Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Definisi Konsep dan Review Penelitian Sebelumnya

2.1.1 Definisi Konsep

2.1.1.1 Agency Theory (Teori Keagenan)

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan teori agensi sebagai hal


dasar yang digunakan untuk memahami hubungan antara principle dan agent.
Dalam hal ini hubungan keagenan merupakan kontrak antara satu orang atau
lebih yang mempekerjakan orang lain untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen
tersebut.

Teori ini merupakan bahwa terdapat pemisahan kepentingan antara


pemilik perusahaan yakni principal dengan pengelola perusahaan (agent).
Adanya pemisahan ini mengakibatkan munculnya asimetri informasi, dimana
agent memiliki akses atas informasi-informasi perusahaan yang tidak dimiliki
oleh principle. Menurut Anugerah (2014), asimetri informasi muncul Ketika
agent lebih banyak mengenal (mengetahui) informasi internal dan prospek
masa yang akan datang, dibandingkan pengetahuan tentang informasi yang di
kenal/diketahui oleh principal dan stakeholder lainnya.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) berdasarkan asumsi sifat dasar


manusia, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk bertindak dengan
mengutamakan kepentingan pribadinya. Perbedaan kepentingan
menyebabkan agen menyalahgunakan kewajibannya dalam penyampaian
informasi kepada prinsipal dengan cara memberikan atau menahan informasi
yang diminta prinsipal bila menguntungkan bagi agen (Jensen dan Meckling,
1976).

Teori Agensi dan fraud pada bank umum swasta nasional mmemiliki
kaitan dimana kecurangan yang terjadi pada entitas perbankan ini merupakan
dampak yang mungkin muncul akibat adanya agency problem, yakni asimeri
informasi, dimana informasi yang dimiliki oleh agen digunakan unutk
mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi prinsipal maupun perusahaan.

Prinsip-prinsip yang diterapkan oleh perbankan tidak menjamin


perbankan terbebas dari adanya kecurangan dalam kegiatan operasionalnya.
Fraud dapat saja terjadi di lingkungan internal perbankan. Hal lain yang dapat
muncul adalah adanya conflict interest antara agent dan principal yang dapat
menimbulkan tekanan bagi perbankan itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan
kinerja perusahaan sehingga memberikan citra yang baik bagi prinsipal
dengan tujuan untuk mendapatkan apresiasi atas kinerja yang dicapai.

2.1.1.2 Fraud

Fraud dapat diartikan sebagai suatu kecurangan. Menurut The Institute of


Internal Auditor (2013) fraud, yaitu:

“Any illegal act characterized by deceit, concealment, or violation of


trust. These acts are not dependent upon the threat of violence or physical
force. Frauds are perpetrated by parties and organizations to 12 obtain:
money, property, or services; to avoid payment or loss of services; or to
secure personal or business advantage.”

Yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang dicirikan dengan


pengelabuan atau pelanggaran kepercayaan untuk mendaptkan uang, asset,
jasa, atau mencegah pembayaran atau kerugian atau untuk menjamin
keuntungan / manfaat pribadi dan bisnis. Perbuatan ini tidak tergantung pada
ancaman kekerasan oleh pelau terhadap orang lain (Priantara, 2013)

Selain itu menurut Black Law Dictionary (8th Ed), definisi fraud yaitu:

“The intentional use of deceit, a trick or some dishonest means to depritive


another of his money, property or legal right, either as a cause of action or
as fatal element in the action it self”
Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai suatu perbuatan sengaja
untuk menipu membohongi, suatu tipu daya atau cara-cara yang tidak jujur
untuk mengambil atau menghilangkan uang, harta, hak yang sah milik orang
lain baik karena suatu tundakan atau dampak yang fatal dari tindakan itu
sendiri (Priantara, 2013).

