki tiga kategori frekuensi pola
makanan yang berlemak disamping itu
makan yaitu baik, cukup dan kurang
kurang berolah raga dan sering
yang dapat dilihat pada Tabel 1.
mengkonsumsi tidak sehat seperti
Berdasarkan Tabel 1, diketahui dari
makanan cepat saji (fast food) bisa
24 responden penderita penyakit DM tipe
memicu terjadinya penyakit DM tipe 2.
2 di wilayah kerja Puskesmas Berbah
Penyakit DM tipe 2 saat ini bisa
memiliki presentase pola makan kategori
menyerang siapa saja termasuk anak-
baik 29,17%, pola makan cukup 50,00%
anak, remaja, dewasa, dan orang tua3.
dan pola makan kurang 20,83%.
Berdasarkan survei pendahuluan
yang dilakukan di puskesmas Berbah
Sleman. Pada tahun 2012 terdapat 968
kasus DM dan diantaranya kasus DM,

193
Hubungan Pola Makan dengan Aktivitas Olahraga pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
di Wilayah Kerja Puskesmas Berbah Sleman

Tabel 1. Distribusi Frekuensi


Responden berdasarkan Pola Makan Berdasarkan Tabel 2, diketahui dari
pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah 24 responden penderita penyakit DM tipe
Puskesmas Berbah Sleman 2 di wilayah kerja Puskesmas Berbah
memiliki persentase keaktifan
No Pola Frekuensi %
berolahraga dengan kategori baik
Makan
25,00%, keaktifan berolahraga cukup
1 Baik 7 29,17
41,67%, dan keaktifan berolahraga
2 Cukup 12 50,00
kurang 33,33%.
3 Kurang 5 20,83
Total 24 100,00
Uji Korelasi Hubungan Pola Makan
Catatan. Data primer
dengan Kejadian Kebiasaan Olahraga
Dari 24 responden untuk
Aktivitas Olahraga Responden mengetahui hubungan pola makan
Penderita Penyakit DM Tipe 2 di dengan aktivitas olahraga pada pasien
Wilayah Puskesmas Berbah Sleman DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas
Distribusi frekuensi aktivitas Berbah dilakukan uji korelasi dengan
olahraga pada responden DM tipe 2 dari menggunakan Spearman Rank. Untuk
24 responden memiliki tiga kategori mengetahui uji korelasi dapat dilihat
frekuensi akticitas olahraga yaitu baik, pada Tabel 3.
cukup dan kurang yang dapat dilihat Berdasarkan Tabel 3, hasil uji
pada Tabel 2. korelasi menggunakan tekhik uji statistik
korelasi Spearman Rank Sig. (2-tailed)=
Tabel 2 Distribusi Frekuensi 0,000 yang menunjukkan 0,000<0,05 hal
Responden Berdasarkan Aktivitas ini menunjukan bahwa terdapat
Olahraga pada Pasien DM Tipe 2 di hubungan pola makan dengan keaktifan
Wilayah Puskesmas Berbah Sleman olahraga pada kejadian DM tipe 2 di
No Aktivitas F % wilayah kerja Puskesmas Berbah
Olahraga Sleman dengan tingkat korelasi kuat 0,
1 Baik 6 25,00 810.
2 Cukup 10 41,67
3 Kurang 8 33,33
Total 24 100,00
Catatan. Data primer

Tabel 3. Uji Korelasi Hubungan Pola Aktivitas Makan dengan AktiVitas


Olahraga pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah KerjaPuskesmas Berbah Sleman

Spearman's rho Pola Makan Olahraga


Pola Correlation Coefficient 1.000 .810**
Makan Sig. (2-tailed) . .000
N 24 24
Olahraga Correlation Coefficient .810** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 24 24
Catatan. * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

194
Rudy Santono, Siti Uswatun Chasanah, Muryani

PEMBAHASAN Hal ini bisa terjadi karena beberapa


sebab, kemungkinan besar sebagian
Pola Makan Responden Penderita DM
responden masih tidak patuh pada
Tipe 2 di Wilayah Puskesmas Berbah
prinsip pola makan yang diberikan, atau
Sleman
pengetahuan tentang prinsip pola makan
Informasi tentang pola makan dapat
masih sangat rendah sehingga jumlah
diperoleh melalui suatu pendekatan yang
makanan yang dikonsumsi tidak sesuai
dikenal dengan survei diet yang
dengan status gizi responden, bias
umumnya merupakan sebagian dari
kelebihan atau kekurangan, jadwal
suatu kegiatan pengumpulan data yang
makan yang tidak tepat karena
lebih komprehensif yaitu survei gizi
kesibukan atau hal lain yang dapat
masyarakat (Kardjati, 1985).
berpengaruh pada kadar glukosa darah,
Hasil penelitian diketahui dari 24
dan masih banyak mengkonsumsi jenis
responden penderita penyakit DM tipe 2
makanan pantangan, terutama makanan
di wilayah Puskesmas Berbah memiliki
yang tinggi karbohidrat.
persentase pola makan yang baik
29,17%, pola makan cukup 50,00% dan
Aktivitas Olahraga Penderita DM Tipe
pola makan kurang 20,83%. Hal ini dapat
2 di Wilayah Puskesmas Berbah
di pengaruhi oleh tingkat pengetahuan,
Sleman
gaya hidup, ketersediaan pangan,
Kebiasaan hidup santai nonton tv
pendapatan, sosial budaya dan jumlah
atau main game sambil terus mengunyah
anggota keluarga. Sejalan dengan
makanan kecil akan berdampak
penelitian yang di lakukan oleh Sujaya
obesitas. Suka naik eskalator daripada
(2008) mendapatkan hasil yang serupa
naik tangga juga merupakan kebiasaan
yaitu dari 40 responden memiliki
buruk. Mulailah berolahraga dengan
kebiasaan pola makan yang baik 30,5%,
teratur, minimum 3 kali seminggu, dan
pola makan cukup 55,10% dan pola
paling sedikit 20 menit lamanya setiap
makan kurang 14,4%.
kali berolahrahga. Selanjutnya biasakan
Akhir-akhir ini muncul penyakit
berolahraga setiap hari, jalan 30 menit
akibat salah pola makan seperti
tiap hari akan membakar 150 kalori, dan
kelebihan makan atau makan makanan
dapat menurunkan berat badan hingga
yang kurang seimbang. Bahkan,
6-7 kilogram dalam setahun. Selain
kematian akibat penyakit yang timbul
menurunkan berat badan, olahraga
karena pola makan yang salah/tidak
meningkatkan metabolik rate, otot
sehat belakangan ini cenderung
menjadi besar, otot ini akan membakar
meningkat. Penyakit akibat pola makan
kalori lebih banyak dari pada lemak
yang kurang sehat tersebut diantaranya
(Manganti, 2012).
diabetes melitus, hiperkolesterolemia,
Hasil penelitian dari 24 responden
penyakit kanker, penyakit arteri koroner,
penderita penyakit DM tipe 2 di wilayah
sirrhosis, osteoporosis, dan beberapa
Puskesmas Berbah memiliki persentase
penyakit kardiovaskuler. Untuk
keaktifan berolahraga baik 25,00%,
menghindari penyakit-penyakit akibat
cukup 41,67%, dan kurang 33,33% . Hal
pola makan yang kurang sehat,
ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan,
diperlukan suatu pedoman bagi individu,
kesadaran diri seseorang itu sendiri dan
keluarga, atau masyarakat tentang pola
kesibukan seseorang itu sendiri. Sejalan
makan yang sehat.
dengan penelitian yang dilakukan oleh

195
Hubungan Pola Makan dengan Aktivitas Olahraga pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
di Wilayah Kerja Puskesmas Berbah Sleman
Rahmawati (2010) mendapatkan Sesuai dengan teori Sari (2012)
presentase keaktifan aktivitas fisik olahraga dapat mengontrol gula darah,
ringan 75,00%, dan terendah kurang untuk DM tipe 2, olahraga yang teratur
25,00%. Darah yang tidak terkontrol lebih dapat menurunkan resistensi insulin
banyak bersantai setelah berolahraga, meningkatkan sensitivitas insulin di otot-
seperti nonton dan berbaring. Sementara otot dan jaringan lain sehingga kadar
itu, responden yang memiliki kadar gula darah mengalami perbaikan.
glukosa darah terkontrol lebih banyak Penelitian yang dilakukan Rahmawati
melakukan aktifitas di rumah setelah (2010) menunjukkan sebanyak 76,1%
berolahraga (membersihkan, mencuci, responden yang memiliki aktivitas ringan
dan memasak), khususnya para ibu memiliki kadar glukosa darah tidak
rumah tangga. Hal ini menunjukkan terkontrol, 69,2% responden yang
bahwa selain rutin olahraga, aktifitas memiliki aktifitas sedang memiliki kadar
sehari-hari juga perlu diperhatikan untuk glukosa darah terkontrol. Dari hasil
menghindari gaya hidup kurang gerak analisis Chi-Square didapatkan bahwa
(sedentary) yang akan mempengaruhi nilai p=0,002, yang berarti bahwa ada
kadar glukosa darah. hubungan antara aktivitas fisik dengan
kadar glukosa darah, dan nilai OR =
Hubungan Pola Makan dengan 7,15, yang artinya penderita DM tipe 2
Aktivitas Olahraga pada Kejadian DM yang memiliki intensitas aktifitas fisik
Tipe 2 di Wilayah Puskesmas Berbah yang kurang kemungkinan 7,15 kali lebih
Sleman besar mempunyai risiko kadar glukosa
Pola makan dapat dipahami sebagai darah tidak terkontrol.
suatu seleksi makanan untuk orang
tertentu. Dengan pengertian ini, diet KESIMPULAN
sehat disarankan untuk alasan medis
Pola makan pada penderita DM tipe
yaitu untuk menyeimbangkan,
2 yang terdapat 29,17% mengkonsumsi
membatasi atau untuk meningkatnya
makanan dengan baik, sedangkan
nutrisi tertentu. Makanan adalah faktor
terdapat 50,00% penderita DM meng-
penting dalam kelangsungan hidup
konsumsi makanan cukup baik dan
manusia. Namun, bagi orang yang
terendah yang mengkonsumsi makanan
mengidap DM tidak semua makanan
kurang baik 20,83%. Aktivitas olahraga
dapat di konsumsi (Manganti, 2012).
pada pasien DM tipe 2 yang berolahraga
Hasil uji korelasi menggunakan
dengan baik adalah 25,00%, dan pasien
tekhnik uji statistik korelasi Sperman
DM tipe 2 yang cukup baik adalah
Rank Sig. (2-tailed)<0,05 yang
41,67%, dan yang melakukan aktivitas
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
olahraga yang kurang baik sebesar
antara pola makan dengan aktivitas
33,33%, sehingga penderita DM tipe 2
olahraga di wilayah Puskesmas Berbah
melakukan aktivitas olahraga cukup baik.
Sleman dengan tingkat korelasi sebesar
Terdapat hubungan antara pola makan
0,810. Hal ini sesuai dengan penelitian
dengan aktivitas olahraga di wilayah
yang dilakukan oleh Sugiarti (2011) yang
Puskesmas Berbah Sleman.
mendapatkan hasil adanya tingkat
hubungan yaang signifikan yaitu sebesar
0,041.

196
Rudy Santono, Siti Uswatun Chasanah, Muryani

DAFTAR PUSTAKA Faktor Risiko Kejadian Diabetes


Mellitus tipe 2 di Kabupaten
Anonim. Profil Kesehatan Kabupaten
TabananKardjati, S. 1994.
Sleman. 2010. Dinas Kesehatan
Maternal and Child Nutrition In
Kabupaten Sleman.
Madura. Indonesia.
Anonim. 2008. Dinas Kesehatan Jogja.
Khomsan A, dkk, 2004.Pengantar
http:// www. Dinkes-
Pangan dan Gizi. Cetakan
jogjaprov.go.id
Pertama. Penebar Swadaya,
Anonim. 2012. Profil Puskesmas
Jakarta
Berbah.
Lisdiana, 1998. Waspada Terhadap
Arikunto. 2006. Prosedur penelitian suatu
Kelebihan dan Kekurangan Gizi,
pendekatan praktek. Edisi revisi
Cetakan Kedua. PT. Trubus
V. Rineka Cipta: Jakarta
Agriwidya, Lampung
Brunner and Suddarth. 2002.
Manganti. 2012. Panduan Hidup Sehat
Keperwatan Medical Bedah.
Bebas Diabetes. Yoyakarta:
Jakarta : EGC
Araska
Bustan,M.N., DR. 2007. Epidemiologi
Mansjoer. 1999. Kapita Seleksi
Penyakit Tidak Menular. Jakarta:
Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Media
Rineka Cipta
Aesculapius
Baradero. 2009. Seri Asuhan
Margatan.1996. Yang Manis Jangan
Keperawatan Klien Gangguan
Pipis. Solo: CV. Aneka Solo
Endrokin. Jakarta: EGC
Misnadiartly. 2006. Diabetes Mellitus.
Darmono. 2007. Pola Hidup Sehat
Jakarta: Pustaka Popular Obor
Penderita Diabetes Mellitus.
Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran
Dalam Naskah Lengkap Diabetes
sampel untuk penelitian kuantitatif
Mellitus, Ditinjau Dari Berbagai
dan Kualitatif di Bidang
Aspek Penyakit Dalam. BP
Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah
UNDIP. Semarang.
Mada University Press
Devita. 2007. Hubungan Antara Pola
Ghoffar, M. 2012. Solat olahraga Ampuh
Makan Dengan Kejadian
untuk diabetes Mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Yogyakarta: Graha Ilm
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD
Noor, Nur Nasry. 2006. Pengantar
Tugurejo Semarang. Skripsi.
Epidemiologi Penyakit Menular.
Irianto. 2004. Bugar dan Sehat dengan
Jakarta : Rineka Cipta
Berolahraga. Yogyakarta: Andi
Notoatmodjo,.2007. Promosi Kesehatan
Offset. Tesis. Universitas Gajah
Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT
Mada
Rineka Cipta
Hasdianah,H.R. 2012. Mengenal
Rahmawati, 2010. Pola Makan Dan
Diabetes Mellitus Pada Orang
Aktivitas Fisik dengan Kadar
Dewasa Dan Anak –
Glukosa Darah Penderita
Anak Dengan Solusi Herbal.
Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat
Pascasarjana Kesehatan
Jalan Di RSUP Dr. Wahidin
Masyarakat Yogyakarta: Nuha
Sudirohusodo Makassar. Skripsi.
Medika
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Inyoman Sujaya. 2008. Pola Konsumsi
Hasanuddin, Makasar.
Makanan Tradisional Bali sebagai

197
Hubungan Pola Makan dengan Aktivitas Olahraga pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
di Wilayah Kerja Puskesmas Berbah Sleman
Sari. 2012. Diabetes Mellitus Dilengkapi
Dengan Senam DM. Yogyakarta:
Nuha Medika
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
Bandung :Alfabeta
Sugiyarti. 2011. Penelitian Hubungan Diit
Diabetes Milltus dan Kebiasaan
Olahraga dengan kejadian
Diabetes Milletus di Wilayah Kerja
Puskesmas Ngembal Kudus,
Jawa Tengah. Tesis. Pascasarjan
Kesehatan Masyarakat.
Universitas Muhamadiyah
Semarang
Sugiyono, 2007. Statistik untuk
penelitian. Alfabeta. Bandung.
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status
Gizi. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.

