Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KRITIK SASTRA

CONTOH ANALISIS KRITIK SASTRA


Muhammad Ilham, S.S., M.Pd

Lokal C
Kelompok 5 :

Nova Kalua (1740602101)


Karmila (1740602087)
Riswati (1740602114)
Anderson (1740602079)
Achmad Deimar Mus’uf (1740602100)

UNIVERSITAS BORNEO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Contoh Analisis Kritik
Sastra.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terimah kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Tarakan, 16 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................1
C. tujuan....................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kritik Akademik (analisis karya sastra)...............................................................................3
a. Penggalan Tesis Inung Setyami...................................................................................3
b. Penggalan skripsi Inung Setyami.................................................................................7
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan..............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kritik sastra akademik juga disebut kritik ilmiah karena penulisan kritik ini selalu
mengacu pada penulisan ilmiah. Pemilihan setting Jakarta sebagai latar belakang
(background) RPD memang sangat mendukung untuk menampilkan foroground yang dituju,
yakni sejarah yang terekspresi dalam teks RDP. Kutipan di atas, apabila dikaitkan dengan
realitas ekstratekstual memiliki korelasi bahwa pada tahun 1965 di Jakarta telah terjadi
penculikan para Jenderal.
Tohari memang tidak menyebutkan secara eksplisit peristiwa pada bulan Oktober dan
nama-nama jenderal yang terbunuh, Peristiwa sejarah pada bulan Oktober yang dimunculkan
Tohari dalam RDP memiliki korelasi dengan realitas sejarah yang diungkapkan oleh
Sumarwan (2007:333) bahwa G 30 S pecah di Jakarta, di Jawa Tengah sejumlah tokoh
militer dan pemerintahan sipil sempat mendukung gerakan ini. Namun pada 5 Oktober,
semua wilayah dikuasai oleh tentara yang anti-komunis.
Peristiwa sejarah yang berkaitan PKI dan RDP merupakan hal yang menyangkut
manusia dan kemanusiaan. Ada yang terbunuh, terasing, tertindas, dan ada yang terpenjara.
Setelah kudeta tahun 1965, jutaan orang yang dicurigai bersimpati terhadap komunisme
ditangkap atau dibunuh. Hal yang menggambarkan kondisi setelah terjadi Kudeta 1965.
Hukum pada masa itu bukan sebagai alat penegak keadilan dalam pembelaan kebenaran
namun sebagai alat kuasa untuk bertindak. Hukum bukan sebagai pengayom masyarakatnya,
melainkan sebagai ‘alat’ kekuasaan. Tidak ada yang dianggap benar jika bersangkut paut
dengan PKI. Hal ini dialami oleh warga Duku Paruk, yang telahtertuduh menjadi pengikut
bakar (PKI). Sejarah seakan tidak pernah tahu akan kebenaran, sejarah hanya melihat siapa
yag berkuasa pada masa ia dibuat dan untuk kepentingan apa ia tercatat. Setelah peristiea
kudeta PKI, pembersihan PKI dari bumi nusantara merupakan saat yang mencekam. Semua
menjadi serba salah. Bahkan suatu kesalahan tiba-tiba dianggap mutlak memiliki kebenaran,
atau sebaliknya.
Pada masa-masa tersebut, di kalangan masyarakat telah menyebar ‘virus’ ketakutan,
kebencian, dan ketidakpercayaan terhadap sesame. ‘Virus’ ini dapat dikatakan sebagai
“kejahatan terselubung berbasis kebencian” atau istilah populernya hate crime. Kejahatan ini
tidak selalu berupa kekerasan fisik, namun hasutan-hasutan dan stigmatisasi pada mereka
yang tertuduh sebagai antek komunis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kritik akademik?
2. Bagaimana penggalan tesis Inung Setyami?
3 Apa saja yang terdapat dalam penggalan Skripsi Inung Setyami?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah
Kritik Sastra dan guna untuk memperdalam pengetahuan tentang Contoh Analisis Kritik
Sastra, dan menambah wawasan bagi pembaca makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kritik Akademik
Kritik sastra akademik juga disebut kritik ilmiah karena penulisan kritik ini selalu
mengacu pada penulisan ilmiah.
