Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN KELUARGA PADA PASIEN

DIABETES MELLITUS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Klinik Stase Keperawatan Keluarga

Dosen Pembimbing : Sugeng Riyadi S.Kep., Ns., M.Si.

Disusun Oleh:

Wulan Gitanofa Zakiyatun Nufus


NIM. P1337420218015
Tingkat 3A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA TN. H DENGAN
FOKUS UTAMA TN. H YANG MENDERITA DIABETUS MELLITUS
DI RT 03 RW 02 DESA CIBEREM KECAMATAN SUMBANG
KABUPATEN BANYUMAS

A. LATAR BELAKANG
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis
atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan
volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus
adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute
insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin,
2009).
Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe
I (insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-
dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan
hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas pankreas sehingga
terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe II, terjadi akibat
ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin
yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar
glukosa yang normal dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak
ditemukan dan meliputi 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia
(Maulana, 2009).
Diabetes mellitus dapat menjadi serius dan menyebabkan kondisi kronik
yang membahayakan apabila tidak diobati. Akibat dari hiperglikemia dapat
terjadi komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis diabetik (KAD) dan
keadaan hiperglikemi dalam jangka waktu yang lama berkontribusi terhadap
komplikasi neuropatik. Diabetes mellitus juga berhubungan dengan penigkatan
kejadian penyakit makrovaskular seperti MCI dan stroke (Smeltzer & Bare,
2013). Menurut WHO, penderita diabetes beresiko mengalami kerusakan
mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Hal ini akan
memberikan efek terhadap kondisi psikologis pasien.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes mellitus, diperlukan
pengontrolan yang terapeutik dan teratur melalui perubahan gaya hidup pasien
DM yang tepat, tegas dan permanen. Pengontrolan diabetes mellitus
diantaranya adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, regimen
pengobatan yang tepat, kontrol medis teratur dan pengontrolan metabolik secara
teratur melalui pemeriksaan laboratorium. Pada sebuah studi longitudinal
melakukan investigasi peran keluarga terhadap status kesehatan pasien dengan
penyakit kronik., mereka menemukan hubungan yang kuat antara peran
keluarga dengan status kesehatan pasien (Taylor, 2006).
Dukungan keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh
anggota keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan
psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor,2006).
Dukungan keluarga terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan dimana
lingkungan keluarga menjadi tempat individu belajar seumur hidup. Dukungan
keluarga telah didefinisikan sebagai faktor penting dalam kepatuhan
manajemen penyakit untuk remaja dan dewasa dengan penyakit kronik.
Dukungan keluarga merupakan indikator yang paling kuat memberikan dampak
positif terhadap perawatan diri pada pasien diabetes (Neff dalam Hensarling,
2009).
B. RESPON KELUARGA TERHADAP MASALAH YANG DIHADAPI
Keluarga yang hidup dengan penderita sakit kronis menghadapi
tantangan berat dalam hidup mereka berupa stress, kecemasan dan kemarahan
akibat rutinitas pengobatan yang harus mereka lakukan. Stressor tersebut
memicu munculnya respon stres yang dapat dijelaskan dengan respon
kehilangan. respons keluarga bergantung pada onset, lama, dan prognosis
penyakit serta tahapan stres yang dialami oleh keluarga. Respons pertama
yang diungkapkan keluarga adalah adalah penyangkalan atau shock dan tidak
percaya yang ditunjukkan dengan perasaan bersalah dan sedih, tidak percaya,
dan penolakan terhadap kehilangan.
Respons psikologis lain adalah perasaan menerima sebagai hasil dari
respons adaptasi. Perasaan menerima ini diungkapkan keluarga saat penyakit
tersebut sudah berlangsung lama dan mereka sudah terbiasa dengan kondisi
klien. Selain itu keluarga juga merasa bahwa sakit yang dialami anggota
keluarga mereka merupakan cobaan dari Tuhan yang harus mereka jalani.
Penerimaan yang muncul merupakan respons dari respon reorganisasi
perasaan berduka terhadap individu yang telah menerima kenyataan yang
terjadi serta mendapatkan gambaran tentang penyebab masalah dan secara
bertahap menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialami.
Persepsi dan respons emosional yang menyertai keluarga bergantung
pada koping yang dimiliki keluarga. Tahap pertama dimulai dengan
menggunakan strategi problem-focused. Hal ini dilakukan dengan mencari
dan belajar lebih banyak mengenai penyakit dan proses pengobatan yang
harus dilakukan. Strategi selanjutnya adalah emotional-focused yang
ditunjukkan dengan penerimaan dan kepasrahan, digunakan ketika mereka
merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk
mengubah situasi yang membahayakan atau mengancam. Salah satunya
adalah dengan turning to religion. yaitu situasi ketika individu merasa putus
asa dengan keadaan yang tidak segera membaik.
C. ETIOLOGI
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri
tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic
kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini
ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun
lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas,
sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat
menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor
genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya
mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin
mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan
transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif
insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal
antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar
glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan
meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia
(Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus
tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-
bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa,
tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe
II, diantaranya adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
D. Tanda dan Gejala
Dari sudut pasien diabetes militus sendiri, hal yang sering menyebabkan
pasien datang berobat ke dokter dan kemudian di diagnosis sebagai diabetes
militus adalah keluhan.

