Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

ESOTROPIA

Oleh:
Auxyline Pasila Galla
K1A1 13 103

Pembimbing
dr. Suryani Rustam, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
1

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Auxyline Pasila Galla S.Ked
Stambuk : K1A1 13 103
Judul Referat : Esotropia

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas HaluOleo.

Kendari, Maret 2021


Mengetahui :
Pembimbing,

dr. Suryani Rustam, Sp.M


2

Esotropia
Auxyline Pasila Galla, Suryani Rustam

A. PENDAHULUAN
Ablasio retina adalah suatu kelainan pada mata yang disebabkan oleh karena
terpisahnya lapisan neuroretina dari lapisan epitel pigmen retina akibat adanya
cairan di dalam rongga subretina atau akibat adanya suatu tarikan pada retina oleh
jaringan ikat atau membran vitreoretina. Terdapat tiga tipe utama ablasio retina,
yakni ablasio regmatogen, ablasio traksi, dan ablasio eksudatif. Jenis ablasio yang
paling sering terjadi dari ketiga tipe tersebut adalah ablasio regmatogen. Juga
merupakan salah satu kasus emergensi oftalmologi karena dapat menyebabkan
kebutaan jika tidak ditangani dengan segera1,2

Pada dasarnya ablasio retina adalah suatu kelainan mata bilateral, sehingga
harus diperiksa dan ditangani kedua mata. Biasanya ablasio retina ini adalah suatu
kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya usia dan miopia tinggi, di mana
akan terjadi perubahan degeneratif pada retina dan vitreus. Diperkirakan prevalasi
retina adalah 1 kasus dalam 10.000 populasi. Prevalansi meningkat pada beberapa
keadaan seperti Miop tinggi, afakia/pseudofakia dan trauma. Pada penderita-
penderita ablasio retina ditemukan adanya miopia sebesar 55%, degenerasi Lattice
20-30%, trauma 10-20% dan afakia/pseudofakia 30-40%.2

Pada populasi negara barat seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia
insiden ARR adalah 6,1 – 9,8 kasus per 100.000 orang selama tahun 1970an,
meningkat menjadi 11,8 – 17,9 kasus per 100.000 orang pada tahun 1990an.
Sebuah studi baru-baru ini melaporkan insiden 12,05 kasus per 100.000 orang di
awal abad ke-21 pada populasi yang relatif lebih muda, sedangkan penelitian lain
di Belanda melaporkan kejadian 17,42 kasus per 100.000 orang per tahun pada
populasi yang relatif lebih tua. Insidennya meningkat pada usia 60 – 69 tahun dan
secara signifikan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan.3

Beberapa faktor risiko telah dijelaskan dapat mempengaruhi munculnya ARR


secara signifikan diantaranya operasi katarak, miopia tinggi, trauma okular,
3

infeksi okular, degenerasi lattice, dan glaukoma. Pada janin 1 bulan akan
terbentuk optik vesikel secara bilateral, yang kemudian akan melipat ke dalam
membentuk optic cup, rongga vesikel ini berhubungan dengan ventrikel otak.
Optic cup ini akan mengalami invaginasi lebih lanjut dan meninggalkan rongga
potensial di antara lapisan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina yang
merupakan tempat terjadinya ablasio retina pada dewasa.2,3

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Anatomi Mata
Mata merupakan organ visual yang terdiri dari bola mata (Bulbus
oculi) dan struktur tambahan (Structurae oculi accessorae). Bola mata
terletak di suatu cavitas yang menyerupai piramid segi empat berongga
dengan dasar yang mengarah ke anteromedial dan apeks ke posteromedial.
Bola mata terdiri atas kornea dan nervus opticus.4
Bola mata orang dewasa normal memiliki diameter anteroposterior
sekitar 24,2 mm. Bola mata terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan luar
(fibrosa), lapisan tengah (vaskular), dan lapisan dalam. Lapisan fibrosa
terdiri dari sklera dan kornea. Lapisan vaskular yang kaya pembuluh darah
terdiri dari koroid, korpus siliaris, dan iris. Lapisan dalam terdiri atas
retina yang memiliki bagian optik dan non-visual Bola mata memiliki
media refraksi yaitu media yang dapat membiaskan cahaya yang masuk ke
mata, yaitu lensa, kornea, aqueous humor, dan vitreous humor.4

Gambar 1. Anatomi Mata.4


4

a. Sklera
Sklera merupakan lapisan luar berwarna opak yang menutupi
lima perenam posterior bola mata. Sklera memiliki ketebalan 0,5 mm,
terdiri atas jaringan ikat padat, dan relatif avaskular. Di bagian posterior
sklera akan menebal dan bergabung dengan epineurium yang melapisi
nervus opticus.4
b. Kornea
Kornea adalah selaput bening yang menutupi seperenam
anterior bola mata. Kornea memiliki lima lapisan yaitu :
1) Epitel
Epitel pada kornea memiliki ketebalan 50 mm dan terdiri
atas lima lapis epitel tidak bertanduk; sel basal, sel poligonal, dan
sel gepeng.4
2) Membran Bowman
Membran bowman terletak di bawah membran basal epitel
kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur.4
3) Stroma
Stroma menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma
tersusun atas jalinan lamella serat serat kolagen yang memiliki
tinggi 1-2 µm dan lebar sekitar 10-250 µm.4

