Anda di halaman 1dari 18

a.

 Pengertian Perbankan Syariah


Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk
pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di
Indonesia terdapat dua macam sistem operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah.
Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama
Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah),
universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain
itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan
menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,
hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi
wakaf (wakif).
Pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari aspek pelaksanaan prinsip kehati-
hatian dan tata kelola yang baik dilaksanakan oleh OJK sebagaimana halnya pada perbankan konvensional,
namun dengan pengaturan dan sistem pengawasan yang disesuiakan dengan kekhasan sistem operasional
perbankan syariah. Masalah pemenuhan prinsip syariah memang hal yang unik bank syariah, karena hakikinya
bank syariah adalah bank yang menawarkan produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan pada
prinsip syariah menjadi sangat fundamental karena hal inilah yang menjadi alasan dasar eksistensi bank
syariah. Selain itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang sebagai sisi kekuatan bank syariah. Dengan
konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah maka kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan dalam
berkontrak dan terwujudnya tata kelola yang baik dapat berwujud.
Sistem dan mekanisme untuk menjamin pemenuhan kepatuhan syariah yang menjadi isu penting dalam
pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki peran penting adalah Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan
kewenangan kepada MUI yang fungsinya dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk
menerbitkan fatwa kesesuaian syariah suatu produk bank. Kemudian Peraturan Bank Indonesia (sekarang
POJK) menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat
setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh ijin dari OJK. Pada tataran operasional pada
setiap bank syariah juga diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang fungsinya ada dua,
pertama fungsi pengawasan syariah dan kedua fungsi advisory (penasehat) ketika bank dihadapkan pada
pertanyaan mengenai apakah suatu aktivitasnya sesuai syariah apa tidak, serta dalam proses melakukan
pengembangan produk yang akan disampaikan kepada DSN untuk memperoleh fatwa. Selain fungsi-fungsi itu,
dalam perbankan syariah juga diarahkan memiliki fungsi internal audit yang fokus pada pemantauan kepatuhan
syariah untuk membantu DPS, serta dalam pelaksanaan audit eksternal yang digunakan bank syariah adalah
auditor yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang syariah.
Secara umum terdapat bentuk usaha bank syariah terdiri atas Bank Umum dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS), dengan perbedaan pokok BPRS dilarang menerima simpanan berupa giro dan ikut serta
dalam lalu lintas sistem pembayaran. Secara kelembagaan bank umum syariah ada yang berbentuk bank
syariah penuh (full-pledged) dan terdapat pula dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank umum
konvensional. Pembagian tersebut serupa dengan bank konvensional, dan sebagaimana halnya diatur dalam
UU perbankan, UU Perbankan Syariah juga mewajibkan setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan
dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan prinsip syariah harus terlebih dahulu
mendapat izin OJK.

b. Tujuan dan Fungsi Perbankan Syariah

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan pada Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian. Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan fungsi dari perbankan syariah adalah :

1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
(wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejarah

Praktik Perbankan di Zaman Rasulullah SAW dan Sahabat RA.


Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, kegiatan muamalah seperti menerima titipan harta, meminjamkan
uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang dilakukan
dengan akad-akad yang sesuai syariah telah lazim dilakukan umat Islam sejak zaman Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw, yang dikenal dengan julukan Al-amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan
harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin abi Thalib r.a untuk
mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin al-Awwam r.a., memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih
suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni
yang pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, Ia memiliki hak untuk memanfaatkannya; kedua,
karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat lain
disebutkan, Ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman barang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair r.a.
melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan
Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, dalam masa pemerintahannya,
Khalifah Umar bin Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak.
Dengan menggunakan cek ini, merekamengambil gandum di Baitul mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Di
samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah,
musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kamu Muhajirin dan kaum Anshar.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melakukan fungsi perbankan di zaman
Rasulullah Saw., meskipun individu tersebut tidak melakukan seluruh fungsi perbankan. Namun fungsi-fungsi
utama perbankan modern, yaitu menerima simpanan uang (deposit), menyaluran dana, dan melakukan transfer
dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. 