1. Analisis Karya Sastra (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
a. Penggalan Tesis Inung Setyami: Ronggang dan Peristiwa Sejarah G 30 S PKI dalam
Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Dari hasil pembacaan pada kutipan teks RDP di atas, dapat diketahui bahwa Tohari
telah menggunakan realitas kota Jakarta sebagai repertoire. Pemilihan setting Jakarta sebagai
latar belakang (background) RPD memang sangat mendukung untuk menampilkan
foroground yang dituju, yakni sejarah yang terekspresi dalam teks RDP. Kutipan di atas,
apabila dikaitkan dengan realitas ekstratekstual memiliki korelasi bahwa pada tahun 1965 di
Jakarta telah terjadi penculikan para Jenderal.
Tohari memang tidak menyebutkan secara eksplisit peristiwa pada bulan Oktober dan
nama-nama jenderal yang terbunuh. Hal ini dapat dikatakan bahwa Tohari telah melakukan
usaha defamiliarisasi terhadap fakta-fakta yang familiar, namun demikian, dapat diketahui
bahwa peristiwa pada bulan Oktober tahun 1965 yang kemudian dikenal dengan Gestok
(Gerakan Satu Oktober) merupakan peristiwa pembunuhan tragis para jenderal yang terjadi
pada malam selewat tanggal 30 September atau dikenal dengan Gerakan Tiga Puluh . Ke-
enam jenderal yang di bunuh, yaitu A Yani, MT Haryono, Suprapto, S Parman, Panjaitan,
Siswomiharjo yang kemudian oleh Orde Baru dituduhkan kepada PKI.
Peristiwa sejarah pada bulan Oktober yang dimunculkan Tohari dalam RDP memiliki
korelasi dengan realitas sejarah yang diungkapkan oleh Sumarwan (2007:333) bahwa G 30 S
pecah di Jakarta, di Jawa Tengah sejumlah tokoh militer dan pemerintahan sipil sempat
mendukung gerakan ini. Namun pada 5 Oktober, semua wilayah dikuasai oleh tentara yang
anti-komunis. Dengan demikian, pengambilalihan kekuasaan militer oleh Jenderal Suharto
pada tahun yang sama (1965), menjadikan pembalikan situasi seratus delapan puluh derajad.
PKI yang pada awalnya berada “di atas angin”, menjadi buronan politik. Pada tahun itu,
terjadi kudeta PKI, namun pada tahun itu juga tentara melakukan pembersihan negara
terhadap orang-orang yang dianggap PKI dan memiliki hubungan dekat dengan PKI atau
sebagai simpatisan PKI. Ronggeng dan lagu Genjer-genjer dilarang karena dianggap sebagai
lagu PKI.
Demikian halnya orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, harus berurusan
dengan politik Orde Baru. Pada masa itu, masyarakat Jawa menganggap sebagai zaman
Kalatidu (dalam ramalan Jayabaya) atau zaman Kalatidha (Serat Ranggawarsita), atau istilah
populernya sebagai zaman Edan. Hal demikian karena terjadi ketidak jelasan antara
kesalahan dan kebenaran. Kesalahan kadan menjadi sesuatu yang benar, dan sebaliknya
kebenaran adalah adalah sebuah kesalahan besar. Pada masa tersebut yang ada hanyalah
suasana amarah, dendam, dan pembunuhan.
Tohari dalam RDP memang tidak menunjuk secara pasti hal-hal yang berkaitan dengan
PKI, namun demikian apa yang tertuang dalam RDP jelas merupakan momen perisriwa
sejarah yang dapat dicari repertoire-nya arau realitas ekstratekstualnya. Peristiwa sejarah
yang berkaitan PKI dan RDP merupakan hal yang menyangkut manusia dan kemanusiaan.
Ada yang terbunuh, terasing, tertindas, dan ada yang terpenjara. Setelah kudeta tahun 1965,
jutaan orang yang dicurigai bersimpati terhadap komunisme ditangkap atau dibunuh. Hal
yang menggambarkan kondisi setelah terjadi Kudeta 1965 tampak pada kutipan berikut.
Darah manusi begitu mudah ditumpahkan, nyawa begitu mudah dilayangkan. Yang
hendak merebut kuasa dan memperebutkan kuasa, dua-duanya terjebak dalam pilihan
membunuh atau dibunuh (Tohara, 2011 : 249).
Dan nasib sebenarnya yang harus dipikul oleh Dukuh paruk baru terjadi dua hari
kemudian. Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh
Paruk menyala, menyala! Api menggunung membakar Dukuh Paruk (Tohari, 2011:
242).