4) Membran Descement
Membran descement merupakan membran aselular yang
sangat elastis. Saat lahir tebalnya sekitar 3 µm dan terus menebal
hingga 10-12 µm.4
5) Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berbentuk heksagonal, dan
hanya memiliki satu lapis sel.4
c. Koroid
Koroid merupakan lapisan yang sangat vaskular pada dua
pertiga posterior mata yang tersusun atas jaringan ikat longgar
bervaskular yang banyak mengandung fibroblast, melanosit, serat
5

kolagen dan elastin, limfosit, makrofag, sel mast, dan sel plasma.
Koroid memiliki banyak pembuluh darah yang berfungsi untuk
memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya.4
d. Korpus Siliaris
Korpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid
ke pangkal iris. Korpus siliaris terdiri atas pars plicata dan pars plana.
Processus siliaris berasal dari pars plicata yang merupakan pembentuk
aqueous humor.4
e. Iris
Iris merupakan perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Di
dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot otot dilator. Iris
mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dengan
mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil.4
f. Retina
Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya dan terdiri atas sembilan lapisan, yaitu :
1) Membran Limitans Interna
Merupakan membran hialin antara retina dan corpus vitreum.4
2) Lapisan Serat Saraf
Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus
opticus.4
3) Lapisan Sel Ganglion
4) Lapisan Pleksiform Dalam
Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel bipolar dan sel
amakrin.4
5) Lapisan Inti Dalam (Nukleus Dalam)
Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal, dan sel bipolar.4
6) Lapisan Pleksiform Luar
Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel horizontal dan
sel bipolar.4
7) Lapisan Inti Luar (Nukleus Luar)
6

8) Membran Limitans Eksterna


9) Lapisan Fotoreseptor
Terdiri atas sel batang dan sel kerucut.4
10) Epitel Pigmen Retina
g. Lensa
Lensa merupakan struktur bikonkaf yang transparan dan
avaskular dengan tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Terletak di
posterior iris dan anterior vitreous humor. Lensa ditahan ditempatnya
oleh ligamentum suspensorium atau zonula zinni yang tersusun atas
banyak fibril. Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air dan sekitar
tiga puluh lima persennya terdiri atas protein.4
h. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh korpus siliaris. Aqueous humor
memberi nutrisi untuk kornea dan lensa yang tidak memiliki pembuluh
darah. Aqueous humor akan masuk ke camera oculi posterior, berjalan
melalui pupil ke dalam camera oculi anterior, dan bermuara ke dalam
sinus venosus sklera atau canalis sclem.4
i. Vitreous Humor
Vitreous humor merupakan cairan yang berada di dalam corpus
viterum. Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola
mata agar tetap bulat. Berfungsi untuk mentransmisi cahaya, menahan
retina, dan menopang lensa.4
j. Otot Ekstraokuler Orbita
Bola mata memiliki 2 kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan
otot ekstrinsik. Otot intrinsik bersifat involunter, terdiri dari otot siliaris
(sfingter dan dilator iris) dan otot-otot yang terdapat di dalam bola mata
yang berperan dalam mengatur gerakan struktur internal bola mata. Otot
ekstrinsik bersifat volunter, terdiri dari otot-otot ekstraokular yang
berperan dalam mengatur gerakan bola mata. Otot ekstraokular terdiri
dari 7 otot, yaitu 4 otot rektus, 2 otot oblik dan 1 otot levator palpebra.
Secara umum otot ekstraokular berperan dalam menggerakkan bola
7

mata, tetapi otot levator palpebral memiliki fungsi yang berbeda. Otot
ini berfungsi untuk elevasi palpebra superior.5
Otot ekstra okuler orbita terdiri dari:
1) Levator palpebrae superioris
Levator palpebrae superioris melebar menjadi bilaminar
aponeurosis. Bagian superfisial lamina melekat pada kulit palpebra
superior dan lamina profundus pada superior tarsus. Otot ini setiap
saat melawan gravitasi dan merupakan antagonis setengah bagian
superior musculus orbicularis oculi (sphincter palpebral
fissure).Lamina profundus bagian distal otot terdiri dari ototo polos,
yaitu superior tarsal muscle, yang menghasilkan pelebaran
tambahan fisura palpebralis, terutama selama respon simpatis,
misalnya saat ketakutan.Walaupun demikian, otot ini berfungsi
secara terus menerus walau tidak ada respon simpati.6
2) Empat recti (superior, inferior, medial, and lateral)6
3) Dua obliques (superior daninferior)5
Semua otot ini bergerak bersama untuk menggerakkan
palpebra superior dan bulbus okuli.6
Otot ekstraokular terdiri dari 6 otot utama yaitu rektus superior,
rektus medial, rektus inferior, rektus lateral dan 2 otot oblik yaitu oblik
superior dan oblik inferior. Otot-otot ini terletak di dalam rongga orbita
dan dikelilingi oleh lemak serta jaringan ikat fibroelastik.Otot
ekstraokular membentuk kerucut otot (musclecone) pada bagian
posterior dari garis ekuator bola mata. Jaringan lemak mengisi bagian
dalam kerucut tersebut.5
8

