Homiletika II
Matius 25:31-45
Melalui bacaan injil hari ini, kita melihat bagaimana pernyataan Yesus akan tugas dan
tanggungjawab orang percaya terhadap sesama. Kualitas hubungan dengan Tuhan dibuktikan
dengan sikap dan perbuatannya terhadap sesama sesama manusia khususnya orang yang
terabaikan dan dianggap hina serta lemah di tengah-tengah masyarakat. Perbuatan itu bukan
sekedar dari buah moral atau tindakan karitatif semata namun sebagai praksis hidup yang
semestinya dari pewaris janji keselamatan. Ini merupakan pertanyaan yang sangat penting
karena pernyataan ini disampaikan di dalam konteks penjelasan akan penghakiman terakhir.
Artinya melakukan tugas dan tanggungjawab terhadap sesama manusia menjadi tindakan
alamiah (habit) dan sebagai bagian yang integral dari hidupnya, jika tidak semuanya sia-sia
semata di hari Penghakiman kelak.
Melakukan segala sesuatu yang baik terhadap orang hina adalah tugas dan tanggungjawab
orang beriman. Kita sering mengistilahkannya sebagai suatu kebajikan. Yesus menempatkan
diriNya menjadi saudara-saudara orang yang hina dan papa. Melakukan sesuatu bagi mereka
merupakan perbuatan baik juga kepada Yesus. Dalam konteks Injil Matius tugas semacam ini
sangat mendasar, karena Injil Matius ditujukan kepada jemaat yang berlatar belakang Yahudi.
Tokoh agama seperti Farisi pada jaman Perjanjian Baru menekankan legalisme agama atau
ketaatan keagamaan dipandang sebagai ketaatan pada Taurat. Ini berbeda dengan pendekatan
yang dilakukan oleh Yesus yang mengajarkan Injil dengan mengangkat harkat dan martabat
manusia tanpa mengabaikan Hukum Taurut. Justru Yesus memenuhi hal yang paling essensi
dari apa yang dituntut Hukum Taurat itu sendiri, yaitu: untuk pembebasan manusia
seutuhnya.
Pada minggu-minggu sebelumnya, kita telah mendengar tenatang dua perumpamaan sebelum
perikop kotbah minggu ini: pertama Mat 25: 1-13 ‘Gadis-gadis yang bijaksana dan bodoh’
dan Mat 25: 14-30 tentang ‘Perumpamaan talenta’ menjelaskan perihal sikap hidup yang
bijaksana dengan mempersiapkan penantian penghakiman dengan persiapan menunggu
kedatangan Mesias dan Sikap bijaksana dari orang yang menerima talenta dengan
mengembangkan talenta yang diberikan dan dipercayakan Tuhan kepada kita. Penentuan
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika II
terakhir bagi yang mewarisi Kerajaan Allah dijelaskan dalam kotbah Minggu ini bahwa
semua manusia (segala bangsa) akan mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatanNya di
hadapan Anak Manusia; untuk memisahkan yang baik dan jahat, kebajikan dan kelaliman
serta kepedulian dan kelalaian. Penentuan keputusan atas hidup manusia ditentukan oleh
iman melalui kebajikan yang dilakukan dalam hidupnya. Berkaitan dengan dua
perumpamaan sebelum nats Kotbah minggu ini menegaskan bahwa setiap insan
mempertanggungjawab semua sikap dan perbuatannya kelak di hadapan Anak Manusia-siapa
pun itu. Tuhan adalah Maha Tahu dan Maha Adil yang menimbang setiap sikap dan
perbuatan manusia dan menganuerahi upah atau menjatuhkan hukuman. Sebelum
penghakiman datang setiap insan melalui kotbah ini menyerukan kita semua untuk peduli
terhadap sesama, mengangkat dan menghormati manusia yang hina.
aturan formal atau ukuran-ukuran kesalehan secara norma agama. Tafsiran semacam
ini untuk membongkar pemahaman keagamaan kita melihat apa arti agama dalam
kehidupan manusia. Agama adalah pembebasan bagi kebaikan manusia. Tafsiran
kedua adalah nats ini menunjukkan kepada realitas kehidupan gereja mula-mula yang
mengalami lapar, haus, penganiayaan dan pengejaran. Yesus menempatkan Allah di
dalam hidup mereka yang memiliki pergumulan hidup sehari-hari. Mereka terus
bergumul untuk memberitakan Injil sekalipun mereka tidak tahu bagaimana nasib
mereka besok, mereka terus memberitakan injil sekalipun mereka tidak tahu apa yang
harus dimakan besok. Mereka harus terus berlari dari pengejaran dan penganiayaan
menahan lapar dan haus karena Injil. Argumentasi ini semakin kuat dengan
munculnya istilah: ‘saudaraku yang paling hina’ (dalam ayat 40). Siapakah saudara
Yesus yang dimaksudkan disini, tentu mereka adalah orang-orang percaya yang
mengalami berbagai kepahitan hidup.