Selanjutnya, International Standarts on Auditing (ISA) seksi 240 yang


membahas tentang tanggung jawab auditor untuk mempertimbangkan fraud,
mendefiniskan fraud sebagai; “… tindakan yang disengaja oleh anggota
manajemen perusahaan, pihak yang berperan dalam governance, karyawan
atau pihak ketiga yang melakukan oembohongan atau penipuan untuk
memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal” (Anugerah, 2014)

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/28/ DPNP tentang penerapan
strategi anti fraud bagi bank umum dijelaskan bahwa fraud adalah tindakan
penyimpangan atau pembiaran yang disengaja dilakukan untuk mengelabui,
menipu, atau memanipulasi bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di
lingkungan dan/atau menggunakan sarana bank sehingga mengakibatkan
bank, nasabah, atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud
memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Berdasarkan definisi di atas, pengertian fraud adalah stindakan
illegal dalam bentuk kecurangan atau penipuan secara sengaja, yang
dilakukan dengan mengelabui, menipu, dan/atau memanipulasi unutk
memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang berdampak pada
kerugian orang lain.

Organisasi internasional yang merupakan asosiasi akuntan forensil di


Amerika Serikat (Association of Certified Fraud Examiner, disingkat ACFE)
menggambarkan fraud dalam sebuah bentuk fraud tree atau pohon
kecurangan dan pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam
hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya (Tuanakotta, 2014).
Berikut ini merupakan gambar fraud tree:
Gambar 2.2

Fraud Tree
Sumber: Association of Certified Fraud Examiners

Fraud tree terdiri dari tiga cabang utama, yaitu corruption, asset
misappropriation, dan fraudulent statement.

a. Corruption
Berdasarkan fraud tree, korupsi terdiri dari empat komponen yakni,
conflict of interest atau benturan kepentingan, yang sering dijumpai dalam
berbagai bentuk diantaranya bisnis plat merah atau bisnis pejabat (penguasa)
dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan
Lembaga-lembaga pemerintah dan didunia bisnis sekalipun (Tuanakotta,
2014: 196). Bribery atau penyuapan merupaka hal yang paling sering
dijumpai dalam kehiduapn bisnis dan politik di Indonesia untuk memuluskan
rencana para pemegang kepentingan tersebut. Iillega; gratuities adalah
pemberian hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan
kepada pihak yang berkaitan dalam suatu bisnis dan kegiatan politik di
Indonesia. Dan yang selanjutnya adalah, economic extortion yang merupakan
bentuk ancaman terhadap rekanan dengan secara terselubung atau terbuka.
b. Asset Misappropriation
Asset misappropriation secara sederhana diartikan sebagai bentuk
penyalahgunaan/pencurian asset perusahaan atau pihak lain, namun dalam
istilah hukum diartikan, mengambil asset secara illegal (tidak sah atau
melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang
untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan
(Tuanakotta 2014:199).
Terdapat dua bentuk fraud dalam cabang asset misappropriation, yaitu
cash dan non-cash (ACFE 2014). Asset misappropriation dalam bentuk
penjarahan cash atau cash misappropriation dilakukan dalam tiga bentuk
yaitu skimming, larceny, dan fraudulent disbursement, sedangkan dalam
bentuk non-cash dilakukan dalam bentuk misuse dan larceny (Tuanakotta
2014). Pada cash misappropriation tindakan fraud bisa dilakukan saat uang
tersebut belum masuk ke perusahaan (skimming). Selain itu, jika uang
tersebut sudah masuk, fraud yang bisa dilakukan ialah dengan mencuri atau
pencurian (larceny). Arus uang yang masuk sudah terekam oleh sistem
akuntansi perusahaan, maka penjarahan uang melalui pengeluaran yang tidak
sah disebut (fraudulent disbursement) (Tuanakotta, 2014).
c. Fraudulent statement
Fraud ini berupa salah saji (misstatement baik overstatement maupun
understatement) yang terdiri dari dua ranting cabang yaitu financial dan non-
financial. Pada financial fraud tindakan yang terjadi dapat berupa penyajian
asset atau pendapatan yang lebih tinggi dari sebenarnya (Asset/revenue
overstatement) atau penyajian yang lebih rendah dari yang sebenarnya
(Asset/revenue understatement). Sedangkan untuk non financia fraudl
tindakan yang terjadi dapat nerupa penyampaian laporan non-keuangan yang
menyesatkan, laporan yang lebih bagus dari yang sebenarnya atau pemalsuan
atau pemutarbalikan keadaan yang biasanta laporan tersebut digunakan untuk
keperluan intern maupun ekstern perusahaan (Tuanakotta, 2014). Hal ini
merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh petinggi suatu entitas untuk
menutupi kondisi finansial yang sebenarnya dengan melakukan manipulasi
dalam penyajian laporan keuangannya untuk mendapatkan keuntungan.