Praktik Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah


Di zaman Rasulullah Saw. Fungsi-fungsi perbankan biasanya dilakukan oleh satu orang yang hanya
melakukan satu fungsi. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu
individu. fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu dalam sejarah islam telah dikenal sejak
zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu
sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini
diperlukan karena setiap mata uang memiliki kandungan logam mulia yang berlainan sehingga memiliki nilai
yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan zihbiz.  Aktivitas
ekonomi ini merupakan cikal bakal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai penukaran uang (money
changer).
Istilah Jihbiz itu sendiri mulai dikenal sejak zaman Khalifah Muawiyah (661-680) yang sebenarnnya dipinjam
dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud.  Pada masa pemerintah Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang
yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan Bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan khalifah Muqtadir (908-932 M).
Pada saat itu hampir setiap wazir (menteri) mempunyai banker sendiri. Misalnya Ibnu Furat menunjuk Harun
Ibnu Imran dan Joseph Ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai
tiga orang banker sekaligus; dua orang beragama Yahudi dan satu orang Kristen.
Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq  (cek) dengan luas sebagai media
pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan
mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa
memindahkan fisik uang tersebut.  Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri
telah memuaai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah
Perbankan Islam, adalah Syaf al Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagi orang pertama yang menerbitkan cek
untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Allepo (Spanyol).

Praktik Perbankan di Eropa


Dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh
institusi yang saat ini dikenal dengan Bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik perbankan,
persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan mulai menggunakan instrument bunga yang dalam
pandangan fiqih adalah riba, dan oleh karena itu hukumnya Haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin
merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545 membolehkan bunga (interest)  meskipun tetap
mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Setelah wafat Raja
Henry VIII digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang.  Hal ini tidak
berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali memperbolehkan praktik
pembungaan uang.
Ketika mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance,   bangsa Eropa melakukan
penjelajahan dan penjajahan ke seluruh penjuru dunia, sehingga aktivitas perekonomian dunia didominasi oleh
bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban Muslim mengalami kemerosotan dan Negara-negara
muslim satu-persatu jatuh ke dalam cengkraman penjajahan bangsa-bangsa eroopa. Akibatnya, institusi-
institusi perekonomian umat Islam runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa.
Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern ini. Oleh karena itu, institusi perbankan yang ada
sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis
bunga.

Perbankan Syariah Modern


Dalam keuangan Islam, bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram.  Di sejumlah
Negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga Bank
Alternatif non-ribawi. Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan
Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul karena anggapan bahwa sistem
perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang
bagaimana nantinya Bank  Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai
perbankan yang berdasarkan bagi hasil.  Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari
penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang
lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A'la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). 
Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga dimulai di Pakistan yang mengelola dana haji
pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses.  Perkembangan berikutnya usaha pendirian
bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini  dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan
berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini diterima dengan baik oleh kalangan petani dan masyarakat
pedesaan. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami
kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada
tahun 1967. Pengambilalihan ini menyebabkan prinsip nir-bunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan,
sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971, akhirnya konsep nir-bunga kembali
dibankitkan pada masa rezim Sadat melalui pendirian Naseer Social Bank. Tujuan Bank ini adalah untuk
menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah dipraktikan oleh Mit Ghamr.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya
haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau
Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama
internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu
termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank
yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi
tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini
dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang
di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan
meminjam uang di bank itu dengan bunga.
Kesuksesan Mit Ghamr ini memberikan inspirasi bagi umat Muslim di seluruh penjuru dunia, sehingga
timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern.
Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi Internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu
agenda ekonominya adalah pendirian Bank Islam.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh
sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama
Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait
Finance House.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang
Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember
1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan
dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi
Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa
sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil
keuntungan maupun kerugian.Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) pada bulan Oktober
1975 yang beranggotakan 22 negera Islam pendiri.  Bank ini menyediakan bantuan financial untuk
pembangunan Negara-negara anggotanya, membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya
masing-masing, dan memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan
Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 56 negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya di era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke
banyak negara. Beberapa Negara seperti di Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem
keuangan di Negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut
beroperasi tanpa menggunakan bunga. Di Negara Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-
bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara,
bahkan ke negara-negara Barat,  seperti Denmark, Inggris, Australia  yang berlomba-lomba menjadi Pusat
keuangan Islam Dunia (Islamic Financial hub) untuk membuka bank Islam dan Islamic window agar dapat
memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Perbankan Syariah di Indonesia


Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada
bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka
akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.  Pada tahun
1983 tersebut pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang
merupakan konsep dari perbankan syariah.
Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang
pembangunan (liberalisasi sistem perbankan).  Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri,
beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.
Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank
Islam sebagai pilar ekonomi Islam.  Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di
Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat
bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang
terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak
tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperolehperhatian yang optimal dalam
tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu
hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992;
tanpa rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992
tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwaterdapat dua sistem dalam
perbankan di tanah air (dual banking system),yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan
syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas
pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun
2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen
Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa.  Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai
rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri
perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan
Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu
kurang dari dua tahun (2009-2010).
Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade pengembangan
keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur
penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap
layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap
yang diakui secara internasional.  Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum
Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset
sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total
aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp. 201,397 Triliun,
Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun
Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke
Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK
selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan strategi kebijakan pengembangan sektor
keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang
dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014.  Roadmap ini diharapkan menjadi  panduan arah pengembangan
yang berisi insiatif-inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.

Bank ini merupakan bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah
prinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melakukan kegiatan usaha bank Fungsi
dan peranan bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar
akutansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institution) dan dikutip oleh Sudarsono (2008:43), sebagai berikut :
1. Manajer investasi, yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan
menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi. Dalam hal ini
bank syariah berfungsi dan berperan untuk menghimpun dana masyarakat dan
menginvestasikan dana tersebut secara prinsip-prinsip syariah. 
2. Investor, sebagai investor, bank syariah melakukan penyaluran dana melalui
kegiatan investasi dengan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa. Bank syariah
menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan
kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip
syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati antara
bank dan pemilik modal.
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah menyediakan
jasa keuangan, jasa non keuangan dan jasa keagenan. Kegiatan ini pada
umumnya sama seperti bank konvensional sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang merekat pada entitas keuangan
syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola
zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Dari fungsi dan peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bank Islam
dengan nasabahnya baik sebagai dari investor maupun pelaksanaan dari investasi
merupakan hubungan secara kemitraan, tidak seperti hubungan pada bank
konvensional yang bersifat debitur-kreditur.

Tujuan Bank Syariah yang diuraikan berikut ini merujuk pada buku Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah yang ditulis oleh Hari Sudarsono. Tujuan Bank dapat dijabarkan dalam 6
point tujuan utama yakni:

1. Mengarahkan kegiatan ekonomi ummat untuk bermualamalat secara Islam , khususnya


muamalat yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktek- praktek riba atau
jenis- jenis usaha/ perdagangan lain yang mengandung unsur gharar(tipuan), dimana jenis
usaha tersebut selain di larang dalam Islam , juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap
kehidupan ekonomi rakyat.
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amamt besar antara
pemilik modal dengan pihak membutuhkan dana. 
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup ummat dengan jalan membuka peluang berusaha
yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang di arahkan kepada kegiatan usaha yang
produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha. 
4. Untuk menaggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program
utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan
kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol kebersamaannya dari siklus
usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang
perantara, program pembinaan consumen, program pengembangan moda kerja, dan  program
pengembangan usaha bersama. 
5. Untuk menjaga  stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan
mampu menghindari pemanasan ekonomi di akibatkan adanay inflasi, menghindari persaiangan
yang tidak sehat antara lembaga keungan. 
6. Tujuan bank syariah yang keenam adalah untuk menyalamatkan ketergantungan ummat
Islam  terhadap bank non-syariah. 
7. CIRI-CIRI BANK SYARIAH
8. Langsung saja Berikut adalah diantara ciri-ciri Bank Syariah:
9.
10.   Beban biaya yang telah disepakati pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk
jumlah nominal yang besarnyan tidak kaku dan dapat ditawar dalam batas yang wajar.
11.
12.   Penggunaan prosentasi dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan.
Karena prosentase bersifat melekat pada sisa hutang meskipun utang bada batas waktu
perjanjian telah berakhir.
13.
14.   Didalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan berdasarkan
keuntungan yang pasti (Fiset Return) yang ditetapkan dimuka. Bank Syari'ah menerapkan system
berdasarkan atas modal untuk jenis kontark al mudharabah dan al musyarakah dengan system
bagi hasil (Profit and losery) yang tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penetapan
keuntungan dimuka ditetapkan pada kontrak jual beli melalui pembiayaan pemilkikan barang (al
murabahah dan al bai’u bithaman ajil, sewa guna usaha (al ijarah), serta kemungkinan rugi dari
kontrak tersebut amat sedikit.
15.
16.   Pegarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan oleh penyimpan dianggap
sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan
sebagai pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai dengan prinsip-prinsip
syari'ah hingga kepada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return). Bentuk yang
lain yaitu giro dianggap sebagai titipan murni (al-wadiah) karena sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali dan dapat dikenai biaya penitipan.
17.
18.   Bank Syari'ah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama
dan transaksinya itu dapat menghasilkan keuntungan. Jadi mata uang itu dalam memberikan
pinjaman pada umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk pembiayaan
pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut milik bank.
19.
20.   Adanya dewan syari'ah yang bertugas mengawasi bank dari sudut syari'ah.
Bank Syari'ah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab dimana istilah tersebut
tercantum dalam fiqih Islam.
21.
22.   Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa beban murni yang bersifat social, dimana
nasabah tidak berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasal).
23.
24.   Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah yang artinya berkewajiban menjaga dan
bertanggung jawab atas keamanan dana yang telah dititipkan dan siap sewaktu-waktu apabila
dana ditarik kembali sesuai dengan perjanjian.
25.
26. Selain ciri ciri tersebut diatas, ternyata bank syariah juga memiliki ciri ciri lain. Yaitu :
27.
28. a)         Dalam Bank Syari'ah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (akad)
antara investor pemilik dana (shohibul maal) dengn investor pengelola dana (mudharib) bekerja
sama untuk melakukan kerjasama untuk yang produktif dan sebagai keuntungan dibagi secara
adil (mutual invesment relationship). Dengan demikian dapat terhindar hubungan eskploitatif
antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah dengan bank.
29.
30. b)         Adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh Bank Syari'ah yang bertujuan untuk
menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif (larangan menumpuk harta benda (sumber
daya alam) yang dikuasai sebagian kecil masyarakat dan tidak produktif, menciptakan
perekonomian yang adil (konsep usaha bagi hasil dan bagi resiko) serta menjaga lingkungan dan
menjunjung tinggi moral (larangan untuk proyek yang merusak lingkungan dan tidak sesuai
dengan nilai moral seperti miniman keras, sarana judi dan lain-lain.
31.
32. c)         Kegiatan uasaha Bank Syari'ah lebih variatif disbanding bank konvensional, yaitu bagi hasil
sistem jual beli, sistem sewa beli serta menyediakan jasa lain sepanjang tidak bertentangan
dengan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah.
roduk dan Jasa Perbankan Syariah Produk perbankan syariah secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1.
Produk Penyaluran Dana (financing) 2. Produk Penghimpunan Dana (Funding) 3. Produk Jasa (service) 1. Penyaluran
Dana Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam empat
kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: 1) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli 2) Pembiayaan
dengan prinsip sewa 3) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil 4) Pembiayaan dengan akad pelengkap. Pembiayaan
dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk
mendapatkan jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa
sekaligus. Prinsip jual-beli (Bai’) Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang
atau benda (transfer of property). Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan
barangnya seperti: a. Pembiayaan Murabahah Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah. Murabahah
berasal dari kata ribhu yang berarti keuntungan adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebutkan jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, semantara nasabah sebagai pembeli. Dalam perbankan murabahah
lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). b. Salam Salam adalah transaksi jual beli di mana
barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran
dilakukan secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketentuan umum salam: 
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlah. 
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah harus bertanggung jawab dengan
cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang sesuai dengan pesanan.  Mengingat
bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank
untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua). Mekanisme seperti ini disebut dengan salam paralel. c.
Istishna Produk istishna menyerupai produk salam, namum dalam istishna pembayaran-nya dapat dilakukan oleh bank
dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufatur
dan konstruksi Prinsip sewa (Ijarah) Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip
ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa. Prinsip bagi hasil (Syirkah) Produk
pembiayaan syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah: a. Musyarakah Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah
musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak
yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Secara spesifik bentuk
kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan
(entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak
paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
b. Mudharabah Mudharabah adalah bentuk kerjasama antar dua atau lebih pihak dimana pemilik modal pemilik modal
(shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari Shahibul maal dan keahlian dari
mudharib. Mudharabah muqayyadah pada dasarnya sama dengan mudharabah. Perbedaannya terletak pada adanya
pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal. Akad Pelengkap Untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap seperti: a. Hiwalah (Alih Utang-Piutang) Hiwalah
adalah transaksi mengalihkan hutang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. b. Rahn (Gadai) Tujuan akad rahn adalah untuk
memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. c. Qardh Qardh adalah pinjaman
uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal: pertama, Pinjaman talangan haji. Kedua, pinjaman tunai
(cash advanced) dari produk kartu credit syariah. Ketiga, peminjaman kepada pengusaha kecil. Keempat, pinjaman kepada
pengurus bank. d. Wakalah (Perwakilan) Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa
kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukaan L/C, inkaso dan transfer uang.
e. Kafalah (Garansi Bank) Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran 2. Produk Penghimpunan Dana Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan
mudharabah. a. Prinsip Wadiah Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro b. Prinsip Mudharabah Dalam mengaplikasikanya prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak
sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib. Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana,
prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu: Pertama, Mudharabah mutlaqah, penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa
tabungan dan deposito. Kedua, Mudharabah Muqayyadah on Balance sheet, jenis mudharabah ini merupakan simpanan
khusu (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank.
Ketiga, Mudharabah Muqayyadah off Balance sheet, jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah
lansung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara
pemilik dana dengan pelaksana usaha. Akad Pelengkap Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya
diperlukan juga akad pelengkap. Wakalah (Perwakilan), wakalah, dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjasaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer
uang. 3. Produk jasa (service) Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan
mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa: a. Sharf (jual beli veluta
asing) Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini,
penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). b. Ijarah (sewa) Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan
kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (cutosdian). Permasalahan dan Strategi
dalam Pengembangan Bank Syariah Diantara keluhan terhadap perbankan syariah adalah karena sedikitnya produk yang
dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat, berbeda dengan perbankan konvensional yang terlihat aktif dalam
merekayasa produknya hal ini disebabkan oleh masalah regulasi dan perlakuan yang cenderung menyamaratakan semua
bank, sumber daya dan sebagainya. Jika perbankan syariah dibebaskan untuk mengembangkan produknya sendiri menurut
teori perbankan syariah, maka produknya akan sangat variatif mengikuti produk-produk syariah. Spesifikasi ideal produk
perbankan syariah ialah:  Diangkat dari akad-akad syariah muamalah  Integral dengan transaksi riil  Akomodatif
terhadap keperluan nasabah  Kompentitif dalam dunia perbankan  Dapat mengakses teknologi yang berkembang
Manfaat ideal yang didapat  Memelihara aspek keadilan untuk para pihak yang bertransaksi  Lebih murah dari dibanding
produk konvensional  Memelihara nilai mata uang, karena tergantung pada transaksi riil, bukan sebaliknya  Transparansi
yang menjadi sifat inheren  Nasabah tidak perlu khawatir akan kenaikan cicilan  Meluaskan aplikasi syriah dalam
kehidupan Muslim Hasil riset Bank Indonesia yang bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian perguruan tinggi di
empat propinsi di pulau jawa (tidak termasuk DKI Jakarta) menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai
keberadaan sistem perbankan syariah cukup tinggi (diwakili responden Jawa Barat 88,6 % dan Jawa
Tengah/D.I.Yogyakarta 71,2%) walaupun pemahaman mereka tentang keunikan sistem perbankan syariah itu masih
rendah. Riset yang sama juga melakukan analisis faktor-faktor yang memotivasi masyarakat Jawa Barat dan Jawa Timur
menggunakan jasa perbankan syariah itu. Faktor-faktornya bukanlah faktor pertimbangan agama, tetapi faktor kualitas
pelayanan dan kedekatan lokasi dari pusat kegiatan usaha. Temuan lain yang cukup memprihatikan adalah: 1. Adanya
10,2% responden di wilayah Jawa Timur yang menyatakan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvesional. Di
wilayah ini juga ada 16,5% responden yang menyatakan bahwa bagi hasil sama dengan bunga. 2. Adanya temuan bahwa
sebagian nasabah yang telah menggunakan jasa perbankan syariah cenderung berhenti jadi nasabah, antara lain
disebabkan oleh pelayanan yang kurang baik, dan/atau keraguan akan konsistensi penerapan sistem syariah Selain
permasalahan yang ditemukan melalui riset diatas, secara operasional perbankan syariah si Indonesia menghadapi kendala
yang memerlukan pemecahan. Kendala yang terpenting adalah sebagai berikut:  Kurangnya Perangkat Hukum Ketiadaan
perangkat hukum pendukung menyebabkan perbankan syariah berusaha untuk menyesuaikan produk-produknya dengan
hukum yang berlaku. Akibatnya ciri-ciri khusus yang melekat pada perbankan syariah tersamar sehingga perbankan syariah
tampil seperti perbankan konvensional, ketika masalah likuiditas misalnya, belum tersedia likuiditas tanpa bunga dari Bank
Sentral. Demikian juga untuk menjalankan produk-produk kerjasama antar Bank Indonesia dengan bank syariah yang selalu
didasarkan atas tingkat pengembalian yang tetap (fixed), kasus yang sama juga terjadi dalam standar akutansi yang
digunakan.  Masalah Sekuritisasi Sekuritisasi merupakan factor utama di belakang kemajuan di bidang pasar modal.
Pasar tersebut menyediakan suatu alat di mana aktiva financial dapat diperdagangkan guna memobilisasi sumber-sumber
dana dan mengamankan likuiditas apabila diperlukan. Masalah ini memberikan dampak yang negative bagi pengelolaan
likuiditas maupun pengelolaan investasi jangka panjang. Akibatnya mendorong bank syariah memusatkan portofolio mereka
pada aktiva jangka pendek yang terkait dengan perdagangan, yang berdampak berlawanan dengan investasi dan
pembangunan ekonomi. Belum ada bukti bahwa bank-bank syariah ini telah melakukan investasi besar untuk penelitian dan
pengembangan produk, dan belum ada bukti bahwa produk keuangan yang baru telah dikembangkan, terutama dalam
derivasi modal yang telah digunakan secara meyakinkan oleh kebanyakan bank syariah belakangan ini.  Masalah Sumber
Daya Insani Dikotomi antara pendidikan syariah/Islam dengan pendidikan umum menyebabkan adanya dualisme intelektual
antara para ulama dengan sarjana-sarjana muslim, semetara produk perbankan syariah harus diciptakan oleh kedua disiplin
tersebut secara bersama-sama.  Perlakuan dan penilaian yang menyamakan perbankan syariah dengan konvensional 
Tekhnologi yang masih mengacu kepada konvensional Setelah menelaah beberapa aspek, terutama kendala-kendala yang
masih dihadapi oleh perbankan syariah seperti yang disebutkan di atas maka dalam pengembangan perbankan syariah
diperlukan pengembangan infrastruktur berupa:  Undang-undang perbankan syariah diperlukan untuk mengatur prosedur
pendirian bank syariah, sistem operasi, ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pelaku-pelaku dalam sistem
perbankan syariah, dan ketentuan mengenai piranti (instrument) keuangan syariah, termasuk sistem administrasi dan
akutansi.  Instrumen Pasar Keuangan Syariah  Dewan Syariah Nasional dan DPS  Litbang dan Pusat Informasi 
Permodalan  Pengembangan Jaringan Rekomendasi dan Usulan Implementasi Setelah mengemukakan hasil riset tentang
permasalahan perbankan syariah serta mengemukakan strategi untuk pengembangan perbankan syariah maka
rekomendasi dan usulan implementasinya adalah: 1. Mengupayakan agar pemerintah secepatnya
membentuk/mengeluarkan Perakat hokum yang khusus untuk perbankan syariah. 2. Mengembangkan instrument pasar
uang syariah, karena Instrumen pasar uang syariah diperlukan untuk mobilisasi dana-dana dan untuk mengatasi kesulitan
likuiditas perbankan syariah apabila diperlukan dan perbankan syariah pun akan dapat melaksanakan fungsinya secara
penuh. 3. Memberdayakan DSN dengan semaksimalnya karena DSN sangat diperlukan sebagai referensi untuk kegiatan
operasi dan transaksi-transaksi serta piranti yang dipergunakan dalam system perbankan dan juga diperlukan untuk
menjamin agar undang-undang perbankan yang mengadopsi system syariah tersebut benar-benar terlaksana sesuai
prinsip-prinsip syariah dan menurut rekomendasi riset yang dilakukan oleh BI dan lembaga penelitian perguruan tinggi, DPS
adalah tokoh kunci yang menjamin bahwa kegiatan operasional bank sesuai dengan prinsip syariah. 4. Mengembangkan
Litbang dan Pusat Informasi, kajian-kajian akademis tentang masalah ekonomi syariah perlu dikembang dan ditingkatkan
lagi guna memperkaya wawasan dan wacana keilmuan dan kerangka ilmiah yang credible yang pada akhirnya dapat
diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi oleh pemerintah. 5. Strategi permodalan, kebutuhan permodalan bagi
perbankan syariah dapat dibedakan kedalam dua kategori yaitu: modal perusahaan dan modal penyertaan yang memiliki
karakteristik dan resiko yang sama. Modal perusahaan adalah modal permanen yang dicatat sebagai modal setoran
perusahaan, sedangkan modal penyertaan adalah modal yang bersifat sementara, yakni penyertaan dari pihak ketiga dalam
bentuk investasi yang dapat dijual kepada pihak lain atau dikonversi menjadi modal permanen. 6. Mengembangkan jaringan
menjadi factor penting yang harus dilakukan dan beberapa factor penting yang diperlukan sebagai dasar dalam
pengembangan jaringan adalah, skala pasar, sumber daya insane, system dan teknologi. Dalam rangka mengembangkan
perbankan syariah diperlukan suatu strategi yang dapat mengurangi semaksimal mungkin kendala-kendala yang sedang
dialami selama ini.

