Anda di halaman 1dari 3

HUKUM ADAT DAYAK KANAYATN KALIMANTAN 

BARAT

Oleh : Irana Octa Alfiyana ( 15041015 )


Fakultas Hukum Semester IV Universitas Wijaya Putra Surabaya

Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum itu memiliki sanksi atas perbuatan yang
dilakukan oleh si pelanggar hukum. Di dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn (DK) di
Kalimantan Barat (Kalbar) berlaku pula hukum adat. Hukum adat ini adalah hukum yang tidak
tertulis dan di dalamnya terdapat konsekuensi hukum atau sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan.
Hukum adat yang berlaku di masyarakat DK Kalbar, diantaranya mengatur tentang hal-hal
sebagai berikut :

– Perkelahian
– Kasus Susila
– Menyangkut Harta Benda dan Tata Krama

Ketiga hal yang diatur itu merupakan jenis hukum adat. Hukum adat yang dikenakan
kepada pelaku suatu kasus tertentu harus dipatuhi oleh pelaku. Hukumannya berkaitan dengan
denda adat yang disebut tahil atau raga. Tahil atau raga itu diberlakukan sebagai nilai harga
untuk alat pengganti. Misalnya dalam kasus adanya korban yang meninggal dunia harus
dikenakan seperangkat adat raga nyawa. Contoh raga nyawa sebagai pengganti nyawa manusia
yang hilang diatur sanksinya sebagai berikut, telinga diganti dengan pahar harganya 1tahil, kulit
diganti talam dengan nilai 0,5 tahil. Hukum adat merupakan bagian dari kebudayaan karena
sebagaimana yang dikatakan Taylor (1971, dalam Suriasumantri  1982:26) bahwa kebudayaan
itu diartikan sebagai “keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral ,
hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat”.

Falsafah Hidup Masyarakat Dayak Kanayatn

Masyarakat DK Kalbar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat berpedoman pada


falsafah kehidupan yang dituangkan dalam bentuk semboyan. Falsafah dimaksud adalah “Adil
ka’Talino (berlaku adil terhadap sesama manusia (talino)), Bacuramin ka’Saruga (manusia harus
selalu berbuat baik (seperti kehidupan di surga)), Basengat ka’Jubata (manusia dalam kehidupan
di dunia ini selalu pasrah diri dan menyerahkan segala nafas (sengat) kehidupan hanya kepada
Tuhan Yang Maha Esa (Jubata))”. Falsafah tersebut terdiri atas tiga bagian yang mengandung
makna tersendiri. Hukum adat merupakan sarana mencapai keadilan (Adil ka’Talino), kebaikan
(Bacuramin ka’Saruga), dan pasrah diri di hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Basengat ka’Jubata).

Hukum Adat Sebagai Tradisi Lisan Dayak


Hukum adat dikatakan tradisi lisan karena bentuk-bentuk seperti hukum adat,
upacara, dan kesenian itu pada umumnya disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hoed (1998:186) bahwa
tradisi lisan adalah “berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun
disampaikan secara lisan….” Sejalan dengan pendapat Rufinus, dkk (2003:67) menyatakan
bahwa “adat berkaitan dengan tradisi lisan”.

Hukum Adat Sebagai Folklore

Tradisi lisan adalah bagian dari folklore. Folklore terdiri atas dua kata yaitu folk  adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya, sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai
kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device).
Dengan demikian, hukum adat sebagai tradisi lisan adalah bagian dari folklore.

Lembaga Adat Dayak Kanayatn

Menurut Miden (1997:23) bahwa selain adanya kepercayaan kepada Jubata tradisi
DK mewariskan hukum adat. Hukum adat ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakatnya
secara komunal maupun pribadi. Struktur pengurus adat dari tingkat atas sampai tingkat bawah
seperti berikut ini :

– Pasaro Palaya’Ango Binua dikepalai oleh seorang yang diberi gelar Patih dan dibantu oleh
seorang yang diberi gelar Mangku.

