Anda di halaman 1dari 20

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria
Dosen pengampu : Dr, Iin Ratna Sumirat, S.H.,M.Hum

Disusun Oleh :

M. Dzikri Hasannudin 191130049


Gilang Ramadhan 191130054

Siti Maylinda J. 191130067


Dian Anggraini 191130070
Koharudin 191130071
Choirun Nisa 191130072

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga saya
dapat menyelesaikantugas makalah yang berjudul “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum” ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Dan berterima kasih juga
kepada Ibu Dr. Hj. Oom Mukarromah, M. Hum selaku dosen pengampu kami yang telah
memberikan tugas kelompok dalam mata kuliah Tafsir Ahkam MUA I ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Hukum
Agraria yang diampu oleh Dr, Iin Ratna Sumirat, S.H.,M.Hum. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”
bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami menyadari akan makalah yang kami tulis masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima dengan senang hati. Kami berharap, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Serang, 16 Maret 2021

penyusun

1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting ini menunjukan adanya pertalian yang sangat
erat antara hubungan manusia dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman dan
tempat mata pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang dibutuhkan
oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan
pembangunan nasional.
Perkembangan pembangunan di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Kegiatan
pembangunan gedung sekolah inpres, rumah sakit, pasar, stasiun kereta api, tempat ibadah,
jembatan, pengadaan berbagai proyek pembuatan dan pelebaran jalan serta pembangunan lainnya
memerlukan tanah sebagai sarana utamanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana pengambilan tanah kepunyaan
masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal ini memang menyangkut persoalan yang
paling kontroversial mengenai masalah pertanahan. Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan
tanah sudah sedemikian mendesak sedangkan pada lain pihak sebagian besar warga masyarakat
juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.
Berkenaan dengan pengambilan tanah masyarakat yang akan dipakai untuk keperluan
pembangunan dilaksanakan melalui proses pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak sesuai pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya berumur kurang dari setahun. Kemudian pada
tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang kemudian diperbarui lagi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya
disebut UU No.2 Tahun 2012).
B. RUMUSAN MASALAH

Adapun masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pengertian Pengadaan Tanah
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
3. Pokok-Pokok Kebijakan Pengadaan Tanah
4. Perbedaan Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak atas Tanah

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan pembuatan makalah ini untuk :


1. Mengetahui Pengertian Pengadaan Tanah
2. Mengetahui Dasar Hukum Pengadaan Tanah
3. Mengetahui Pokok-Pokok Kebijakan Pengadaan Tanah
4. Mengetahui Perbedaan Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak atas Tanah
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah. 4
Sebelumnya, di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan
dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36
tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang
merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun
wenang dari pejabat terkait. Namun, hal tersebut telah dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005
yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif
dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-
lain bencana;

e. Tempat pembuangan sampah;

f. Cagar alam dan cagar budaya;

g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.


B. DASAR HUKUM

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah
berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah
melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan
diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun
1993 dan dikaitkan pula dengan Undang- undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan
Tanah.
Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
C. BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH MENURUT HUKUM AGRARIA
INDONESIA

Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu :
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas
tanah) ;

2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.

Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah,
jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah
dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah.
Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan
hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara
pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara
mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan
adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini
ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu
sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan
pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan
sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang- wenang dan tidak dengan mudah saja
dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi
Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan
peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu
terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang
berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia
menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang
bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan
Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU
No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya
menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri.
Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi
eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.
D. PRINSIP DASAR PENGATURAN PENGADAAN TANAH

Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Jo.
Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007
yaitu :
1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya.

Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka Perpres
No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007 mengatur :
a. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

b. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI
Nomor 3 Tahun 2007);

c. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan
Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

2. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi.

Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun 2005


Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :
a. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

b. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat
(Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
c. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan
dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk
mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

d. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan
independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);

e. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah
yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI
Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator
dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;

f. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang
ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri
Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

3. Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.

Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36 Tahun 2005 Jo.
Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur sebagai
berikut :
Jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,
maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut wajib memperoleh
izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta (Pasal 9 Peraturan
Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).

E. TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

1. Persiapan

Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi


kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dengan tembusan disampaikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Permohonan penetapan lokasi diatur sebagai
berikut :
- Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1 (satu) provinsi
diajukan kepada Gubernur.

- Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala BPN-RI
2. Pelaksanaan

a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar. Khusus
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar
berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres
Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan
Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta.

Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling banyak 9 (Sembilan)
orang dengan susunan sebagai berikut :
1) Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;

2) Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua
merangkap Anggota;

3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai


Sekretaris merangkap Anggota; dan

4) Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan


pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.7

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah :


1) Penyuluhan kepada masyarakat;

2) Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;

3) Penelitian status hak tanah;

4) Pengumuman hasil inventarisasi;

5) Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah;

6) Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi


Pemerintah yang memerlukan tanah;

7) Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai antara
pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;

8) Menyaksikan penyerahan ganti rugi;

9) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;

10) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;


11) Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah
kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta apabila
musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.

Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana yang disebut
sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia Pengadaan Tanah tersebut diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tanggal 23 April 2008 tentang Biaya Panitia
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Biaya operasional
tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil,
fotocopy/penggandaan, penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan
proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka
pengadaan tanah.
b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1 (Satu)
Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum

Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi Pemerintah, yang
dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1
(satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum :
1. Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar, atau
cara lain yang disepakati para pihak.

2. Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan


mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.

3. Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah antara
Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).

a. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas : Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak
tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang
ditunjuk oleh panitia;

b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang bangunan;

c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang pertanian;
F. PENILAIAN

Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini
dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat lisensi
dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala Dinas/Kantor/Badan di
Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah
tersebut.
Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada
variable-variabel sebagai berikut :
a. Lokasi dan letak tanah;

b. Status tanah;

c. Peruntukan tanah;

d. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan
wilayah atau tata kota yang telah ada;

e. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan

f. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

G. GANTI KERUGIAN

Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk


kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai
pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara kita. UUPA mengatur
bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian yang layak
dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan. Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui musyawarah
dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa :
a. Uang;

b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman kembali;

d. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;

e. Bentuk lain yang disetujui para pihak. 15

Sedangkan Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala
BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum
terkena pengadaan tanah. Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik
tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian
oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara Hasil
Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti Rugi.
Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah tersebut
berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah.
Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti
(replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula dalam
kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.
Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah
mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena
pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan
bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta
perlindungan maupun kepastian hukum.
Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah diatur dalam
suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimilikinya. Hal tersebut
sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan di negara kita. Sampai saat ini Negara kita belum juga
memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah, melainkan
diatur dengan Peraturan Presiden. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tersebut, dinilai telah sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan
pengadaan tanah yang lebih demokratis, serta sedikit menutup ruang bagi aparat pemerintah untuk
bertindak secara sewenang-wenang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 Angka 3.
Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan
perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah
maupun wenang dari pejabat terkait. Namun, hal tersebut telah dijawab dalam Perpres No
36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah
ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum

Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah
dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas
tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas
cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan
secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara
pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah
gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh
terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.

B. Saran

Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas terutama pada dalil-dalil tentang puasa yang menurut kami belum sepenuhnya kami
tuliskan.

Anda mungkin juga menyukai