198
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 199-208
PERBEDAAN KONSENTRASI PEREKAT PADA BRIKET BIOARANG
TANDAN KOSONG SAWIT DENGAN TONGKOL JAGUNG
TERHADAP WAKTU DIDIH AIR

Anggiono1), Surahma Asti Mulasari2)


1,2)
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan
Email : rahmasti_fkmuad@yahoo.com

ABSTRACT
Background: the potential of biomass as an energy source alternative
replacement for kerosene and liquefied petroleum gas. Biocharcoal
briquettes is a solid fuel made from waste biomass. Manufacture of
biocharcoal briquettes require an adhesive as terminating the powdered
charcoal, in addition to gluten can affect the amount of heat and moisture
content of biocharcoal briquettes. The purpose of this research is to know the
difference in concentration of the adhesive on the biocharcoal briquettes
empty palm bunches with corncob boiling water over time.
Research methods: experimentation with a Static Group Comparison
design. Biocharcoal briquettes of the empty palm bunches and biocharcoal
briquettes corncob given concentration adhesive 600 cc, 700 cc, 800 cc and
900 cc to boil water as much as 1000 ml and seen the difference between
water boiling between the concentration of gluten. Data were analyzed by
Anova and T-test (t-test).
Results: biocharcoal briquette palm bunches showed no significant
difference between the boiling water with the use of different concentrations
of adhesive on the significance 0.136 > 0.05 , while corncob briquettes there
is a real difference between the boiling water with the use of different
concentrations of adhesive on the significance 0.000 < 0.05 . There is no real
difference between the boiling time difference biocharcoal briquettes empty
fruit bunches of oil and corncobs with significance 0.421 > 0.05 .
Conclusion: there is no real difference between water boiling time of
biocharcoal briquettes empty palm bunches on the concentrations of different
adhesives, while the biocharcoal briquettes corncob is the water boiling time
real difference by using different concentrations of adhesive. There is no real
difference between water boiling time briquettes palm bunches with
corncobs.

Keywords: briquettes, concentration, gluten, corn cobs, empty palm


bunches

PENDAHULUAN dihasilkan limbah yang apabila dibiarkan


begitu saja di lingkungan akan
Sektor pertanian dan perkebunan
menghasilkan limbah biomassa
dipergunakan untuk memenuhi
(Martosudirjo dan Sugiyatno, 2002.
kebutuhan pangan bagi penduduk dan
Jagung adalah salah satu produk
sekaligus sebagai sumber devisa bagi
pertanian yang dikonsumsi manusia
Indonesia yang disebut sebagai
ataupun untuk pakan ternak. Jagung
agrbosnis. Pada kegiatan agrobisnis

199
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung terhadap Waktu Didih Air
juga merupakan penghasil limbah digunakan sebagai pupuk tanaman
biomassa. Dewasa ini, produksi jagung (Asmara dan Igo, 2007).
semakin mengalami peningkatan, dan Pembuatan briket dengan
dengan semakin meningkatnya produksi menggunakan bahan biomassa kering
tersebut maka limbah biomassa yang dan diperlukan pula adanya perekat yang
dihasilkan pun juga semakin meningkat berfungsi untuk menyatukan butir-butir
seperti tongkol jagung, kelobot, tangkai bubuk arang dan membentuknya sesuai
dan rambut jagung. Penghasil limbah dengan keinginan (Kurniawan dan
biomassa pada sektor perkebunan salah Marsono, 2008). Perekat juga berfungsi
satunya yakni kelapa sawit, yang pada untuk daya tahan briket terhadap
beberapa tahun terakhir ini produksi benturan maupun nilai kalor dan kadar
sawit mengalami peningkatan (Hambali, karbon dalam arang, tetapi jika perekat
dkk., 2007). Limbah dari proses yang digunakan itu terlalu banyak juga
pengelolaan tandan buah segar sawit akan berpengaruh buruk terhadap nilai
dapat berupa tempurung, serabut dan kalor dan kadar karbon itu sendiri dalam
tandan kosong. Limbah ini jika arang. Melihat berbagai cara yang
dimanfaatkan akan dapat digunakan dilakukan dalam pengolahan briket
untuk menghasilkan energi baru. Selama bioarang dengan berbagai campuran
ini penggunaannya hanya terbatas perekat, serta berbagai jenis biomassa
sebagai bahan bakar, terutama untuk yang menghasilkan karakteristik briket
limbah serabut dan tempurung. Limbah bioarang yang berbeda-beda, maka pada
tandan kosong sawit belum begitu penelitian ini peneliti akan melihat
banyak dimanfaatkan sehingga hanya perbedaan briket bioarang dari tandan
ditimbun di lokasi industri (Surjosatyo kosong sawit dan briket bioarang tongkol
dan Vidian, 2004). jagung dengan konsentrasi perekat yang
Limbah biomassa memiliki potensi berbeda-beda digunakan untuk
untuk dijadikan sumber energi alternatif, mendidihkan air.
tetapi penanganan limbah tersebut
selama ini masih dianggap kurang METODE PENELITIAN
efisien. Limbah biomassa tersebut perlu
Jenis penelitian ini eksperimental
diubah menjadi bahan yang tepat guna
untuk mengetahui suatu pengaruh yang
seperti briket bioarang (Marayani, 2004).
timbul sebagai akibat adanya perlakuan
Briket bioarang merupakan bahan bakar
tertentu. Rancangan eksperimen yang
padat alternatif yang dapat digunakan
digunakan Static Group Comparison
sebagai energi pengganti minyak tanah
yang hasil pengukurannya kemudian
maupun elpiji (Basriyanta, 2007).
dikendalikan dengan hasil pengukuran
Keuntungan penggunaan briket
pada kelompok kontrol, yang tidak
bioarang dalam kehidupan sehari-hari
menerima program atau intervensi
yaitu bahan baku mudah didapat dan
(Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian
tidak memerlukan biaya untuk
ini digunakan perekat aci.
mendapatkannya, pembuatannya sangat
Untuk mengetahui perbedaan waktu
sederhana, peralatan yang digunakan
didih pada briket bioarang dengan beda
yang digunakan sederhana, penggunaan
konsentrasi perekat dilakukan uji Anova.
briket bioarang sangat mudah, dan sisa
Untuk mengetahui konsentrasi perekat
dari pembakaran briket tersebut dapat
mana yang berbeda nyata dan

200
Anggiono, Surahma Asti Mulasari

direkomendasikan lebih cepat dalam menurut Tabel 1.dapat diketahui waktu


mendidihkan air antara Xa1, Xa2, Xa3 dan didih air dengan konsentrasi perekat 700
X0 pada briket bioarang tandan kosong cc dan 800 cc memerlukan waktu yang
sawit, dapat dilihat pada uji Turkey. Hal lebih singkat dalam mendidihkan air
ini berlaku juga untuk pengujian briket dibandingkan dengan konsentrasi kontrol
bioarang tongkol jagung (Riwidikdo, (600 cc). Hal ini berarti perekat dengan
2009). Untuk melihat perbedaan rerata konsentrasi 700 cc dan 800 cc dapat
waktu didih air antara briket bioarang lebih cepat dalam mendidihkan air
tandan kosong sawit dengan tongkol dibandingkan dengan perekat kontrol
jagung, maka dilakukan uji t-test. (600 cc). Untuk menentukan waktu didih
Pembacaan data dapat dilihat dari sig 2 air yang lebih cepat maka konsentrasi
tailed, apabila < 0,05 artinya Ho ditolak 700 cc dibandingkan dengan 800cc dan
(Dahlan, 2008). dari proses perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa perekat dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN konsentrasi 700 cc menunjukkan waktu
Hasil pengukuran waktu pendidihan didih air yang lebih singkat. Pada
air 1000 ml menggunakan briket konsentrasi perekat 900 cc membutuh-
bioarang tandan kosong sawit dan kan waktu didih air sedikit lebih lama
tongkol jagung yang berbeda konsentrasi dibandingkan dengan kontrol (600 cc)
perekat 600 cc (kontrol), 700 cc, 800 cc, sehingga dapat dideskripsikan bahwa
900 cc. Pengujian dilakukan dengan 5 terdapat perbedaan waktu didih air
kali pengulangan. Data waktu didih air dengan konsentrasi perekat yang
disajikan dalam satuan detik. berbeda pada briket bioarang tandan
sawit.
Pengamatan waktu didih air dengan Untuk melihat perbedaan waktu
konsentrasi perekat yang berbeda didih air dari pemberian konsentrasi
pada briket bioarang tandan kosong perekat pada briket bioarang tandan
sawit. kosong sawit secara statistik, maka
Waktu didih air yang dihasilkan oleh dapat dilakukan analisis dengan
briket tandan kosong sawit dengan menggunakan uji Anova.
konsentrasi perekat yang berbeda

Tabel 1. Hasil Pengamatan Waktu Didih Air Briket Tandan Kosong Sawit dengan
Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit Konsentrasi Perekat yang Berbeda

Konsentrasi Perekat
Pengulangan
*600 cc 700 cc 800 cc 900 cc
1 1540 1614 1745 1741
2 1425 1295 1229 1553
3 1428 1095 1158 1324
4 1567 1134 1216 1448
5 1438 1205 1324 1502
Jumlah 7398 6343 6672 7568
Rerata 1479,6 1268,6 1334,4 1513,6
Catatan. * =kontrol

201
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung terhadap Waktu Didih Air
Hasil uji Anova dengan tingkat perbedaan yang signifikan antara waktu
kepercayaan 95% pada Tabel 2. didih air dengan menggunakan
didapatkan nilai signifikan sebesar 0,136 konsentrasi perekat yang berbeda pada
(nilai sig<0,05) yang berarti tidak terdapat briket bioarang tandan kosong sawit.

Tabel 2. Hasil Uji Anova Perbedaan Waktu Didih Air dengan Konsentrasi Perekat
yang Berbeda pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit

Sum of Mean
Df F Sig.
Squares Square
Between Groups 204034.150 3
Within Groups 509552.800 16 68011.383 2.136 0.136
Total 713586.950 19 31847.050

Pengamatan waktu didih air dengan mendidihkan air dibandingkan dengan


konsentrasi perekat yang berbeda perekat dengan konsentrasi kontrol (600
pada briket bioarang tongkol jagung. cc). Untuk konsentrasi perekat 800 cc
Pengamatan pada waktu didih air dan 900 cc membutuhkan waktu didih air
yng dihasilkan oleh konsentrasi yang sedikit lebih lama dibandingkan dengan
berbeda pada briket tongkol jagung kontrol (600 cc) sehingga secara
dapat dilihat pada Tabel 3. deskriptif dapat dikatakan bahwa
Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu didih air
waktu didih air menggunakan perekat dengan konsentrasi perekat yeng
dengan konsentrasi 700 cc berbeda pada briket bioarang tongkol
membutuhkan waktu 1302,2 detik jagung. Untuk melihat perbedaan waktu
sedangkan pada perekat dengan didih air dari pemberian konsentrasi
konsentrasi kontrol (600 cc) perekat pada briket bioarang tongkol
membutuhkan waktu 1426,6 detik. Hal ini jagung secara statistik, maka dapat
berarti perekat dengan konsentrasi 700 dilakukan analisis dengan menggunakan
cc dikatakan dapat lebih cepat dalam uji Anova.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Waktu Didih Air Briket Tongkol Jagung dengan
Konsentrasi Perekat yang Berbeda Briket Bioarang Tongkol Jagung

Waktu didih air


Pengulangan
*600 cc 700 cc 800 cc 900 cc
1 1410,0 1241,0 1556,0 1836,0
2 1338,0 1252,0 1427,0 1960,0
3 1453,0 1340,0 1385,0 1869,0
4 1400,0 1278,0 1515,0 1757,0
5 1532,0 1400,0 1451,0 1945,0
Jumlah 7133,0 6343,0 6672,0 7568,0
Rerata 1426,6 1268,6 1334,4 1513,6
Catatan. * =kontrol

202
Anggiono, Surahma Asti Mulasari

Tabel 4. Hasil Uji Anova Perbedaan Waktu Didih Air dengan Pemberian Konsentrasi
Perekat yang Berbeda pada Briket Bioarang Tongkol Jagung

Sum of
Df Mean Square F Sig.
Squares
Between Groups 918717.200 3 306239.067 57.293 .000
Within Groups 85521.600 16 5345.100
Total 1004238.800 19

Hasil analisis statistik menggunakan mana yang berbeda nyata terhadap


uji Anova dengan tingkat kepercayaan waktu didih air dapat dilihat dari hasil uji
95% pada Tabel 4 didapatkan nilai Turkey dalam tabel Multiple
0,000 <0,05 yang artinya ada atau Comparisons dengan cara
terdapat perbedaan yang signifikan membandingkan konsentrasi perekat
antara waktu didih air dengan kontrol (600 cc) dengan konsentrasi 700
menggunakan konsentrasi perekat yang cc, 800 cc,dan 900 cc dan kemudian
berbeda pada briket tongkol jagung. dibandingkan dengan nilai signifikansi
Untuk mengetahui konsentrasi perekat 0,05.

Tabel 5. Hasil Uji Comparisons Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tongkol
Jagung yang Berbeda Nyata terhadap Waktu Didih Air

95% CI
Konsentrasi Mean
Std. Upper Lower
(I) (J) Difference Sig.
Error Bound Bound
(I- J)
600 ml 700 ml 125,000 46,239 0,067 -7,29 257,29
800 ml -39,600 46,239 0,827 -171,89 92,69
900 ml -446,200 * 46,239 0 -578,49 -313,91
700 ml 600 ml -125,000 46,239 0,067 -257,29 7,29
800 ml -164,600 * 46,239 0,013 -296,89 -32,31
900 ml -571,200 * 46,239 0 -703,49 -438,91
800 ml 600 ml 39,600 46,239 0,827 -92,69 171,89
700 ml 164,600 * 46,239 0,013 32,31 296,89
900 ml -406,600 * 46,239 0 -538,89 -274,31
900 ml 600 ml 446,200 * 46,239 0 313,91 578,49
700 ml 571,200 * 46,239 0 438,91 703,49
800 ml 406,600 * 46,239 0 274,31 538,89

Dari hasil tabel uji Multiple perbandingan antara kontrol (600 cc)
Comparisons di atas, dapat diketahui dengan 800 cc diperoleh nilai sig 0,827
bahwa konsentrasi perekat berbeda yang artinya dapat dikatakan bahwa
nyata terhadap waktu didih air. Nilai tidak ada perbedaan pada konsentrasi
signifikan dari kontrol (600 cc) perekat kontrol (600 cc) dengan 700 cc
dibandingkan dengan konsentrasi dan konsentrasi kontrol (600 cc) dengan
perekat 700 cc sebesar 0,067 dan 800 cc terhadap waktu didih air.

