Anda di halaman 1dari 10

RESUME

HIV AIDS DAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) PADA


ANAK

A. Definisi
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sekitar 3 persen dari
penderita HIV-AIDS di Indonesia adalah anak-anak berusia di bawah 14 tahun. Lebih dari
90% bayi dan anak-anak yang terinfeksi HIV tersebut tertular dari ibunya pada masa
kehamilan, saat persalinan, atau melalui ASI. Penularan juga bisa melalui jarum yang
terkontaminasi, transfusi darah, atau kekerasan seksual dari orang dewasa yang terinfeksi
HIV. Namun, penularan HIV pada anak akibat hal ini jarang terjadi. Anak yang terinfeksi
HIV belum tentu menderita AIDS. Akan tetapi jika tidak ditangani dengan tepat dan sedini
mungkin, HIV dapat berkembang menjadi AIDS yang berbahaya dan berpotensi tinggi
menyebabkan kematian.
Penularan HIV ke Bayi dan Anak, bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah,
penularan melalui hubungan seksual (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke
anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur
(15-44 tahun), sehingga terdapat risiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in
uteri). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan
bayi terinfeksi sebanyak 20% SAMPAI 35%, sedangkan jika sudah ada gejala pada ibu
kemungkinan mencapai 50%.penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui
transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mucosa bayi dengan darah atau
sekresi maternal saat melahirkan . semakin lama proses kelahiran, semakin besar pula risiko
penularan, sehingga lama persalinanbisa dicegah dengan operasi sectio caecaria. Transmisi
lain juga terjadi selama periode postpartum melalui ASI, risiko bayi tertular melaui ASI dari
ibu yang positif sekitar 10% (Nurs dan Kurniawan, 2013:161).
B. Etiologi
Virus HIV termaksuk kedalam family Retrivrus sub family Lentivirinae. Virus family
ini mempunyai enzim yang disebut reserve transcriptase. Enzi mini menyebabkan
retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk
membentuk virus DNA. Jadi, setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri,
informasi genetic virus juga ikut diturunkan.
Virus HIV terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 1 bermutasi lebih cepat
karena replikasinya lebih cepat. Secara morfologi HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu
bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun
atas dua untai RNA, enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung
terdiri dari lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). GP 120 berhubungan dengan reseptor
Lymfosit (T4). Karena bagian luar virus merupakan lemak maka, virus ini sensitive terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, alcohol, tetapi relative resisten
terhadap radiasi dan sinar ultraviolet. Virus HIV hidup didalam darah, saliva, semen, air
mata dan mudah mati diluar tubuh.
C. Patogenesis
HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA
intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transcriptase, dan kemudian bergabung
dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai
marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membanty mengaktivasi sel B, killer
cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada
limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung
maupun tidak langsung. HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.
Lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gpl 20 dan anti gp41 berinteraksi dengan
CD4+ yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan.
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam
flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi
(perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa
ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan test HIV belun bisa
mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).
Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini
terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlh CD4+ sekitar 30-60
sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun,
sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10
tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/µL. Setelah masa tanpa gejala akan
timbul gejala pendahuluan yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik (IO). Infeksi
oportunistik adalah infeksi yang mengikuti perjalanan penyakit HIV. Dengan adanya IO
maka perjalanan penyakit HIV telah memasuki stadium AIDS.
Dalam tubuh ODHA (orang dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA
sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tanap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hamper semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudia meninggal. Perjalanan peenyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan system kekebalan tubuh yang bertahap.
Seiring dengan masik memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi oportunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll. Virus HIV ini yang
telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel,
terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia diotak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel
dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel-sel Langerhans dikulit.
D. Pencegahan
Penularan HIV dari dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui 4 cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral selama kehamilan, penggunaan
antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penggunaan obstetrik selama
selama persalinan, penatalksanaan selama menyusui. Pemberian antiretroviral bertujuan agar
viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang
efektif untuk menularkan HIV. Persalinan sebaiknya dipilih dengan metode sectio caecaria
karena terbukti mengurangi resiko risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai
80%.walaupuncaesaria. demikian bedah caesar juga memiliki risiko penularan HIV dari ibu
kebayi sampai 80%. Bila bedah caesar selektif disertai penggunaan terapi antiretroviral,
maka risiko dapat ditirinkan sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar juga
mempunyai risiko karena imunitas ibuyang rendah sehingga bisa terjadi keterlambatan
penyembuhan luka, bahkan bisa terjadi kematian saat operasi oleh karena itu persalinan
pervaginam dan sectio caecaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan
faktor lain. Namun jika melahirkan dengan pervaginam maka beberapa tindakan harus
dihindari untuk meminimalisir risiko, seperti terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam
atau memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap (Nurs dan Kurniawan, 2013:165).
E. Pemeriksaan penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes
inimeliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latexagglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila
dikatakanpositif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara
mengujiantigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila
pemeriksaanpada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi
lahir denganibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV
a. ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
b. Western blot (positif)
c. P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
d. Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim
reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun
a. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
b. D4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksiterhadap
antigen).
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnyapenyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat).
F. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain :
a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat danmencegah
kemungkinan terjadi infeksi.
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada.
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongandideosinukleotid,
yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RTdengan berintegrasi ke
DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV.
d. Mengatasi dampak psikososial.
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
danprosedur yang dilakukan oleh tenaga medis.
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalumemperhatikan
perlindungan universal (universal precaution)
G. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan
AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit
danpengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter :
status kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun :
1. Tanpa tanda supresi
2. Tanda supresi sedang
3. Tanda supresi berat.
Seorang anak dikatakan dengan tanda dangejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi
imun dikategorikan sebagai A2. Status imundidasarkan pada jumlah CD$ atau persentase
CD4 yang tergantung usia anak. Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan
ditujuan terhadapmencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan
pneumonia interstisiel.Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-
obatan untuk infeksiHIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat
untuk oenyakit sistemsaraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan
Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan
sekali berguna untuk mencegahinfeksi bakteri berat pada anak, selain untuk
hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankanuntuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai
pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif
(IPV)
TINJAUAN TEORI
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) ATAU LUPUS

