Anda di halaman 1dari 4

Kebijakan Pemerintah Tentang Penyelesaian Masalah Implementasi Pembukaan Kode

Akses SLJJ PT Telkom


 03-12-2007
Menyusuli surat Dirjen Postel selaku Ketua BRTI kepada PT
Telkom  Nomer:520/BRTI/Telkom/X/2007 tanggal 2 Oktober 2007 perihal Surat
Peringatan Terkait Implementasi Kode Akses SLJJ PT Telkom di lima kota dan
kemudian berlanjut dengan surat serupaNomer:358/BRTI/Telkom/X/2007
tanggal 31 Oktober 2007 perihal Surat Peringatan Kedua Terkait Implementasi
Kode Akses SLJJ PT Telkom di lima kota, maka kemudian searah dengan
kondisi untuk menunggu respon dari PT Telkom, Pemerintah terus melakukan
pengkajian secara komprehensif, baik dalam lingkup internal Departemen
Kominfo dan BRTI maupun dalam lingkup Tim Terpadu (yang keanggotaannya
terdiri dari sejumlah pejabat dari Departemen Kominfo, BRTI, Departemen
Keuangan, Kantor Menteri Negara BUMN, Mastel, dan Perguruan Tinggi).
Berdasarkan pengkajian komprehensif tersebut, Pemerintah memutuskan untuk
menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Perubahan
Keempat Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 4 Tahun 2001
Tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 ( Fundamental
Technical Plan National 2000   ) Pembangunan Telekomunikasi Nasional.
Alasan utama perubahan peraturan tersebut adalah dengan memperhatikan
amanat Pasal 10, Pasal 19 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi, dan untuk keperluan percepatan pembangunan
telekomunikasi nasional, khususnya teledensitas, sehingga dipandang perlu
untuk mengubah ketentuan penerapan kode akses sambungan langsung jarak
jauh sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.4
Tahun 2001.
Implementasi pembukaan kode akses dilakukan secara hati-hati dan
komprehensif, yang didasarkan pada semangat infrastructure sharing,
peningkatan efisiensi, peningkatan teledensitas dan peningkatan kualitas
layanan serta untuk menjamin kepastian hukum dalam berusaha. Untuk itu
keputusan tersebut didasarkan pada empat pertimbangan, yaitu: aspek legal,
tehnologi (kesiapan teknis saat ini dan perkembangan tehnologi ke depan),
bisnis (kebutuhan investasi dan adanya fairness), dan peningkatan layanan
publik (khususnya teledensitas dan pemerataannya). Sebagai konsekuensinya,
pembukaan kode akses ini dilakukan per wilayah dan bukannya dalam lingkup
nasional, dengan alasan karena teledensitas dan penetrasinya di tiap wilayah
sangat variatif.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka kode akses pada tahap
pertama yang beroperasi di Indonesia wajib diberlakukan di wilayah
penomoran Balikpapan. Dengan demikian, selambat- lambatnya pada tanggal 3
April 2008 seorang pelanggan di wilayah penomoran Balikpapan dapat memilih
layanan SLJJ-nya dengan menggunakan angka "0" yang berlaku saat ini yang
berarti menggunakan jasa SLJJ PT Telkom atau dengan angka "011" yang
berarti menggunakan jasa SLJJ PT Indosat. Untuk berikutnya di tiap wilayah
penomoran akan dievaluasi untuk menentukan kelayakan pembukaan kode akses
di wilayah tersebut berdasarkan kesiapan kompetisi di wilayah penomoran
tersebut yang dihitung berdasarkan proporsi jumlah pelanggan antara
penyelenggara telekomunikasi pertama dengan yang berikutnya.
Kepala Bagian Umum dan Humas,