2.1.1.3 Tingkat Kesehatan Bank Syariah

Kesehatan keuangan bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu


bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal seperti
kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan dari
modal sendiri, kemampuan mengelola dana, kemampuan untuk menyalurkan
dana ke masyarakat, karyawan, pemilik modal, dan pihak lain, pemenuhan
peraturan perbankan yang berlaku dan mampu memenuhi semua kewajiban
dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang
berlaku (Triandaru, 2006)

Penilaian kesehatan bank, disamping untuk konvesional, juga dilakukan


untuk bank syariah baik bank umum Syariah atau bank perkreditan syariah.
Hal ini dilakukan sesuai dengan perkembangan metodologi penelitian kondisi
bank yang besrifat dinamis yang mendorong pengaturan kembali sistem
penilaian tingkat Kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah (Kasmir, 2011).

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2014


tentang penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kondisi bank yang
dilakukan berdasarkan risiko termasuk risiko terkait penerapan prinsip
Syariah dan kinerja bank atau disebut dengan Risk-based Bank Rating.

Tingkat Kesehatan bank di Indonesia yang diatur dalam peraturan


Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2014 mewajibkan bank umum
Syariah melakukan penilaian tingkat Kesehatan bank baik secara individual
maupun secara konsolidasi dengan cakupa penilaian terhadap faktor-faktor
profil risiko (risk profile), good corporate governance, rentabilitas
(earnings), dan permodalan (capital).