A. Definisi
Penyakit lupus atau lupus eritematosus adalah penyakit autoimun kronis yang dapat
menyebabkan peradangan di beberapa bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, hingga otak.
Pada kondisi normal, sistem imun akan melindungi tubuh dari infeksi atau cedera. Namun,
saat seseorang mengalami penyakit autoimun, seperti lupus, sistem imun justru menyerang
sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Penyebab kondisi autoimun pada Lupus belum diketahui. Sistem kekebalan tubuh
penderita Lupus akan menyerang sel, jaringan, dan organ yang sehat. Sistem kekebalan
tubuh pada pasien penyakit Lupus akan mengalami kehilangan kemampuan untuk melihat
perbedaan antara substansi asing (non-self) dengan sel dan jaringan tubuh sendiri (self).
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang disebabkan oleh sistem kekebalan
tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Inflamasi
akibat Lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, misalnya kulit, sendi, sel darah, paru-
paru, jantung.
B. Faktor Resiko
Lupus merupakan penyakit autoimun. Kondisi ini terjadi saat sistem imun yang
seharusnya melindungi tubuh dari infeksi atau cedera justru menyerang sel dan jaringan
yang sehat. Hal ini akan menyebabkan peradangan dan kerusakan pada berbagai organ dan
bagian tubuh. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik yang belum jelas penyebabnya,
memiliki variasi gambaran klinis yang luas, dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam.
faktor genetik, imunologik dan hormonal, serta lingkungan diduga juga berperan dalam
perjalanan penyakit.
Faktor risiko penyakit LSE adalah :
a. Faktor genetic : diketahui bahwa sekitar 7%* pasien LES memiliki keluarga dekat (orang
tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis LES. Oleh karena itu, faktor genetik
merupakan salah satu faktor risiko LES. Sejauh ini diketahui terdapat sekitar 30 variasi
gen yang dikaitkan dengan kejadian SLE.
b. Faktor lingkungan : infeksi, stres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat tertentu, merokok,
paparan kristal silika, merupakan faktor pemicu timbulnya LES.
c. Faktor hormona l: perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan dengan
laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit LES sebelum periode menstruasi
atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya estrogen menjadi
pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti peran
hormon yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada perempuan pada periode
tertentu.
C. Patofisiologis
Manifestasi penyakit LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat dan sistem imun. Oleh karena itu
manifestasi penyakit LES sangat beragam dengan perjalanan penyakit yang bervariasi dan
memiliki risiko kematian yang tinggi (hingga 67% lebih tinggi dari populasi normal) 1,
sehingga memerlukan pengobatan yang lama dan seumur hidup. Untuk itu diperlukan
pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat.
D. Tanda dan Gejala
Gejalanya awal kerap mirip dengan penyakit lain sehingga sulit untuk didiagnosis.
Gejala Lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan adayang bahkan mengancam jiwa.
Gejala Lupusyang paling sering muncul dari semua pasien tanpa memandangjenis kelamin
adalah :
1. Keletihan.
2. Sakitkepala
3. Nyeri atau bengkak sendi
4. Demam
5. Anemia (baik karena jumlah sel darah merah/ haemoglobin kurang, atau karena volume
darahnya kurang)
6. Nyeri di dada ketika menarik nafas panjang