Gambar 2.Otot ekstraokuler.5


Empat otot rektus memiliki origo di cincin tendon yang
terletak di apeks orbita dan disebut Annulus of Zinn.Insersi otot-otot
ini terletak di sklera pada bagiananterior tepatnya 4-8 mm di
belakang limbus. Insersi otot rektus medial, rektusinferior, rektus
lateral, dan rektus superior, secara berurutan terletak semakin
menjauh dari limbus membentuk spiral imajiner yang disebut Spiral
of Tillaux.5

Gambar 3. Spiral of Tillaux.5


Otot oblik superior berasal dari periosteum tulang sfenoid di
bagian superomedial foramen optik.Otot tersebut memanjang ke
troklea di superonasal rima orbita dan masuk ke sklera di bagian
superior, di bawah insersi otot rektus superior.Otot oblik inferior
berasal dari cekungan dangkal di lempeng orbita tulang maksila, di
sudut anteromedial lantai tulang orbita dekat fossa lakrimalis.Otot
9

tersebut memanjang ke posterior, lateral dan superior lalu masuk ke


sklera di kuadran posterior inferior temporal.5
2. Fisiologi Penglihatan
a. Proses Refraksi
Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada media
transparan lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium
dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga
berlaku). Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai
permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak lurus.
Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Pada
permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan,
semakin besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa. Ketika suatu
berkas cahaya mengenai permukaan lengkung suatu benda dengan
densitas lebih besar maka arah refraksi bergantung pada sudut
kelengkungan. Permukaan konveks melengkung keluar (cembung,
seperti permukaan luar sebuah bola), sementara permukaan konkaf
melengkung ke dalam (cekung, seperti gua). Permukaan konveks
menyebabkan konvergensi berkas sinar, membawa berkas-berkas
tersebut lebih dekat satu sama lain. Karena konvergensi penting untuk
membawa suatu bayangan ke titik fokus, maka permukaan refraktif
mata berbentuk konveks. Permukaan konkaf membuyarkan berkas sinar
(divergensi). Lensa konkaf bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan
refraktif tertentu mata, misalnya berpenglihatan dekat.6
b. Struktur Refraktif Mata
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif
mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung,
struktur pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut masuk
mata, berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata
karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh
lebih besar daripada perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan
di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea tidak rata
10

sehingga berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama.


Kemampuan refraktif kornea seseorang tidak berubah, karena
kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan
refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya
sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh.6
Berkas cahaya dari sumber sinar berjarak lebih dari 20 kaki (= 6
meter) dianggap paralel pada saat berkas tersebut mencapai mata.
Sebaliknya, berkas cahaya yang berasal dari benda dekat masih tetap
berdivergensi ketika mencapai mata. Untuk kemampuan refraktif
tertentu mata, diperlukan jarak lebih jauh di belakang lensa untuk
membawa berkas divergen suatu sumber cahaya yang dekat ke titik
fokus daripada membawa berkas paralel suatu sumber cahaya yang jauh
ke titik fokus. Akan tetapi, pada mata tertentu, jarak antara lensa dan
retina selalu sama. Karena itu, tidak terdapat jarak yang lebih jauh
setelah lensa untuk membawa bayangan benda dekat ke fokus. Namun,
agar penglihatan jelas maka struktur-struktur refraktif mata harus
membawa bayangan dari sumber cahaya jauh atau dekat ke fokus di
retina. Jika suatu bayangan sudah terfokus sebelum mencapai retina
atau belum terfokus ketika mencapai retina, maka bayangan tersebut
akan terlihat kabur. Untuk membawa bayangan dari sumber cahaya
dekat dan jauh jatuh di titik fokus di retina (yaitu dalam jarak yang
sama) maka harus digunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber
cahaya dekat.6
C. DEFINISI
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dari sel epitel retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat
erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel
batang retina tidak terdapat suatu perlekatan structural dengan koroid atau
pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas
secara embriologis.8
11

Gambar 4. Ablasio Retina


Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang koroid atau sel pigmen epitel
akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang
bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.
Ada tiga klasifikasi ablasio retina yaitu ablasi retina regmatogenosa, ablasi
retina eksudatif, ablasi retina traksi (tarikan).8
D. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan prevalensi ablasio retina adalah 1 kasus dalam 10.000
populasi. Prevalensi meningkat pada beberapa keadaan seperti miopia tinggi,
afakia/pseudoafakia dan trauma. Pada mata normal, ablasio retina terjadi pada
kira-kira 5 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Insidens ablasio
retina idiopatik berdasarkan adjustifikasi umur diperkirakan 12,5 kasus per
100.000 per tahun atau 28.000 kasus per tahun. Ablasio retina terjadi kira-kira
5-16 per 1000 kasus diikuti oleh penyebab operasi katarak, dan ini terdiri dari
sekitar 30 - 40 % dari semua ablasio retina yang dilaporkan.9
Insiden ARR adalah pada kelompok umur 55 – 59 tahun. Penelitian
lain (2010) di Skotlandia mendapatkan distribusi umur pada kelompok usia
60 – 69 tahun merupakan puncak insiden ARR. Penelitian di Singapura
melaporkan rerata umur pasien adalah 46,1 ± 15,5 tahun dengan mayoritas
pasien antara usia 41 – 60 tahun (Rosman, et al., 2002). Pada penelitian ini
didapatkan kejadian ARR tertinggi adalah pada kelompok umur 51 – 60 tahun
yaitu sebesar 57,7%. Komplikasi dari posterior vitreous detachment (PVD)
12