a. Kelainan kulit : gatal, bisul-bisul


b. Kelainan ginekologis : keputihan
c. Kesemutan, rasa baal
d. Kelemahan tubuh
e. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
f. Infeksi saluran kemih.
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun
daerah lipatan kulit lain seperti di ketiak dan di bawah payudara biasanya
akibat tumbuhnya jamur, sering pula dikeluhkan timbul bisul-bisul atau luka
yang lama tidak mau sembuh.

Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati,


merupakan keluhan pasien di samping keluhan lemah dan merasa lelah, pada
pasien laki-laki terkadang keluhan impotensi menyebabkan ia datang berobat
ke dokter.

Menurut Tarwoto (2012) tanda dan gejala meliputi :


1. Sering kencing/miksi atau menigkatnya frekuensi buang air kecil
(poliauria). Adanya hiperglekimia menyebabkan sebagian glukosa
dikeluarkan oleh ginjal bersama urine karna keterbatasan kemampuan
filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorps dari tubulus ginja. Untuk
mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air,
sehingga frekuensi miksi meningkat.
2. Meningkatnya rasa haus (polidipsia). Banyaknya miksi menyebabkan
tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus,
yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
3. Minangkatkan rasa lapar (polipagia). Meningkatkan untuk
matabolisme, pemecahan glikoge untuk energi menyebabkan cadangan
energi berkurang keadaan ini menstimulasi pusat lapar.
4. Penurunan berat badan. Penurunan berat badan disebabkan karena
banyaknya kehilngan cairan, glikogen dan cadangan triglesirida serta
massa otot.
5. Kelainan pada mata, mata kabur. Pada kondisi kronis, keadaan
hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke
vaskuler menjadi tidak lancar, termasuk pada mata yang merusak
retinaserta kekeruhan pada lensa.
6. Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina
peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan gula pada kulit
sehingga menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit
7. Ketonuria. Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka
digunakan asam lemak untuk energi, asam lemak akan di pecah
menjadi keton yang kemudian berada dalam darah dan dikeluarakan
melalui ginjal.
8. Kelemahan dan keletihan. Kurangnya cadangan energi, adnya
kelaparan sel, kehilangan potassium menjadi akibat pasien menjadi
mudah lemah dan letih.
9. Terkadang tanpa kejala.Pada keadaan tertentu, tubuh mudah
beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah

E. PATOFISIOLOGI
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan  (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh
apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih
terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe DM (Diabetes
Melitus) digolongkan sebagai akut dan kronik (Mansjoer dkk, 2007)
1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah
a. HIPOGLIKEMIA/ KOMA HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemik adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar
gula darah yang normal 60-100 mg% yang bergantung pada
berbagai keadaan. Salah satu bentuk dari kegawatan hipoglikemik
adalah koma hipoglikemik. Pada kasus spoor atau koma yang tidak
diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu
hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pembarian glukosa.
Koma hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin.
Selain itu dapat pula disebabkan oleh karana terlambat makan atau
olahraga yang berlebih.
Diagnosa dibuat dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemik
terjadi bila kadar gula darah dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada
pemeriksaaan darah jari.
Penatalaksanaan kegawat daruratan:
1) Pengatasan hipoglikemi dapat diberikan bolus glukosa 40%
dan biasanya kembali sadar pada pasien dengan tipe 1.
2) Tiap keadaan hipoglikemia harus diberikan 50 cc D50 W
dalam waktu 3-5 menit dan nilai status pasien dilanjutkan
dengan D5 W atau D10 W bergantung pada tingkat
hipoglikemia
3) Pada hipoglikemik yang disebabkan oleh pemberian long-
acting insulin dan pemberian diabetic oral maka diperlukan
infuse yang berkelanjutan.
4) Hipoglikemi yang disebabkan oleh kegagalan glikoneogenesis
yang terjadi pada penyakit hati, ginjal, dan jantung maka
harus diatasi factor penyebab kegagalan ketiga organ ini.
b. SINDROM HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR NON
KETOTIK (HHNC/ HONK).
HONK adalah keadaan hiperglikemi dan hiperosmoliti tanpa
terdapatnya ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg
bahkan sampai 2000, tidak terdapat aseton, osmolitas darah tinggi
melewati 350 mOsm perkilogram, tidak terdapat asidosis dan fungsi
ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN banding kreatinin
lebih dari 30 : 1, elektrolit natrium berkisar antara 100 – 150 mEq
per liter kalium bervariasi.
Penatalaksanan kegawat daruratan:
Terapi sama dengan KAD (Ketoasidosis Diabetic) dengan
skema
IV Cairan
1 sampai 12 jam NaCl 0,9% bila natrium 130 mEq/liter atau osmolitas plasma
330 mOsm/liter
NaCl 0.45% bila diatas 145 mEq/liter