203
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung terhadap Waktu Didih Air
Sedangkan pada konsentrasi 900cc yang cc dan 900 cc, serta 800 cc dengan 900
dibandingkan dengan kontrol (600cc) cc terhadap waktu didih air.
menghasilkan nilai signifikansi 0,000 hal
ini berarti bahwa ada perbedaan yang Pengamatan waktu didih air antara
nyata antara konsentrasi perekat kontrol briket bioarang tandan sawit dengan
(600 cc) dengan konsentrasi perekat tongkol jagung.
900 cc terhadap waktu didih air. Dari Rerata waktu didih air yang
hasil yang telah didapata ini dapat dilihat dihasilkan dari briket bioarang tandan
dan dikatakan bahwa konsentrasi sawit dibandingkan dengan briket
perekat yang memiliki perbedaan nyata bioarang tongkol jagung. Hal ini
dengan konsentrasi perekat kontrol (600 dilakukan untuk mengetahui perbedaan
cc) adalah perekat dengan konsentrasi rerata waktu didih air di antara dua jenis
900 cc. Sedangkan perbandingan briket tersebut. Berdasarkan data pada
konsentrasi perekat dan juga dengan Tabel 6. diketahui lama waktu untuk
Nilai sig dari konsentrasi perekat 700 cc mendidihkan air 1000 ml menggunakan
dengan 800cc sebesar 0,13 dan nilai sig briket bioarang tandan kosong sawit
dari konsentrasi perekat 700 cc dengan dengan rerata 1399,05 detik briket
900 cc sebesar 0,000, serta nilai sig dari bioarang tongkol jagung 1517,25 detik.
konsentrasi perekat 800 cc dengan 900 Jadi jenis briket bioarang yang singkat
cc sebesar 0,00 yang artinya ada dalam mendidihkan air adalah briket
perbedaan yang nyata antara bioarang tandan kosong sawit. Untuk
konsentrasi perekat 700 cc dengan 800 melihat kemaknaan secara statistik maka
dilakukan uji t-test.

Tabel 6. Hasil Pengamatan Rerata Waktu Didih Air antara Briket Bioarang Tandan
Kosong Sawit dengan Tongkol Jagung

Konsentrasi (cc) Waktu didih air (detik)


Rerata Tandan Sawit Rerata Tongkol Jagung
600 1479,6 1426,6
700 1268,6 1302,2
800 1334,4 1466,8
900 1513,6 1873,4

Tabel 7. Hasil uji t Perbedaan Rerata Waktu Didih Air antara Briket Bioarang Tandan
Sawit dan Tongkol Jagung

Levene's Test for


Equality of t-test for Equality of Means
Variances
Waktu Equal
Sig. (2- Mean
variances F Sig. T Df
tailed) Difference
assumed
Equal variances
1.302 .297 -.864 6 .421 -118.20000
not assumed
-.864 4.269 .434 -118.20000

204
Anggiono, Surahma Asti Mulasari

Berdasarkan hasil uji t, nilai juga kadar air, dan fixed carbon pada
kemaknaan pada Tabel 6. yang didapat briket bioarang.
sebesar 0,421 (nilai sig > 0,05) yang Ada perbedaan waktu didih air yang
berarti tidak ada perbedaan secara nyata diperlukan dari pemberian konsentrasi
antara briket bioarang tandan kosong perekat yang berbeda pada briket
sawit dengan briket bioarang tongkol bioarang tandan kosong sawit, akan
jagung terhadap waktu didih air. tetapi setelah dilakukan dengan uji anova
didapatkan nilai sig 0,136 yang berarti
PEMBAHASAN nilai kemaknaan>0,05 yang artinya tidak
ada perbedaan yang signifikan pada
Perbedaan waktu didih air dengan
konsentrasi perekat yang berbeda. Tidak
konsentrasi perekat yang berbeda
adanya perbedaan ini disebabkan oleh
pada briket bioarang tandan kosong
bubuk arang tandan sawit sangat kering
sawit
dan sangat halus. Kondisi ini
Perekat dengan konsentrasi 700 cc
menyebabkan campuran bubuk arang
pada briket bioarang tandan kosong
dengan perekat tidak terlalu
sawit merupakan konsentrasi perekat
mempengaruhi kadar air di dalamnya,
yang mempunyai waktu yang singkat
sehingga kadar air di dalam briket
dalam mendidihkan air, yakni yang
bioarang pada tiap-tiap konsentasi
memerlukan waktu selama 1268,6 detik.
perekat tidak berbeda jauh dan pada
Perekat dengan konsentrasi 900 cc
saat pembakaran, nilai kalor briket
merupakan perekat yang memerlukan
bioarang relatif sama, sehingga selisih
waaktu paling lama dalam mendidihkan
waktu didih air antara ke empat
air, yang memerlukan waktu selama
konsentrasi perekat tidak berbeda jauh.
1513,6 detik. Hal ini menunjukkan
Temuan ini didukung hasil penelitian
semakin banyak konsentrasi perekat
yang dilakukan Mulia (2007) yang
yang digunakan, maka akan semakin
menyebutkan perbandingan komposisi
memperburuk nilai kalor yang dihasilkan.
bahan tandan kosong sawit dengan
Hasil ini juga menunjukkan bahwa dalam
cangkang sawit berpengaruh nyata
membuat briket bioarang kita harus
terhadap nilai kadar air dan nilai kalor
memperhatikan konsentrasi perekat yang
briket, semakin sedikit campuran
dicampurkan.
cangkang sawit pada briket tandan sawit
Konsentrasi yang tepat akan
maka akan menurunkan nilai kadar air
meningkatkan nilai kalor. Perekat yang
dan nilai kalor.
terlalu banyak digunakan akan dapat
mengurangi panas yang dihasilkan pada
Perbedaan waktu didih air dengan
pembakaran briket bioarang saat proses
konsentrasi perekat yang berbeda
pendidihan air dilakukan. Dapat
pada briket bioarang tongkol jagung
dikatakan bahwa perekat yang terlalu
Pada pengujian briket bioarang
banyak memperlambat mendidihnya air.
tongkol jagung, didapatkan hasil yang
Hal tersebut senada dengan temuan
menunjukkan waktu singkat yang
Kardianto yang menyatakan semakin
diperlukan untuk mendidihkan air adalah
banyak jumlah campuran perekat yang
pada penggunaan perekat dengan
digunakan dalam campuran briket, maka
konsentrasi 700 cc yaitu selama 1302,2
akan dapat memperburuk nilai kalor yang
detik dan perekat dengan konsentrasi
dihasilkan oleh briket tersebut, termasuk
yang paling lama dalam mendidihkan air

205
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung terhadap Waktu Didih Air
adalah dengan konsentrasi 900 cc yang Konsentrasi perekat yang berbeda
memerlukan waktu selama 1873,4 detik. nyata terhadap waktu didih air
Hal ini mempunyai hasil atau makna Hasil pengujian menunjukkan pada
yang sama dengan waktu didih air pada briket bioarang tongkol jagung terdapat
pengujian briket bioarang tandan kosong perbedaan waktu didih air yang signifikan
sawit. Bahwa semakin banyak perekat dengan pemberian konsentrasi perekat.
mengakibatkan menurunnya nilai kalor, Pembacaan konsentrasi perekat yang
sehingga dibutuhkan konsentrasi yang paling berbeda nyata terhadap waktu
tepat dalam menggunakan perekat pada didih air terdapat perbedaan nyata pada
proses pembuatan briket bioarang. konsentrasi perekat kontrol (600 cc)
Perekat aci diencerkan dengan air ketika dengan 900 cc, 700 cc dengan 800 cc
jumlah perekat semakin banyak makan dan 900 cc, serta 800 cc dengan 900 cc.
jumlah air juga semakin tinggi saat Perekat dengan konsentrasi 700 cc
ditambahkan dalam adonan. Hal ini memerlukan waktu yang singkat dalam
menyebabkan kadar air pada briket mendidihkan air, tetapi secara statistik
dengan konsetrasi perekat yang tinggi menunjukkan perekat dengan
lebih banyak dan menghambat kalor konsentrasi 900 cc sebagai konsentrasi
yang dihasilkan oleh briket tersebut perekat yang mempunyai perberbedaan
sehingga waktu didih menjadi lebih lama. yang nyata terhadap waktu didih air.
Hasil uji statistik pada briket Hasil ini didapat setelah melihat hasil
bioarang tongkol jagung menunjukkan comparisons antara perekat dengan
0,000<0,05 yang berarti ada perbedaan konsentrasi 900 cc dibandingkan dengan
yang signifikan antara waktu didih air perekat kontrol (600 cc). Hal ini
dengan menggunakan konsentrasi menegaskan bahwa semakin banyak
perekat briket bioarang yang berbeda. campuran perekat maka akan semakin
Perbedaan ini disebabkan oleh adanya mengurangi nilai kalor yang dihasilkan
kadar air dalam tongkol jagung yang oleh briket tersebut. Beberapa hasil
relatif lebih tinggi, sehingga ketika penelitian menunjukkan nilai kalor briket
dicampur dengan perekat, kandungan arang akan semakin meningkat dengan
atau kadar airnya bertambah banyak berkurangnya konsentrasi perekat
disetiap konsentrasi perekat. Semakin (Sihombing, 2006), banyaknya
banyak konsentrasi perekat yang penambahan campuran perekat, akan
ditambahkan pada adonan briket maka meningkatkan kadar air sehingga
akan bertambah tinggi pula kadar air memperburuk nilai kalor (Kardianto,
yang terkandung di dalam briket 2009) dan kadar air yang terkandung
biaoarang, yang kemudian hal inilah dalam briket akan mempengaruhi nilai
yang menyebabkan nilai kalor briket kalor yang dihasilkan oleh briket itu
bioarang tersebut turun. Hal inilah yang (Jahiding dkk., 2011).
menyebabkan selisih waktu didih air di
setiap konsentrasi perekat berbeda Perbandingan waktu didih air antara
cukup jauh. Hasil penelitian lain briket bioarang tandan kosong sawit
menunjukkan kadar air pada tongkol dengan tongkol jagung
jagung sebesar 13,9 persen per kilogram Analisis deskriptif yang dilakukan
(Widodo dkk., 2004) dan dapat menghasilkan waktu rata-rata 1399,05
mempengaruhi proses pembakaran detik untuk tandan kosong sawit dan
briket (Poespowati, 2009). waktu didih air rata-rata 1517,25 detik

206
Anggiono, Surahma Asti Mulasari

untuk briket bioarang tongkol jagung. Hal KESIMPULAN


ini berarti dapat dikatakan bahwa briket
Tidak ada perbedaan yang nyata
bioarang tandan kosong sawit
antara waktu didih air dengan
memerlukan waktu yang lebih cepat
menggunakan konsentrasi perekat yang
dalam mendidihkan air dibandingkan
berbeda pada briket bioarang tandan
dengan briket tongkol jagung. Hal ini
kosong sawit. Ada perbedaan nyata
dapat disebabkan oleh kandungan air
waktu didih air dengan menggunakan
dalam tandan sawit memang lebih sedikit
konsentrasi perekat yang berbeda pada
sehingga proses pembakaran briket
briket bioarang tongkol jagung. Tidak ada
menjadi lebih cepat, dan menyebabkan
perbedaan nyata waktu didih air antara
proses pendidihan air menjadi lebih
briket bioarang tandan kosong sawit
singkat seperti hasil temuan yang
dengan tongkol jagung. Konsentrasi
dikemukakan oleh Poespowati (2009)
perekat yang tepat menentukan waktu
yang menyebutkan kadar air yang
titik didiih air. Briket dengan konsentrasi
terkandung dalam briket bioarang
perekat 700cc memiliki waktu didih air
mempengaruhi proses pembakaran
tercepat, dan 900cc memiliki waktu
briket. Hal ini sesuai dengan teori
terlama mendidihkan air.
menyebutkan kadar air dari tandan
kosong sawit adalah 7,81 persen per
DAFTAR PUSTAKA
kilogram (Mulia, 2009).
Tidak adanya perbedaan waktu didih Asmara, A. dan Igo. 2007. Kompor Briket
air antara briket bioarang tandan kosong Batu Bara. Bandung: Titian Ilmu.
sawit dengan briket bioarang tongkol Basriyanta. 2007. Memanen Sampah.
jagung dapat disebabkan adanya Yogyakarta: Kanisius.
kandungan selulosa dan hemiselulosa Dahlan, M, S. 2008. Statistik untuk
yang relatif sama pada tandan kosong Kedokteran dan Kesehatan.
sawit dan tongkol jagung sehingga Jakarta: Salemba Medika.
kandungan karbon yang dihasilkan juga Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan,
relatif sama. Kandungan karbon dalam A.H., Pattiwiri, A.W., Hendroko,
briket bioarang berguna meningkatkan R. 2007. Teknologi Bioenergi.
nilai panas briket bioarang. Apabila Jakarta: Argomedia.
kandungan karbon pada briket bioarang Jahiding, M., Ngkoimani. L.O., Hasan,
tandan kosong sawit dan tongkol jagung E.S., Hasria, Maymanah, S. 2011.
hampir sama, maka begitu juga pada Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor
nilai panas yang dihasilkan oleh dua Bioarang Sekam Padi Sebagai
jenis briket tersebut, sehingga selisih Bahan Baku Briket Hybrid. Jurnal
waktu yang dibutuhkan untuk Aplikasi Fisika, Vol.7 No.2, Hal.
mendidihkan air tidak berbeda jauh. 77-83.
Temuan beberapa penelitian menunjuk- Kardianto, P. 2009. Pengaruh Variasi
kan kandungan karbon dalam briket Jumlah Campuran Perekat
bioarang mempengaruhi nilai panas terhadap Karakter Arang Briket
pada briket (Maryani dan Rumijati, 2004) Batang Jagung. Skripsi. Tidak
dan selulosa dan hemiloselulosa dipublikasikan. Semarang:
merupakan senyawa berkarbon yang Universitas Negeri Semarang.
berguna untuk pembuatan arang
(Suryani, 2009).