Dalam wawasan yang sederhana, sakarya mengakui geger politik 1965 telah
menggoyang keras citra dan konsep kepemimpinanya. Citra budaya Dukuh Paruk serta
merta telah dicap oleh masyarakat berbau atau bagian dari sistem yang telah
menyebabkan jenderal-jenderal mati terbunuh. Dukuh paruk dicatat sebagai anak
rencana jahat yang akan menjungkirbalikan semua tatanan di negara ini. Ronggengnya,
kecabulannya, dan terutama kehidupan rohaninya, dan terutama kehidupanrohaninya
(Tohari, 2011:259).
Kutipan di atas mampu memberikan gambaran bagaimana aksi kekejaman pada rezim
Orde Baru dalam pembersihan komunis. Pembersihan pembersihan mengakibatkan
pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran. Kondisi ini juga telah mengguncangkan
jiwa kamitua Dukuh Paruk. Keberadaan kesenian ronggeng sebagai pusat kehidupan
kerohanian/ kebatinan masyarakatnya dianggap sebagai biang keladi keonaran. Eksistensi
Secamenggala sebagai sumber kekuatan religi di pedukuhan tersebut mengalami kenisbian.
Citra Duku Paruk menjadi buruk karena telah dianggap stigma sebagai pedukuhan komunis.
Demikian halnya masyarakat yang menhuni pedukuhan tersebut, mereka dicap sebagai
‘pendosa’.
Hal tersebut secara lebih luas menggambarkan fenomena yang terjadi di negara ini.
Hukum pada masa itu bukan sebagai alat penegak keadilan dalam pembelaan kebenaran
namun sebagai alat kuasa untuk bertindak. Hukum bukan sebagai pengayom masyarakatnya,
melainkan sebagai ‘alat’ kekuasaan. Tidak ada yang dianggap benar jika bersangkut paut
dengan PKI. Hal ini dialami oleh warga Duku Paruk, yang telahtertuduh menjadi pengikut
bakar (PKI). Warga Duku Paruk kini tidak memiliki jati diri yang mandiri karena pusat
kehidupan kebatinan mereka telah dihancurkan, tampak pada kutipan berikut;
Tidak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggalla yang
turun temurun menjadi panutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak
terawat. Suara Calung, tembang ronggeng, serta pemujaan terhadap pemujaan ki
secamenggala adalah urusan-urusan yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian
sejarah. Dukuh Paruk hanya diam menerima perlakuan sajarah (Tohari, 2011:283).
Kutipan teks diatas hanyalah aspek semantik Tohari. Skematik yang diciptakan Tohari
dapat divisualisasikan untuk melihat hubungan teks dengan dunia luar, yakni realitas
mengenai sejarah pada masa itu yang begitu mudah membalikkan fakta apapun serupa
membalikkan telapak tangan. Oleh karena telah menjadi korban keganasan militer, seluruh
kehidupan Dukuh Paruk diporak-porandakan. Demikian juga pusat kehidupan rohani mereka.
Tidak hanya perusakan alam tempat tinggal namun juga perusakan kondisi psikologis, yakni
dengan tuduhan-tuduhan tak terduga. Tuduhan yang tak perlu penjelasan akan pembelaan
kebenaran. Semua yang tertuduh sebagai anggota atau partisipan PKI, mereka harus
menerima hukum oleh militer rezim Orde baru.
Langkah yang digerakkan oleh kekuasaan Soeharto adalah pembersihan negara dari
paham komunisme. Pembersihan ini dilakukan oleh aparat diseluruh tanah air. Pembersihan
dilakukan sangat tegas dan kaku tanpa perlu penjelasan. Langkah yang dilakukan militer pada
masa itu adalah melakukan pencatatan dan mencari orang-orang yang terdaftar memiliki
keterlibatan dengan PKI untuk dibunuh atau dipenjarakan. Hal ini tampak pada kutipan
berikut.
Kedua laki-laki berpistol itu berbicara dengan suara kecil.
“Mereka malah datang kemari. Bagaimana ini?”
“Betul nama-nama mereka tercantum dalam daftar?”
“Ini lihat!
“Saya kira ini kebetulan. Setidaknya menghemat pekerjaan.” (Tohara, 2011).