Dibutuhkan 8 sampai 12 liter dari cairan selama 24 jam


menggantikan air yang hilang selama 12 jam

Bila gula darah 250 sampai 300 mg/dl berikan 5% dekstrose


Insulin
Permulaan Jam IV bolus 0.15 unit/kg RI
berikutnya 5 sampai 7 unit/jam RI
Elektrolit
Permulaan Bila serum K+ lebih besar dari 3.5
mEq/liter berikan 40 mEq/liter secara secara intravena untuk
mempertahankan kadar cairan setengahdari KCl dan
setengah dari KPO4

Jam kedua dan Bila jumlah urin cukup dan serum kalsium kurang dari 5.5
jam berikutnya mEq/liter, berikan 20-30 mEq/liter K+

Untuk mengatasi dehidrasi diberikan cairan 2 jam pertama 1 -


2 liter NaCl 0,2 %. Sesudah inisial ini diberikan 6 – 8 liter per 12
jam. Untuk mengatasi hipokalemi dapat diberikan kalium. Insulin
lebih sensitive dibandingkan ketoasidosis diabetic dan harus
dicegah kemungkinan hipoglikemi. Oleh karena itu, harus
dimonitoring dengan hati – hati yang diberikan adalah insulin
regular, tidak ada standar tertentu, hanya dapat diberikan 1 – 5 unit
per jam dan bergantung pada reaksi. Pengobatan tidak hanya
dengan insulin saja akan tetapi diberikan infuse untuk
menyeimbangkan pemberian cairan dari ekstraseluler keintraseluler.

c. KETOASIDOSIS DIABETIC (KAD)


DM Ketoasidosis adalah komplikasi akut diabetes mellitus
yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis.
Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya  jumlah insulin
yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :
1) Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang
dikurangi
2) Keadaan sakit atau infeksi
3) Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak
terdiagnosis dan tidak diobati.
Rehidrasi
1) Jam pertamaberi infuse 200 – 1000 cc/ jam dengan NaCl 0,9
% bergantung pada tingkat dehidrasi
2) Jam kedua dan jam berikutnya 200 – 1000 cc NaCl 0,45 %
bergantung pada tingkat dehidrasi
3) 12 jam pertama berikan dekstrosa 5 % bila kadar gula darah
antara 200 – 300 mg/ 100 cc, ganti dengan dextrose 10 % bila
kadar gula darah sampai 150 mg/ 100 cc.
Kehilangan elektrolit. Pemberian Kalium lewat infus harus
dilakukan meskipun konsentrasi kalium dalam plasma normal.
Elektrolit
Permulaan Bila serum K+ lebih besar dari 3.5
mEq/liter berikan 40 mEq/liter secara secara
intravena untuk mempertahankan kadar cairan
setengahdari KCl dan setengah dari KPO4

Jam kedua dan Bila jumlah urin cukup dan serum kalsium
jam berikutnya kurang dari 5.5 mEq/liter, berikan 20-30
mEq/liter K+

Insulin
Skema pemberian insulin adalah sebagai berikut:
2. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan.
a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai
sirkulasi koroner, vaskular perifer dan vaskular serebral.
b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata
(retinopati) dan ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah
untuk memperlambat atau menunda awitan baik komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular.
c. Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi
serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
d. Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
e. Ulkus/ gangren/ kaki diabetic

