OLEH :
ANUGRAH JUNIARTI MH
(19.62202.054)
DOSEN PENGAMPU :
MUHAMMAD ISMAIL, M.Th.I
KOTA PAREPARE
Etos kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang
muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur. Etos Kerja merupakan
totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan
memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih
amal yang optimal (high performance).
Materi ke-2
Mengenai pengertian hukum ini ulama Islam merumuskan dengan perkataan: “hukum
itu ialah khithab (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf sebagai
ketetapan atau pilihan”. Hukum Ekonomi Islam yaitu, Konsep an-taradhini, tidak melakukan
bisnis ketika azan jum’at berkumandang sampai de-ngan selesai shalat jum’at, anti riba, anti
penimbunan, tidak ada unsur ketidak jelasan (gharar), barangnya milik sendiri, tidak
mengandung najis dan ketika melakukan akad/transaksi sesuai dengan aturan (syarat dan
rukun), tidak berjual beli hashat(undian), tidak berjual beli mulamasah(dengan cara
menyentuh), dan barang yang dijual bukan barang haram serta tidak ada unsur tipuan.Selain
itu, Secara prinsip bahwa akad jual beli harus terhindar dari enam ma-cam ‘aib, yaitu:
Ketidakjelasan (Al-Jaha-lah), pemaksaan (Al-Ikrah), pembatasan dengan waktu (At-Tauqit),
penipuan (Al-Gharar), kemudaratan (Adh-Dharar), syarat yang merusak.
Materi ke-3
Ayat tentang Etika Ekonomi dan Bisnis
Filosofis dasar untuk seorang pebisnis bahwa setiap gerak langkah aktivitas manusia
merupakan konsepsi penting hubungan manusia dengan sesama makhluknya maupun dengan
Tuhannya. Begitu pula dengan kegiatan berbisnis atau muamalah yang menjadi paradigma
agama universal, dengan kata lain kegiatan berbisnis tidak hanya semata-mata mengejar
materi saja tetapi spiritual juga (semata-mata untuk beribadah kepada Allah). Dengan
landasan inilah seorang pebisnis muslim terutama akan merasa datang kehadiran sosok ketiga
dalam kehidupannya, yaitu Allah dalam aspek kehidupannya yang menjadi bagian integral
setiap muslim.Hal ini karena bisnis Islam tidak semata-mata mencari kesenangan dunia tetapi
kesenangan ukhrawi terpenuhi pula. Etika dan bisnis dalam ekonomi Islam tidak semata-mata
dipandang sebagai dua hal yang bertolak belakang, jika kita bedah kembali dengan sudut
pandang Islam bisnis merupakan simbol urusan dunia, dimana kegiatannya lebih terfokus
pada pencapaian materi sedangkan etika merupakan Investasi akhirat maksudnya adalah jika
berbisnis dengan memakai etika dan semata-mata niat karena Allah SWT maka, diantara
keduanya merupakan dua hal yang saling berkesinambungan dan tak terpisahkan, sejalan
dengan kaidah dan moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat.
Materi ke-4
Dalam bahasa Arab (Islam) harta disebut sebagai Maal. Maal berarti “Segala sesuatu
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan,
rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan
dimanfaatkan oleh manusia. Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari
Allah SWT. Sedangkan, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini,
termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-
Nya.
Materi ke-5
Materi ke-6
Materi ke-7
Akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijarahjuga tidak berlaku pada
pepohonan yang untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi,
sedangkan akad al-ijarahitu hanya ditujukan kepada manfaat. Dasar hukum ijarah dari
ijma‟ialah bahwa semua ulama telah sepakat terhadap keberadaan praktek ijarah ini,
meskipun mereka mengalami perbedaan dalam tataran teknisnya. Ujarah merupakan akad
pemindahan hak guna atas barangatau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Hukum Ujrah asalnya menurut
jumhur ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh syara’.
Materi ke-8
Materi ke-9
Khiyar secara etimologi adalah memilih, sedangkan khiyar dalam jual beli menurut
syara’ ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad jual beli atau
membatalkannya.Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat
memikirkan sejauh mungkin kebaikan kebaikan berlansungnya jual beli atau kebaikan untuk
membatalkan jual beli, agar masing-masing pihak tidak menyesal atas apa yang telah
dijualnya atau dibelinya. Sebab penyesalan tersebut bisa terjadi karena kurang hati-hati,
tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor lainnya.Hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi
persyarata-persyaratan yang telah ditentukan, tetapi khiyar untuk menipu hukumnya haram
dan dilarang.
Materi ke-10
Setiap usaha, tentu harus memerhatikan cara dalam membukukan keuangan meskipun
masih dalam skala yang kecil. Sebab, saat usaha telah berkembang, maka otomatis pembelian
meningkat. Sehingga jumlah transaksi pun akan kian membesar.Saat itu lah, kita baru akan
sadar betapa pentingnya jumlah utang, pemasukan, serta piutang agar profit bisa diperoleh
secara maksimal. Kesalahan yang kerap dilakukan oleh pengusaha adalah mencampur aduk
keuangan. Biasanya, pemula merasa kebingungan memisahkan antara keuangan perusahaan
dan pribadi. Dengan begitu, maka akan ada kerancuan keuangan. Untuk itu, usaha sekecil apa
pun tetap harus melakukan pembukuan keuangan.
Materi ke-11
Syirkah merupakan akad antara pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.Menurut ahli fiqihMalikiyah, syirkah adalah kebolehan (atau izin) bertasharruf
bagi masing-masing pihak yang berserikat. Maksudnya masing-masing pihak saling
memberikan izin kepada pihak lain dalam mentasharrufkan harta (obyek) syirkah. Islam telah
membenarkan seorang muslim untuk menggunakan hartanya, baik itu dilakukan sendiri atau
dilakukan dalam bentuk kerjasama. Oleh karena itu Islam membenarkan kepada mereka yang
memiliki modal untuk mengadakan usaha dalam bentuk syirkah, apakah itu berupa
perusahaan ataupun perdagangan dengan rekannya.
Materi ke-12
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar
Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Demikian juga para ulama bersepakat
menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih
kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada
seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak
dan Daud (Al Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.