Mine coins - make money: http://bit.ly/money_crypto


Proses Berdirinya Perbankan Syariah

Bank Muamalat, Bank Syariah Pertama di Indonesia via infobanknews.com

Secara mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, maka hadirnya bank syariah sudah
menjadi obsesi banyak orang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sejarah mencatat K.H Mas
Mansyur, ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944 pernah menyatakan kalau
umat Islam di Indonesia terpaksa mengunakan jasa bank konvensional karena belum memiliki
lembaga yang bebas riba.

Di tahun 1983 pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan “sistem bagi hasil” dalam
berkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.

Saat itu kondisi perbankan Indonesia memang parah-parahnya karena Bank Indonesia tidak bisa
mengendalikan tingkat suku bunga di bank-bank yang membumbung tinggi. Sehingga
pemerintah mengeluarkan deregulasi tanggal 1 Juni 1983 yang menimbulkan kemungkinan bank
mengambil untung dari bagi hasil sistem kredit.

Namun lima tahun kemudian, pemerintah menganggap bisnis perbankan harus dibuka seluas-
luasnya untuk menunjang pembangunan. Dan tanggal 27 Oktober 1988, pemerintah pun
mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) untuk meliberalisasi
perbankan. Nah, meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa bank daerah
yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.

Tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Nah,
ini merupakan cikal bakal lahirnya perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 1991, bank
syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat pun lahir.

 
Baca Juga: Mengenal Istilah Bagi Hasil (Nisbah) Perbankan
Syariah
Perbankan Syariah Kini

Perbankan Syariah Berkembang di Indonesia via wordpress.com

Saat krisis ekonomi tahun 1998 yang menyebabkan Presiden Soeharto lengser, para bankir
sempat heran mengapa Bank Muamalat bisa bertahan dari krisis yang membuat belasan bank
konvensional lain tersungkur tak berdaya. Terinspirasi dengan tegarnya Bank Muamalat
menghadapi krisis, maka berdirilah Bank Syariah Mandiri, bank syariah kedua di
Indonesia. Bank Syariah Mandiri ini merupakan gabungan dari beberapa bank yang dimiliki
BUMN yang kebetulan terimbas krisis di tahun 1998.
Tentu saja para bankir kembali bertaruh apakah bank ini akan bertahan atau tidak. Mereka yakin,
kalau Bank Syariah Mandiri bisa bertahan maka perbankan syariah ternyata punya masa depan
menjanjikan di Indonesia. Siapa sangka akhirnya Bank Syariah Mandiri ternyata cukup sukses
dan jadi penyemangat munculnya beragam bank syariah lainnya di Indonesia. Saat ini
keberadaan bank syariah di Indonesia sudah diatur dalam UU no 10/ 1998 tentang Perubahan UU
No. 7 1992 tentang perbankan.

Baca juga: 4 Keunggulan Kartu Kredit Syariah yang Wajib


Diketahui
Dalam beberapa tahun belakangan ini, sudah banyak bermunculan bank-bank syariah baru di
Indonesia. Bahkan, agar tidak kalah bersaing dengan bank konvensional yang menguasai pasar di
Indonesia, mereka sudah mulai berinovasi dengan meluncurkan produk seperti Kartu Kredit.
Seperti apa perkembangan perbankan syariah kedepannya? Kita lihat saja.