G. Konsep Askep Keluarga


Menurut Padila (2012), Asuhan keperawatan keluarga merupakan
proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan yang sistematis
untuk bekerja sama dengan keluarga dan individu-individu sebagai anggota
keluarga. Tahap proses keperawatan keluarga meliputi 33 pengkajian,
perumusan diagnosa keperawatan, penyusunan perencanaan, perencanaan
asuhan dan penilaian.
A. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikumpulkan datanya dalam pengkajian keluarga adalah
sebagai berikut :
a) Beberapa data umum keluarga menurut Padila (2012), adalah sebagai berikut
:
1) Nama kepala keluarga (KK).
2) Alamat dan telepon.
3) Pekerjaan kepala keluarga.
4) Pendidikan kepala keluarga.
5) Komposisi keluarga,menjelaskan anggota keluarga yang diidentifikasi
sebagai bagian dari keluarga mereka.
6) Genogram, merupakan alat pengkajian yang digunakan untuk mengetahui
keluarga, riwayat dan sumber-sumber keluarga. Diagram ini
menggambarkan hubungan vertikal (lintas generasi) dan horizontal (dalam
generasi yang sama) untuk memahami kehidupan keluarga dihubungkan
dengan pola penyakit. Genogram keluarga memuat minimal informasi tiga
generasi.
7) Tipe keluarga, menjelaskan mengenai jenis atau tipe keluarga beserta
kendala atau masalah-masalah yang terjadi dengan jenis atau tipe keluarga
tersebut.
8) Suku bangsa, mengkaji asal suku bangsa keluarga serta mengidentifikasi
budaya suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan.
9) Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan
yang dapat mempengaruhi kesehatan.
10) Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan baik dari
kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya dan ditentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang
yang dimliki oleh keluarga.
11) Aktivitas rekreasi keluarga, rekreasi keluarga tidak hanya dilihat dari
kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk mengunjungi tempat rekreasi
tertentu, namun dengan menonton televisi dan mendenganrkan radio juga
merupakan aktivitas rekreasi.
b) Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga menurut Achjar (2010),
terdiri dari :
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini, ditentukan oleh anak tertua.
2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi.
3) Riwayat keluarga inti, menjelaskan mengenai riwayat terbentuknya
keluarga inti, penyakit menular atau tidak menular di keluarga.
4) Riwayat keluarga sebelumnya (suami-istri), menjelaskan mengenai
riwayat penyakit menular di keluarga, dan riwayat kebiasaan atau gaya hidup
yang mempengaruhi kesehatan.
c) Pengkajian lingkungan menurut Bakri (2017), terdiri dari :
1) Karakteristik rumah, diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe
rumah, jumlah ruangan dan fungsinya, sirkulasi udara dan sinar matahari
yang masuk, pendingin udara (AC) atau kipas angin, pencahayaan, jumlah
jendela, penempatan septic tank beserta kapasitas dan jenisnya, jarak septic
tank dengan sumber air, konsumsi makanan olahan dan sumber air minum
keluarga.
2) Karakteristik tetangga dan RT-RW, menjelaskan mengenai karakteristik
dari tetangga dan komunitas setempat meliputi kebiasaan, lingkungan fisik,
aturan atau kesepakatan penduduk setempat serta budaya setempat yang
mempengaruhi kesehatan.
3) Mobilitas geografis keluarga, ditentukan dengan melihat apakah keluarga
sering berpindah tempat tinggal.
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat, menjelaskan
mengenai pergaulan keluarga baik di komunitas hobi, kantor, sekolah,
maupun teman main. Interaksi ini bisa digunakan untuk melacak jejak dari
mana penyakit yang didapatkan oleh pasien.
5) Sistem Pendukung keluarga menjelaskan mengenai fasilitas berupa
perabot bagi anggota keluarga, dukungan dari anggota keluarga dan
dukungan dari masyarakat setempat.
d) Fungsi Keluarga menurut Padila (2012), terdiri dari :
1) Fungsi afektif, yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga,
perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap
anggota keluarga lainnya, bagaimana kehangatan tercipta pada anggota
keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai.
2) Fungsi sosialisasi, dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam
keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya,
serta perilaku.
3) Fungsi perawatan kesehatan, menjelaskan sejauh mana keluarga
menyediakan makanan, pakaian, perlindungan serta merawat anggota
keluarga yang sakit.
4) Fungsi reproduksi, yang perlu dikaji adalah berapa jumlah anak, apakah
rencana keluarga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, metode yang
digunakan keluarga dalam upaya mengendalikan jumlah anggota keluarga.
5) Fungsi ekonomi, hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga
memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan, sejauh mana keluarga
memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat dalam upaya peningkatan
status kesehatan keluarga.
e) Stres Dan Koping Keluarga menurut Padila (2012), terdiri dari:
1) Stressor jangka panjang dan pendek Stressor jangka pendek yaitu stressor
yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang
dari enam bulan. Sedangkan Stressor jangka panjang yaitu stressor yang
dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari
enam bulan.
2) Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor, dikaji sejauh mana
keluarga berespon terhadap stressor.
3) Strategi koping yang digunakan, dikaji strategi koping yang digunakan
keluarga bila menghadapi permasalahan.
4) Strategi adaptasi disfungsional, dijelaskan mengenai strategi adaptasi
disfungsional yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.
f) Pemeriksaan Fisik, dilakukan pada semua anggota keluarga.
Menurut Mubarak dkk (2012) Metode yang digunakan sama dengan
pemeriksaan fisik klinik.
g) Harapan Keluarga Menurut Mubarak dkk (2012)
pada akhir pengkajian perawat menanyakan harapan keluarga terhadap
petugas atau pelayanan kesehatan yang ada.

B. Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan perifer)
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
3. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d. kelebihan
intake nutrisi (tipe 2)
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
1 Nyeri akut berhubungan NOC: Manajemen nyeri :
dengan agen injuri ü Tingkat nyeri 1.        Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif
biologis (penurunan ü Nyeri terkontrol termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
perfusi jaringan perifer)ü Tingkat kenyamanan kualitas dan ontro presipitasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2.
3        Observasi  reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
x 24 jam, klien dapat : 3.        Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
1.   Mengontrol nyeri, dengan indikator : mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
§  Mengenal faktor-faktor penyebab 4.        Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi nyeri
§  Mengenal onset nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
§  Tindakan pertolongan non farmakologi 5.        Kurangi ontro presipitasi nyeri.
§  Menggunakan analgetik 6.        Pilih dan lakukan penanganan nyeri
§  Melaporkan gejala-gejala nyeri kepada tim (farmakologis/non farmakologis)..
kesehatan. 7.        Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi
§  Nyeri terkontrol dll) untuk mengetasi nyeri..
2.   Menunjukkan tingkat nyeri, dengan indikator: 8.        Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
§  Melaporkan nyeri 9.        Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
§  Frekuensi nyeri 10.    Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang
§  Lamanya episode nyeri pemberian analgetik tidak berhasil.
§  Ekspresi nyeri; wajah 11.    Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
§  Perubahan respirasi rate
§  Perubahan tekanan darah Administrasi analgetik :.
§  Kehilangan nafsu makan 1.         Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan
. frekuensi.
2.         Cek riwayat alergi..
3.         Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis
optimal.
4.         Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgetik.
5.         Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri
muncul.
6.         Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek
samping.

2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food and Fluid Intake Nutrition Management


nutrisi kurang dari§  Intake makanan peroral yang adekuat 1.    Monitor intake makanan dan minuman yang
kebutuhan tubuh b.d.§  Intake NGT adekuat dikonsumsi klien setiap hari
ketidakmampuan §  Intake cairan peroral adekuat 2.    Tentukan berapa jumlah kalori dan tipe zat gizi yang
menggunakan glukose§  Intake cairan yang adekuat dibutuhkan dengan berkolaborasi dengan ahli gizi
(tipe 1) §  Intake TPN adekuat 3.    Dorong peningkatan intake kalori, zat besi, protein
dan vitamin C
4.    Beri makanan lewat oral, bila memungkinkan
5.    Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
6.    Lepas NGT bila klien sudah bisa makan lewat oral

3 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Nutrient Intake Weight Management


nutrisi lebih dari§  Kalori 1.     Diskusikan dengan pasien tentang kebiasaan dan
kebutuhan tubuh b.d.§  Protein budaya serta faktor hereditas yang mempengaruhi
kelebihan intake nutrisi§  Lemak berat badan.
(tipe 2) §  Karbohidrat 2.     Diskusikan resiko kelebihan berat badan.
§  Vitamin 3.     Kaji berat badan ideal klien.
§  Mineral 4.     Kaji persentase normal lemak tubuh klien.
§  Zat besi 5.     Beri motivasi kepada klien untuk menurunkan   berat
§  Kalsium badan.
6.     Timbang berat badan setiap hari.
7.     Buat rencana untuk menurunkan berat badan klien.
8.     Buat rencana olahraga untuk klien.
9.     Ajari klien untuk diet sesuai dengan kebutuhan
nutrisinya.
Pathway Diabetes Melitus
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, H.A., Komang. (2010). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Sagung Seto
Bakri, M. H. (2017). Manajemen keperawatan (konsep dan aplikasi dalam praktik
keperawatan profesional). Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Corwin, EJ. (2009). Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Indriastuti, Na. (2008). Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi Pleura dan
Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.

Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Maulana, Heri, d.j. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mubarak, IW. (2012). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Salemba Medika.

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC.

Taylor, S. (2006). Health Psychology. New York: McGraww Hill.

Tarwoto, Dkk. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:
Trans Info Medikal.

Anda mungkin juga menyukai