Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rionaldi Sijabat

NO.BP: 1710711008
Sejarah Filsafat
NEO HISTORIS

Untuk memahami Historisisme Baru, akan berguna untuk memulainya mengingat


versi retoris exordium yang digunakan metode itu menempatkan argumennya
dalam permainan. Tepat saat Sidney mengajak audiensnya masuk Permintaan
Maaf untuk Puisi dengan memulai dari anekdot Menunggang kuda Pugliano, jadi
Stephen Greenblatt dan lainnya-ke mengutip kritik awal Jean E. Howard tentang
teknik-broach argumen mereka melalui "deskripsi yang melelahkan tentang
peristiwa, tempat, atau pengalaman tertentu" yang "momen paradig maticnya"
menggambarkan "hukum budaya." paradigmatisme yang exordium dapat
dikonversi dengan digressio: bahkan ketika studi New Historicist
menginternalisasi paradigma sebagai miliknya inti daripada pembukaannya,
paradigma mempertahankan kualitas yang dibuang.

Serendipitous and adventitious-always just ditemukan, selalu hanya diambil-


model ini menyusun sebuah briket menggantikan apa yang dulunya narasi yang
lebih metodis atau penyajian fakta dalam sejarah gagasan: pencatatan paradigma
utama, misalnya, Rantai Wujud, Cermin, dan lampu. Dimana sejarah ide
meluruskan gambar dunia, Elizabethan atau lainnya, New Historicism
menggantung gambar-gambar itu lagi-tampaknya karena kecelakaan, lepas dari
kaitan apa pun, di sudut mana pun. Tidak hanya menghargai paradigma yang
bertema obliqueness, seperti dalam pembacaan anamorphic Green blatt tentang
Duta Besar Holbein dalam Renais sance Self-Fashioning, tetapi berbicara tentang
paradigma itu dalam kosa kata dari keahlian anekdotal sehingga miring-sendiri
cenderung pada waktu morfosis, paradoks, oxymoron, dan chiasmus-bahwa
hasilnya adalah jenis sprezzatura.intelektual Untuk menyinggung strukturalis
ketegangan dalam nenek moyang metode, paradigma Baru Historisisme
menunjukkan ketergesaan yang memalukan, seorang yang sangat angkuh
mengapa tidak? tegas dari marjinalitas mereka. untuk memulai (dengan asumsi di
sini suara penggonggong sebelum argumen di masa mendatang): melihat karnaval
paradigma New Historicist; paradigma berlebih yang akan saya sebut-mengapa
tidak? -kontes Garis Pemerintah dan Array yang Terganggu.

Bayangkan Charles I duduk di sebuah sandiwara di lapangan seperti teater topeng


Florimene pada tahun 1635, misalnya, seperti yang telah direkonstruksi Stephen
Orgeladegan. Berpusat pada visibilitas yang mencolok di antara penonton,
yang menempati kursi di sepanjang tiga dinding yang menghadapnya, dia melihat
sepanjang sumbu medial tepat aula langsung ke panggung Inigo Jones dengan nya
efek perspektif yang sangat ilusionistik - ke dalam ruang resesi antara pohon dan
pondok, misalnya, tergantung di bukaan Selengkapnya tentang teks sumber
iniDiperlukan teks sumber untuk mendapatkan informasi terjemahan tambahan
tempat kejadian. Raja dan titik hilang: puncak kehadiran kerajaan dan representasi
mengatur alam semesta di antara mereka Pemandangan ini memvisualisasikan
salah satu dari dua paradigma utama tentang Baru Puisi historisis: puisi budaya,
sebagaimana Greenblatt menamainya, milik siapa donnee interpretasi bukanlah
fakta sejarah atau sastra tetapi struktur ar tifak budaya yang pura-pura, ilusi, atau
dibuat dengan cara lain yang mencakup kedua ranah. Paradigmanya adalah dari
realitas teatri, yang dalam studi Renaisans dan padanan Romantisnya (yang
terakhir semakin dipengaruhi oleh studi Revolusi Prancis) dimulai di teater yang
sebenarnya tetapi kemudian secara agresif menyebar ke luar ruangan untuk
membuat "mise en scene", "drama sosial", "main-main", "improvisasi", "gladi
bersih", "tragedi", dan "ilusi" sang master kiasan budaya. Dengan kemungkinan
pengecualian dari Greenblatt's studi tentang pria Renaissance buatan sendiri,
teater telah digunakan terutama untuk memodelkan mentalite dari aristokrasi yang
berpusat pada raja atau penggulingan pengalaman Elizabethan dan Stuart teater
pengadilan seperti yang diceritakan oleh Orgel, misalnya; atau pengadilan
tontonan (dalam arti lain) yang didaftarkan oleh Marie-Helene Huet di pengadilan
Louis XVI. Seperti dalam kasus paradigma New Historicist pada umumnya,
theatrical ity memodelkan "power". "Power, terutama dalam studi Renaissance,
menunjuk negosiasi otoritas sosial, pribadi, dan sastra yang menghasilkan satu
regulasi budaya. Tapi negara yang diatur, kita harus segera dicatat, sejauh ini dari
monolitik yang di setiap tingkat ciri yang membedakannya adalah dinamisme
batin-suatu tindakan kekuasaan yang tegang sendiri. Historisisme Baru
membayangkan sebuah kekuatan berbahaya yang secara eksistensial diamankan
pada perang saudara yang baru jadi antara, di satu sisi, pluralitas budaya dan, di
sisi lain (dengan meminjam istilah yang tepat dari Formalisme Rusia), dominan
budaya mampu mengikat pluralitas dalam struktur. Teater pada khususnya adalah
paradigma yang menekankan kontrol tipis dominasi kemajemukan. Demikianlah
Orgel mengamati bentuk jamak berdesak-desakan untuk pangkat dan hak
istimewa duta besar dalam pengaturan tempat duduk di Florimene; dan bahwa
Huet merekonstruksi semangat beraneka ragam, mabuk, dan terkadang kebosanan
yang terdengar dari penonton di Pengadilan Louis pada tahun 1793, Namun
demikian juga kedua penulis menekankan kemampuan yang dominan, dalam
pribadi Charles atau Louis, untuk menyusun pluralitas menjadi pertunjukan satu
negara. Dibatalkan di satu-satunya titik di ruangan yang sempurna untuk melihat
efek perspektif, Charles benar-benar memerintah: dia-dilihat-untuk-menonton-
pertunjukan.

Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural


(1988), Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-
fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi
sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha
menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas
dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis
lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new
historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks
memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).
Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri)
diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning. Greenblatt
merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan
simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya. Dalam praktik analisisnya,
New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu
menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya sendiri. Dengan
demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah
pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana
dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka
sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik interpretasi new historisisme juga
menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi
otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks
lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme
berfungsi pada penguraian narasi-narasi yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil
dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap
bagaimana dan mengapa narasi tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-
regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada representasi yang
berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan
menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt
menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri
mengenai pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai sesuatu yang dapat
dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya
Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-
manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan
suatu proses pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap
individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak
dari posisi diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan.

Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu


fiksi yang diformulasikan dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan
diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt,
1980: 6). Bagi Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari
ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu
tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik
interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu
manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari
kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-kode
perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika
interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis yang
cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor
2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra semata hanya
sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi
superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang sebagai refleksi kode
perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya
sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu, dalam buku ini Greenblatt juga
memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut
diskursus yang mendominasi pada masa Renaissans yang menurutnya sebagai
suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan,


bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan tersebut
menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan
oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak berkuasa. Pada
tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme
pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan, 1998: 8). Maka, new
historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki
representasi yang mendominasi pada masa lampau. Greenblatt berpendapat, dalam
merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita
mengharap atau tidak perubahan nilai dan berkaitan dengan kekuasaan, seni
diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan
emansipatif new historisisme ini berimplikasi pada analisisnya yakni dengan
menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang
sumber resmi atau mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-
undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal,
cerita perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon
atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka kesempatan
baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik,
yang dengan demikian tidak hanya membuka interpretasi dan pembacaan antara
sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka
kajian interdisipliner sastra.

Pada tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di


dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’
(power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan
struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah pada keberagaman
dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan,
praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan Greenblatt merupakan bagian
dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya
dalam relasi praktik-praktik sosial dan kultural yang lebih luas, yang dalam
implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau
kembali melalui spesifikasi sosial dan posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real”
(2005) yang mempersoalkan representasi atau penggambaran diri (konstruksi
imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi
Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya mengenai narasi pencurian domba
dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya
tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam Interpretation of Culture (1973). Dalam
analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut
merupakan suatu ‘acted document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku
simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt
menyimpulkan bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya
dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran,
penyusunan, dan penulisan (2005: 35).
Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—
seperti misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach, karya-karya
Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi
perbedaan antara representasi suatu narasi pada masa lampau yang ditulis atau
dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara
realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang dituliskan dan dunia yang
sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam
Practicing New Historicism (2000) pada bagian pertama, sedangkan pada bagian
kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote”
menambahkan pandangannya mengenai konsep anekdot. Gallagher mencoba
menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks
historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50), anekdot merupakan efek atau
respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik
Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini lebih memperhatikan new historisisme
pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi,
3) tertarik dengan sejarah dari rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada
hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis ideologis secara skeptis.

Manifesto keempat Greenblatt dalam buku tersebut adalah, bahwa mobilitas


terjadi di dalam ketegangan antara agen individual dengan pembatasan struktural.
Determinasi struktur dan kontrol sosial memungkinkan (memaksa) individu
melakukan suatu tindakan dan membuat strategi. Ketegangan antara keduanya
itulah yang menjadi kajian Greenblatt. Kelima, mobilitas mengkaji sensasi yang
mendasar. Tidak mungkin mengkaji mobilitas tanpa juga memahami hal-hal yang
statis atau hal-hal yang dapat membatasi mobilitas. Mobilitas seringkali dianggap
sebagai suatu ancaman oleh tradisi, kepercayaan, ritual-ritual dan otoritas tertentu
yang sudah mapan (established) pada suatu budaya tertentu—budaya yang oleh
Greenblatt dipahami bersifat lokal (tidak global atau universal), partikular pada
ruang dan waktu yang spesifik. Ancaman dan upaya menghadapinya menjadi
kajian mobilitas kultural. Dengan demikian, mobilitas tetap mengkaji kondisi
dimana dominasi dan resistensi dalam merespon kemapanan budaya atau
terjadinya suatu perubahan dan perbedaan budaya.

Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu
bingkai new historisisme, yang sering disebut dengan puitika kultural. Secara
garis besar Veeser (1989: xi) merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1)
bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam suatu jaringan praktik-praktik
(budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan pengungkapan, kritik,
dan perlawanan mesti akan menggunakan perangkat-perangkat dari yang
ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi
teks sastra dan non-sastra tidak dapat dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4)
bahwa tidak ada diskursus baik fiksi atau faktual yang memberikan akses pada
kebenaran mutlak yang tidak berubah-ubah ataupun mengekspresikan hakikat
kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode kritis dan bahasa
cukup memadai untuk mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.

Anda mungkin juga menyukai