Pada kutipan di atas tampak dari percakapan rezim Orde Baru yang melakukan
pembincangan mengenai daftar nama-nama warga Dukuh Paruk yang perlu diciduk karena
memiliki keterlibatan dengan PKI. Hal ini merupakan fenomena sejarah yang dijadikan latar
penciptaan oleh Tohara. Kondisi tersebut merupakan ralitas yang perna terjadi di penjuru
negeri ini, termasuk Jawa, yaitu realitas pencidukan massa secara besar-besaran yang
dianggap sebagai musuh negara. Selanjutnya, orang yang telah ‘diciduk, karena terlibat
secara langsung bahkan yang sama sekali tidak terlibat namun menjadi tertuduh harus
menerima hukuman negara. Hukuman yang harus dijalani tertuduh, yaitu berupa penyiksaan,
pembunuhan, diasingkan, maupun dipenjarakan bertahun-tahun. Kondisi ini seperti yang
diungkapkan oleh Sumarwan 2007:325) bahwa pembantaian mulai beberapa minggu setelah
upaya kudeta G 30 S yang diawali dari Jawa Tengah. Pembantaian dilakukan oleh tentara.
Sejumlah besar korban pembantaian dibunuh, dipenjara, dan disembelih. Gambaran kondisi
ini tampak pada kutipan berikut.
Bahwa pergolakan hidup srintil yang sebenarnya baru dimulai sejak hari pertama ia
masuk tahanan, ada dalam sebuah catatan. Catatan itu diawali dengan kisah ronggeng
cantic berusia dua puluh tahun. Dia dipenjarakan secara fisik dan dikurung secara psikis
dalam tembok sejarah (Tohari, 2011:247)
Apalagi orang-orang pentong disana kemudian ditahan oleh petugas keamanan yang
menggap Sakaraya Kertareja dan Srintil ikut terlibat dalam gerakan orang-orang
komunis (Tohari, 2011: 235)
Pada kutipan diatas tampak bahwa Srintil telah menjadi salah satu korban atas
keberingisan rezim Orde Baru yang anti komunis. Gerakan pembersihan negara terhadap
antek-antek PKI pada masa itu telah mendatangkan malapetaka bagi Srintil yang
menyandang gelar sebagai seorang ronggeng. Apalagi pada masa sebelumnya Srintil selalu
dilibatkan oleh Bakar untuk meronggeng pada acara petemuan dan pidato-pidato propaganda
yang digalakkan Bakar. Hal inilah yang kemudian membuat Srintil dicap sebagai musuh
negara dan dikenai hukuman penjara. Tak hanya Srintil, tanah Dukuh Paruk dan warganya
juga menjadi korban oleh apparat. Tanah mereka dirusak melalui pembakaran dan orang-
orang penting/kamitua Dukuh Paruk, yakni Sakaraya dan Kertareja turut dimasukkan dalam
penjara akibat terlibat Lekra.
Kondisi tersebut memiliki korelasi dengan realitas sejarah yang terjadi pada masa itu
dimana Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Lembaga yang dianggap bentukan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni dan budaya telah menjadi boomerang untuk para
seniman. Banyak penari dan pemain calung yang tak tahu apa-apa menjadi korban
kebengisan politik hanya karena mereka dianggap sebagai simpatisan PKI. Fakta dan fiksi
dalam cerita Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa ronggeng/tayub dimanfaatkan Lekra
untuk merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap
komunis sudah lama menjadi bahan penelitian para ahli. Tohari menyusupkan pengalaman
batinnya sendiri ke dalam cerita itu.
Dari alusi sastra yang terdapat pada kutipan teks tersebut, yakni ‘penjara psikis’ tentu
dapat memberikan gambaran efek mengenai korelasi realistis tekstual dengan realistis
ekstratekstual. Para korban dicap sebagai makhluk “terkutuk” atas tragedy pembantaian yang
dilakukan PKI dana pa yang telah terjadi pada mereka (penindasan, pemenjaraan, dan
pembuangan serta pembunuhan) merupakan ‘azab’ yang harus mereka terima. Hal demikian
terjadi pada seniman yang tergabung dalam Lekra. Jika duku mereka mampu membanggakan
predukat kesenimannta, tidak demikian dengan pada kekuasaan Orde Baru. Ia harus
menerima predikat buruk sepanjang sejarah atas tuduhan yang ditudingkan kepadanya.
Kondisi demikian dipertegaskan pada kutipan dibawah ini.