207
Perbedaan Konsentrasi Perekat pada Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit
dengan Tongkol Jagung terhadap Waktu Didih Air
Kurniawan, O. dan Marsono. 2008. Tempurung Kelapa Sawit
Superkarbon. Bogor: Penebar Menggunakan Gasifier Aliran ke
Swadaya. bawah. Prosiding Seminar
Marayani dan Rumijati. 2004. Pengaruh Nasional Rekayasa Kimia Dan
Penambahan Bulu Ayam Proses, ISSN 1441-4216, C-1-1 –
Terhadap Kandungan Karbon C-1-6.
Briket Bioarang Sampah Suryani, A.M. 2009. Pemanfaatan
Pekarangan. Jurnal Penelitian Tongkol Jagung untuk
Sains dan Teknologi, Vol. 5 No, 2: Pembuatan Arang Aktif sebagai
81-88. Adsorben Pemurnian Minyak
Martosudirjo, S., Mamat, dan Sugiyatno. Goreng Bekas. Skripsi. Tidak
2002. Potensi Limbah dipublikasikan. Bogor: Institut
Pengolahan Kayu dan Biomassa Pertanian Bogor.
Lainnya sebagai Sumber Listrik di Widodo, W.T., Asari, A., Ana, N., Elita, R.
Indonesia. Lokakarya 2004. Bio Energi Berbasis Jagung
Pembakaran Limbah Biomassa dan Pemanfaatan Limbahnya.
untuk Kogenerasi Listrik dan Tangerang: Balai Besar
Panas Dengan Teknologi FBC Pengembangan Mekanisasi
LIPI Bandung. Pertanian Serpong.
Mulia, A. 2007. Pemanfaatan Tandan
Kosong dan Cangkang Kelapa
Sawit Sebagai sebagai Briket
Arang. Tesis. Medan: Universitas
Sumatra Utara.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Edisi
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Poespowati, T. 2009. Efisiensi dan
Efektivitas Produk Briket Sampah
dengan Pengembangan Alat
Pressing. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia Indonesia.
ISBN 978-979-98300-1-2,
ETU24-1 - ETU24-7.
Riwidikdo, H. 2009. Statistik Penelitian
Kesehatan dengan Aplikasi
Program R dan SPSS.
Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Sihombing L, J. 2006. Studi Pembuatan
Briket Bioarang dari Cangkang
Kemiri dengan Variasi Ukuran
Partikel Arang dan Konsentrasi
Perekat. Jurnal Sains Kimia, Vol.
10, No.2, 62–66.
Surjosatyo, A., Vidian, F. 2004. Studi Co-
Grafikasi Tandan Kosong dan

208
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 209-216
PEMBERIAN LEAFLET DAN PENYULUHAN TERHADAP PENINGKATAN
PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR TENTANG
ALAT KONTRASEPSI KB

Siti Uswatun Chasanah

Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH


Email: uswcha.pit@gmail.com

ABSTRACT
Background: Achievement of family planning participants in the Province of
Yogyakarta Special Region in 2010 has reached as many as 50,876 of the
estimated demand for new participants as many as 47 991 people in 2009,
while the men's special new participants reached 4,638 participants from the
public demand estimates as many as 10,174 new man. Implementation of
the National Family Planning Program in Province of Yogyakarta Special
Region successful in increasing the prevalence rate of 78.03 percent (in
2008) to 78.65 percent (in 2009) with the active participation of as many as
432,024 KB of couples of childbearing age for 549,313 inhabitants.
Objective: To know the effect of leaflets and counseling to eligible women
increased knowledge about family planning contraceptives.
Methods: The study used a quasi experimental design with Static Group
Comparison Design. Samples for groups of 30 samples and 30 leaflets for
group counseling. Data analysis using a t-test.
Results: Statistical test results obtained confidence level of 0.00 (p < 0.05)
which showed no effect of extension leaflets and giving effect to the increase
of knowledge about family planning to women of fertile age. The results of
the calculation of the average obtained value-average before the extension
before the extension after extension 32.3 and 29.0, while the average value
before and after the administration of 27 leaflets leaflets giving 31.1 .
Conclusions and Recommendations: there is the effect of leaflets and
counseling to eligible women increased knowledge about family planning
contraceptives. In line with the need of information about family planning for
eligible women, in this study the extension needs to be enhanced so as to
improve their knowledge of family planning acceptors and adjust spacing.

Keywords: knowledge, planning family, leaflet.

PENDAHULUAN meningkatkan derajat kesehatan


penduduk Indonesia yang ditandai
Pemerintah Indonesia telah berhasil
dengan penurunan tingkat kematian bayi
melaksanakan program keluarga
dan peningkatan harapan hidup
berencana sejak tahun 1971, yang
penduduk Indonesia. Kejadian ini
ditandai dengan penurunan tingkat
menyebabkan terjadinya transisi
fertilitas dari 5,6 anak pada tahun–tahun
demografi dalam jangka waktu lama
1970-an menjadi 2,4 anak per wanita
yang berdampak pada perubahan
menjelang tahun 2000. Sementara itu
struktur umur penduduk dan
program kesehatan juga telah mampu
berkurangnya proporsi anak–anak di

209
Pemberian Leaflet dan Penyuluhan Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Alat Kontrasepsi kb
bawah usia 15 tahun (Badan Statistik hanya melahirkan 1,8 anak atau 2 anak
Indonesia, 2009). selama masa suburnya. Angka ini
Keluarga Berencana (KB) merupakan angka TFR terendah di
merupakan salah satu pelayanan Indonesia dan berada dibawah rata-rata
kesehatan preventif yang paling dasar nasional yang saat ini besarnya masih
dan utama bagi wanita. Manfaat KB 2,16 anak per WUS (Arkandini dan
dapat dioptimalisasi melalui pelayanan Mardiya, 2011).
bagi wanita dengan menggabungkan dan Para wanita saat ini sangat sulit
memenuhi kebutuhan pelayanan untuk menentukan alat kontrasepsi yang
kesehatan reproduksi utama dan lain, akan digunakan, tidak hanya terbatasnya
serta respon terhadap berbagai tahap jumlah metode yang tersedia tetapi juga
kehidupan reproduksi wanita karena metode-metode tertentu mungkin
(Ardiansyah, 2005). tidak dapat diterima sehubungan dengan
Berdasarkan data The United kebijakan nasional KB, kesehatan
national bahwa penduduk Indonesia individual dan seksualitas wanita atau
hanya akan berjumlah 250 juta pada biaya untuk memperoleh kontrasepsi.
2015 dengan catatan pembangunan KB Seharusnya sebelum ibu menggunakan
tetap seperti ini. Jika antara 2010-2015 alat kontrasepsi terlebih dahulu ibu
tiap keluarga rata-rata memiliki 2 anak, mencari informasi tentang metode dan
maka jumlah penduduk pada tahun 2050 cara–cara penggunaan KB berdasarkan
akan berkisar pada angka 293,7 juta jiwa informasi yang lengkap, akurat dan
setelah itu akan tumbuh seimbang benar. Untuk itu dalam memutuskan
(BKKBN, 2008). Menurut Arkandini suatu cara kontrasepsi sebaiknya
(2011), pencapaian peserta KB di mempertimbangkan penggunaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kontrasepsi yang rasional, efektif, dan
(DIY) sebanyak 50.876 pada tahun 2010, efisien (Kurniawati, 2008). Faktor lain
terhadap perkiraan permintaan yang mempengaruhi seorang wanita
masyarakat (PPM) peserta baru tahun tidak mau ber-KB yaitu faktor agama.
2009 sebanyak 47.991, sedangkan Ada sebagian wanita tidak mau ber-KB
peserta baru pria mencapai 4,638 dari karena agama melarang menggunakan
PPM peserta baru pria sebanyak 10.174. alat kontrasepsi (haram hukumnya).
Pelaksanaan Program KB Nasional di Berdasarkan uraian tersebut peneliti
Provinsi DIY berhasil meningkatkan bermaksud untuk mengetahui “Pengaruh
angka prevalensi ber-KB dari 78.03 Pemberian Leaflet dan Penyuluhan
persen (tahun 2008) menjadi 78,65 terhadap Peningkatan Pengetahuan
persen (tahun 2009) dengan kesertaan WUS tentang Alat Kontrasepsi KB di
KB aktif sebanyak 432.024 dari Jambidan Banguntapan Bantul.
pasangan usia subur (PUS) sebesar
549.313 jiwa. METODE
Berdasarkan standar capaian yang
Penelitian menggunakan rancangan
biasa digunakan dalam pengembangan
Static Group Comparison Design.
program kependudukan dan keluarga
(Hidayat, 2009). Penelitian dilakukan di
berencana, yaitu Total fertility rate (TFR)
Perumahan Puri Sakinah II Jambidan,
di Provinsi DIY saat ini dalam kisaran 1,8
Banguntapan, Bantul. Populasi dalam
per Wanita Usia Subur (WUS). Hal ini
penelitian ini adalah seluruh wanita PUS
berarti, setiap WUS di Provinsi DIY

210
Siti Uswatun Chasanah

di Perumahan Puri Sakinah II Jambidan normalitas terpenuhi apabila p>0,05,


Banguntapan Bantul yang berjumlah 120 sehingga peningkatan pengetahuan
orang. Jumlah sampel ditentukan dengan sebelum pemberian leaflet dapat
purposive sampling. Agar jumlah sampel dikatakan terdistribusi normal,
dapat mewakili populasi, maka sedangkan setelah pemberian leaflet
penentuan besar sampel menggunakan tidak normal. Data sesudah pemberian
rumus dari Taro Yamane (Riduan, 2008). leaflet yang tidak berdistribusi normal
Tingkat ketelitian yang digunakan dalam kemudian dilakukan transformasi data,
penelitian ini sebesar 30% dengan namun bila data tetap tidak berdistribusi
jumlah sampel 120 orang maka didapat normal maka untuk mengetahui
jumlah sampel 38 sampel. Dari 38 pengaruh peningkatan pengetahuan
sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu sebelum dan sesudah pengetahuan
kelompok penyuluhan dengan ceramah digunakan uji Wilcoxon sebagai uji
(19 sampel) dan kelompok dengan alternatifnya.
hanya pemberian leaflet (19 sampel).
Data dianalisis dengan menggunakan t- Uji Normalitas Data Pengaruh
test dan t-test untuk dua sample related Penyuluhan terhadap Peningkatan
untuk mengukur pengaruh leaflet dan Pengetahuan WUS tentang Alat
penyuluhan terhadap peningkatan Kontrasepsi KB
pengetahuan wanita usia subur. Untuk mengetahui pengaruh
penyuluhan terhadap peningkatan
HASIL pengetahuan WUS tentang alat
kontrasepsi KB digunakan uji yang sama
Uji Normalitas Data Pengaruh
seperti pada leaflet, yang hasilnya tersaji
Pemberian Leaflet terhadap
pada Tabel 2.
Peningkatan Pengetahuan WUS
tentang Alat Kontrasepsi KB
Sebelum dilakukan uji statistik, data Tabel 2. Uji Normalitas K-S Penyuluhan
harus diuji terlebih dahulu apakah Statistik df Sig
terdistribusi normal atau tidak. Hasil uji
Nilai pengetahuan 0,133 3 0,1
normalitas data menggunakan uji
sebelum 0 8
normalitas Kolmogorov-Smirnov didapat
pemberian leaflet 3
hasil sebagai berikut:
Nilai pengetahuan 0,174 3 0,0
sesudah 0 2
Tabel 1. Uji normalitas K-S Leaflet pemberian leaflet 1
Statistic df Sig
Nilai pengetahuan 0,154 30 0,68 Tabel 2 menunjukkan data sesudah
sebelum penyuluhan tidak berdistribusi normal
karena nilai p=0,021. Uji normalitas
pemberian leaflet
Nilai pengetahuan 0,197 30 0,05 terpenuhi apabila p>0,05, sehingga
peningkatan pengetahuan sebelum
sesudah
pemberian leaflet penyuluhan berdistribusi normal,
sedangkan setelah pemberian
penyuluhan tidak normal. Data sesudah
Tabel 1 menunjukkan data sesudah
penyuluhan yang tidak berdistribusi
pemberian leaflet tidak berdistribusi
normal kemudian dilakukan transformasi
normal karena nilai p- 0,05. Uji

211
Pemberian Leaflet dan Penyuluhan Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Alat Kontrasepsi kb
data, namun bila data tetap tidak Tabel 4. Analisis Statistik Pengaruh
terdistribusi normal, maka untuk Leaflet terhadap Peningkatan
mengetahui pengaruh peningkatan Pengetahuan WUS tentang KB
pengetahuan sebelum dan sesudah
Negatif 3 Test
pengetahuan digunakan uji Wilcoxon
statistik
sebagai uji alternatifnya.
Positif 26 Z -4,074
Pengaruh pemberian leaflet terhadap Sama 1 Sig 0,000
peningkatan pengetahuan WUS dengan
tentang alat kontrasepsi KB N 30
Pengetahuan WUS tentang alat
kontrasepsi KB diukur dengan kuesioner Berdasarkan Tabel 4, ada 26
dan alat bantu berupa leaflet hasilnya responden yang positif mengalami
seperti tersaji pada Tabel 3. peningkatan pengetahuan sebelum dan
sesudah pemberian leaflet, sedangkan
ada 3 responden yang negatif
Tabel 3. Pengetahuan WUS tentang Alat mengalami penurunan, dan ada 1
Kontrasepsi KB dengan Metode Leaflet
responden yang tetap. Dari test statistik
Kategori Pretest Postest menunjukkan hasil uji wilcoxon diperoleh
F % F % nilai significancy 0,000 (p < 0,05),
Baik > 80- 6 15,8 14 46,7 dengan demikian dapat disimpulkan “ada
100 21 70,0 16 53,3 pengaruh pemberian leaflet terhadap
Sedang 61- 3 14,2 0 0,0 peningkatan pengetahuan yang
79 bermakna antara sebelum pemberian
Kurang < 60 leaflet dengan sesudah pemberian
N 30 100,0 30 100,0 leaflet”.

Dari Tabel 3 diketahui bahwa ada Pengaruh penyuluhan terhadap


perubahan peningkatan pengetahuan peningkatan pengetahuan WUS
semula sebelum pemberian leaflet tentang alat kontrasepsi KB
responden yang memiliki tingkat Pengetahuan WUS tentang alat
pengetahuan baik dengan nilai >31 yaitu kontrasepsi KB juga dilihat dari metode
ada 6 orang (15,8%), sedangkan setelah penyuluhan, dapat dilihat perubahan
pemberian leaflet ada peningkatan dari pengetahuan WUS sebelum dan
jumlah responden yang memiliki tingkat sesudah penyuluhan seperti tersaji pada
pengetahuan baik yaitu ada 14 orang Tabel 5.
(46,7%).
Analisis statistik pada penelitian ini
yang semula menggunakan uji t-test,
akan tetapi setelah dilakukan uji
normalitas data, data tidak berdistribusi
normal maka sebagai alternatifnya
digunakan uji wilcoxon. Berikut hasil uji
wilcoxon untuk peningkatan
pengetahuan dengan pemberian leaflet.

