Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BAHASA INDONESIA

“KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE”

DISUSUN OLEH:

THORIQ AL-GHIFFARY (201010200998)


KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum wr.wb
Alhamdulillah hirobbil’alamin puja dan puji syukur ke khadirat ALLAH
SWT. Yang meciptakan, mengatur, dan menguasai makhluk hidup di dunia dan
akhirat. Semoga kita mendapatkan limpahan rahmat dan hidayahnya. Shalawat serta
salam marilah kita curahkan ke kharibaan baginda nabi Muhammad saw. Kepada
para keluarganya, para sahabatnya dan tentunya kita sebagai umatnya.
Makalah ini di sajikan dengan bahasa yang komunikatif dengan singkat dan
jelas, dengan maksud membantu siswa menelaah makalah BAHASA INDONESIA
dengan judul “PELANGGARAN HAM KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE”
penyusun berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyajikan makalah ini agar
benar-benar bermanfaat, mudah di pahami bagi rekan siswa semua.
Demikian penyusun menyadari bahwa makalah ini belum dikatakan
sempurna dan baik oleh sebab itu kami menginginkan teman –teman semua untuk
memberikan kritikan dan saran bila ada kesalahan di makalah ini.
Wa’alaikum sallam wr.wb
Bogor, 28 September 2020
Penulis

Thoriq Al-Ghiffary
Kata Pengantar .........................................................................1
Daftar Isi.........................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................3
Rumusan Masalah .........................................................................3
Tujuan Penulisan .........................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
Artikel Pembunuhan engeline........................................................................4
Contoh Pelanggaran HAM ............................................................ 9

BAB III PENUTUP


Kesimpulan .....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007 di sebuah klinik di
daerah Canggu sebagai puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama
Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para anggota
keluarga ini kemudian tinggal terpencar karena orangtuanya bercerai setelah
melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (12 tahun), tinggal bersama keluarga
ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan Aisyah (4 tahun), anak bungsu,
tinggal bersama neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi. Sementara itu, Engeline
bersama orangtua angkatnya yang terakhir tinggal di Sanur, Denpasar tepatnya di
Jalan Sedap Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (28 tahun), adalah wanita kelahiran
Banyuwangi namun sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya,
ayah kandung Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (31 tahun), seorang pekerja
buruh bangunan, untuk kemudian menikah dan menetap di Bali. Namun kini mereka
sudah bercerai. Hamidah sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan
mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah sudah tidak lagi bekerja
sebagai pembantu rumah tangga.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM kasus tersebut?
2. Apakah termasuk kejahatan genosida atau kemanusiaan?
3. Bagaimana proses penyelesaian kasus tersebut?
4. Apa solusinya menurut kelompok?

3. TUJUAN PENULISAN
 Agar memahami bahwa setiap orang mempunyai HAM salah satunya adalah hak
untuk hidup, dan hak anak kepada orang tua, seperti yang terjadi pada kasus
pembunuhan angeline.
 Agar memahami dan meganalisis berbagai kasus pelanggaran HAM secara
argumentatif dan saling berhubungan antara aspek ideal, instrumental, dan praksis
sila sila pancasila.