1
7. Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu
8. Sensitif terhadap cahaya atau cahaya matahari
9. Rambut rontoksampai kebotakan (alopecia)
10. Pendarahan yang tidak biasa
11. Jari-jari berubah pucat atau kebiruan ketika dingin (fenomena Raynaud)
12. Sariawan di mulutatau korengdi hidung.

E. Jenis-jenis Lupus
Penyakit Lupus terbagi dalam beberapa tipe, antara lain :
1. Lupus Eritematosus Sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE)
Jenis Lupus inilah yang paling sering dirujuk masyarakat umum sebagai penyakit
Lupus. SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat gejala
yang ringan sampai parah. Gejala SLE dapat datang dengan tiba-tiba atau berkembang
secara perlahan- lahan atau dapat bertahan lama atau bersifat lebih sementara sebelum

e akhirnya kambuh lagi. Banyak yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk
waktu lama atau bahkan tidak sama sekali sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang
parah. Gejala-gejala ringan SLE, terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat
menghambat rutinitas kehidupan. Karena itu para penderita SLE bisa merasa tertekan,
depresi, dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan.
2. Lupus Eritenatosus Kutaneus (cutaneous lupuserythematosus / CLE)
Dapat dikenali dari ruam yang muncul pada kulit dengan berbagai tampilan klinis.
Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan mengenali gambaran klinis dan beberapa
pengujian diantaranya melalui biopsi pada ruam. Pada gambaran biopsi akan
terlihatadanya infiltrasisel inflamasi dan endapan kompleks imun pada batas
dermoepidermal yang dikenal dengan Lupus Band.
3. Lupus Imbas Obat
Efek samping obat berbeda-beda pada tiap orang. Terdapat lebih dari 100 jenis obat
yang dapat menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala Lupus pada orang-
orang tertentu. Gejala Lupus akibat obat umumnya akan hilang jika berhenti
mengonsumsi obat tersebut sehingga tidak perlu menjalani pengobatan khusus. Tetapi
perlu diperhatikan untuktidaklupa berkonsultasi kepada dokter sebelum memutuskan
berhenti mengonsumsi obat dengan resepdokter.
4. Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD), dan Mixed
Connective Tissue Disease (MCTD).
Pada sebagian pasien LES ternyata ditemukan juga manifestasi klinis lain yang
memenuhi kriteria diagnostik penyakit autoimun lain seperti artritis reumatoid,
skleroderma, atau miositis. Ada pula pasien LES yang juga memiliki gejala penyakit
autoimun lain namun belum lengkapuntukdidignosis penyakit autoimun tertentu.
F. Pencegahan
Pencegahan penyakit LES meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sebagai berikut :
1. KomunikasiInformasiEdukasi(KIE).
2. Perlindungan khusus.
3. Penemuan (deteksi dini), diagnosis,tatalaksana kasusdan rujukan.
4. Surveilansepidemiologi (surveilans kasus dan surveilansfaktorrisiko).
5. Kemitraan.
6. Upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
penyakit LES.
7. Pemantauan dan penilaian.
G. Tatalaksana Umum Pasien Penyakit SLE
Tatalaksana pasien penyakit LES adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar pasien penyakit LES dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Tatalaksana umumyangharusdilakukan adalah :
1. Hindariaktifitasfisikyangberlebihan.
2. Hindari merokok.
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
4. Hindari stres dan trauma fisik.
5. Diet khusus sesuai organ yangterkena.
6. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00.
7. Gunakan pakaianyangtertutup, tabirsurya minimal SPF30PA++30 menitsebelum keluar rumah.
8. Hindari pajanan lampu UV.
9. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
10.Kontrol secara teratur ke dokter.
11.Minum obatteratur.

Daftar Pustaka

Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007.
------. Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2013.
Huriati, 2016. HIV AIDS Pada Anak. Vol 9, No 2.
Infodatin, Situasi Lupus di Indonesia, Pusdatin, 2017
Penghimpunan SLE Indonesia, Data On SLE, 2017

Anda mungkin juga menyukai