Dukuh Paruk secara normal masih dituntut mengaku bersalah. Namun anak-anak
disana tetap ana-anak. Mereka akan lebih cepat lupa akan kobaran api yang membakar
gubug-gubug mereka seperti saat sesudah geger 1965 (Tohari, 2011: 275).
Kutipan diatas memberikan gambaran bagaimana kondisi batin/psikis yang harus
diterima masyarakat Dukuh Paruk selaku masyarakat yang dicap sebagai pemilik kesalahan
atas keonaran politik 1965. Mereka dianggap sebagai yang terlibat. Stigma besar sebagai eks
tapol terlanjur melekat pada diri orang Dukuh Paruk yang tertuduh, termasuk Srintil.
Sejarah seakan tidak pernah tahu akan kebenaran, sejarah hanya melihat siapa yag
berkuasa pada masa ia dibuat dan untuk kepentingan apa ia tercatat. Setelah peristiea kudeta
PKI, pembersihan PKI dari bumi nusantara merupakan saat yang mencekam. Semua menjadi
serba salah. Bahkan suatu kesalahan tiba-tiba dianggap mutlak memiliki kebenaran, atau
sebaliknya. Pada kondisi yang mencekam oleh terror dan fitnah tersebut, banyak massa yang
memiliki sikap apatis. Masyarakat takut disangkut pautkan pada peristiwa ’65. Sedapat
mungkin masyarakat akan memutus koneksi antara mereka yang dianggap pendosa pada
peristiwa ’65. Kondisi demikian pada hakikatnya telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial
yang sebelumnya masih terbangun. Hal ini tentu saja untuk menghindari tuduhan-tuduhan
yang begitu mudah ditudingkan pada masa itu. Kondisi ini seperti tampak pada penggalan
berikut.
“Tadi aku ingin memberi sirih dan pinang” kata penjual sirih kepada penjual
disebelahnya.
“Loh, lalu mengapa sampean tidak melakukannya?”
“Entahlah mbakyu. Padahal aku dulu selalu melakukannya bila Srintil datang kesini.
Sekarang aku takut salah” (Tohari, 2011: 282).
Pada kutipan di atas terlihat bahwa pemerintahan rezim Orba menimbulkan kecurigaan-
kecurigaan yang menyebabkan ketakutan kolektif dan personal. Berbuat baik kepada sesame
pun akan menimbulkan kesalahpahaman atas tuduhan keterlibatan sebagai partisipan PKI.
Hal ini dapat membahayakan pribadi. Pada masa-masa tersebut, di kalangan masyarakat telah
menyebar ‘virus’ ketakutan, kebencian, dan ketidakpercayaan terhadap sesame. ‘Virus’ ini
dapat dikatakan sebagai “kejahatan terselubung berbasis kebencian” atau istilah populernya
hate crime. Kejahatan ini tidak selalu berupa kekerasan fisik, namun hasutan-hasutan dan
stigmatisasi pada mereka yang tertuduh sebagai antek komunis. Contoh kasus terjadinya hate
crime di tanah air adalah pelarangan berkelanjutan nyanyian Genjer-Genjer, adanya
stigmatisasi bahwa yang tertuduh simpatisan PKI, atau seniman yang terlibat Lekra (termasuk
ronggeng pada masa itu) adalah ‘penjahat’ negara, agama dan moral. Cerita yang kemudian
berkembang dan melekat di benak masyarakat adalah bahwa para seniman Lekra yang
tergabung dalam PKI telah menyanyikan lagu Genjer-Genjer sambil menyiksa para jenderal
di lubang buaya.
b. Penggalan Skripsi Inung Setyami: Kritik Sosial berupa Pengurusan dalam Novel Jala
Karya Titis Basino.
Masalah politik yang terdapat dalam Novel Jala, yaitu masalah penggusuran yang
merupakan dari pemerintah yang merupakan salah satu wujud kebijakan penguasa guna
pembangunan infrastruktur . namun demikian kebijakan pemerintah ini bertambahnya beban
hidup rakyat miskin atau wong cilik. Kenijakan yang dilakukann penguasa terutama
pemeritah, yaitu kebijakan yang merupakan pembangunan infrastuktur yang mengakibatkan
kebanyakan masyarakat yag hidup dalam garis kemiskinan mengalami ketertindasan.
Ketertindasa ini menimpah parah tuna karya, tuna wisma, dan beberapa pekerja kasar seperti
kuli dan tukang becak. Hal ini dapat dilihat p[ada kutioan tersebut.