BAB II
PEMBAHASAN
1. ARTIKEL PEMBUNUHAN
Proses adopsi
Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya
persalinannya ke klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang
mempertemukan dan memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang
menawarkan bantuan untuk melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk
mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani suaminya yang bernama
Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut, Margriet mengeluarkan biaya
sebesar Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya perawatan
Hamidah Rp 1 juta.[16] Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung dibawa oleh
Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Saat itu, anak
tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet,
mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat Engeline), [17] Engelina
Sumilat.[18] Dalam proses adopsi ini, Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga
pihak yang tercantum dalam surat perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet
saja.[19][20]
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka
hanya membuat perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan
Pengangkatan Anak Nomor 18 tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne
Wibowo.[16] Proses adopsi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut
membuat Komnas Perlindungan Anak sempat hendak mengembalikan hak asuh
Engeline kepada orangtua kandungnya.[5]
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang
menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline
sebagaimana anak kandungnya sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami
Engeline jauh berbeda, sehingga Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian
tersebut.[21]
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet
Christina Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian
hari. Sementara keluarga Hamidah, ibu kandung Angeline, melepaskan semua hak
waris yang melekat pada anak tersebut. Juga disebutkan jika Engeline meninggal
maka hak waris akan menjadi milik ahli waris Margriet. [21] Selain itu, mereka juga
menyepakati agar kedua orangtua kandung Engeline tidak menemui anak kandungnya
tersebut sampai ia berusia 18 tahun.
Pengasuhan orangtua angkat
Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak
kandung Margriet lainnya.[22] Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline
Megawe (39 tahun) dan Christina Telly Megawe (30 tahun). Engeline tumbuh
sebagai anak ceria yang selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan
Margriet.[22] Keluarga ini sempat berpindah-pindah tempat tinggal diantaranya
ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah angkat Engeline, Douglas, dikabarkan sangat
menyayangi anak angkatnya tersebut.[21] Namun kemudian Douglas meninggal dunia
pada tanggal 17 September2008.[19] Margriet tampak terpukul dengan kematian suami
keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orangtua tunggal, pada tahun-tahun
terakhirnya diduga Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun
mental.[23] Diketahui bahwa ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang
temperamental. Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari guru di
sekolahnya[24] tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia mengalami
penurunan berat badan. Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni, karena
dikelilingi oleh kandang ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah
keluarga yang secara ekonomi berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai,
membersihkan rumah, serta memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu
angkatnya berupa ayam, anjing, dan kucing.[24] Bila ia lupa melakukannya, maka ia
pasti mendapatkan perlakuan kasar dari ibu angkatnya. [25] Padahal jumlah ayam yang
dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor. Akibat tugas tersebut, ia
sering datang ke sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan dan rambut yang
bau.[26] Bahkan pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru kelasnya
di kelas 2B, Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut Angeline
banyak gumpalan kotoran ayam[24] sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi
rambutnya oleh Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2,
Engeline terlihat sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh,
berwajah sendu, dan sering terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang
pukul 17.00 WITA. Ia harus mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri dan pergi ke
sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km bila melaui jalan raya atau 1 km bila
melalui pematang sawah. Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang
anak ini mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan terganggu
perkembangannya.[26] Namun Engeline bersifat tertutup dan tidak mau bercerita
tentang penderitaan yang ia alami kepada gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia
mau mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering pusing di sekolah karena belum
makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri bahwa Engeline memang tidak suka
makan dan cuma mau minum susu saja. Padahal ketika diberi makan di sekolah oleh
gurunya, ternyata Engeline bisa sampai menghabiskan dua piring makanan yang
disediakan.[27]
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut
Ruta - sempat berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas
Engeline untuk menyampaikan niatnya kepada Margriet. Namun Margriet
melarangnya dengan alasan Engeline mempunyai tanggung jawab berupa berbagai
tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.
Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia membantah
sangkaan bahwa ia sebagai ibu angkat tidak mengasuh Engeline dengan baik apalagi
sampai melakukan kekerasan. Ia menyatakan bahwa ia menyayangi Engeline dan
anak itu pun menyayangi dia. Ia memberi berbagai tugas kepada Engeline semata
hanya untuk mendidiknya agar mandiri. [28] Ia mengaku tidak mau dipisahkan dengan
Engeline, sehingga ketika mendengar bahwa Komnas Perlindungan Anak akan
mengambil hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan membunuh siapapun
yang akan mengambil anak itu dari sisinya. [29] Kasih sayang Margriet kepada
Engeline juga diungkapkan oleh mantan tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka
berkunjung ke Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet dengan anak angkatnya itu
selayaknya hubungan ibu dengan anak kandungnya. [22] Pengacara Margriet, Hotma
Sitompul, juga menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi anak
angkatnya itu adalah pemberian nama ibu kandung Margriet kepada anak tersebut. [30]
Hilangnya Engeline
Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya
kabar tentang hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat
dibuatnya sebuah laman di jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's
Missing Child". Laman tersebut dibuat oleh salah satu kakak angkat Engeline yang
sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu Christine, pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar
pukul 17.00 WITA.[31] Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai hilangnya
Engeline.[31][32]
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan
tersebut.[1][33][34] Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya
hilang saat mereka bermain di depan rumah sekitar pukul 15.00 WITA. [1] Setelah
tidak juga ditemukan sampai pukul 18.00, maka kemudian Yvonne melaporkannya ke
polisi. Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas mencarinya dari Denpasar
sampai ke Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai upaya
dilakukan oleh polisi, seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis
telepon seluler orang tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan
anjing pelacak. Namun anjing tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya
berputar-putar di sekitar rumah saja. Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali
pun berdatangan ke kediaman Engeline untuk membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait,
beserta dua anggota timnya datang ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta
Denpasar dan Polda Bali. Mereka juga kemudian berkunjung dan menemui Margriet
di rumahnya. Saat itu, Margriet memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan
ruangan dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan bahwa selama
ini Engeline tinggal di rumah yang kondisinya sangat buruk dan tidak layak huni
dengan halaman dipenuhi kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga
akan membuat anak tidak bisa berkembang dengan baik. [4] KPAI juga menyatakan
maksudnya akan mengambil alih sementara hak asuh Margriet atas Engeline,
sehingga membuat Margriet menangis histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan
mengancam akan membunuh siapa pun yang akan mengambil anaknya itu karena dia
menyayangi Engeline dan Engeline pun menyayanginya. [29]
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet
Kerja, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak,Yohana Yembise. Namun Margriet menolak menemui keduanya
dan kedua menteri itu tidak diperbolehkan memasuki rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang
merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Kota Denpasar yang menangani
perempuan dan anak. Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya
Angeline bukan karena diculik atau melarikan diri, tapi justru dibunuh. Hal ini
dinyatakan oleh pendamping hukum P2TP2A, Siti Sapurah tanpa mencurigai siapa
pun termasuk ibu angkatnya.[9] Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang mereka
temukan bahwa Engeline hilang di sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga
mereka menduga bahwa Engeline dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat
polisi melakukan pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada ruang di rumah
Margriet yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali orang terdekatnya dia.
Ditambah lagi karena mantan pembantu Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May,
pernah mengatakan bahwa satu hari sebelum dilaporkan hilang, hidung Engeline
berdarah karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas
terkubur di halaman belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya
dalam kondisi membusuk di bawah pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama
bonekanya. Otopsi segera dilakukan di Instalasi Forensik di RSUP Sanglah pimpinan
dr Ida Bagus Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil otopsi, Engeline diketahui meninggal
sejak tiga minggu sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan
berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan bawah. Di punggung
kanan jenazah ditemukan luka sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan
dari tali plastik sebanyak empat lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena
kekerasan benda tumpul pada wajah dan kepala yang mengakibatkan pendarahan
pada otak.[35] Jasad Engeline kemudian dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa
Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangiyang merupakan kampung
halaman dari ibu kandungnya.
Kasus hukum
Penyidikan
Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian
Resor Kota Denpasar segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu
Margriet (ibu angkat), Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu),
dua penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono dan Susiani), dan petugas
keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa khusus oleh Margriet untuk
menjaga rumah itu setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline. [36]Dari hasil
pemeriksaan awal tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai
tersangka pembunuh Engeline[36]yang mengakui telah membunuh dan memperkosa
Engeline pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WITA, tepat pada hari
hilangnya anak tersebut, dan kemudian menguburkan jasadnya di belakang rumah
majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.[37]
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan ibu angkat
Angeline, Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran
anak [38] dan menempatkannya di tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti
kedokteran forensik RS Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh
tim forensik Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia Automatic Finger Print
Identification System) Polda Bali, dengan bantuan Inafis Mabes Polri. Dari bukti-
bukti tersebut Margriet diduga menjadi otak pembunuhan, dan Agus hanya
membantu menguburkan jasad Engeline.[13] Namun tim pengacara tersangka Margriet
mempermasalahkan penetapan tersangka Margriet terkait kasus pembunuhan
Engeline dan mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Denpasar
pada tanggal 2 Juli 2015.[39]
Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi
pembunuhan Engeline di Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26
Denpasar dihadiri dua tersangka.Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan
Margriet ditolak oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten Sili
menilai bahwa pihak pemohon, Margriet, melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel
& Associates, tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon
(Polda Bali) dalam menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari adanya alat bukti
yang sah adalah argumentasi yang tidak beralasan.
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline
dinyatakan sudah lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar
bersama dengan dua tersangkanya untuk segera dilimpahkan kepengadilan.[42] Dalam
berkas tersebut, tertera sejumlah pasal yang disangkakan kepada Margriet yaitu pasal
pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan mengakibatkan korban
meninggal, dan penelantaran anak.[43]
Peradilan
Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22
Oktober 2015, pada sidang tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus
Tay untuk menguburkan jasad Engeline dengan iming-iming uang, Margriet pula
yang menyuruh Agus untuk menyalakan rokok dan menyundutkannya ke tubuh
Engeline, dan hal tersebut sesuai dengan hasil visum RSUP Sanglah
Denpasar.[44] Dalam persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa tanggaal 16
Mei 2015, Margriet memukuli Engeline berkali kali pada bagian wajah dengan
tangan kosong hingga hidung dan telinga Engeline mengeluarkan darah. Pembunuhan
Engeline kemudian direncanakan dengan maksud untuk menghilangkan
jejak.[45] Sementara dalam persidangan tersebut Margriet menolak tuduhan jaksa yang
menyatakan bahwa dirinya yang telah membunuh Engeline, margriet menyatakan
bahwa dirinya menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.