Penilaian kesehatan Bank Syariah


Penilaian kesehatan Bank Syariah

Penilaian kesehatan Bank Syariah dilakukan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
9/1/PBI/2007 tentang Sistem  Penilaian Tingkat  Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
yang berlaku mulai 24 Januari 2007. Dari hasil penjelasan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Chalimah
Fadjrijah menjelaskan bahwa penerapan ini dilakukan dengan memperkirakan produk dan jasa
perbankan syariah ke depan kian beragam dan kompleks sehingga eksposur risiko yang dihadapi juga
meningkat. Meningkatnya eksposur risiko tersebut akan mengubah profil risiko Bank Syariah, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank tersebut. Dalam  penilaian tingkat  kesehatan,
Bank Syariah telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk), yang merupakan
bagian dari proses penilaian manajemen risiko.

Bank Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat  kesehatan bank secara triwulanan, yang
meliputi faktor-faktor antara lain:

1.    Permodalan (capital)

2.    Kualitas asset (asset quality)

3.    Rentabilitas (earning)

4.    Likuiditas  (liquidity)

5.    Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk)

6.    Manajemen (management)
Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor finansial (permodalan,
kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan
kualitatif dengan mempertimbangkan unsur judgment.

Khusus untuk tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan prinsip syariah
(BPRS), Bank Indonesia mengeluarkan aturan baru yang mulai berlaku 4 Desember 2007, yaitu Peraturan
Bank Indonesia  (PBI) No. 9/17/PBI/2007  perihal Sistem  Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah mengatur penilaian kesehatan BPRS mencangkup penilaian diantara:

1.    Faktor Permodalan (capital);

2.    Faktor Kualitas asset (asset quality);

3.    Faktor Rentabilitas (earning);

4.    Faktor Likuiditas  (liquidity) atau faktor keuangan dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif;

5.    Penilaian atas komponen dari faktor manajemen (management);

Rincian penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan prinsip syariah
adalah sebagai berikut:

1.    Penilaian secara kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan/atau


pembanding yang relevan.

2.      Peringkat setiap komponen pembentuk faktor keuangan terdiri dari peringkat 1, 2, 3, 4, dan 5.

3.      Peringkat setiap komponen pembentuk faktor manajemen terdiri dari peringkat A, B, C dan D.

4.      Proses penilaian peringkat faktor keuangan dilakukan dengan pembobotan atas nilai peringkat faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas.

5.      Berdasarkan hasil penilaian peringkat faktor keuangan dan penilaian peringkat faktor manajemen,
ditetapkan peringkat komposir yang merupakan peringkat akibat hasil penilaian tingkat kesehatan bank.

6.      Proses penilaian peringkat komposit dilaksankan melalui penggabungan atas peringkat faktor keuangan
dan peringkat manajemen menggunakan tabel konversi dengan mempertimbangkan indikator
pendukung dan unsur judgment.

Kemudian untuk menentukan peringkat komposit yang merupakan peringkat hasil penilaian
tingkat kesehatan bank ditetapkan sebagai berikut.
No peringkat Keterangan

1 Komposit 1 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang  sangat


baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang sangat
baik.

2 Komposit 2 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang baik


sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup baik.

3 Komposit 3 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang cukup


baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup
baik.

4 Komposit 4 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang kurang


baik sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang kurang
baik.

5 Komposit 5 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang tidak baik


sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang tidak baik.

Dengan kata lain, setiap komposit memberikan penilaian terhadap kondisi kesehatan bank berikut
ini.

1.    Peringkat Komposit 1; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang sangat baik
sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang sangat baik.

2.    Peringkat Komposit 2; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang baik sebagai
hasil pengelolaan usaha yang baik.

3.    Peringkat Komposit 3; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang cukup baik
sebagai hasil pengelolaan usaha yang cukup baik.

4.    Peringkat Komposit 4; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang kurang baik
sebagai akibat pengelolaan usaha yang kurang baik.

5.    Peringkat Komposit 5; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang tidak baik
sebagai akibat pengelolaan usaha yang tidak baik.

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) wajib melakukan penghitungan rasio-rasio yang terkait
dengan penilaian tingkat kesehatan BPRS secara triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham untuk
menyampaikan rencana tindakan (action plan) apabila hasil penilaian tingkat kesehatan BPRS
menunjukan:

1.    Satu atau lebih faktor permodalan, faktor Kualitas asset, faktor rentabilitas, dan faktor likuiditas
memiliki peringkat 4 atau 5.

2.    Faktor manajemen memiliki peringkat C atau D

3.    Memiliki peringkat komposit 4 atau 5.

Anda mungkin juga menyukai