Keadaan yang nikmat untuk para pengendara becak itu berlangsung tidak langgeng.
Suasana dimana saja selalu berubah seperti digoyang oleh satu kekuatan alam yang
dating tak di undang. Sepeti ebuah angina puyu yang di takuti para nelayan dating pada
kontraktor luar negeri yang mengincar semua sudut kota Jakarta. Bahkan semua hubian
orang diukur akan dijadikan toko. Dan karena jalan sudirman saat itu sebagai nadi kota
Jakarta, yang dikiri dan kananya masih berhutan karet jadilah kue empuk yang mudah
di iris-iris para kontraktor. Peguasa yang saat itu tak mengenal banyak penguasa yang
akan mendirikan rumah seperti orang terbangun dari lelepnya orang tidur pulas. Mereka
mengizinkan saja semua proyek. Mengiayakan untuk pembangunan hotel dan gedung
perkantoran (Basino, 2002:6).
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahwa dalih apapun yang dilakukan para
kontraktor luar negeri termaksuk mlakukan pengusuran mendapat persetujuan ari pemerintah
dengan alas an untuk pembangunan, pemasukkan pendapatan, dan keindahan tata kota.
Pembangunan tersebut berupa pembangunan proyek, hotel-hotel dan gedumg-gedung
perkantoran. Yang didirikan di wilayah jalan sudirman yang masih berhutan karet. Kondisi
ini diperkirakan terjadi sekitar awal tahun 1960an , pada kurun waktu terebut sebagian dari
kota Jakarta masih berhutan karet karena belum banyak para pengusaha maupun kontraktir
yang membangun gedung-gedung baik perkantoran, perumahan, pusat perbelanjaan maupun
perhotelan, pembangunan gedung-gedung di tersebet mengakibatkan lahan-lahan perdesaan
dikota Jakarta baik persawahan terkikis habis karena telah berubah menjadi hunian dan
perkotaan warga Negara yang telah diizinkan oleh pemerintah untuk tinggal dan menetap
didaerah tersebut hal ini tampak pada kutipan tersebut.
Mana tepi kota Jakarta? Semua tanah sudah menjadi kota tidak adalagi sawah tanah
atau empang yang tinggal di daerah itu. Semua berubah jadi gugusan rumah tinggih dan
took milik warga Negara asing (Basino,2002:10).
Terlaksananya pembangunan diatas tidak luput dari gencarnya penggurusan yang
dilkukan pemerintah. Tentu saja hal ini pemerintah dinilai tidak tegas dan tidak
menimbangkan dampak kebelakang yang akan dialami sebagai warga yang menjadi korban
akibat adanya penggusuran sebagai salah-satu bentuk kebijakkan pemerintah. Pemerintah
hanya berfikir praktis dan instan terhadap pembangunan di wilayah Jakarta. Terjadinya
penggusuran untuk mempertegas jalannya pembagunan juga dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
Sekolah mendapat giliran juga mulai dip[indahan, pasar tradisional juga di ganti dengan
pasar swalayan yang serba ada. Juga took klontong digulung diubah wajah berupa
wajah cantik sebagai tokoh serba ada, dan akhirnya disebut mal. Gedung bioskop ikut
dapat giliran. Semua dikuasi satu tang denngan kode angka seiring nama pemilik.
Ketiks kots agak tertata kendaraan mulai meluap (Basino,2002:6)
Pada kutipan diatas, tampak bahwa pemerintah gencar melakukan penggusuran demi
melakukan pembagunan dan memindahkan atau mengganti bangunan dan fasilitas umum
seperti sekolah dan pasar tradisional menjadi bagunan yang baru yang dikuasi satu pihak atau
pemilik, yaitu pemaman model asing kutipan diatas mewakili tindakkan pemerintah kota
dipenjuruh wilayah Indonesia yang gencar membangun. Hasil pembangunan tersebut hanya
dikuasi oleh satu pemilik, yaitu investor asing rakyak kecil harus menerima dan tidak mampu
berbuat apa-apa terhadap kebijakkan penerintah berupah pemberian izin untuk mendirikan
berbagai proyek. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Bahkan bias saja ada sebidang tanah yang kosong hari ini, bias asaja besok sudah berisi
sebuah bagunan mgah, itu perumpamaannya, orang kecil hanya busa benggiong saja
memikirkannya. Segala sesuatu berubah secepat itu dengan adanya para kontraktor luar
negeri (Basino,2002:9).