2. CONTOH PELANGGARAN HAM KASUS PEMBUNUHAN ANGELINE

A. BENTUK PELANGGARAN HAM

Dari kasus ini, kita dapat melihat adanya berbagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Anak diantaranya pelecehan seksual, penganiayaan, serta pembunuhan. Selain
itu, Engeline juga dipandang tidak mendapatkan kehidupan yang sejahtera dan pantas
untuk ia dapatkan. Padahal, Ibu angkatnya merupakan seorang yang berkecukupan.
Jelas sekali pelanggaran terhadap Hak Asasi Anak yang berlapis-lapis terpampang
jelas di kasus ini.

Padahal, hukum mengenai perlindungan Hak Asasi Anak sudah jelas tertulis
dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Disana
dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 ( delapan belas )
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal-hal yang dilindungi dalam
Undang-Undang ini yaitu diantaranya mengenai jaminan kesejahteraan tiap warga
negaranya ( termasuk anak ), juga perlindungan anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
-Mengambil hak anak sampai kehilangan nyawanya.

-Melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

-Melanggar Pasal 21 Ayat (1).

-Melanggar Pasal 21 Ayat (3).

-Melanggar Pasal 36 Ayat (1).

-Melanggar Pasal 35 Ayat (1) UU Perkawinan dan mengatur soal harta bersama.

-Melanggar Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

-Melanggar UUD tentang perlindungan terhadap anak.

-Angeline meninggal pada tanggal Kamis, 18 Juni 2015.

B. TERMASUK KEJAHATAN KEMANUSIAAN

, kasus ini dapat dikategorikan dalam pelanggaran berat terhadap Hak Asasi
Anak. Kasus ini dapat terjadi karena kurangnya perhatian dan pengetahuan rakyat
Indonesia terhadap hukum perlindungan anak sehingga pelaku pelanggaran tidak
mengetahui konsekuensi yang akan didapat jika melakukan pelanggaran. Hal ini juga
dapat terjadi akibat kurang tegasnya hukum di Indonesia. Yang dimaksud dengan
kurang tegasnya hukum di Indonesia yaitu salah satunya ketakutan saksi pelanggaran
untuk melaporkan kasus pelanggaran kepada pihak yang berwenangan.
-Tubuh bocah 8 tahun itu penuh dengan luka memar, antara lain di wajah, kepala,
leher, lengan, paha, punggung dan kaki. Namun penyebab utama kematiannya diduga
karena benturan benda tumpul di kepalanya.

-Angeline mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus. (Agus adalah
orang yang baru diterima oleh Margareta untuk bekerja dirumahnya sebagai pengurus
ayam dan ternak lainnya). Pemerkosaan kedua yang berujung fatal.

-Margareta membunuh Angeline karena berhubungan dengan harta warisan.

-Dia sering dipukuli dan dimarahi oleh ibu angkatnya, Margareta.

-Margareta tidak niat untuk menjaga dan mempelihara anak angkatnya, Angeline.