dan komplikasi lambat dari ekstraksi katarak diasumsikan sebagai penyebab


ARR umumnya terjadi pada usia tua.9
E. ETIOLOGI
Retina merupakan selaput transparan di bagian belakang mata yang
mengolah bayangan yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio
retina seringkali dihubungkan dengan adanya robekan atau lubang pada
retina, sehingga cairan di dalam mata merembes melalui robekan atau lubang
tersebut dan menyebabkan terlepasnya retina dari jaringan di bawahnya. Hal
tersebut bisa terjadi akibat:
1. Malformasi kongenital
2. Kelainan metabolisme
3. Penyakit vaskuler
4. Inflamasi intraokuler
5. Neoplasma
6. Trauma
7. Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina
Selain itu etiologi yang terkait dengan ablasio retina adalah miopia,
katarak removal, dan trauma. Sekitar 40 - 50 % dari semua pasien dengan
ablasio retina memiliki miopia. Ablasio retina yang berhubungan dengan
miopia cenderung terjadi pada pasien berusia 25 - 45 tahun, sementara non-
miopia cenderung terjadi pada orang tua. Pasien dengan miopia tinggi ( >6D),
lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, memiliki resiko
seumur hidup 5% dari ablasio retina. Ablasio retina terjadi kira-kira 5-16 per
1000 kasus diikuti oleh penyebab operasi katarak, dan ini terdiri dari sekitar
30 - 40 % dari semua ablasio retina yang dilaporkan. Faktor-faktor resiko
yang terkait dengan ablasio retina dalam katarak removal yang tidak
disengajakan (accidental) adalah posterior kapsul pecah pada saat operasi,
usia muda, panjang aksial meningkat, ruang bilik mata depan yang dalam,
dan jenis kelamin laki-laki. Kira-kira 10 - 20% dari ablasio retina dikaitkan
dengan trauma mata langsung.10
13

Ablasio retina yang diakibatkan oleh trauma lebih sering terjadi pada
orang yang lebih muda. Meskipun tidak ada penelitian telah memperkirakan
kejadian ablasio retina dalam olahraga, olahraga tertentu (misalnya, tinju dan
bungee jumping ) berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya ablasio
retina. Ada juga beberapa laporan bahwa Laser capsulotomy dikaitkan
dengan peningkatan resiko ablasio retina. Di Amerika Serikat, kelainan
struktural, operasi sebelumnya, trauma dan uveitis adalah faktor resiko utama
untuk ablasio retina. Miopia yang tinggi, trauma, kelainan struktural dan
operasi sebelumnya adalah faktor resiko utama di Asia.8
F. PATOGENESIS
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada
mata yang matur dapat berpisah:11,12
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif (ablasio regmatogenosa).

Gambar 5. Ablasi Retina Regmatogenosa dengan horshoe tear13


2. Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa adanya robekan
retina ataupun traksi pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau
neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi
kebocoran pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina.
14

Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan


subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada
kehamilan (ablasio retina eksudatif)14

Gambar 6 : Ilustrasi Ablasi Retina Eksudatif14


3. Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan
epitel di sepanjang daerah vaskular yang kemudian dapat menyebar ke
bagian retina midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan
retina akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke
ora serata. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada
permukaan retina, misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada
diabetes mellitus (ablasio retina traksional).
G. KLASIFIKASI
1. Ablasi Retina Regmatogenosa
Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi akibat
adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel
pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca
cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina
ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid.8
15

Gambar 7. Ablasi Retina tipe Regmatogenosa


Ablasi ini terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisposisi
untuk terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus
untuk terjadinya ablasi retina pada mata yang berpotensi. Mata yang
berpotensi untuk terjadinya ablasi retina adalah mata dengan miopia
tinggi, pasca retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di
bagian perifer, 50% ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun
pertama.8
Antara gejala yang timbul adalah terdapatnya gangguan
penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup.
Terdapatnya riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan
penglihatan. Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal
sangat berbahaya karenan dapat mengangkat makula. Penglihatan akan
turun secara akut pada ablasi retina bila dilepasnya retina mengenai
makula lutea.8
Pada pemeriksaan fundoskopi akan terlihat retina yang terangkat
berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya
robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat
retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen di
dalam badan kaca. Pada pupil terlihat adaya defek aferen pupil akibat
penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila
terjadi neovaskular glaucoma pada ablasi retina adalah pembedahan.
Sebelum pembedahan, pasien dirawat dengan mata ditutup. Pembedahan
dilakukan secepat mungkin dan sebaiknya antara 1-2 hari. 8 Terdapat juga
16

pre-evaluasi untuk menilai derajat atau luas robekan yang terjadi pada
ablsio retina regmatogenosa (ARR) yaitu Lincoff Rules.11