212
Siti Uswatun Chasanah

Tabel 5. Pengetahuan WUS tentang Alat


penurunan. Dari uji Wilcoxon
Kontrasepsi KB dengan Metode menunjukkan nilai signifikansi 0,000
Penyuluhan (p<0,05). Hal ini menunjukkan ada
pengaruh penyuluhan terhadap
Pretest Postest
Kategori peningkatan pengetahuan yang
F % F % bermakna antara sebelum dengan
Baik > 80- 9 30,0 23 76,7 sesudah penyuluhan.
100 21 70,0 7 23,3
Sedang 61- 0 0,0 0 0,0 Pengaruh pemberian leaflet dan
79 penyuluhan terhadap peningkatan
Kurang < 60 pengetahuan wanita usia subur
N 30 100,0 30 100,0 Pengaruh pemberian leaflet dan
penyuluhan terhadap peningkatan
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui pengetahuan wanita usia subur, dapat
melalui metode penyuluhan rata – rata dilihat dari analisis deskriptif pada Tabel
tingkat pengetahuan responden adalah 7.
sedang antara nilai 61-79 yaitu ada 21
orang (70,0%). Jika dilihat dari tabel di
Tabel 7. Analisis Deskriptif Pemberian
atas tidak ada perubahan tingkat
Leaflet dan Penyuluhan terhadap
pengetahuan sebelum dan sesudah
Peningkatan Pengetahuan Wanita Usia
penyuluhan, akan tetapi jika dilihat dari Subur
analisis deskriptif ada pergeseran nilai
sebelum dilakukan penyuluhan nilai Perlakuan Min Maks Rerata SD
pretest terendah adalah 22, sedangkan Sebelum 22 34 29,00 2,600
setelah dilakukan penyuluhan nilai Penyuluhan
postest terendah adalah 28. Sesudah 28 35 32,30 2,037
Analisis statistik untuk peningkatan Penyuluhan
pengetahuan melalui penyuluhan tersaji Sebelum 20 35 27,03 4,390
pada Tabel 6. Leaflet
Sesudah 22 35 31,10 3,144
Leaflet
Tabel 6 Analisis Statistik Pengaruh
Penyuluhan terhadap Peningkatan
Pengetahuan WUS tentang KB Berdasarkan Tabel 7 diketahui nilai
rerata sesudah perlakuan menunjukkan
Negatif 2 Test penyuluhan lebih tinggi nilai rata-ratanya
statistik jika dibandingkan dengan sesudah
Positif 28 Z -4,396 pemberian leaflet.
Sama 0 Sig 0,000
dengan PEMBAHASAN
N 30
Tingkat pengetahuan secara
deskriptif mengalami perubahan artinya,
Berdasarkan Tabel 6 terdapat 28
pemberian leaflet dan penyuluhan efektif
responden yang positif mengalami
untuk meningkatkan pengetahuan
peningkatan pengetahuan sebelum dan
seseorang atau kelompok. Mubaraq dan
sesudah penyuluhan, sedangkan ada 2
Cahyatin (2009) menyebutkan
responden yang negatif mengalami
penyuluhan bukan hanya proses

213
Pemberian Leaflet dan Penyuluhan Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Alat Kontrasepsi kb
penyadaran masyarakat dalam hal ke dalam otak adalah indera pandang.
pemberian dan peningkatan Kurang lebih 75% sampai 87% dari
pengetahuan masyarakat, melainkan pengetahuan manusia diperoleh atau
upaya bagaimana mampu menjebatani disalurkan melalui indera pandang, 13%
adanya perubahan perilaku seseorang. melalui indera dengar, dan 12 % lainnya
Hasil analisis dua variabel diketahui tersalur melalui indera yang lain
metode penyuluhan lebih efektif (Rahmawati, dkk., 2007).
meningkatkan pengetahuan daripada Hasil penelitian ini sejalan dengan
metode leaflet karena ada faktor luar teori yang ada, pemberian leaflet
yang mempengaruhi keberhasilan merupakan salah satu metode dasar dan
penyuluhan. Faktor-faktor tersebut yaitu paling umum dalam menyampaikan
faktor penyuluh, faktor sasaran, dan materi kesehatan. Menurut Bansley dan
faktor proses penyuluhan, dilihat dari Fisher (2009), leaflet dapat menjadi
faktor penyuluh, mungkin saat pelengkap materi utama yang
penyuluhan, penyuluh menguasai materi, disampaikan dapat dengan mudah
berpenampilan baik dan sopan, dibagikan, memungkinkan pembaca
penggunaan bahasa yang dapat mendapat informasi mengenai topik
dipahami oleh audience, serta cara sensitif, yang malu untuk ditanyakan
penyampaian yang menarik. Dari faktor secara pribadi.
sasaran, tingkat pendidikan responden, Hasil analisis juga memperlihatkan
sosial ekonomi, dan kondisi lingkungan bahwa sebenarnya tingkat pengetahuan
yang mendukung acara penyuluhan. Dari responden tentang alat kontrasepsi KB
faktor proses penyuluhan, penyuluh dan sudah cukup baik, akan tetapi tingkat
responden memilih waktu yang tepat, pengetahuan yang cukup tidak
dan menggunakan alat peraga yang sebanding dengan masih tingginya
dapat menarik perhatian responden angka kelahiran. Saat penelitian peneliti
(Fitriani, 2011). juga melakukan tanya jawab dengan
Pemberian informasi, dalam hal ini responden, diantara mereka yang tingkat
penyuluhan memegang peranan penting pengetahuannya tinggi terhadap alat
dalam mendukung usaha untuk kontrasepsi KB ada yang tidak mau
meningkatkan angka cakupan KB yang menggunakan alat kontrasepsi KB.
rendah. Penyuluhan yang dilakukan Mereka berpendapat bahwa jika
secara terus menerus disertai dengan menggunakan alat kontrasepsi KB
cara penyuluhan menarik, lama terutama yang hormonal akan
kelamaan akan meningkatkan rasa ingin menimbulkan efek samping yang
tahu dan lebih jauh lagi rasa berbahaya dengan kesehatan WUS dan
membutuhkan pada responden. Bila menambah berat badan. Ada pula yang
penyuluhan sudah menjadi suatu menilai secara agama dengan
kebutuhan bagi responden, maka akan menggunakan alat kontrasepsi berarti
jauh lebih mudah untuk melakukan sudah menghalangi terciptanya manusia
sosialisasi berbagai program kesehatan di dalam rahim, serta ada yang
(Kasim dan Raharjo, 2007). berpendapat bahwa alat KB haram
Pengetahuan yang ada pada hukumnya untuk digunakan karena tidak
seseorang diterima melalui indera. jelas bahan bakunya.
Menurut penelitian para ahli indera, yang Hasil analisis juga memperlihatkan
paling banyak menyalurkan pengetahuan ada responden yang tingkat

214
Siti Uswatun Chasanah

pengetahuannya rendah saat belum konsekuensi kegagalan atau kehamilan


dilakukan intervensi (14,2%). Hasil yang tidak diinginkan, besar keluarga
observasi saat penelitian, responden yang direncanakan, persetujuan
kurang memahami atau tidak tahu akan pasangan, bahkan norma budaya
menggunakan alat kontrasepsi jenis apa, lingkungan dan orang tua. Tidak ada
walaupun sudah berpendidikan tinggi. satu pun metode kontrasepsi yang aman
Responden juga tidak mau bahkan dan efektif bagi semua WUS, karena
belum pernah datang ke petugas masing-masingmempunyai kesesuaian
kesehatan dalam hal ini bidan atau dan kecocokan individual bagi setiap
dokter untuk berkonsultasi tentang alat WUS. Untuk itu semua, maka konseling
kontrasepsi KB, dengan alasan malu dan dengan petugas kesehatan baik bidan
merupakan masalah tabu yang tidak ataupun dokter merupakan bagian
pantas ditanyakan. Pendidikan sangat integral yang sangat penting dalam
menentukan pola pikir seseorang dalam pelayanan KB.
mengambil keputusan. Tingkat Konseling dengan petugas
pendidikan ibu yang tinggi mem- kesehatan berarti kita belajar memahami
pengaruhi penerimaan informasi, alat-alat KB, cara kerja, efektivitas,
sehingga pengetahuan ibu akan indikasi dan kontraindikasi alat KB.
bertambah (Vianti dan Yuniarsih, 2007). Belajar ialah suatu proses usaha yang
Hasil penelitian ini sejalan dengan dilakukan seseorang untuk memperoleh
teori Saifudin (2006) dalam buku suatu perubahan tingkah laku yang baru
Panduan Pelayanan Praktis Pelayanan secara keseluruhan, sebagai hasil
Kontrasepsi, yaitu KB merupakan upaya pengalamannya sendiri dalam interaksi
pelayanan kesehatan preventif yang dengan orang lain, akan tetapi
paling dasar dan utama. Pencegahan perubahan yang terjadi dalam diri
kematian dan kesakitan ibu merupakan seseorang banyak sekali baik sifat
alasan utama diperlukannya pelayanan maupun jenisnya karena itu sudah tentu
KB alasan lain, misalnya membebaskan tidak setiap perubahan dalam diri
wanita dari rasa khawatir terhadap seseorang merupakan perubahan dalam
terjadinya kehamilan yang tidak arti belajar (Slameto, 2010).
diinginkan, terjadinya gangguan fisik atau Metode pemberian leaflet dan
psikologi akibat tindakan abortus yang penyuluhan merupakan salah satu
tidak aman, serta tuntutan metode dari pendidikan kesehatan yang
perkembangan sosial terhadap dapat meningkatkan pengetahuan
peningkatan status perempuan di responden. Rendahnya tingkat
masyarakat. pemahaman responden tentang KB,
Banyak perempuan mengalami disamping sebagai akibat keterbatasan
kesulitan didalam menentukan pilihan media informasi, juga tampaknya
jenis kontrasepsi. Menurut Saifudin disebabkan kurang berhasilnya
(2006) hal ini tidak hanya karena penyuluhan yang dilakukan oleh petugas
terbatasnya metode yang tersedia, tetapi KB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
juga oleh ketidaktahuan mereka tentang Vianti dan Yuniarsih (2007) menunjukkan
persyaratan dan keamanan metode bahwa ibu post partum yang telah diberi
kontrasepsi. Ada faktor harus penyuluhan kesehatan secara umum
dipertimbangkan, termasuk status dapat meningkatkan partisipasi
kesehatan efek samping potensial,

215
Pemberian Leaflet dan Penyuluhan Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Alat Kontrasepsi kb
dibandingkan dengan sebelum diberikan Desa Sukarame Kecamatan
penyuluhan kesehatan. Sukanegara Kabupaten Cianjur
Tahun 2005-2006 Artikel JKM.
KESIMPULAN Vol 6 No.2
Pengetahuan sangat berpengaruh Kurniawati,. Y. 2008. Faktor–faktor yang
terhadap perilaku seseorang. Perilaku itu Berhubungan dengan Sikap Ibu
sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh Dalam Pemilihan Alat Kontrasepsi
pengetahuan, tetapi perilaku yang Suntik Depo Medroksi
didasari oleh pengetahuan pada Progesteron Asetat Di RB.
umumnya akan bersifat lebih tahan lama Kharisma Husada Kartasura
dibandingkan dengan perilaku yang Sukoharjo. Skripsi. UMS
dipengaruhi oleh faktor lain. Rahmawati, I. 2007. Pengaruh
Pengetahuan berperan besar dalam Penyuluhan dengan Media Audio
memberikan wawasan terhadap Visual terhadap Peningkatan
pembentukan sikap masyarakat terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
kesehatan. Sikap tersebut akan diikuti Ibu Balita Gizi Kurang dan Buruk
dengan tindakan dalam melakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat
usaha-usaha peningkatan kesehatan. Propinsi Kalimantan Tengah.
Sejalan dengan perlunya informasi Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
tentang KB bagi wanita usia subur, maka Volume 4, No.2.
penyuluhan dan pemberian leaflet perlu Saifuddin. 2006. Buku Panduan Praktis
ditingkatkan lagi sehingga akseptor KB Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta:
dapat meningkatkan pengetahuannya Rineka Cipta
dan mengatur jarak kelahiran. The ALA Glossary of Library and
Information Science. American
DAFTAR PUSTAKA Library Association. 1983. dalam
Arakandini dan Mardiya. 2011. Potret KB Wikipedia
DIY dan Tantangan Ke Depan. Vianti, R.A dan Yuniarsih,S.M. (2007).
Artikel. http://Bataviase.co.id Pengaruh Pemberian Penyuluhan
Ardiansyah, dkk. 2005. Pembinaan Kesehatan Tentang Kontrasepsi
Keluarga Berencana. Jakarta : Efektif terhadap Partisipasi Ibu
FKUI Post Partum dalam ber-KB.
Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Skripsi. FIK. Universitas
Jakarta: Salemba Pekalongan
Bansley dan Fisher. 2008. Metode
Pendidikan Kesehatan. Jakarta:
EGC
Hasbullah. 2005. Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Hidayat. 2007. Metode Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Salemba
Pustaka
Kasim, F dan Rahardjo,T.M. (2007).
Faktor–faktor yang
mempengaruhi cakupan K4 di

216
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 217-224
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DENGAN PERILAKU
INDIVIDU DENGAN KEJADIAN FRAMBUSIA DI PUSKESMAS BIUDUKFOHO
KABUPATEN BELU

Yuliana Bita Musu1, Budi Setiawan2, Subagiyono3

1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
2
Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
3
Dosen Program Studi Kesehatan Lingkungan STIKES WH

ABSTRACT
Background: Yaws is caused by a spiral-shaped bacterium is called
Treponema pertenue, yaws is infectious diseases in humans and generally
attacks the skin and bones. This disease occurs due to environmental
circumstances that are poor, the public hasn't been behaving live clean and
healthy, the unavailability of an adequate water supply, settlements and
infrastructure areas which are less well.
Objective: this research aims to know a determine the relationship of
physical environmental factors and behaviours of people with yaws in the
area of Biudukfoho health centers, Belu Regency, East Nusa Tenggara
Province.
Method: this type of research is observasional analytic with case control
design. Data collection was carried out with the interviews using
questionnaire. The Data were analyzed using Chi-Square to find out the
values of the Odds ratio and p. value. Results: Analysis statistically bivariat
indicates that the variable is associated with yaws in the area of Biudukfoho
health centers are the physical environmental factors consists of home
conditions include residential (density (OR = 4.19; 95% CI = 1,896-9.272),
lighting (OR = 4.89; 95% CI = 2.324-10.317) and the quality of water supply
(OR = 7;95% CI = 3701-72.918). Whereas the community behavior (behavior
habit of bathing (OR = 2.95; 95% CI = 5.821-1,499), the habit of exchanging
towels and clothing (OR = 4.84 (95% C = I-2.393 9.798).
Conclusion: physical environmental factors (condition of the home and the
quality of the water supply) and behavior (behavior of exchanging towels and
clothes) is the risk factors with the occurrence Yaws in Biudukfoho health
centers.

