Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

1. Definisi
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-
sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala
yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. (Kapita Selekta Kedokteran,
2002)
Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku,
alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala.
(Brunner dan Suddarth`s, 2001)
Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30
menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai
setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam
adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di
antarserangan.

2. Etiologi
a. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
b. Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan
kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal.
Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
c. Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
d. Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
e. Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
f. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya
toksolakmosis
g. Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
h. Neoplasma otak dan selaputnya
i. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
j. Keracunan; timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
k. Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan
lain-lain

3. Faktor Presipitasi
a. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
b. Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
c. Faktor mental: stress, gangguan emosi

4. Patofisiologi
Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat
proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut
Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan
potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-
waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah
cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari
permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes
keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin
daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan
otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat
terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi
lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai
konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensi membran sehingga lepas muatan listrik
dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simptomatik.
Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh
Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini
merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal.
Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad kesadaran.
Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh Karena
sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar
talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang
seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima
impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral
dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar
talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal,
yang dikenal sebagai petit mal.
PHATWAY

Rangsangan mekanik
dan biokimia
Infeksi Bakteri virus
dan parasit
Perubahan konsentrasi ion
diruangan potensial
Resiko inflamasi ekstraseluler

Ketidakseimbangan
Proses demam ptensial membran ATP ASE

Neurologis
Difusi Na⁺ dan K⁺

Kejang
HIPERTERMIA RESIKO CEDERA
Kurang Informasi
tentang penyakit
yang id derita

ANSIETAS
5. Manifestasi Klinis
Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League
against Epilepsi (ILAE), klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a) Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
 Dengan gejala motorik
o Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh
saja
o Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
o Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
o Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
o Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan
yang disertai vertigo
o Somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
o Visual: terlihat cahaya
o Auditoris: terdengar sesuatu
o Olfaktoris: terhidu sesuatu
o Gustatoris: terkecap sesuatu
o Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
 Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
o Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat
o Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah
mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti
melihat lagi.
o Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
o Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar
o Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik
melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b) Sawan parsial komplek
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
o Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti
golongan A1 - A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
o Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku
yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-
ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju,
berjlan, mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak
permulaan serangan.
o Hanya dengan penurunan kesadaran.
o Dengan automatisme.
o Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik)
2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)
a) Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.

 Hanya penurunan kesadaran.


 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher,
lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
 Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
 Dengan automatisme.
 Dengan komponen autonom.
b) Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
c) Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot.
Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d) Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga
terdapat pada anak.
e) Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama
grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan
kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-otot
seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi
dlam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f) Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali
dijumpai pada anak.

3. Sawan tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau pernafasan
yang mendadak berhenti sementara.

6. Pemeriksaan Penunjang

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informative


yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas
epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing,
gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos
kepala, yang berguna untuk mendeteksinya adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan,
yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan
pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelaianan
sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia dan lain-lain.

7. Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia,
keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur,
migren.

8. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan
intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan pengobatan
psikososial.

1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping
pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar
yang perlu dipertimbangkan:
a) Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
b) Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami
lebih dari dua kali sawan yang sama.
c) Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d) Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
e) Dosis obat disesuaikan secara individual.
f) Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
 Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi,
adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
 Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
 Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
 Faktor emosional sebagai pencetus.
 Termasuk intractable epilepsi.
g) Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial.
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar
akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya
sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara
normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
a) Lima menit pertama
 Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan
berikutnya.
 Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas,
intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
 Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
 Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah,
hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b) Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas
intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.

c) Menit ke-10 hingga ke-20


Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit
sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d) Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan
1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama
pemberian.
e) Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin
tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20
mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan
bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan
pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
(pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu
untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk
mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi
karena tindakan ini.
h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi
otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi
kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa
dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan
secret
j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi,
yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah
kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-
tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap
lingkungan.

9. Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2 tahun
dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak
mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak
akan menglami remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada
sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih
mudah menglami relaps sesudah remisi.