Tentu masih banyak daftar yang bisa kita masukkan siapakah Saudara Yesus yang
dimaksudkan dalam perikop ini: orang miskin, home less, korban narkoba,
penyandang cacat (buta, tuli, lumpuh), orang yang terinveksi HIV/AIDs, yatim –
piatu, anak-anak gelandangan dan korban broken home dan lain sebagainya dll. Tentu
terlintas dalam pikiran kita bahwa saudara Yesus disini adalah orang-orang yang
membutuhkan sokongan dan peneguhan dari kita semua. Inilah yang dikehendaki oleh
Yesus sebagai perwujudan dari praksis iman orang percaya. Praksis iman itu muncul
bagi setiap orang yang selalu menyanyikan – Sensenina, Sensenina (what I have done,
what I have done=apa yang telah aku lakukan, apa yang telah aku lakukan). Kotbah
minggu ini mengetuk hati kita kembali untuk peduli dan berbagi dengan mereka yang
membutuhkan perhatian dan uluran tangan kita.
4. Perbuatan baik yang tidak menuntut balas. Ada sesuatu yang cukup mengagetkan
mereka yang telah melakukan sesuatu buat orang hina, ketika Yesus memberikan
alasan atas mereka yang diberkati: “ Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku
makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu
memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika
Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi
Aku.” (ay 35-36). Lihatlah sesuatu yang mengejutkan dan pertanyaan mereka yang
diberkati itu: “ Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi
Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami
melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika II
telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau
sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?” (Ayat 37-39). Apa yang
menarik dari dialog ini adalah bahwa orang yang diberkati dan yang memperoleh
keselamatan tidak memperhitungkan perbuatan baik dalam hidupnya. Mereka berbuat
baik sama sekali tidak menganggapnya sebagai ‘pahala’ atau jasa yang
dipertimbangkan Tuhan kelak. Justru mereka tidak mengingat perbuatan baik apa yang
telah mereka lakukan selama hidupnya. Yesus sendiri mengajarkan kepada murid:
“Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin,
orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan
berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu.
Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar."
(Lukas 14:13-14).
5. Dengan demikian mereka yang diberkati adalah orang-orang yang membuahkan
perbuatan baik di dunia ini terhadap sesama tanpa menuntut balas dan
mempertimbangkannya sebagai perbuatan baiknya kepada Tuhan. Ini pesan penting
dalam setiap pribadi orang percaya perbuatlah kebaikan dan kebajikan bukan karena
upah kebaikan dan kebajikan itu, tetapi karena memahaminya sebagai tugas dan
tanggungjawab orang percaya.
Perikop kotbah minggu ini memiliki makna yang cukup kaya untuk dikembangkan dalam
hidup: Thema kotbah bisa kita kembangkan dalam beberapa aspek:
b) Khotbah minggu ini juga dapat kita kembangkan pada penekanan akan tugas dan
tanggungjawab orang beriman dalam hidup ini (missi gereja). Dapat dimulai dengan
mengidentifikasi akan Siapakah saudara Yesus menurut definisi kita: saya, orang miskin,
orang cacat (tuli, buta dan lumpuh), dll. Mereka ada disekeliling kita yang senantiasa
membutuhkan uluran tangan. Terkadang sangat menyesakkan dan tak sanggup kita melayni
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika II
mereka rasanya. Tidak apa kalau ada perasaaan seperti itu, karena memang orang miskin
akan selalu ada diantara kita. Namun jangan sama sekali tak ada perhatian dan waktumu
untuk mengulurkan tanganmu kapanpun hatimu terbuka untuk mereka. Janganlah mengumpat
dan mengutuki mereka dalam keadaan yang kurang beruntung hidupnya, tetapi pikirkanlah
apa yang bisa kita lakukan, karena ketahulah bahwa Yesus berada di tengah-tengah mereka
dan mereka itu adalah saudara-saudara Yesus.
c) Tujuan akhir perjalanan hidup. Kotbah ini bisa juga kita kembangkan pada apa tujuan
akhir kehdiupan kita? Di sini ditegaskan setiap pribadi akan menghadap dan diadili kelak
oleh Anak Manusia. Pengadilan itu sangat adil dan mengetahui semua kehidupan kita. Tidak
ada yang tersembunyi dihadapan Allah, semuanya sikap, perkataan dan perbuatan kita akan
dipertanggungjawabkan kelak di hadapanNya. Hal ini mendorong kita lebih jujur, tidak ada
gunanya membohongi diri dalam hidup. Orang bisa saja pintar dan ahli menyembunyikan
sikap, perkataan dan perbuatannya jahatnya terhadap sesama, namun dihadapan Tuhan akan
terbuka semuaanya. Marilah lakoni hidup jujur dan takut akan penghakiman Tuhan.