Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN DIKOTOMI ISLAM DAN PENYELESAIANNYA

UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PENGAMPU:

IMAM MASHURI, M.Pd.I

OLEH:

FITRAH

WAHYU ALIYANHA

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI

DESEMBER 2019
KULTUR SEKOLAH

UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI

DOSEN PENGAMPU:

ALMUTIYAH, M.Pd.I

OLEH:

FITRAH

MELDY

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI

DESEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami rahmat dan hidayahnya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dengan

pertolongan-Nya lah kami sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal

yang kami bisa. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada

junjungan kita Nabi kita Nabi Agung yaitu Nabi MUHAMMAD SAW yang selalu kita

nanti-nantikan syafa’atnya kelak nanti di akhirat.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan nikmat baik nikmat

sehat-Nya,baik itu sehat fisik ataupun sehat akal pikiran, sehingga kami dapat

menyelesaikan pembuatan makalah ini. kami tentu menyadari bahwa makalah ini jauh

dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.

Untuk itu, kami mengaharap kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya

makalah ini nantinya dapat mejadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila

terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besar

nya.Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak khususnya kepada

dosen pembimbing kami yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Tujuan Penelitian ..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................
A. Pengertian Dikotomi Pendidikan ..................................................................
B. Tinjauan Historis Dikotomi Pendidikan .......................................................
C. Tinjauan Politik Dikotomi Pendidikan .........................................................
D. Pendidkan di Indonesia .................................................................................
BAB III PENUTUP ....................................................................................................
A. Kesimpulan ...................................................................................................
B. Saran .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut
belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia
berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic Legal
Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam)
diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah
Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang
melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian
sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu, penulis membuat makalah
bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak
terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Apa yang disebut metode ijtihad?
3. Apa yang disebut ijtihad bedasarkan dalil aqly dan naqly?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Membuka wawasan tentang ijtihad.
3. Mencari tau tentang ijtihad berdasarkan dalil aqly dan naqly.
BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau
menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh
mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua
kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya
tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali
menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad
sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan
tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga.
Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari
berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi
orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi
ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam
Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut
ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari
Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh
ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-
orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang
terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan
oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
2. Pelaku Ijtihad

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian
ijtihad adalah :
1.    Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2.    Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu
hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3.    Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,  ia


benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang
bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi
mengandung kemungkinan benar.

3. Metode Ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara lain
sebagai berikut:
1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum
sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena
ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi):
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persmaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-Quran
atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam dalam
menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang
ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena
umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para
ulamanya.
3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan lain-lain.
Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi samar-samar) atau
disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain
atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan
memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita
harus mengambil yang lebih ringan keburukannya. Beberapa definisi istisan:
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa hal
itu adalah benar,
b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya,
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang banyak,
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan
mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-Quran
atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar
kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis dalam Al-
Quran atau Al-Hadits.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya suatu
adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat
dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah
ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga teradapat dalil
yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan
menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.
8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang tidak
dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum tersebut.
9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan mujtahid)
antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat dengan ayat; atau
antara sunah dengan sunah).

4. Ijtihad Berdasarkan Dalil Aqly dan Naqly


1. Berdasarkan Dalil Aqly

ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid
dibebaskan untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya menjaga
kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.

2. Berdasarkan Dalil Naqly

ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, menggunakan dalil syara’. Mujtahid
dibebaskan untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.

5. Tujuan Ijtihad

untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan
hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur’an dan Hadist.

Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Quran maupun Al-Hadist. Selain
itu, ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan dibutuhkan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad berarti
pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat
mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam
adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara
lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam
untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.

Anda mungkin juga menyukai