-Margareta berniat jahat untuk memprilakukan Angeline.

C. PROSES PENYELESAIAN

Ditemukannya mayat Angeline disusul dengan penetapan tersangka pembunuhan.


Tersangka pertama yang ditetapkan polisi sebagai tersangka adalah pembantu rumah
tangga Margareta, Agus Tae Hamda May.
Saat pembunuhan terjadi, Agus baru satu minggu bekerja dengan Margareta.
Penetapan tersangka ini baru diketahui pada Rabu 10 Juni 2015. Dalam prarekonstruksi
kejadian, terungkap Agus membunuh Angeline.
Agus membunuh Angeline pada adegan ke-7 dengan cara membenturkan kepala
Angeline ke tembok dan lantai berkali-kali. Agus juga mencekik leher Angeline dengan
tangannya hingga tubuh bocah malang itu lemas.
Saat Angeline tidak berdaya, Agus sempat diminta untuk memperkosa Angeline.
Namun Agus menolaknya. Setelah Angeline tewas, dia langsung menguburnya bersama
boneka berbie kesayangan Angeline.
Kepada polisi, Agus mengaku melakukan pembunuhan keji itu tidak sendiri. Dia
disuruh majikannya, yakni Margereta. Keterangan Agus dijadikan dasar untuk
menjadikan Margareta sebagai tersangka kedua.
Pada awalnya, Margareta ditetapkan sebagai pelaku penganiayaan Angeline. Baru
kemudian menjadi tersangka pembunuhan Angeline. Dalam sidang, terungkap bahwa
Margareta adalah pelaku utama pembunuhan itu.
Sidang kasus pembunuhan Angeline berjalan sangat alot hingga berlangsung
empat bulan. Selain karena adanya dugaan praktik kecurangan pada majelis hakim, juga
adanya permainan di kepolisian.
Sidang yang awalnya dipimpin Hakim Ketua I Gede Ketut Wanugraha, Made
Sukreni, dan Ahmad Paten Silly dipindakan ke Ambon. Penyebabnya karena sidang
berlangsung langsung lambat dan berlarut-larut.
Pada pihak kepolisian, kecugiaan akan adanya permainan terjadi saat video
pemeriksaan Agus berhasil diperoleh Tim Pengacara Margareta. Video itu merupakan
dokumentasi Polri yang sifatnya rahasia.
Setelah melewati proses yang melelahkan, pengadilan akhirnya menjatuhkan
vonis 10 tahun penjara terhadap Agus dan penjara seumur hidup terhadap Margareta.

D. SOLUSI KELOMPOK
Cara penanganan atau solusi agar kejadian pembunuhan seperti Angeline tidak terjadi
lagi:

-Bekerja sama dengan pihak sekolah, tetangga, orang yang dikenal, dll. Sehingga hal
itu tidak terjadi.

-Menurut kami Margareta harus mendapat pelajaran yang seharusnya diterima.

-Menurut kami setelah kematian suaminya jika Margareta tidak niat menjaga dan
melindungi Angeline, lebih baik tidak perlu mengadopsinya.

-Menurut kami anak adalah generasi yang akan menjadi penerus di masa yang akan
datang, jadi kita harus menjaga dan melindunginya dengan baik.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pada dasarnya pelanggaran HAM terjadi karena ketidaktahuannya tentang hak
asasi manusia dan juga menipisnya keimanan sebagai seorang manusia. Sehingga hal-
hal tersebut sering terjadi karena lingkungan yang tidak baik serta pergaulan yang
negatif.
Pemerintah juga harus bertindak tegas,dan harus ikut serta dalam memberikan
sosialisasi atau pembinaan terhadap orangtua agar menambah pengetahuan
bagaimana cara mendidik anak yang baik dan seharusnya juga komnas HAM bisa
bertindak tegas, cepat, dan tepat dalam menangani kasus pelanggaran HAM.
Pemerintah juga kurang memberatkan hukuman yang ada sehingga para pelaku
pelanggaran HAM kurang jera akan hukuman tersebut.
Daftar Pustaka

http://beritakaltara.com/?p=2153
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
http://anakbersinar.com/news/detail/id/122/Mencegah-Tindakan-Kekerasan-
Terhadap-Anak.html

terima kasih
semoga bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai