Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan pada Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian. Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan fungsi dari perbankan syariah adalah :
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
(wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sejarah
Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di
Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat
bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang
terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak
tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperolehperhatian yang optimal dalam
tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu
hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992;
tanpa rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992
tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam
perbankan di tanah air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan
syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas
pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun
2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen
Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai
rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri
perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan
Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu
kurang dari dua tahun (2009-2010).
Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade pengembangan
keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur
penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap
layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap
yang diakui secara internasional. Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum
Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset
sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total
aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun,
Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun
Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke
Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK
selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor
keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang
dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan menjadi panduan arah pengembangan
yang berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.
Bank ini merupakan bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah
prinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melakukan kegiatan usaha bank Fungsi
dan peranan bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar
akutansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institution) dan dikutip oleh Sudarsono (2008:43), sebagai berikut :
1. Manajer investasi, yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan
menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi. Dalam hal ini
bank syariah berfungsi dan berperan untuk menghimpun dana masyarakat dan
menginvestasikan dana tersebut secara prinsip-prinsip syariah.
2. Investor, sebagai investor, bank syariah melakukan penyaluran dana melalui
kegiatan investasi dengan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa. Bank syariah
menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan
kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip
syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati antara
bank dan pemilik modal.
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah menyediakan
jasa keuangan, jasa non keuangan dan jasa keagenan. Kegiatan ini pada
umumnya sama seperti bank konvensional sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang merekat pada entitas keuangan
syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola
zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Dari fungsi dan peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bank Islam
dengan nasabahnya baik sebagai dari investor maupun pelaksanaan dari investasi
merupakan hubungan secara kemitraan, tidak seperti hubungan pada bank
konvensional yang bersifat debitur-kreditur.
Tujuan Bank Syariah yang diuraikan berikut ini merujuk pada buku Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah yang ditulis oleh Hari Sudarsono. Tujuan Bank dapat dijabarkan dalam 6
point tujuan utama yakni:
Secara mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, maka hadirnya bank syariah sudah
menjadi obsesi banyak orang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sejarah mencatat K.H Mas
Mansyur, ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944 pernah menyatakan kalau
umat Islam di Indonesia terpaksa mengunakan jasa bank konvensional karena belum memiliki
lembaga yang bebas riba.
Di tahun 1983 pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan “sistem bagi hasil” dalam
berkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.
Saat itu kondisi perbankan Indonesia memang parah-parahnya karena Bank Indonesia tidak bisa
mengendalikan tingkat suku bunga di bank-bank yang membumbung tinggi. Sehingga
pemerintah mengeluarkan deregulasi tanggal 1 Juni 1983 yang menimbulkan kemungkinan bank
mengambil untung dari bagi hasil sistem kredit.
Namun lima tahun kemudian, pemerintah menganggap bisnis perbankan harus dibuka seluas-
luasnya untuk menunjang pembangunan. Dan tanggal 27 Oktober 1988, pemerintah pun
mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) untuk meliberalisasi
perbankan. Nah, meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa bank daerah
yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.
Tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Nah,
ini merupakan cikal bakal lahirnya perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 1991, bank
syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat pun lahir.
Baca Juga: Mengenal Istilah Bagi Hasil (Nisbah) Perbankan
Syariah
Perbankan Syariah Kini
Saat krisis ekonomi tahun 1998 yang menyebabkan Presiden Soeharto lengser, para bankir
sempat heran mengapa Bank Muamalat bisa bertahan dari krisis yang membuat belasan bank
konvensional lain tersungkur tak berdaya. Terinspirasi dengan tegarnya Bank Muamalat
menghadapi krisis, maka berdirilah Bank Syariah Mandiri, bank syariah kedua di
Indonesia. Bank Syariah Mandiri ini merupakan gabungan dari beberapa bank yang dimiliki
BUMN yang kebetulan terimbas krisis di tahun 1998.
Tentu saja para bankir kembali bertaruh apakah bank ini akan bertahan atau tidak. Mereka yakin,
kalau Bank Syariah Mandiri bisa bertahan maka perbankan syariah ternyata punya masa depan
menjanjikan di Indonesia. Siapa sangka akhirnya Bank Syariah Mandiri ternyata cukup sukses
dan jadi penyemangat munculnya beragam bank syariah lainnya di Indonesia. Saat ini
keberadaan bank syariah di Indonesia sudah diatur dalam UU no 10/ 1998 tentang Perubahan UU
No. 7 1992 tentang perbankan.
Penilaian kesehatan Bank Syariah dilakukan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
yang berlaku mulai 24 Januari 2007. Dari hasil penjelasan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Chalimah
Fadjrijah menjelaskan bahwa penerapan ini dilakukan dengan memperkirakan produk dan jasa
perbankan syariah ke depan kian beragam dan kompleks sehingga eksposur risiko yang dihadapi juga
meningkat. Meningkatnya eksposur risiko tersebut akan mengubah profil risiko Bank Syariah, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank tersebut. Dalam penilaian tingkat kesehatan,
Bank Syariah telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk), yang merupakan
bagian dari proses penilaian manajemen risiko.
Bank Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulanan, yang
meliputi faktor-faktor antara lain:
1. Permodalan (capital)
3. Rentabilitas (earning)
4. Likuiditas (liquidity)
6. Manajemen (management)
Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor finansial (permodalan,
kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan
kualitatif dengan mempertimbangkan unsur judgment.
Khusus untuk tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan prinsip syariah
(BPRS), Bank Indonesia mengeluarkan aturan baru yang mulai berlaku 4 Desember 2007, yaitu Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 9/17/PBI/2007 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah mengatur penilaian kesehatan BPRS mencangkup penilaian diantara:
1. Faktor Permodalan (capital);
3. Faktor Rentabilitas (earning);
4. Faktor Likuiditas (liquidity) atau faktor keuangan dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif;
Rincian penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan prinsip syariah
adalah sebagai berikut:
2. Peringkat setiap komponen pembentuk faktor keuangan terdiri dari peringkat 1, 2, 3, 4, dan 5.
3. Peringkat setiap komponen pembentuk faktor manajemen terdiri dari peringkat A, B, C dan D.
4. Proses penilaian peringkat faktor keuangan dilakukan dengan pembobotan atas nilai peringkat faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas.
5. Berdasarkan hasil penilaian peringkat faktor keuangan dan penilaian peringkat faktor manajemen,
ditetapkan peringkat komposir yang merupakan peringkat akibat hasil penilaian tingkat kesehatan bank.
6. Proses penilaian peringkat komposit dilaksankan melalui penggabungan atas peringkat faktor keuangan
dan peringkat manajemen menggunakan tabel konversi dengan mempertimbangkan indikator
pendukung dan unsur judgment.
Kemudian untuk menentukan peringkat komposit yang merupakan peringkat hasil penilaian
tingkat kesehatan bank ditetapkan sebagai berikut.
No peringkat Keterangan
Dengan kata lain, setiap komposit memberikan penilaian terhadap kondisi kesehatan bank berikut
ini.
1. Peringkat Komposit 1; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang sangat baik
sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang sangat baik.
2. Peringkat Komposit 2; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang baik sebagai
hasil pengelolaan usaha yang baik.
3. Peringkat Komposit 3; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang cukup baik
sebagai hasil pengelolaan usaha yang cukup baik.
4. Peringkat Komposit 4; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang kurang baik
sebagai akibat pengelolaan usaha yang kurang baik.
5. Peringkat Komposit 5; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang tidak baik
sebagai akibat pengelolaan usaha yang tidak baik.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) wajib melakukan penghitungan rasio-rasio yang terkait
dengan penilaian tingkat kesehatan BPRS secara triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham untuk
menyampaikan rencana tindakan (action plan) apabila hasil penilaian tingkat kesehatan BPRS
menunjukan:
1. Satu atau lebih faktor permodalan, faktor Kualitas asset, faktor rentabilitas, dan faktor likuiditas
memiliki peringkat 4 atau 5.