Gambar 8. Derajat atau luas robekan yang terjadi pada ablsio retina
regmatogenosa (ARR)11
Rule 1- Temporal superior atau nasal. ARR: Sekitar 98% kasus robekan
primer seluas kurang dari sudut jam 1.30 dari bagian atas.
Rule 2- Seluruh atau bagian atas ARR melewati sudut jam 12 Meridian:
Sekitar 93% kasus robekan pada sudut jam 12 meridian.
Rule 3- ablasio bagian bawah: sekitar 95% kasus robekan pada bagian atas
ARR sebagai petanda diskus bagian atas terjadi robekan.
Rule 4- bullous bawah: Tipe ini merupakan lanjutan dari robekan bagian
atas
Pengobatan ditujukan untuk melekatkan kembali bagian retina
yang lepas dengan diatermi dan laser. Diatermi ini dapat berupa Diatermi
permukaan (surface diathermy) atau diatermi setengah tebal sklera (partial
penetrating diatermy) sesudah reseksi sklera. Hal ini dapat dilakukan
dengan atau tanpa mengeluarkan cairan subretina. Pengeluaran dilakukan
di luar daerah reseksi dan terutama di daerah di mana ablasi paling tinggi.
Implan diletakkan di dalam kantong sclera yang sudah direseksi yang akan
17

mendekatkan sklera dengan retina dan mengakibatkan pengikatan yang


terlokalisir. Sabuk (band) yang melingkar pada bola mata merupakan
tindakan yang mulai popular karena memperbaiki prognosis dan
mobilisasi yang cepat. Komplikasi dari operasi dapat terjadi miosis, edema
kornea, pendarahan orbital, penetrasi ocular dan injeksi intra-arteri.8
2. Ablasi retina eksudatif
Ablasi retina eksudatif adalah ablasi retina yang terjadi akibat
tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat retina.
Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari
pembuluh darah retina dan koroid (ekstra vasasi). Hal ini disebabkan
penyakit koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor
retrobulbar, radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum. Cairan di bawah
retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina yang
terangkat terlihat cincin. Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai
berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah
penyebabnya berkurang atau hilang.8

Gambar 5. Ablasi retina eksudatif


3. Ablasi retina traksi (tarikan)
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan
jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina
dan penglihatan turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca, terdapat jaringan
fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferatif, trauma,
trauma dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Pengobatan
ablasi akibat tarikan di dalam kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan
18

jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan yang
disebut sebagai vitrektomi.8

Gambar 6. Ablasi retina tipe Traksi

H. GAMBARAN KLINIS
Gejala Ablasio retina yang paling umum adalah hilangnya penglihatan
yang tiba-tiba dan tidak menyakitkan atau penglihatan kabur pada mata yang
terkena. Beberapa pasien dengan Ablasio retina hilangnya sebagian
pemberitahuan bidang, yaitu, kehilangan penglihatan hanya dalam satu
bagian bidang visual dan menggambarkan ini sebagai bayangan di satu
bidang penglihatan mereka. Kilatan dan floaters dapat terjadi pada mata yang
terkena beberapa hari atau minggu sebelum kehilangan penglihatan. Ini
disebabkan oleh degenerasi vitreous dan traksi pada retina. Detasemen retina
inferior sering diam dan progresif perlahan sehingga onset Ablasio retina
tidak diketahui sampai mencapai kutub posterior.
Pada anak-anak dan dewasa muda, Ablasio retina mungkin asimtomatik
pada awalnya dan didiagnosis hanya setelah mata yang terkena mengalami
juling, atau kemerahan, atau reflex pupil putih karena perkembangan katarak
yang cepat.
1. Flashes (photopsia)
Ketika ditanya, pasien biasanya menjawab gejala ini bisa terjadi
sepanjang waktu, tetapi paling jelas saat suasana gelap. Gejala ini
cenderung terjadi terutama sebelum tidur malam. Kilatan cahaya (flashes)
19

biasanya terlihat pada lapangan pandang perifer. Gejala ini harus


dibedakan dengan yang biasanya muncul pada migrain, yang biasanya
muncul sebelum nyeri kepala. Kilatan cahaya pada migrain biasanya
berupa garis zig-zag, pada tengah lapangan pandang dan menghilang
dalam waktu 10 menit. Pada pasien usia lanjut dengan defek pada
sirkulasi vertebrobasilar dapat mendeskripsikan tipe lain fotopsia, yakni
kilatan cahaya cenderung muncul hanya saat leher digerakkan setelah
membungkuk.15
2. Floaters
Titik hitam yang melayang di depan lapangan pandang adalah gejala yang
sering terjadi, tetapi gejala ini bisa menjadi kurang jelas pada pasien
gangguan cemas. Tetapi jika titik hitamnya bertambah besar dan muncul
tiba-tiba, maka ini menjadi tanda signifikan suatu keadaan patologis.
Untuk beberapa alasan, pasien sering menggambarkan gejala ini seperti
berudu atau bahkan sarang laba-laba. Ini mungkin karena adanya
kombinasi gejala ini dan kilatan cahaya. Kilatan cahaya dan floaters
muncul karena vitreus telah menarik retina, menghasilkan sensasi kilatan
cahaya, dan sering ketika robekan terjadi akan terjadi perdarahan ringan
ke dalam vitreus yang menyebabkan munculnya bayangan bintik hitam.
Ketika kedua gejala ini muncul, maka mata harus diperiksa secara detail
dan lengkap hingga ditemukan dimana lokasi robekan retina. Terkadang,
robekan kecil dapat menyebabkan perdarahan vitreus yang luas yang
menyebabkan kebutaan mendadak.15
3. Shadows
Saat robekan retina terjadi, pasien seharusnya segera mencari pengobatan
medis dan pengobatan efektif. Namun beberapa pasien tidak segera
mencari pengobatan medis atau bahkan malah mengabaikan gejala yang
dialami. Memang dalam beberapa saat gejala akan berkurang, tetapi
dalam kurun waktu beberapa hari hingga tahunan akan muncul bayangan
hitam pada lapangan pandang perifer. Jika retina yang terlepas berada
pada bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada lapangan pandang
20

bagian bawah dan dapat membaik secara spontan dengan tirah baring,
terutama setelah tirah baring pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral
atau pandangan kabur dapat muncul jika fovea ikut terlibat. terlibat.15

I. DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Saat anamnesis, penting juga untuk menanyakan riwayat trauma, apakah
terjadi bebrapa bulan sebelum gejala muncul atau bertepatan dengan
timbulnya gejala. Perhatikan juga riwayat operasi, termasuk ekstraksi
katarak, pengangkatan benda asing intraokuler atau prosedur lain yang
melibatkan retina. Tanyakan juga mengenai kondisi pasien sebelumnya,
seperti pernah atau tidak menderita uveitis, perdarahan vitreus,
ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik. Riwayat penyakit mata
dalam keluarga juga penting untuk diketahui.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan menyeluruh diindikasikan pada kedua mata. Pemeriksaan
pada mata yang tidak bergejala dapat memberikan petunjuk mengenai
penyebab dari ablasio retina pada mata yang lainnya.16
a. Lakukan pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma
b. Periksa pupil dan tentukan ada atau tidaknya defek pupil aferen
c. Periksa ketajaman penglihatan
d. Periksa konfrontasi lapangan pandang
e. Periksa metamorfopsia dengan tes Amsler grid
f. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada
vitreus (Shafer’s sign)
g. Periksa tekanan bola mata
h. Lakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi (pupil harus
dalam keadaan dilatasi)
21

Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan


edema dan kehilangan sifat transparansinya. Pada ablasio regmatogen,
robekan retina berwarna merah terang dapat terlihat. Biasanya muncul
pada setengah bagian atas retina pada region degenerasi ekuator. Pada
ablasio tipe traksi, ablasio bullosa akan terlihat bersamaan dengan
untaian retina berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat adanya
deposit lemak massif dan biasanya disertai dengan perdarahan
intraretina.17
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta antara lain
glaukoma, diabetes mellitus, maupun kelainan darah.
b. Pemeriksaan ultrasonografi
Yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga digunakan untuk
mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang
menyertainya seperti proliverative vitreoretinopati, benda asing
intraokuler. Pada pemeriksaan Ultrasound mata, jika retina tidak
dapat tervisualisasi karena katarak atau perdarahan, maka ultrasound
A dan B-scan dapat membantu mendiagnosis ablasio retina dan
membedakannya dengan ablasio vitreus posterior. USG dapat
membantu membedakan regmatogen dari non regmatogen.
Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk ablasio retina tetapi tidak
dapat membantu untuk menentukan lokasi robekan retina yang
tersembunyi.16
Selain itu ultrasonografi juga digunakan untuk mengetahui kelainan
yang menyebabkan ablasio retina eksudatif misalnya tumor dan
posterior skleritis.
c. Scleral indentation
d. Goldmann triple-mirror
e. Indirect slit lamp biomicroscopy
22

J. DIAGNOSIS BANDING
1. Retinoskisis degenerative
Retinoskisis degeneratif adalah kelainan retina perifer didapat yang
sering ditemukan dan diyakini terbentuk dari gabungan degenerasi
kistoid perofer yang sudah ada. Elavasi kistik terebut paling sering
ditemukan di kuadran inferotemporal, diiukuti kuadran superotemporal.
Degenerasi kistoid berkembang menjadi salah satu dari dua bentuk
retinoskisis, tipikal atau reticular, walaupun secara klinis keduanya sulit
dibedakan.11
Retinoskisis menyebababkan suatu skotoma absolut dalam lapangan
pandang, sedangkan ablasio retina menimbulkan suatu skotoma relative.
Elevasi kistik pada retinoskisis biasanya halus tanpa disertai sel-sel
pigmen vitreus. Permukaan ablasio retina biasa berombak-ombak dengan
sel-sel pigmen di dalam vitreus.11
2. Korioretinopati Serosa Sentralis
Korioretinopati serosa sentralis (CSR) ditandai oleh pelepasan serosa
retina sensorik akibat adanya daerah-daerah dengan pembuluh-pembuluh
koroid yang hipermeabel dan gangguan fungsi pompa epitel pigmen
retina. Penyakit ini biasanya mengenai pria usia muda dan pertengahan
dan mungkin berkaitan dengan kepribadian tipe A, penggunaan steroid
kronik, mikropsia, metamorfopsia dan skotoma sentralis yang semuanya
timbul mendadak. Ketajaman penglihatan sering hanya berkurang secara
moderat dan dapat diperbaiki mendekati normal dengan koreksi
hiperopia kecil. Banyak pasien mengalami defek penglihatan ringan yang
menetap seperti penurunan sensitivitas warna, mikropsia atau skotoma
relatif.11

K. TATALAKSANA
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan kontak antara
neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan eliminasi kekuatan traksi.
23