Keywords: Yaws, physical environmental factors and behaviours in society.

PENDAHULUAN Tenggara Timur, dan Maluku. Angka


prevalensi penyakit frambusia di
Frambusia di Indonesia sampai saat
Indonesia pada tahun 2006 adalah 0,25
ini belum dapat dieliminasi dari seluruh
per 10.000 penduduk (Depkes, 2007).
wilayah walaupun secara nasional angka
Penyakit frambusia di Nusa
prevalensi kurang dari 1 per 10.000
Tenggara Timur hingga akhir Desember
penduduk. Pada tahun 2006 terdapat
2007 tingkat prevalensi mencapai 3,5%
lima Provinsi di Indonesia dengan angka
per 10.000 penduduk, sedangkan di
prevalensi yang cukup tinggi yaitu Papua
Kabupaten Belu tingkat prevalensinya
Barat, Papua, Sulawesi Tenggara, Nusa

217
Relationship Between Physical Environmental Factors and Behaviours of People with Yaws
in Biudukfoho Health Centers Belu Regency
5,56 per 10.000 penduduk (Dinkes Kab. masyarakat yang belum berperilaku
Belu, 2008). Pada tahun 2008, hidup bersih dan sehat, tidak tersedianya
prevalensi penyakit frambusia di Belu sarana air bersih yang memadai, serta
tercatat 10,4/10.000 penduduk yang pemukiman dan prasarana wilayah yang
tersebar di tiga wilayah kerja puskesmas, kurang baik. Dengan kata lain wilayah
yaitu Puskesmas Bidukfoho, Kaputu dan tersebut tidak tersentuh oleh pemerata-
Tunabesi. Dari tahun 2008-2012 terdapat an program pembangunan di segala
295 kasus yang tersebar di enam bidang (Hayong, 2009).
puskesmas yang ada di Kabupaten Belu Peran lingkungan dalam meningkat-
(Dinkes Kab. Belu, 2012). Berikut tabel kan derajat kesehatan masyarakat
distribusi kasus frambusia periode 2008- sangat besar, seperti yang dikemukakan
2012. oleh Blum (Blum, 1974). Lingkungan
berperan sangat besar dibandingkan
Tabel 1. Distribusi Kasus Frambusia
faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan
menurut Wilayah Kerja Puskesmas di keturunan. Memang tidak selalu
Kabupaten Belu Tahun 2008-2012 lingkungan sebagai penyebab, melain-
kan juga sebagai penunjang, media
No Puskesmas Jumlah
transmisi yang mampu memperberat
kasus
penyakit yang telah ada, untuk itu cara
1 Biudukfoho 99
pencegahan pem-berantasan penyakit
2 Tafuli 81 tersebut harus melalui upaya perbaikan
3 Wekmurak 52 lingkungan atau sanitasi dasar.
4 Tunabesi 18 Ditinjau dari latar belakang tersebut
5 Kaputu 28
maka peneliti tertarik untuk meneliti dan
6 Nurobo 17
mengetahui lebih dalam tentang
Jumlah 295 hubungan faktor lingkungan fisik dan
Catatan. Dinkes Kab. Belu, 2012.
perilaku masyarakat dengan kejadian
frambusia di wilayah kerja Puskesmas
Tabel 2. Distribusi Kasus Frambusia Biudukfoho Kabupaten Belu.
di Wilayah Kerja Puskesmas
Biudukfoho Tahun 2008-2012 METODE

No Tahun Jumlah Jenis penelitian ini merupakan


kasus penelitian kuantitatif menggunakan
1 2008 18 observasional analitik dengan rancangan
2 2009 23 Case Control. Sampel dalam penelitian
3 2010 47 ini diambil menggunakan Totality
4 2011 4 Sampling, yaitu semua populasi
5 2012 7 sebanyak 99 kasus dan 99 kontrol. Jadi
Jumlah 99 Jumlah sampel dalam penelitian ini 198.
Catatan. Dinkes Kab. Belu, 2012. Selama penelitian jumlah sampel yang
didapat 144 terdiri dari 72 kasus dan 72
Faktor yang mempengaruhi kontol, karena adanya kriteria eksklusi.
terjadinya kasus frambusia adalah Variabel yang diamati adalah faktor
kemiskinan dan keterbelakangan. lingkungan fisik (kondisi rumah, kualitas
frambusia terjadi karena keadaan sarana air bersih) dan perilaku
lingkungan yang kurang baik, masyarakat (kebiasaan mandi,

218
Yuliana Bita Musu, Budi setiawan, Subagiyono

kebiasaan menggunakan handuk dan Tabel 4. Distribusi Kasus menurut


atau pakaian secara bergantian). Umur di Wilayah Kerja Puskesmas
Biudukfoho tahun 2008-2012
HASIL
Kelompok Umur responden
Karakteristik Responden
umur Frekuensi (%)
Karakteristik responden yang berada
<5 11 15.3
di wilayah kerja Puskesmas Biudukfoho
5-9 49 68.1
dapat dilihat pada Tabel 3.
10-14 12 16.7
Jumlah 72 100
Tabel 3. Distribusi Kasus menurut Catatan. Data Puskesmas Biudukfoho,
Tempat Tinggal di Wilayah Kerja 2012.
Puskesmas Biudukfoho 2008-2012

Alamat Kasus Kontrol % Tabel 4. menunjukkan kasus


Lotas 31 31 43,1 frambusia terbanyak pada kelompok
Tafuli 20 20 27,8 umur 5-9 tahun sebesar 68,1%.
Webetun 13 13 18,1
Wekmidar 8 8 11,1 Tabel 5. Distribusi Kasus menurut
Total 72 72 100,0 Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
Puskesmas Biudukfoho Tahun 2008-
Tabel 3. menunjukkan bahwa 2009
sebagian besar proporsi distribusi kasus Umur responden
tertinggi terdapat di Desa Lotas yaitu 31 Jenis kelamin
Frekuensi (%)
kasus (43,1%) dan terendah di Laki-laki 40 55,6
Kelurahan Wekmidar dengan junlah 8 perempuan 32 44,4
kasus (11,1%). Jumlah 72 100,0
Catatan. Data Puskesmas Biudukfoho,
2012.

Tabel 5. menunjukkan kasus


frambusia terbanyak pada jenis kelamin
laki-laki dengan jumlah 52 (70,8 %).

Hubungan faktor lingkungan fisik dengan kejadian frambusia

Kepadatan hunian dengan kejadian frambusia

Tabel 6. Distribusi Kepadatan Hunian dengan Kejadian


Frambusia Tahun 2008-2012

Kepadatan Kasus Kontrol P


OR 95% CI
hunian (n=72) (n=72) value
Padat 31 11 4,19 1,896- 0,000
9,272
Tidak padat 41 61
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

219
Relationship Between Physical Environmental Factors and Behaviours of People with Yaws
in Biudukfoho Health Centers Belu Regency
Tabel 6. menunjukan bahwa penghuninya mempunyai risiko terkena
kepadatan hunian memiliki nilai Odds frambusia 4,19 kali lebih besar
Ratio (OR) 4,19 (95% CI 1,896-9,272). dibandingkan dengan tidak padat
Hal ini berarti responden yang penghuninya.
menempati tempat tinggal padat

Ventilasi dengan kejadian frambusia

Tabel 7. Distribusi Hasil Ventilasi dengan Kejadian Frambusia

Kasus Kontrol
Ventilasi OR 95% CI P value
(n=72) (n=72)
Tidak memenuhi syarat 40 39 1,05 0,549-2,039 0,867
Memenuhi syarat 32 33
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

Tabel 7. menunjukkan tidak ada atau ada, tapi tidak memenuhi syarat
ventilasi atau ada, tetapi tidak memenuhi dapat mengakibatkan penghuninya
syarat memiliki nilai Odds Ratio (OR) mempunyai risiko 1,05 kali lebih besar
1,05 (95% CI ,549-2,039) yang berarti terkena frambusia dibanding dengan
bahwa dengan tidak ada ventilasi ventilasi yang memenuhi syarat.

Pencahayaan dengan kejadian frambusia

Tabel 8. Distribusi Pencahayaan dengan Kejadian Frambusia

Pencahayaan Kasus (n=72) Kontrol (n=72) OR 95% CI P value


Baik 39 14 4,89 2,324-10,317 0,000
Buruk 33 58
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

Tabel 8. menunjukkan pencahayaan mempunyai risiko terkena frambusia 4,89


yang buruk memiliki nilai Odds Ratio kali lebih besar dibanding dengan
(OR) 4,89 (95% CI 2,324 -10,317 ) yang pencahayaan baik.
berarti dengan pencahayaan yang buruk
dapat mengakibatkan penghuninya

Kualitas sarana air bersih

Tabel 9. Distribusi Kualitas Sarana Air Bersih dengan Kejadian Frambusia

Kualitas SAB Kasus (n=72) Kontrol (n=72) OR 95% CI P value


Baik 23 2 4,89 2,324-10,317 0,000
Buruk 49 70
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

220
Yuliana Bita Musu, Budi setiawan, Subagiyono

Tabel 9. menunjukkan kualitas menyebabkan penghuninya mempunyai


sarana air bersih yang buruk memiliki risiko terkena frambusia 16,42 kali lebih
Odds Ratio (OR) 16,42 (95% CI 3,701– besar di banding dengan kualitas sarana
72,918) yang berarti dengan kualitas air bersih yang baik.
sarana air bersih yang buruk

Hubungan perilaku masyarakat dengan kejadian frambusia

Perilaku kebiasaan mandi

Tabel 10. Distribusi Perilaku Kebiasaan Mandi dengan Kejadian Frambusia

Kasus Kontrol
Kualitas SAB OR 95% CI P value
(n=72) (n=72)
Baik 47 28 2,95 1,499- 0,002
5,821
Buruk 25 44
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

Tabel 10. menunjukan bahwa mandi yang buruk mempunyai risiko


perilaku mandi yang buruk memiliki nilai terkena frambusi 2,95 kali lebih besar
Odds Ratio (OR) 2,95 (95 % CI 1,499– dibanding dengan perilaku mandi yang
5,821) yang berarti dengan perilaku baik.

Perilaku kebiasaan bertukaran handuk dan pakaian

Tabel 11. Distribusi Perilaku Menggunakan Handuk dan atau Pakaian secara
Bergantian dengan Kejadian Frambusia

Kasus Kontrol P
Kualitas SAB OR 95% CI
(n=72) (n=72) value
Baik 49 22 4,84 2,393- 0,000
9,798
Buruk 23 50
Jumlah 72 72
Catatan. Data primer

Tabel 11. menunjukkan bahwa handuk dan atau pakaian secara


perilaku menggunakan handuk dan atau bergantian yang baik.
pakaian secara bergantian yang buruk
memiliki nilai Odds Ratio (OR) 4,84 (95% PEMBAHASAN
CI 2,393 – 9,798 ) yang berarti dengan Karakteristik Responden
perilaku menggunakan handuk dan atau Proporsi distribusi kasus tertinggi
pakaian yang buruk mempunyai risiko terdapat di Desa Lotas yaitu 31 kasus
terkena frambusia 4,84 kali lebih besar (43,1%) dan terendah di Desa Wekmidar
dibanding dengan perilaku menggunakan dengan 8 kasus (11,1%). Hasil

221
Relationship Between Physical Environmental Factors and Behaviours of People with Yaws
in Biudukfoho Health Centers Belu Regency
penelitian ini diketahui bahwa proporsi tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang
kasus frambusia di wilayah kerja kecuali untuk suami istri dan anak di
puskesmas selama 5 tahun terakhir bawah dua tahun (Lubis, 1985).
terbanyak pada kelompok umur 5-9 Kepadatan hunian yang tinggi
tahun (68,1%). meningkatkan terjadinya frambusia
Penyakit frambusia banyak diderita karena dengan padat penghuni dapat
anak dengan kelompok umur antara 6-10 mempersempit ruang gerak setiap orang
tahun6, sedangkan Walker, Hay, dan yang ada dan dapat mempermudah
Yaws (2000) menyatakan bahwa 75% penularan melalui kontak langsung
penyakit frambusia diderita oleh anak- dengan penderita.
anak usia <15 tahun (Lubis, 1985). Hal
ini terjadi karena anak-anak lebih suka Ventilasi dengan kejadian frambusia
bermain ditempat-tempat yang kotor Hasil analisis terhadap faktor kondisi
yang dapat memungkin terjadinya rumah diketahui bahwa. Ventilasi yang
penularan. Proporsi penderita frambusia tidak memenuhi syarat dapat
menurut jenis kelamin, diketahui bahwa mengakibatkan penghuninya berisiko
penderita frambusia lebih banyak diderita terkena frambusia 1,05 kali lebih besar
oleh laki-laki (55,6%) dibanding dibandingkan dengan ventilasi yang
perempuan (44,4%). Keadaan ini memenuhi syarat.namun secara statistik
disebabkan karena adanya perbedaan tidak ada hubungan yang bermakna
dalam aktivitas sehari-hari antara laki-laki dengan kejadian frambusia di wilayah
dan perempuan. Dimana laki-laki kerja Puskesmas Biudukfoho. Ventilasi
biasanya lebih sering bermain dan dapat mempengaruhi kejadian frambusia
bergaul. Pada usia dewasa penyakit hal ini disebabkan karena. tidak
frambusia lebih banyak diderita oleh cukupnya ventilasi akan menyebabkan
wanita karena wanita lebih banyak kelembaban udara di dalam ruangan
kontak dengan anak-anak yang sakit naik karena terjadinya proses penguapan
frambusia. cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini merupakan media yang
Faktor Risiko Kejadian Frambusia baik untuk bakteri-bakteri patogen
Kepadatan hunian dengan kejadian (bakteri¬bakteri penyebab penyakit).
frambusia
Rumah yang padat penghuninya Pencahayaan dengan kejadian
dapat mengakibatkan penghuninya frambusia
berisiko terkena frambusia 4,19 kali lebih Hasil analisis faktor kondisi rumah
besar dibanding rumah yang tidak padat diketahui bahwa pencahayaan yang
penghuninya. Rumah sehat menurut buruk dapat mengakibatkan penghuninya
Winslow dalam (Entjang, 2000) harus memiliki risiko terkena frambusia 4,89
memenuhi beberapa persyaratan, kali lebih besar dibanding rumah yang
diantaranya adalah harus dapat memiliki pencahayaan baik. Faktor
mencegah terjadinya penularan penyakit. kondisi rumah yang meliputi kepadatan
Rumah yang dapat mencegah terjadinya hunian, pencahayaan, dan sarana air
penularan penyakit harus mempunyai bersih merupakan faktor risiko frambusia
kualitas sarana air bersih yang cukup di Puskesmas Biudukfoho dan bermakna
bagi penghuninya. Untuk perumahan secara statistik. Karena dengan padat
sederhana, minimum 8 m2/ orang, kamar penghuni dapat mempermudah proses