Pada kutipan diatas, dapat diketahui gencarnyapembangunan yang dilakukan
pemerintah mengakibatkan menyusutnya lahan-lahan kosong yang dengan cepat telah berdiri
gedung mewah diatasnya sejak datangnya kontraktor luar negeri atas izin pemerintah.
Pembangunan gedung-gedung megah disini yang dimaksud yaitu perhotelan, pusat-puat
pembelnjaan, gedung-gedung perkantoran, tempat hiburan dan sebaginya yang jelas tdak
tersentu oleh masyarakat kalangan bawah.
Maraknya pembangunan ini secara tidak langsung juga mengakibatkan lapisan
masyarakat bawa tersingkir. Melihat kejadian ini rakyat kecil tak mampu berbuat apa-apa
terpaksa harus menerima bawha ruang hidupnya semakin sempit dan terbatas. Meningkatnya
laju pembangunan tersebut tentu saja menyebabkan berbagai kesenjangan-kesenjangan social
antara masyarakat yang berpunya dan masyarakat yang tak berada.
Pembangunan lahan kosong atau menggusur bangunan lama kemudian membangun
kembali bangunan besar seperti carrefour, giant, alfamart, indomaret, dan sebagainya
sebenarnya lebih menguntungkan pihak asing sebagai investor ketimbang pemerintah.
Pemerintah kurang mempertimbangkan dampak dari pengembangan infrastruktur tersebut,
padahal jika ditilik lebih dalam pembangunan tersebut lebih banyak memenuhi kebutuhan
orang kaya ketimbang rakyat miskin. Rakyat miskin tidak merasakan keuntungan apapun,
selain tertindas dan tersingkir akibat adanya penggusuran.
Pembangunan hipermarket yang memerlukan berhektar-hektar lahan tersebut juga
menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan pemerintah sendiri, yaitu hilangnya
sumber pendapatan lokal pemerintah. Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan hipermarket yang menjamur melumpuhkan sektor usaha kecil pasar tradisional.
Hal ini sesuai dengan pernyataan ketua umum asosiasi pedagang pasar seluruh Indonesia
(APPSI) yang mennyatakan bahwa sejak meningktnya pembangunan hipermarket, kios kios
berkurang hingga mencapai jumlah 400 kios (prasetyo, 2005: 118)
Demikian juga usaha pemerintah dalam pembangunan dan merenovasi pasar pasar
tradisional dengan penataan tata pasar yang lebih modern. Pembangunan ini hanya membuat
pedagang kecil semakin tersingkir oleh pedagang besar yang memiliki modal lebih besar dan
sanggup menyewah atau membayar pajak kios yang telah ditentukan pajak atau biaya sewa
kios yang kurng terjangkau bagi para pedagang kecil membuat mereka harus gulung tikar.
Hal ini bukan tidak mungkin hanya akan menambah daftar pengangguran di Indonesia.
Semakin besar tingkat pengangguran, semakin besar pula tingkat kemiskinan itu hanyalah
salah satu dampak beruntun adanya kebijakan pemerintah terhadap pembanguan infrastruktur
yang hanya mengejar “pertumbuhannya” tanpa mementingkan adanya pemerataan secara
keseluruhan. Dalam hal ini pemerintah seharusnya menggusur kemiskinan bukan menggusur
orang orang miskin dari perkotaan demikenyamanan segilintir masyarakat yaitu masyarakat
kalangan atas dan warga negara asing.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan data di atas, penulis dapat menyimpulan beberapa hal seperti: Kritik sastra
akademik juga disebut kritik ilmiah karena penulisan kritik ini selalu mengacu pada penulisan
ilmiah. Di dalam menganalisis karya sastra yang dapat kta anakisis seperti, skripsi, tesis, dan
disertasi. Dalam materi analisis kritik sastra pada penggalan tesis Inung Setyami dapat
menganalisis tesis tentang Ronggeng dan Peristiwa Sejarah G 30 S PKI dalam Novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Di dalam penggalan Skripsi Inung Setyami dapat membuat kritik
sastra mengenai kritik sosial berupa penggusuran dalam Novel Jala Karya Titis Basino.
DAFTAR PUSTAKA
Setyami, Inung. 2014. Melacak Repertoire Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai