Anda di halaman 1dari 2

Bahwa pergolakan hidup srintil yang sebenarnya baru dimulai sejak hari pertama ia

masuk tahanan, ada dalam sebuah catatan. Catatan itu diawali dengan kisah ronggeng cantic
berusia dua puluh tahun. Dia dipenjarakan secara fisik dan dikurung secara psikis dalam tembok
sejarah (Tohari, 2011:247)
Apalagi orang-orang pentong disana kemudian ditahan oleh petugas keamanan yang
menggap Sakaraya Kertareja dan Srintil ikut terlibat dalam gerakan orang-orang komunis
(Tohari, 2011: 235)

Pada kutipan diatas tampak bahwa Srintil telah menjadi salah satu korban atas keberingisan
rezim Orde Baru yang anti komunis. Gerakan pembersihan negara terhadap antek-antek PKI
pada masa itu telah mendatangkan malapetaka bagi Srintil yang menyandang gelar sebagai
seorang ronggeng. Apalagi pada masa sebelumnya Srintil selalu dilibatkan oleh Bakar untuk
meronggeng pada acara petemuan dan pidato-pidato propaganda yang digalakkan Bakar. Hal
inilah yang kemudian membuat Srintil dicap sebagai musuh negara dan dikenai hukuman
penjara. Tak hanya Srintil, tanah Dukuh Paruk dan warganya juga menjadi korban oleh apparat.
Tanah mereka dirusak melalui pembakaran dan orang-orang penting/kamitua Dukuh Paruk,
yakni Sakaraya dan Kertareja turut dimasukkan dalam penjara akibat terlibat Lekra.
Kondisi tersebut memiliki korelasi dengan realitas sejarah yang terjadi pada masa itu dimana
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Lembaga yang dianggap bentukan Partai Komunis
Indonesia (PKI) di bidang seni dan budaya telah menjadi boomerang untuk para seniman.
Banyak penari dan pemain calung yang tak tahu apa-apa menjadi korban kebengisan politik
hanya karena mereka dianggap sebagai simpatisan PKI. Fakta dan fiksi dalam cerita Tohari ini
melebur dalam cerita. Bahwa ronggeng/tayub dimanfaatkan Lekra untuk merebut dukungan
rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi
bahan penelitian para ahli. Tohari menyusupkan pengalaman batinnya sendiri ke dalam cerita itu.
Dari alusi sastra yang terdapat pada kutipan teks tersebut, yakni ‘penjara psikis’ tentu dapat
memberikan gambaran efek mengenai korelasi realistis tekstual dengan realistis ekstratekstual.
Para korban dicap sebagai makhluk “terkutuk” atas tragedy pembantaian yang dilakukan PKI
dana pa yang telah terjadi pada mereka (penindasan, pemenjaraan, dan pembuangan serta
pembunuhan) merupakan ‘azab’ yang harus mereka terima. Hal demikian terjadi pada seniman
yang tergabung dalam Lekra. Jika duku mereka mampu membanggakan predukat kesenimannta,
tidak demikian dengan pada kekuasaan Orde Baru. Ia harus menerima predikat buruk sepanjang
sejarah atas tuduhan yang ditudingkan kepadanya. Kondisi demikian dipertegaskan pada kutipan
dibawah ini.

Dukuh Paruk secara normal masih dituntut mengaku bersalah. Namun anak-anak disana
tetap ana-anak. Mereka akan lebih cepat lupa akan kobaran api yang membakar gubug-gubug
mereka seperti saat sesudah geger 1965 (Tohari, 2011: 275).
Kutipan diatas memberikan gambaran bagaimana kondisi batin/psikis yang harus diterima
masyarakat Dukuh Paruk selaku masyarakat yang dicap sebagai pemilik kesalahan atas keonaran
politik 1965. Mereka dianggap sebagai yang terlibat. Stigma besar sebagai eks tapol terlanjur
melekat pada diri orang Dukuh Paruk yang tertuduh, termasuk Srintil.
Sejarah seakan tidak pernah tahu akan kebenaran, sejarah hanya melihat siapa yag berkuasa pada
masa ia dibuat dan untuk kepentingan apa ia tercatat. Setelah peristiea kudeta PKI, pembersihan
PKI dari bumi nusantara merupakan saat yang mencekam. Semua menjadi serba salah. Bahkan
suatu kesalahan tiba-tiba dianggap mutlak memiliki kebenaran, atau sebaliknya. Pada kondisi
yang mencekam oleh terror dan fitnah tersebut, banyak massa yang memiliki sikap apatis.
Masyarakat takut disangkut pautkan pada peristiwa ’65. Sedapat mungkin masyarakat akan
memutus koneksi antara mereka yang dianggap pendosa pada peristiwa ’65. Kondisi demikian
pada hakikatnya telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya masih terbangun.
Hal ini tentu saja untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang begitu mudah ditudingkan pada
masa itu. Kondisi ini seperti tampak pada penggalan berikut.

“Tadi aku ingin memberi sirih dan pinang” kata penjual sirih kepada penjual
disebelahnya.
“Loh, lalu mengapa sampean tidak melakukannya?”
“Entahlah mbakyu. Padahal aku dulu selalu melakukannya bila Srintil datang kesini. Sekarang
aku takut salah” (Tohari, 2011: 282).

Pada kutipan diatas terlihat bahwa pemerintahan rezim Orba menimbulkan kecurigaan-
kecurigaan yang menyebabkan ketakutan kolektif dan personal. Berbuat baik kepada sesame pun
akan menimbulkan kesalahpahaman atas tuduhan keterlibatan sebagai partisipan PKI. Hal ini
dapat membahayakan pribadi. Pada masa-masa tersebut, di kalangan masyarakat telah menyebar
‘virus’ ketakutan, kebencian, dan ketidakpercayaan terhadap sesame. ‘Virus’ ini dapat dikatakan
sebagai “kejahatan terselubung berbasis kebencian” atau istilah populernya hate crime.
Kejahatan ini tidak selalu berupa kekerasan fisik, namun hasutan-hasutan dan stigmatisasi pada
mereka yang tertuduh sebagai antek komunis. Contoh kasus terjadinya hate crime di tanah air
adalah pelarangan berkelanjutan nyanyian Genjer-Genjer, adanya stigmatisasi bahwa yang
tertuduh simpatisan PKI, atau seniman yang terlibat Lekra (termasuk ronggeng pada masa itu)
adalah ‘penjahat’ negara, agama dan moral. Cerita yang kemudian berkembang dan melekat di
benak masyarakat adalah bahwa para seniman Lekra yang tergabung dalam PKI telah
menyanyikan lagu Genjer-Genjer sambil menyiksa para jenderal di lubang buaya.

Anda mungkin juga menyukai