222
Yuliana Bita Musu, Budi setiawan, Subagiyono

penularan penyakit, rumah dengan statistik berkmakna sebagai salah faktor


pencahayaan yang buruk akan menjadi risiko framnbusia. Perilaku mandi yang
tempat perkembangbiakan bakteri buruk dapat berisiko 2,95 kali lebih besar
kususnya bakteri Treponema Pertenue, dibanding perilaku mandi yang baik.
biasanya ditempat-tempat yang lembab Hasil peneltian ini juga menunjukkan
dan tidak tahan panas. bahwa perilaku mandi yang buruk pada
kelompok kasus lebih besar dibanding
Kualitas sarana air bersih dengan kelompok kontrol, dimana pada
kejadian frambusia kelompok kasus sebesar 65,28%
Hasil analisis kualitas sarana air sedangkan pada kelompok kontrol
bersih yang buruk dapat 38,89%. %. Penelitian ini sejalan dengan
menyebabkan penghuninya mempunyai penelitian yang dilakukan oleh Indra
risiko terkena frambusia 16,43 kali Boedisusanto10 anak dengan perilaku
lebih besar dibanding dengan rumah mandi yang kurang berisiko terkena
yang dengan kualitas sarana air bersih frambusia sebesar 3,69 kali lebih besar
yang baik. Kualitas sarana air bersih dibanding anak dengan perilaku mandi
yang buruk dapat menyebabkan yang baik. Karena kebiasaan mandi yang
penghuninya tidak dapat melakukan buruk dapat meningkatkan proses
aktivitas sehari-hari dengan baik. Hasil penularan penyakit. Perilaku mandi yang
penelitian ini menunjukkan rumah yang buruk disebabkan oleh kurangnya
dengan kualitas sarana air bersih yang kesadaran masyarakat akan pentingnya
buruk pada penderita frambusia sebesar perilaku hidup bersih dan sehat. Kondisi
31,94% sedangkan rumah dengan ini juga terkait dengan sarana air bersih
kualitas sarana air bersih yang buruk yang buruk.
pada kelompok kontrol atau yang tidak
menderita frambusia adalah 2,78%. Perilaku menggunakan handuk dan
Ketersediaan kuliatas sarana air bersih atau pakaian secara bergantian
yang buruk disebabkan karena tempat dengan kejadian frambusia
tinggal responden di daerah yang Hasil analisis terhadap faktor
berbukit. perilaku bertukaran handuk dan pakaian
Responden yang memakai secara statistik bermakna sebagai faktor
perusahaan daerah air minum (PDAM) risiko kejadian frambusia. Perilaku
tidak ada dan sumur gali yang digunakan bertukaran handuk dan pakaian yang
masih belum memenuhi syarat buruk dapat berisiko 4.84 kali lebih besar
kesehatan. Contohnya sumur gali yang terkena frambusia.
memiliki jarak dengan sumber Hasil penelitian ini juga
pencemaran kurang dari 10 meter, menunjukkan bahwa perilaku bertukaran
sumber air tersebut tidak diberi dinding, handuk dan pakaian yang buruk pada
bibir terbuka dan tidak diplester semen kelompok kasus lebih besar dibanding
serta tidak memiliki saluran pembuangan kelompok kontrol, dimana pada
air limbah. kelompok kasus sebesar 68,05%
sedangkan pada kelompok kontrol
Kebiasaan mandi dengan kejadian 30,58%. Perilaku menggunakan handuk
frambusia dan atau pakaian secara bergantian
Hasil analisis terhadap faktor peilaku yang buruk kemungkinan disebabkan
diketahui bahwa perilaku mandi secara oleh kurangnya perilaku hidup bersih

223
Relationship Between Physical Environmental Factors and Behaviours of People with Yaws
in Biudukfoho Health Centers Belu Regency
dan sehat. Penelitian ini tidak sejalan Hayong. 2009. Menengok Penyakit
dengan penelitian yang dilakukan oleh Frambusia di Belu.
(Indra, 2007). Perilaku ganti Blum, H.L. 1974. Planning for Health,
pakaian/handuk yang kurang berisiko Development and Aplication of
terkena frambusia sebesar 1,54 kali lebih Social Changes Theory. New
besar dibanding anak dengan perilaku York: Human Sciences Press.
ganti pakaian/handuk yang baik, tetapi Sehgal, V.N., Jain, S., Bhattacharya,
tidak bermakna secara statistik. Hal ini S.N., Thappa, D.M., Yaws.
terjadi karena dengan perilaku Control/Eradication. International
menggunakan handuk dan atau pakaian Journal of Dermatology,
secara bergantian dapat menimbulkan 1994;33(1) Januari: 16-20.
penyakit apabila bergantian dengan Walker ,S., Hay, R., Yaws – a reviewof
orang yant menderita frambusia. the last 50 years, International
Journal of Dermatology,
KESIMPULAN 2000;39(4)Apr:258-60.
Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan
Ada hubungan kepadatan hunian
Masyarakat. PT.Citra Aditya
dengan kejadian frambusia di wilayah
Bakti, Bandung.
kerja Puskesmas Biudukfoho Kabupaten
Lubis, Pandapotan. 1985. Perumahan
Belu. Ada hubungan pencahayaan
sehat. Pusdiklat Depkes RI;
dengan kejadian frambusia di wilayah
Jakarta
kerja Puskesmas Biudukfoho Kabupaten
Boedisusanto, I. 2007. Analisis Kondisi
Belu. Tidak ada hubungan ventilasi
Rumah, Social, Ekonomi dan
dengan kejadian frambusia di wilayah
Perilaku Sebagai Faktor Risiko
kerja Puskesmas Biudukfoho Kabupaten
Kejadian Frambusia di Kota
Belu. Ada hubungan Kualitas sarana air
Jayapura. Tesis. Program Pasca
bersih dengan kejadian frambusia di
Sarjana Fakultas Kedokteran.
Wilayah Kerja Puskesmas Biudukfoho
Universitas Gajah Mada
Kabupaten Belu. Ada hubungan
kebiasaan mandi dengan kejadian
frambusia di Wilayah Kerja Puskesmas
Biudukfoho Kabupaten. Kebiasaan
bertukaran handuk dan pakaian dengan
kejadian frambusia di Wilayah Kerja
Puskesmas Biudukfoho Kabupaten Belu.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes. 2007. Profil Kesehatan
Indonesia. Depkes RI : Jakarta
Dinkes Kab. Belu. 2008. Profil Kesehatan
Kabupaten Belu. Belu: Dinas
Kesehatan.
Dinkes Kab. Belu. 2012. Profil Dinas
Kesehatan Kabupaten Belu. Belu:
Dinas Kesehatan.

224
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Vol. 07/No. 1/2014 225-231
EFEKTIVITAS KARBON AKTIF DAN KACA WOL SEBAGAI ADSORBEN DALAM
MENGURANGI EMISI KARBON MONOKSIDA DAN HIDROKARBON
SEPEDA MOTOR

Zulkifli Koho¹,Sri Muryani², Novita Sekarwati³


1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES WH
2
Dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta
3
Dosen Program Studi Kesehatan Lingkungan STIKES WH

ABSTRACT
Background: Emission is substance, energy and/or other component
released from an activity passing into and/or passed into the ambient air that
has and/or does not have potential as an element of contaminant. Exhaust
gas is a gas/waste material produced by fossil fuel ignition process in motor
vehicle engines.
Method: This research is an experiment with a one group pre and post
design. The object in this study is the emission of exhaust gas—carbon
monoxide (CO) and hydrocarbon (HC).
Results: The research on carbon monoxide shows a significant level a =
0.272 >0.05. Therefore, it can be concluded that there are no
differences in emission reduction average with the addition of 100
grams, 150 grams, 200 grams of activated carbon and 100 grams of
glass wool. The research on hydrocarbon shows significant level a =
0.973 > 0.05. Therefore, it can be concluded that there are no differences in
emission reduction average with the addition of 100 grams, 150 grams, 200
grams of activated carbon and 100 grams of glass wool.
Conclusion: Adding adsorbent materials—with variations in weight of 100
grams of activated carbon and 100 grams of glass wool, 150 grams of
activated carbon and100 grams of glass wool, 200 grams of activated carbon
and 100 grams of glass wool-affects the exhaust emission reduction. The
more variations of adsorbent materials added, the more emission reduced.

Keywords: Activated carbon, Glass wool, Carbon Monoxide (CO),


Hydrocarbon (HC)

PENDAHULUAN memadati ruas-ruas jalan di DIY, maka


muncul kekhawatiran akan berdampak
Dalam lima tahun terakhir,
pada penurunkan tingkat kualitas udara
perkembangan kendaraan bermotor di
atau berdampak pada tercemarnya udara.
DIY rata–rata 1,9% per tahun. Per-
Perda DIY No. 5 Tahun 2007 muncul
tambahan kendaraan bermotor baru
disebabkan oleh kualitas udara di
setiap tahun mencapai 83.761 unit, lebih
Yogyakarta yang dinilai cenderung
dari 90% di antaranya kendaraan roda
semakin turun dari tahun ke tahun.
dua atau sepeda motor, sedangkan
Keberadaan karbon monoksida (CO) dan
pertambahan kendaraan roda empat
hidrokarbon (HC) tidak bisa diabaikan
hanya 7.853 unit per tahun. Berkenaan
karena saat ini polutan yang dihasilkan
dengan masalah munculnya berbagai
oleh pembakaran yang tidak sempurna
jenis kendaraan bermotor yang telah

225
The Effectiveness of Activated Carbon and Glass Wool as Adsorbents in Reducing Carbon
Monoxide and Hydrocarbon Emissions on Motorcycle
ini berkisar 182 indeks standar darah dapat berasal dari rokok dan asap
pencemaran udara (ISPU), data tersebut dari kendaraan bermotor. Terhadap
menunjukan kualitas udara sudah tidak lingkungan udara dalam ruangan, gas CO
sehat (Bapedalda DIY, 2008). dapat pula merupakan gas yang
Berdasarkan data Badan Lingkungan menyebabkan building associated
Hidup DIY tahun 2012 dari hasil uji petik illnesses, dengan keluhan berupa nyeri
emisi gas buang sepeda motor di DIY dari kepala, mual, dan muntah.
253 sepeda motor terdapat 56 sepeda HC merupakan komponen polutan
motor yang tidak lulus uji petik emisi gas primer karena di lepaskan ke udara
buang. Gas CO dan HC merupakan salah secara langsung komponen hidrogen dan
satu polutan yang sering di jumpai. Gas karbon yang memiliki tiga bentuk yaitu
tersebut berbahaya bagi manusia di gas, cair dan padat. Hidrokarbon (HC)
sebabkan oleh efeknya terhadap merupakan polutan primer karena dilepas
kesehatan. Gas CO yang keluar dari ke udara ambien secara langsung,
knalpot akan berada di udara ambient, sedangkan oksidan fotokimia merupakan
jika terhirup oleh manusia maka molekul polutan sekunder yang dihasilkan di
tersebut akan masuk kedalam saluran atmosfir dari hasil reaksi-reaksi yang
pernapasan dan diteruskan ke paru – melibatkan polutan primer.
paru dan kemudian akan menempel pada Bila HC berada di udara dalam
haemoglobin dan akan membentuk jumlah banyak dan tercampur dengan
carboxy haemoglobin (COHb) bahan pencemar lain, maka sifat
(Wardhana, 2004). toksisnya akan meningkat. HC dalam
Semakin tinggi konsentrasi CO yang bentuk gas, cairan, dan padatan serta
terhirup oleh manusia maka semakin fatal bahan pencemar lainnya akan
risiko yang diterima oleh manusia membentuk ikatan-ikatan baru yang
tersebut,bahkan dapat menyebabkan disebut dengan polycyclic aromatic
kematian. Sifat CO yang berupa gas yang hydrocarbon (PAH) yang banyak terdapat
tidak berbau dan berwarna serta sangat di daerah industri dan padat lalu lintas
toksik tersebut, maka CO sering disebut serta bila PAH dihisap dan masuk dalam
sebagai silent killer. Efek terhadap paru-paru dapat menimbulkan luka di
kesehatan gas CO merupakan gas yang bagian dalam dan rnenimbulkan, infeksi
berbahaya untuk tubuh karena daya ikat serta merangsang terbentuknya sel-sel
gas CO terhadap Hb adalah 240 kali dari kanker, laryngitis phanya bronchitis serta
daya ikat CO terhadap O2. Apabila gas HC yang berupa etilen (C2H4) dapat
CO darah (HbCO) cukup tinggi, maka mengakibatkan kerusakan tanaman3).
akan mulai terjadi gejala antara lain Dengan melihat latar belakang
pusing kepala (HbCO 10% ), mual dan tersebut, maka peneliti tertarik untuk
sesak nafas (HbCO20%), gangguan melakukan penelitian dengan cara
penglihatan dan konsentrasi menurun menguji tingkat efektifitas arang aktif dan
(HbCO 30%) tidak sadar, koma (HbCO glass wool sebagai adsorben dalam
40-50%) dan apabila berlanjut akan dapat menurunkan emisi CO dan HC pada pada
menyebabkan kematian. Pada paparan kendaraan roda dua.
menahun akan menunjukkan gejala
gangguan syaraf, infark otak, infark
jantung dan kematian bayi dalam
kandungan. Gas CO yang tinggi di dalam