10. Diagnosa keperawatan


1.Resiko cidera berhubungan dengan Kejang
2.Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3.Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prognosis penyakit
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


1 Resiko cidera berhubungan
dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 Tindakan
jam diharapkan tingkat cedera menurun dengan
Kejang Observasi
Kriteria Hasil :
DS : Keluarga mengatakan anaknya 1.Kejadian cedera menurun 1.Monitor status neurologis
2. luka/lecet menurun
kadang masih kejang 2.monitor tanda-tanda vital
DO : Terapeutik
-Pasien tampak tenang 1.Baringkan pasien agar tidak terjatuh
-Keluarga dan pasien kooperatif 2.Rendahkan ketinggian tempat tidur
3.Pasang side-rail tempat tidur
4.Berikan alas empuk dibawah
kepala,jika memungkinkan
5.jauhkan benda-benda berbahaya
terutama benda tajam
Edukasi
1.Anjurkan segera melapor jika
merasakan aura
2.Anjurkan tidak berkendara
3.Ajarkan keluraga pertolongan pertama
pada kejang
Kolaborasi
1.Kolaborasi pemberian antikonvulsan
2. Hipertermi berhubungan dengan proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam Tindakan
diharapkan Suhu tubuh dalam Rentang normal dengan Observasi
penyakit Kriteria Hasil : 1.Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam
DS : Keluarga mengatakan anaknya 1.menggigil menurun 2. monitor tekanan darah
2. suhu tubuh membaik ,frekuensi,pernafasan dan nadi
masih hangat 3.suhu kulit membaik 3. monitor warna dan suhu kulit
Terapeutik
DO : 1.Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang
-Wajah pasien tampak memerah adekuat
2.Sesuaikan suhu lingkungan dengan
TD: 100/60 mmHg kebutuhan pasien
Edukasi
N : 100 x/menit 1. Jelaskan cara pencegahan heat
Rr: 20 x menit exhataustion
Kolaborasi
S: 38C 1.Kolaborasi pemberian antipiretik

3. Cemas berhubungan dengan kurangnya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x8 jam Tindakan
diharapkan kecemasan menurun dengan Observasi
pengetahuan tentang prognosis penyakit Kriteria Hasil :
1. Verbalisasi kebingungan menurun 1. Indentifikasi saat tingkat ansientas
DS :
2.Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi berubah .
-Keluarga dan pasien mengatakan tidak menurun 2. Indentifikasi kemampuan dan mengambil
keputusan
tahu pasti tentang penyakit yang diderita 3. Monitor tanda tanda ansientas ( verbal dan
pasien non verbal)
Terapeutik
DO : 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
-Keluarga tampak cemas dan bingung 2. Temani pasien untuk mrengurangi
-Keluarga dan pasien kurang mampu kesecemasann, jika menungkinkan.
3. Pahami situasi yang membuat ansientas.
menjawab dengan tepat seputar penyakit 4. Dengarkan dengan pennuh perhatian
5. Motivasi mengindetifikasikan situasi yang
yang diderita pasien
memicu kecemasan
Edukasi
1. Jelaskan prosedur termaksud sensasi yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara factual mengenal
diagnosis,pengobatan dan prognosis.
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien.
4. Anjurkan mengungkapkann perasaan dan
presepsi
5. Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
6. Latih tehnik relaksasi

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat anti Ansientas
jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif; dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius.

Jakarta: FKUI.

2. Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: EGC.

3. Budi Santosa. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2009-2011. Jakarta:

Prima Medika

4. Helen Lewer. 2005. Learning to Care on the Paediatric Ward : terjemahan.

Jakarta: EGC.

5. Joanne C. McCloskey. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). Mosby-

Year Book.

6. Judith M. Wilkinson, Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC

Intervention and NOC Outcomes, Upper Saddle River, New Jersey, 2005

7. Joyce Engel, Pocket Guide to Pediatric Assesment : terjemahan, EGC, 1998

8. Marion Johnson, Nursing Outcomes Classification (NOC), Mosby-Year Book, 2000

9. Suriadi, Asuhan Keperawatan pada Anak, CV Agung Seto, Jakarta, 2001

10. Tri Atmadja DS, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, RSUD Wates, 2001
SKENARIO KASUS
Ny. N datang kerumah sakit dengan anaknya yang bernama An. S yang berumur 8 tahun
Dari hasil pengkajian pada pasien yang dilakukan ditemukan data-data: keadaan umum
pasien baik, kesadaran composmentis, keluhan utamanya badan masih hangat dan masih
kejang, Tanda-tanda vital TD: 100/60 mmHg, suhu 38ºC, nadi 80 x/menit, respirasi rate 20
x/menit. pasien mengalami kejang-kejang 1 hari sebelum masuk RS. keluarga pasien
mengatakan kurang begitu mengerti dengan penyakit yang diderita An. S, Keluarga pasien

juga tampak cemas dan kebingungan.

Anda mungkin juga menyukai