1. Penilaian terhadap faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap


risiko inheren dan kualitas penerapan Manajemen Risiko dalam aktivitas
operasional Bank yang dilakukan terhadap sepuluh risiko, yaitu Risiko
Kredit, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Reputasi, Risiko
Imbal Hasil, dan Risiko Investasi.
2. Penilaian faktor Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah
merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen bank atas pelaksanaan
lima prinsip Good Corporate Governance yaitu transparansi,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran.
3. Penilaian terhadap faktor rentabilitas meliputi penilaian terhadap kinerja
rentabilitas, sumber-sumber rentabilitas, dan stabilitas rentabilitas
(sustainability earnings) Bank Umum Syariah.
4. Penilaian terhadap faktor permodalan meliputi penilaian terhadap tingkat
kecukupan permodalan dan pengelolaan permodalan Bank Umum
Syariah.
Penelitian ini menggunakan empat aspek penilaian kesehatan bank
umum syariah, yakni profil risiko yang dihitung menggunakan rasio NPF
(Triwahyuningtyas, 2014) (Astutik, 2015) (Kumalasari, 2016), Good
Corporate Governance yang diukur menggunakan nilai komposit (Retno
2019) earning yang diukur menggunakan rasio efisiensi kegiatan operasional
(Falikhatun, 2012) (Astutik, 2015) (Hasanah, 2015), serta capital yang diukur
menggunakan rasio CAR (Widyaningrum, 2014) (Tutsaadiyah, 2015)
(Yacheva, 2016).
a. Non-Performing Financing (NPF)
Non-Performing Financing (NPF) adalah pembiayaanpembiayaan yang
kategori kolektabilitasnya masuk dalam kriteria 26 pembiayaan kurang
lancar, pembiayaan diragukan, dan pembiayaan macet (Dendawijaya, 2005).
Cakupan komponen dan kolektibilitas pembiayaan berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang
berlaku. Dimana yang dihitung disini mencakup kolektibilitas kurang lancar,
diragukan dan macet (Setiawan, 2009).
Pembiayaan non performing merupakan kredit yang telah disalurkan
namun kurang lancar, diragukan dan macet atau kemampuan manajemen
bank dalam mengelola kredit bermasalah dapat ditunjukkan oleh rasio NPF,
dimana semakin tinggi NPF akan semakin buruk kualitas kredit bank yang
menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar sehingga dapat
mengakibatkan kebangkrutan. Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan
NPF sebesar 5% apabila bank mampu menekan rasio NPF dibawah 5% maka
potensi keuntungan yang akan diperoleh akan semakin besar (Adityantoro,
2013). NPF dapat dirumuskan sebagai berikut:
Total pembiayaan Bermasalah
NPF=
Total Pembiayaan
b. Good Corporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Good
Governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara
pemegang saham, pengurus, kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan interen dan eksteren lainnya sehubungan dengan hak-
hak dan kewajiban mereka, atau dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (Sari dkk, 2015).
Menurut Tangkilisan (2003) good corporate governance (GCG) adalah
sebuah sistem dan struktur untuk mengelola perusahaan dengan tujuan
meningkatkan nilai perusahaan serta mengalokasikannya ke berbagai pihak
yang berkepentingan seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen,
pekerja, pemerintah dan masyarakat luas.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2012)
mengungkapkan 5 prinsip dalam pelaksanaan good corporate governance,
yaitu:
1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan
informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan.
2. Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan
secara efektif.
3. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip
pengelolaan bank yang sehat.
4. Independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional
tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
5. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi
hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.

Berdasarkan POJK Nomor 4/POJK.03/2015 yang mulai berlaku sejak 31


Maret 2015, BPR wajib melaksanakan good corporate governance dalam
setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance diwujudkan dalam:

1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris;


2. Kelengkapan dan pelaksanaan fungsi komite;
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi;
4. Penanganan benturan kepentingan;
5. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
6. Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
7. Batas maksimum pemberian kredit;
8. Rencana strategis BPR; dan
9. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan.
c. Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO)
Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional digunakan untuk mengukur efisiensi
kegiatan operasional bank syariah. REO didapatkan dengan membagi biaya
operasional dengan pendapatan operasional. Data biaya operasional yang
digunakan adalah beban operasional termasuk kekurangan PPAP. Sedangkan
data pendapatan operasional yang digunakan adalah data pendapatan
operasional setelah distribusi bagi hasil (Setiawan, 2009)
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan utama bank
pada prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu penghimpun dan
menyalurkan dana (misalnya dana masyarakat, maka biaya dan pendapatan
operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga)
(Dendawijaya, 2008).
Rasio efisiensi kegiatan operasional dapat dirumuskan sebagai berikut:
Berban operasional
REO=
Pendapatan operasional
d. Capital Adquancy Ratio (CAR)
Menurut Dendawijaya (2005) CAR merupakan indikator terhadap
kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari
kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang beresiko.
Faktor permodalan (Capital) dapat dinilai dengan menggunakan rasio
keuangan yakni Capital Adequecy Ratio (CAR). Penilaian terhadap faktor
permodalan meliputi kecukupan modal dan pengelolaan modal tersebut
dibandingkan dengan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
Berdasarkan SE BI No. 26/2/BPPP mengatur bahwa rasio kecukupan modal
minimum atau CAR dari persentase tertentu terhadap ATMR adalah sebesar
8% (Widyaningrum, 2014).
CAR dapat dirumuskan sebagai berikut:
Modal Bank
CAR=
Total Aset Tertimbang Menurut Resiko

Anda mungkin juga menyukai