Berbagai metode operasi yang akan dilakukan bergantung dari lokasi


robekan, usia pasien, gambaran fundus, dan pengalaman ahli bedah.18
Pembedahan dibagi ke dalam dua kategori, yakni :19
1. Konvensional : melibatkan eksplan material ke rongga bola mata
2. Vitrektomi : pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi. Vitreus
kemudian digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade
robekan. 20

a. Scleral Buckling
Pembedahan Scleral buckling adalah metode pendekatan ekstraokuler
dengan membuat lekukan pada dinding mata untuk mengembalikan kontak
dengan retina yang terlepas. Sebuah silikon dengan konfigurasi yang
sesuai diposisikan dengan jahitan pada sklera bagian luar di atas lekukan
buckle dinding bola mata. Proses perlengketan kembali ini dapat diperkuat
oleh drainase cairan subretina, meskipun manuver ini tidak dibutuhkan
pada semua kasus. Robekan tunggal ditangani dengan cryotherapy atau
terapi laser untuk menjamin penutupan permanen. Angka keberhasilan
scleral buckling untuk melekatkan kembali retina dan memulihkan
penglihatan terbilang tinggi. Penelitian terbaru yang melibatkan 190 mata,
angka keberhasilan metode ini mencapai 89% untuk operasi tunggal.21
Komplikasi cryotherapy adalah vitreoretinopathy proliferative (PVR),
uveitis, cystoid edema makula, perdarahan intraokular, dan nekrosis
chorioretinal. Komplikasi operasi scleral buckling adalah iskemia (segmen
anterior dan posterior), infeksi, perforasi, strabismus, erosi atau ekstrusi
eksplan, mengerutnya makula, katarak, glaukoma, vitreoretinopathy
proliferative (4%), dan kegagalan (5-10%). Scleral buckling memiliki
tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Prognosis visual akhir tergantung
pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika makula terlepas.22
24

Gambar 9: Scleral Buckling21 Gambar a) menunjukkan tamponade di jahit


pada permukaan luar sklera. Gambar b) menunjukkan lubang retina yang
kelihatan. Gambar c) menunjukkan tamponade pada tempatnya.
Pita silikon menekan spons silikon dibawahnya sehingga dapat
memposisikan lapisan sensorik dan RPE kembali menyatu.18

Gambar 10. Prosedur Scleral Buckling15


b. Pneumatic Retinopexy
Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan
cara ini, retina akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau
sesudah injeksi gas atau koagulasi laser dilakukan di sekitar defek retina
setelah perlekatan retina. Metode ini sangat cocok digunakan pada kondisi
ablasio dengan satu robekan retina pada bagian atas perifer fundus (arah jam 10
hingga jam 2).12
25

Gambar 11. Pneumatic Retinopexy15


c. Pars Plana Vitrektomi (PPV)
Dengan operasi menggunakan mikroskop, korpus vitreus dan semua traksi
epiretina dan subretina dapat disingkirkan. Retina kemudian dilekatkan
kembali dengan menggunakan cairan perfluorocarbon dan kemudain
digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade retina. Operasi
kedua dibutuhkan untuk membuang minyak silikon. Kelebihan dari teknik ini
adalah mampu melokalisasi lubang retina secara tepat, eliminasi kekeruhan
media, dan terbukti dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak,
penyembuhan langsung traksi vitreus, dan membuang serat-serat pada epiretina
dan subretina. Namun, teknik ini membutuhkan peralatan mahal dan tim yang
berpengalaman, membuat kekeruhan lensa secara perlahan, kemungkinan
dilakukannya operasi yang kedua untuk membuang minyak silikon, dan
pemantauan segera setelah operasi.
26

Gambar 13: Tiga port Pars Plana Vitrektomi (PPV) a) Dua port
superiormembenarkan laluan untuk suction-cutter (vitrector), suatu
fiberoptic endoilluminator, dan instrumen lain dengan infusi cairan
secara melewati port yang ketiga. b) Vitrektomi yang mengeluarkan
traksi vitreus anterior pada horshoe tear. c) Pandangan panoramic
pada penanganan endolaser. d) intraokuler tamponade dilihat pada
daerah superior21

Penanganan ablasio retina regmatogen dilakukan dengan tindakan


pembedahan dengan teknik scleral buckling atau pneumatic retinopexy. Pada
kedua teknik ini dilakukan cryotherapy atau laser terlebih dahulu untuk
membentuk adhesi antara epitel pigmen dan sensorik retina. Sedangkan
penanganan utama untuk ablasio traksi adalah operasi vitreoretina dan bisa
melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, sclera buckling dan injeksi gas
atau minyak silikon intraokuler. 1

Vitreous substitutes ( pengganti vitreous) terbagi kepada beberapa jenis


yaitu:

1. Konvensional : Gas, Liquid (Cairan)


2. Penemuan terbaru : Minyak silikon,
3. Masih dalam penilitian: Polimer (Hydrogel), Implantasi
27

L. KOMPLIKASI
Jika pengobatan tertunda, perlepasan retina secara parsial dapat berlanjut
sampai seluruh retina terlepas. Ketika hal ini terjadi, penglihatan normal tidak
dapat dipulihkan, dan penurunan ketajaman visual atau kebutaan terjadi pada
mata yang terkena. Komplikasi lain dapat mencakup perdarahan ke dalam
mata (perdarahan vitreous), glaukoma (sudut tertutup), peradangan, infeksi,
dan jaringan parut akibat operasi. Kehilangan persepsi cahaya juga dapat
terjadi. Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan
mengalami komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous
(vitreoretinopati proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada
retina dan ablasio retina lebih lanjut. 1,12