Kebijakan Telekomunikasi Belum


Menempatkan UU sebagai Payung
Intervensi pemerintah terhadap industri telekomunikasi masih kental. Selama
ini, kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi belum menempatkan
undang-undang (UU) sebagai payung untuk teknologi.
Ram/APr
0
Supaya kompetisi berlangsung fair, agaknya pemerintah harus melepaskan
100% sahamnya kepada masyarakat. Selama ini, baik pemerintah maupun
pelaku usaha di sektor telekomunikasi hanya menutup mata. Padahal dampak
yang ditimbulkan dari perlakuan istimewa tersebut menjadikan PT Telkom begitu
tambun dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
Kepemilikan saham pemerintah di dalam BUMN tersebut agaknya perlu
dipikirkan kembali mengingat mekanisme monopoli yang dibangun selama ini
tidak berjalan semestinya. Keberadaan UU No. 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi ternyata belum bisa dilaksanakan secara optimal.
Rosyid Hidayat, anggota Komisi IV DPR-RI, menyampaikan bahwa dalam
konteks pengembangan industri telekomunikasi ini pemerintah harusnya
menyadari bahwa dirinya tidak pintar sekaligus tidak peduli dengan industri dan
masyarakat.  "Kalau masih pintar tapi peduli itu masih bagus.
Sudah nggakpintar, nggak peduli," kata Rosyid.
Ia mencontohkan masalah VoIP  (Voice over Internet Protocol) merupakan satu
contoh kebodohan dari pemerintah. "Kita tidak menafikkan, pemerintah
membutuhkan uang segar. Jika mau jujur, mengapa persoalan VoIP ini tidak
ditenderkan seperti bisnis telepon selular," kata Rosyid. 
Sementara itu, pakar teknologi informasi Onno W. Purbo berpendapat bahwa
persoalan telekomunikasi di Indonesia tidaklah terbatas pada kasus PT Telkom
dan PT Indosat. PT Telkom dan PT Indosat hanyalah bagian terkecil dari industri
telekomunikasi. "Mengapa industri ini menjadi bias, karena pemerintah
mempunyai saham di PT Telkom," ujar Onno.
Onno menyarankan, supaya kompetisi berjalan fair di antara pelaku usaha,
sebaiknya pemerintah atau PT Telkom melepaskan sahamnya. Dengan begitu,
tidak ada perlakuan anak emas terhadap salah satu operator.
Struktur UU 36/99 menjadi rusak
Dengan adanya perkembangan teknologi, seakan struktur hukum dari UU No 36
tahun 1999 tentang Telekomunikasi menjadi rusak.  Onno mencermati, struktur
UU tersebut dibuat berdasarkan paradigma teknologi yang salah. UU tersebut
dibentuk dengan merujuk pada investasi teknologi yang mahal dan teknologi itu
sendiri sulit untuk dioperasikan.
Padahal teknologi hari ini bisa menyajikan satu struktur yang sederhana, jauh
lebih murah dan mudah dioperasikan. Buktinya, Onno menyatakan ia bisa
tersambung dengan internet tanpa meenggunakan jaringan milik PT Telkom dan
tanpa keterhubungan dari ISP (internet service provider).
Konsekuensinya, struktur industri yang dibangun dengan melandaskan pada UU
No 36/1999 tersebut juga turut hancur. "Ringkasnya, kebijakan dan regulasi yang
dibangun saat ini lebih berpihak pada mereka yang mempunyai uang," tegas
Onno.
Sementara itu, Ahmad Muqawam, Ketua Subkomisi Bidang Telekomunikasi,
mempersoalkan RUPS luar biasa PT Telkom beberapa waktu lalu. Beberapa hal
yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian dialihkan
kepada PT Telkom.
Muqawam menilai, turunnya saham PT Telkom di pasar bursa merupakan satu
fakta bahwa terjadi mismanajemen. "Untuk itu, DPR mencoba mencari solusi
terbaik bagi pemerintah untuk mengelola PT Telkom," kata Muqawam. 
Bak buah simalakama
Peristiwa beberapa waktu lalu yang cukup menggemparkan adalah masih
kentalnya intervensi pemerintah terhadap industri telekomunikasi. Kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah bak buah simalakama. Di satu sisi, pemerintah
lebih bertindak sebagai regulator. Namun di sisi lain, pemerintah bertindak
sebagai operator.
Hal tersebut disampaikan oleh Edmon Makarim, akademisi dari FHUI, yang
diminta pendapatnya oleh DPR terkait dengan industri telekomunikasi.
Menurutnya, kebijakan telekomunikasi saat ini belum menempatkan undang-
undang tersebut sebagai payung dari teknologinya.
Teknologi masih mejadi satu-satunya tujuan dalam pengembangan industri ini.
Padahal dalam perkembangannya, setiap orang bisa menajdi penyelengagra
jasa dan penyelenggara jaringan.  "Jujur saja, PT Telkom dan PT Indosat sudah
begitu tambun. Manajemen bisnisnya lebih diarahkan pada persoalan investasi
daripada pengembangan industrinya," kata Edmon.
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh PT Telkom dan PT Indosat untuk
menggunakan teknologi yang berasal dari luar negeri tentunya akan
menyebabkan biaya tinggi. "Dalam konteks ini, yang dirugikan pada akhirnya
adalah masyarakat," kata Edmon.    
Satu pekerjaan rumah bagi pemerintah, DPR, pelaku usaha, dan akademisi
adalah untuk duduk bersama dan membahas persoalan ini lebih konkret lagi.
Terutama, menyangkut amandemen terhadap blue print telekomunikasi
Indonesia di masa datang.

Anda mungkin juga menyukai