– Lintangan Binua Adat dikepalai oleh seorang yang diberi gelar Timanggong dan dibantu oleh
seorang yang diberi gelar Gapit Lintangan

– Radakng atau Kampong dikepalai oleh seorang yang diberi gelar Tuha atau Tuha Tumpuk.

Sejalan dengan itu, Rupinus dkk (2003:57) menyatakan bahwa “Masyarakat adat Dayak
Kanayatn memiliki organisasi sosial yang disebut kepengurusan adat. Kepengurusan adat ini
terdiri atas Timanggong, Pasirah, dan Pangaraga. Timanggong membawahi satu wilayah
kekuasaan adat yang disebut Binua. Satu Wilayah ini terdiri atas kampong-kampung. Dalam
menjalankan tugasnya seorang Timanggong dibantu oleh Pasirah dan Pangaraga yang terdapat
disetiap kampong.”

       Masyakarat DK Kalbar memiliki hukum adat yang eksis hingga saat ini. Eksistensi
hukum adat ini merupakan realisasi dari falsafah hidup masyakarat DK Kalbar yang pada
prinsipnya ingin menegakkan keadilan terhadap sesama manusia. Hukum adat merupakan tradisi
lisan karena disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dan diturun-temurunkan dari satu
generasi ke genrasi berikutnya. Oleh karena hukum adat disebut sebagai tradisi lisan maka
hukum adat adalah bagian dari folklore (tradisi rakyat). Hukum adat yang diterapkan mencakup
tiga jenis hukum adat yaitu perkelahian, kasus asusila, dan menyangkut harta benda dan tata
krama. Hukum adat ini memiliki sanksi hukuman berupa benda-benda atau peraga adat sebagai
pengganti kerugian pada korban.
Ada pengurus adat yang dipercaya sebagai petugas dalam mengurus persoalan hukum adat dan
adat istiadat. Petugas itu disebut Timanggong yang dibantu oleh Pasirah dan Pangaraga yang
memiliki tugas atau fungsi dan kewenangan masing-masing.

Pengetahuan dalam arti luas salah satu sumbernya adalah adat istiadat yang telah
terlembaga pada Masyarakat hukum adat. Terdapat 13 adat istiadat, baik yang berifat upacara
adat atau sanksi adat atas pelanggaran terhadap norma-norma adat, yang kesemuanya itu menjadi
acuan sikap dan perilaku Masyarakat hukum adat. Kemudian terkait dengan pendidikan, setiap
warga Masyarakat hukum adat tidak ada larangan secara adat untuk menempuh pendidikan
formal. 

Kegiatan ekonomi utama Masyarakat hukum adat adalah mengolah sumber daya alam
(bertani, berladang). Di dalam pemanfatan lahan (hutan) ada aturan-aturan yang harus ditaati
oleh warga Masyarakat hukum adat, sehingga pemanfaatan lahan (hutan) tersebut tidak
merugikan warga yang lain. Apabila ada warga Masyarakat hukum adat yang melanggar aturan
adat dalam pemanfaatan lahan (hutan), maka akan dikenakan sanksi adat Sebagai contoh, Adat
Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang menanami hutan adat tanpa seijin
pemuka Kampung. Kemudian dikenal pula Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan
tanah/hutan oleh pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin
penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung. 

Masyarakat hukum adat menggunakan bahasa daerah setempat (baca : Sekadau) ketika
berkomunikasi dengan sesama warga Masyarakat hukum adat. Dalam berkomuniaksi ini
Masyarakat hukum adat diharuskan memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku secara
turun temurun, dan apabila norma-norma tersebut tidak diindahkan akan mendapatkan sanksi
adat. Sebagai contoh Adat Pasupan, yaitu  sanksi kepada warga yang mengambil
tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah, mencaci maki, menghina, dan
berbicara kurang sopan.

Anda mungkin juga menyukai