M. PROGNOSIS
Retina dapat berhasil direkatkan kembali dengan satu kali operasi pada
85% kasus. Salah satu kasus yang berhasil ditangani, dimana regio makula
ikut mengalami ablasio, tidak dapat sepenuhnya dikembalikan fungsi
penglihatan sentralnya, meskipun biasanya lapangan pandang perifer dapat
kembali normal. Derajat pemulihan penglihatan sentral sebagian besar
bergantung pada durasi terlepasnya makula sebelum operasi dilakukan.
Bahkan bila retina telah terlepas selama dua tahun, masih ada kemungkinan
untuk mengembalikan penglihatan navigasi yang berguna. Penyebab utama
kegagalan dari operasi perlekatan retina modern adalah vitreoretinopati
proliferatif, yang ditandai dengan terbentuknya skar yang berlebihan setelah
operasi perlekatan retina dilakukan, dengan adanya formasi membran traksi
fibrosa dalam mata yang menyebabkan ablasio retina.15
Saat ini, lebih dari 95% dari ablasio retina regmatogen dapat berhasil
diperbaiki, meskipun lebih dari satu prosedur mungkin diperlukan.
Pengobatan retinal breaks sebelum retinal detachment yang signifikan telah
terjadi biasanya mencegah perkembangan, tidak rumit dan
menghasilkanvisual yang sangat baik. Diagnosis awal dari ablasio retina juga
penting karena tingkat keberhasilan re-attachment lebih tinggi dan hasil visual
28

yang lebih baik jika makula tidak terlepas. Keberhasilan pengobatan


memungkinkan pasien untuk mempertahankan kemampuan mereka untuk
membaca, bekerja, menyetir, merawat diri, dan menikmati kualitas hidup
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan Eva P, Whitcher JP. In : Vaughan and Asbury’s General Opthalmology.


16th ed. New York : McGraw-Hill. 2004.
2. Sovani I. Artikel Tehnik Bakel Sklera pada Ablasio Retina. Jakarta. 1998.
3. Chang Huan J. In : Retinal Detachment. The Journal Of The American Medical
Association. 2012.
4. Sukamto ADN. 2018. Hubungan Faktor Keturunan, Aktivitas Jarak
Dekat, dan Aktivitas di luar Ruangan dengan Kejadian Miopia pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Angkatan 2014.
[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Bandar
Lampung. Hal. 6-11.
5. Hayyi I N. 2019 Gerak Bola Mata. Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Mata Cicendo. Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjadjaran.
Bandung. Hal. 1-4.
6. Yuliana. 2010. Hand Out, Anatomy Visual System. Bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar. Hal. 30-31.
7. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Ed. 8. Department of Physiology and
Pharmacology School of Medicine West Virginia University:
Brooks/Cole.2013. Hal. 210,211.
8. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Budhiastra, P. Andayani, A. Suandari, Y., D. 2015. Karakteristik dan Hasil
Tindakan Pembedahan Pada Pasien Ablasio Retina Regmatogen Di RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar.
10. Kwon O. W., Roh M. I., Song J. H. Retinal Detachment and Proliferative
Victreoretinopathy. In. Retinal Pharmacotheraphy. Britain : Saunders-Elsevier.
2010. Page 148-51.
11. Riordan Eva P, Whitcher JP. In : Vaughan and Asbury’s General Opthalmology.
17th ed. New York : McGraw-Hill. 2007.
12. James B.,dkk. Ablasi retina. In: Oftalmologi. 9th ed. Erlangga:Ciracas Jakarta;
2003: 117-121.
13. Juliana Prazeres, Octaviano Magalhães Jr., Luiz F. A. Lucatto, et. Al. Heavy
Silicone Oil as a Long-Term Endotamponade Agent for Complicated Retinal
Detachments Journal. 2014
14. Pandya HK. In : Retinal Detachment. 2013. (Cited on 2013). Available from
URL http://emedicine.medscape.com/article/798501-overview
15. Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, et al. In : Common Eye Disease
And Their Management. 3rd ed. London : Springer-Verlag. 2006. Page 103-10.
16. Chern KC. In : Emergency Opthalmology A Rapid Treatment Guide. New York :
McGraw-Hill. 2002.
17. Lang GK. In : Opthalmology A Short Textbook. New York : Thieme Stuttgart.
2002. Page 328-30.
18. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, et al. In : Pocket Atlas Of Opthalmology. New
York : Thieme Stuttgart. 2006. Page 2-6, 172-7.
19. Sehu KW, Lee WR. In : Opthalmology Pathology An Ilustrated Guide For
Clinician. New York : Blackwell Publishing. 2005. Page 204, 236-8.
20. Juliana Prazeres, Octaviano Magalhães Jr., Luiz F. A. Lucatto, et. Al. Heavy
Silicone Oil as a Long-Term Endotamponade Agent for Complicated Retinal
Detachments Journal. 2014
21. Amico DJ. In : Primary Retinal Detachment. New England Journal Medicine.
2008. Page 359, 22, 2346-56
22. Alasil Tarek, Eljammal Sam, Scartozzi Richard, et al. In : Rhegmatogenous
Retinal Detachment. Cases Journal. 2008.

Anda mungkin juga menyukai