226
Zulkifli Koho, Sri Muryani, Novita Sekarwati

METODE PENELITIAN Objek pada penelitian ini adalah


emisi gas buang karbon monoksida (CO)
Penelitian ini eksperimen dengan
dan Hidrokarbon (HC) yang keluar dari
rancangan penelitian one group pre dan
knalpot sepeda motor merk X dan
post design (Notoatmodjo, 2005). Adapun
terdeteksi oleh alat Auto Check 974/S.
bentuk rancangan penelitian ini sebagai
berikut:
HASIL PENELITIAN
Eksperimen
Hasil Pengukuran
Pre Perlakuan Post
O1 Xa O’1
O2 Xb O’2 Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar CO
O3 Xc O’3 dengan Bahan Adsorben 100 gram Arang
Aktif dan 100 gram Glass Wool pada
Keterangan : Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan
O1 = Pengukuran kadar CO dan HC
Pengu- Kadar CO
sebelum perlakuan menggunakan
(100 gram arang aktif + 100 gram langan Pre Post Selisih %
glass wool) I 11,88 11,46 0,42 3,53
O2 = Pengukuran kadar CO dan HC II 16,16 13,30 2,86 17,6
sebelum perlakuan menggunakan III 16,33 14,07 2,26 13,8
(150 gram arang aktif + 100 gram 44,37 38,03 4,92 34,9
glass wool) 3
O3 = Pengukuran kadar CO dan HC 1f 14,79 12,94 1,84 11,6
sebelum perlakuan menggunakan 4
(200 gram arang aktif + 100 gram Catatan. Data primer.
glass wool)
Xa = Perlakuan dengan menggunakan Berdasarkan Tabel 1. rerata pre
(100 gram arang aktif + 100 gram sebesar 14,79% dan setelah perlakuan
glass wool) kadar emisi CO turun menjadi 12,94 %
Xb = Perlakuan dengan menggunakan selisih 1,84 % (11,64%).
(150 gram arang aktif + 100 gram
glass wool Tabel 2. Hasil Pengukuran Kadar CO
Xc = Perlakuan dengan menggunakan dengan Bahan Adsorben 150 gram Arang
(200 gram arang aktif + 100 gram Aktif dan 100 gram Glass Wool pada
glass wool Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan
O'1 = pengukuran kadar CO dan HC Pe- Kadar CO
setelah perlakuan menggunakan ngulang Pre Post Selisih %
(100 gram arang aktif + 100 gram an
glass wool) I 11,36 11,26 0,10 1,18
O'2 = Pengukuran kadar CO dan HC II 15,11 14,93 0,18 1,19
setelah perlakuan menggunakan III 15,11 12,26 2,86 18,9
(150 gram arang aktif + 100 gram 41,58 37,45 3,14 21,3
glass wool) 0
O'3 = Pengukuran kadar CO dan HC 1f 13,86 12,48 1,04 7,09
setelah perlakuan menggunakan Catatan. Data primer.
(200 gram arang aktif + 100 gram
glass wool)

227
The Effectiveness of Activated Carbon and Glass Wool as Adsorbents in Reducing Carbon
Monoxide and Hydrocarbon Emissions on Motorcycle
Berdasarkan Tabel 2. diketahui rerata Tabel 5. Hasil Pengukuran Kadar HC
pre sebesar 13,86% dan setelah dengan Bahan Adsorben 150 gram Arang
perlakuan kadar emisi CO turun menjadi Aktif dan 100 gram Glass wool pada
12,48% selisih 1,04% (7,09%). Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Pe- Kadar HC
Tabel 3. Hasil Pengukuran Kadar CO ngulang Pre Post Se- %
dengan Bahan Adsorben 200 gram Arang an lisih
Aktif dan 100 gram Glass Wool pada
I 4534 3576 755 17,42
Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan
II 4694 4437 256 29,02
Pe- Kadar CO III 4696 2452 2244 47,78
ngulang Pre Post Selisih % 13926 10468 3255 94,22
an 1f 4642 3489 1085 31,40
I 10,69 4,10 6,59 3,53 Catatan. Data primer.
II 15,11 11,01 4,10 27,13
III 16,16 11,16 5,00 30,94 Berdasarkan Tabel 5. rerata pre
41,96 26,27 15,69 61,60 sebesar 4642 ppm dan setelah perlakuan
1f 13,98 8,75 5,23 20,53 kadar emisi HC turun menjadi 3486 ppm
Catatan. Data primer. selisih 1085 ppm (31,40%).

Berdasarkan Tabel 3. rerata pre


Tabel 6. Hasil Pengukuran Kadar HC
sebesar 13,98% dan setelah perlakuan dengan Bahan Adsorben 200 gram Arang
kadar emisi CO turun menjadi 8,75% Aktif dan 100 gram Glass Wool pada
selisih 5,23% (20,53%). Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Pe- Kadar HC
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kadar HC ngulang Pre Post Se- %
dengan Bahan Adsorben 100 gram Arang an lisih
Aktif dan 100 gram Glass Wool pada
I 4334 3899 435 10,03
Kondisi Sebelum dan Sesudah Perlakuan
II 4694 4462 234 4,98
Pe- Kadar HC III 4486 2098 2388 53,23
ngulang Pre Post Selisih % 13516 10459 3057 68,24
an 1f 4505 3486 1019 22,74
I 4486 3703 783 17,45 Catatan. Data primer.
II 4534 3218 1316 29,02
III 4696 4073 623 13,26 Berdasarkan Tabel 6. rerata pre
13716 10994 2731 59,73 sebesar 4505 ppm dan setelah perlakuan
1f 4572 3664 910 19,91 kadar emisi HC turun menjadi 3486 ppm
Catatan. Data primer. selisih 1019 ppm (22,74%).

Berdasarkan Tabel 4. rerata pre Analisis Data


sebesar 4572 ppm dan setelah perlakuan Hasil uji analisis statistik dengan
kadar emisi HC turun menjadi 3664 ppm uji anova taraf signifikan a=0,05
selisih 910 ppm (19,91%). diperoleh P value untuk CO 0,272
sehingga p value >0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh
penurunan kadar emisi CO dengan

228
Zulkifli Koho, Sri Muryani, Novita Sekarwati

penambahan arang aktif menggunakan tidak terjadi perubahan penurunan secara


variasi berat 100,150 dan 200 gram serta bermakna.
glass wool 100 gram. Setelah diketahui
ketiga variasi adsorben tersebut Arang aktif 200 gram dan Glass wool
kemudian dilihat efektifitasnya meng- 100 gram
gunakan metode LSD memperoleh hasil Hasil menunjukkan pada perlakuan
yang menunjukkan bahwa tidak terjadi dengan menggunakan 200 gram arang
pengaruh yang signifikan yakni nilai aktif dan 100 gram glass wool terjadi
kemaknaan > 0,05. penurunan dengan nilai perbedaan rerata
Hasil uji analisis statistik dengan uji 0.80000 dan nilai kemaknaan 0,641> 0,05
anova taraf kemaknaan a = 0,05 yang berarti pemberian arang aktif 200
diperoleh P value untuk HC 0,973 gram glass wool dan 100 gram glass
sehingga p value >0,05 maka tidak ada wool tidak terjadi perubahan penurunan
pengaruh penurunan kadar emisi HC yang signifikan.
dengan penambahan arang aktif Uji signifikan LSD menunjukan
menggunakan variasi berat 100,150 dan penambahan bahan adsorben pada
200 gram serta glass wool 100 gram. knalpot kendaraan roda dua tidak
Setelah diketahui ketiga variasi adsorben menunjukan tingkat keefektifan dari ketiga
tersebut kemudian dilihat efektivitasnya variasi bahan adsorben yakni 100 gram,
menggunakan metode LSD memperoleh 150 gram, 200 gram arang aktif dan 100
hasil yang menunjukan bahwa tidak gram glass wool, namun secara deskriptif
terjadi pengaruh yang signifikan yakni penambahan bahan adsorben dengan
nilai kemaknaan > 0,05. variasi berat 100 gram, 150 gram, 200
gram arang aktif dan 100 gram glass wool
Pembahasan yang dipasang pada knalpot kendaraan
Arang aktif 100 gram dan glass wool roda dua terjadi penurunan kadar emisi
100 gram CO dan HC dengan variasi kemasan
Hasil menunjukan perlakuan dengan yang paling berat yakni 200 gram arang
menggunakan 100 gram arang aktif dan aktif dan 100 gram glass wool yang paling
100 gram glass wool terjadi penurunan banyak penurunan.
dengan nilai perbedaan rerata -2.85000 Hasil penelitian dan pengukuran
dan nilai kemaknaannya 0,131>0,05 yang diketahui bahwa tidak ada pengaruh
berarti pemberian arang aktif 100 gram penambahan arang aktif dan glass wool
dan 100 gram glass wool tidak terjadi dengan variasi berat, dapat menurunkan
perbedaan penurunan secara signifikan. emisi gas buang CO dan HC pada
kendaraan roda dua dengan obyek
Arang aktif 150 gram dan glass wool peneliatian ini adalah kendaraan bermotor
100 gram dengan merk X hal ini sesuai dengan
Hasil menunjukkan pada perlakuan pendapat Sunu (2001) yang menyatakan
dengan menggunakan 150 gram arang HC dan CO dapat dikendalikan dari
aktif dan 100 gram glass woll terjadi sumbernya dengan metode incenerasi,
penurunan dengan nilai perbedaan rerata adsorbsi dan kondensasi, Dari beberapa
2.85.000 dan nilai kemaknaan 0,131>0,05 metode tersebut peneliti menggunakan
yang berarti pemberian arang aktif 150 metode adsorbsi.
gram glass wool dan 100 gram glass wool Adsorpsi adalah proses terjadinya
perpindahan massa adsorbat dari fasa

229
The Effectiveness of Activated Carbon and Glass Wool as Adsorbents in Reducing Carbon
Monoxide and Hydrocarbon Emissions on Motorcycle
gerak (fluida pembawa adsorbat) ke dengan struktur pori internal yang
permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi menyebabkan arang aktif mempunyai
karena adanya gaya tarik menarik antara sifat sebagai adsorben. Arang aktif dapat
molekul adsorbat dengan tempat-tempat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa
aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi kimia tertentu atau sifat adsorpsinya
merupakan peristiwa terjadinya selektif, tergantung pada besar atau
perubahan kepekatan dari molekul, ion volume pori-pori dan luas permukaan.
atau atom antara permukaan dua fase Daya serap arang aktif sangat besar,
(Sembiring, 2003). yaitu 25- 1000% terhadap berat arang
Proses terjadinya penurunan kadar aktif (Notoatmodjo, 2005).
emisi terjadi karena melalui mekanisme Daya adsorpsi arang aktif yang tinggi
adsorpsi antara lain molekul adsorbat disebabkan jumlah pori-pori yang besar
berdifusi melalui suatu lapisan batas ke distribusi ukuran pori merupakan
permukaan luar adsorben (difusi parameter yang penting dalam hal
eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi kemampuan daya serap arang aktif
di permukaan luar, sebagian besar terhadap molekul yang ukurannya
berdifusi lanjut di dalam pori-pori bervariasi. disamping distribusi pori,
adsorben (difusi internal). Proses bentuk pori merupakan parameter yang
adsorpsi pada arang aktif terjadi melalui khusus untuk daya serap arang aktif yang
tiga tahap dasar, yaitu :zat terjerap pada terjadi. Pori-pori dengan bentuk silinder
bagian luar, zat bergerak menuju pori-pori lebih mudah tertutup yang
arang dan zat terjerap ke dinding bagian menyebabkan tidak aktifnya bagian
dalam dari arang (Sembiring, 2003) permukaan dari arang aktif tersebut
Beberapa faktor yang mempengaruhi (Sembiring, 2003).
adsorpsi antara lain adalah 1) Pada penelitian ini arang aktif serta
karakteristik fisis dan kimia adsorben, glass wool dengan variasi berat 100 gram
seperti luas permukaan, ukuran pori dan arang aktif dan 100 gram glass wool,150
komposisi arang aktif; 2) karakteristik gram arang aktif dan100 gram glass wool,
fisis dan kimia adsorbat, seperti 200 gram arang aktif dan 100 gram glass
ukuran molekul, kepolaran molekul dan wool dibentuk menjadi suatu kemasan
komposisi kimianya; 3) Lamanya proses yang kemudian di simpan di dalam
adsorpsi berlangsung. knalpot kendaraan yang kemudian akan
Arang aktif adalah arang yang telah mengadsorbsi gas emisi yang keluar dari
mengalami perubahan sifat – sifat fisik knalpot. Setiap kemasan akan
dan kimia dikarenakan telah dilakukan menunjukan sifat adsorbsi ini disebabkan
aktivasi sehingga daya serap dan luas karena arang aktif terjadi secara fisik di
permukaan partikel serta kemampuan mana suatu padatan berpori, yang
arang tersebut akan menjadi lebih tinggi. sebagian besar terdiri dari unsur karbon
Arang aktif merupakan senyawa karbon bebas dan masing - masing berikatan
amorph, yang dapat dihasilkan dari secara kovalen.
bahan-bahan yang mengandung karbon Beberapa hasil penelitian lain tentang
atau dari arang yang diperlakukan penambahan bahan adsorben adalah 1)
dengan cara khusus untuk mendapatkan Prasetya menggunakan bahan adsorben
permukaan yang lebih luas. Luas breksi batu apung, arang aktif, dan glass
permukaan arang aktif berkisar antara wool memperoleh hasil penurunan emisi
300-3500 m2/gram dan ini berhubungan CO dari 4,14% turun menjadi 1,99% dan

230
Zulkifli Koho, Sri Muryani, Novita Sekarwati

HC dari 903 ppm turun menjadi 470 ppm; DAFTAR PUSTAKA


2) Nugroho menggunakan bahan
Bapedalda DIY. 2008. Pencemaran
adsorben arang aktif tempurung kelapa
Udara Karbon Monoksida.
memperoleh hasil penurunan 693 ppm.
Didapatkan dari
Hasil penelitian menunjukan bahwa
http://www.BLHDIY.go.id ,
dengan memberikan bahan adsorben
diakses pada tanggal 13 Mei
pada knalpot kendaraan akan terjadi
2013.
proses adsorbs sehingga terjadi
Wardhana, S. 2004. Dampak
penurunan emisi gas buang.
Pencemaran Lingkungan.
Yogyakarta.
KESIMPULAN
Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara.
Tidak ada pengaruh penurunan emisi Bandung: ITB Bandung.
gas buang secara signifikan, namun Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi
apabila dilihat secara deskriptif terjadi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
penurunan dengan cara penambahan Rineka Cipta.
bahan adsorben 100 gram arang aktif dan Pramudya, S. 2001. Melindungi
100 gram glass wool yakni emisi CO dari Lingkungan dengan
14,79% turun menjadi 12,94% dan HC Menerapkan ISO 14.000.
dari 4572 ppm turun menjadi 3664 ppm Jakarta: PT Grasindo.
dengan presentase penurunan emisi CO Sembiring, M.T. 2003. Arang Aktif
sebesar 11,64% dan HC sebesar 19,91%. (Pengenalan dan Proses
Tidak ada pengaruh penurunan emisi gas Pembuatannya), Jurusan Teknik
buang secara signifikan, namun apabila Industri Fakultas Teknik
dilihat secara deskriptif terjadi penurunan Universitas Sumatera Utara.
dengan cara penambahan 150 gram Didapatkan dari
arang aktif dan 100 gram glass wool yakni http://www.lib.usu.ac.id diakses
emisi CO dari 13,86% turun menjadi pada tanggal 27 Maret 2013.
12,48% dan HC dari 4642 ppm turun
menjadi 3486 ppm dengan presentase
penurunan Emisi Karbon monoksida
sebesar 7,09% dan HC sebesar 31,40%.
Tidak ada pengaruh penurunan emisi gas
buang secara signifikan, namun apabila
dilihat secara deskriptif terjadi penuruna
dengan cara penambahan 200 gram
arang aktif dan 100 gram glass wool yakni
emisi CO dari 13,98% turun menjadi
8,75% dan HC dari 4505 ppm turn
menjadi 3486 ppm dengan presentase
penurunan emisi CO sebesar 20,53% dan
HC sebesar 22,74%.

231

Anda mungkin juga menyukai