Anda di halaman 1dari 11

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kedokteran Islam di semester satu

OLEH :
MAULIDATUL JINANI FIRDAUSYAH (6130020049)
HAYYUNAH ROHMATUL AHADIAH (6130020050)
NUR INTANIA PUTERI KUSNANDAR (6130020051)
ISNA MEIRILLA ZAHARA AL MAKKA (6130020052)
HALIMATUS SAKDYAH (6130020053)
HARJUNO WICAKSONO (6130020054)
DIMAS ARENDRA AIDILFI AKBAR (6130020055)
LINDA RAMADHANTY PRAMESTA (6130020056)

Dosen Pembimbing
dr. Nur Azizah A. S., Sp.Kj

PROGRAM STUDI S1-PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Penemuan teknologi modern sekarang semakin berkembang pesat, hal ini


berakibat pula pada perubahan kehidupan sosial budaya manusia. Khususnya
penemuan teknologi di bidang medis, perkembangan dalam hal mendiagnosa suatu
penyakit dapat lebih sempurna dan pengobatan suatu penyakit juga dapat teratasi
dengan cepat. Hasil dari perkembangan teknologi yang pesat dan canggih dalam
bidang kesehatan, khususnya kedokteran. Seperti alat-alat medis dan fasilitas medis
lainnya Hal ini menyebabkan seorang dokter atau tenaga medis dapat berusaha
dengan lebih maksimal dalam menangani pasien sakit parah untuk dapat bertahan
hidup dan memperpanjang usianya. Bisa berarti pula dengan alat alat medis yang
canggih itu dapat menunda waktu kematian pasien.
Menjaga kesehatan dan memelihara jiwa di dalam islam sangat
diperhatikan. Dalam firman Allah SWT telah dijelaskan mengenai memelihara jiwa
atau hifdun an nafs dalam Al Qur’an surah Al-Hijr berikut ini : “Dan sesungguhnya
benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan kami (pulalah) yang
mewarisi” (QS: Al-Hijr-23). Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya euthanasia
aktif merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Euthanasia aktif menurut syariat Islam diharamkan, sebab termasuk dalam kategori
pembunuhan disengaja (qatlul‟amd), meskipun niatnya baik yakni untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya dalam islam tetap haram walaupun
atas permintaan sendiri atau permintaan keluarganya sebagaimana ayat-ayat Al-
Quran yang mengharamkan pembunuhan baik pembunuhan jiwa orang lain ataupun
diri sendiri. Alasan yang sering dikemukakan untuk melegalkan tindakan
euthanasia ini tidak dapat diterima, misalnya iba atau kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan tersebut
hanya memandang dari segi lahiriyah (empiris), padahal masih banyak aspek lain
yang tidak diketahui dan tidak dapat dijangkau oleh manusia.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah SWT

1
menghapuskan segala dosanya dengan musibah yang menimpahnya ” (HR. Bukhari
dan Muslim). Munurut Zuhroni secara normatif, memudahkan proses kematian
secara aktif (euthanasia aktif) tidak dibenarkan oleh syariat. Hal ini dikarenakan
dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh pasien dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Perbuatan
sejenis tersebut tetap dikategorikan sebagai pembunuhan. Walaupun didorong
faktor rasa kasihan pasien dan meringankan penyakit yang diderita atau rasa
sakitnya. Masalah kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh
Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah SWT Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat
24 Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat
(pula) memajukannya” (QS: Al-A‟raf 34). Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa
urusan mati sepenuhnya merupakan hak Allah SWT. Sehingga kalau sampai terjadi
seseorang yang mengusahakan kematian untuk orang lain, ini bisa dikategorikan
sebagai pembunuhan, bila yang terjadi adalah seseorang berusaha untuk dirinya
sendiri untuk mendapatkan kematian dengan meminta bantuan tenaga medis, maka
perbuatan demikian bisa dikategorikan sebagai bunuh diri dengan meminjam
tangan orang lain.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Euthanasia , Hukum Pidana , Hukum Islam.

Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu eu dan Thanatos. Kata eu


berarti baik ,dan thnatos berarti mati , dalam arti merupakan mengakhiri hidup
dengancara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut
juga dengan mercy killing, a good death , atau enjoy death ( mati dengan tenang).
Secara etimologis euthanasia merupakan kematian dengan cara baik tanpa
penderitaan. Euthanasia secara Bahasa di zaman kuno artinya kematian tenang
tanpa adanya penderitaan yang hebat. Sedangkan dala Bahasa arab dikenal dengan
sebutan Qatlu Ar-Rahma atau Al-Maut ( mati secara baik).
Euthanesia dapat artikan dalam bentuk seorang dokter yang memberikan
suntik mati terhadap pasien atas permintaan pasien dan izin dari keluarga yang
dikenal dengan sebutan Euthanasia Aktif atau seorang dokter yang memberhentikan
pemberian obat terhadap pasien dengan izin keluarga disebut Euthanasia Pasif, hal
ini biasa terjadi akibat keluarga yang sudah tidak sanggup untuk melihat
penderitaan seseorang yang sakit bila diabaikan terus-menerus pada keadaan yang
seperti itu.
Euthanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan dan termasuk dalam
kategori jinayah dalam kategori ilmu fiqh, jinayah merupakan perbuatan yang
diharamkan oleh Allah SWT dan merupakan perbuatan yang tercela yang dilarang
oleh Allah. Perbuatan jinayah dapat merugikan agama , jiwa , akal dan harta. Allah
melarang melakukan pembunuhan , karena pasa dasarnya menghilangkan nyawa
seseorang merupakan perbuatan dosa besar sebagaimana tercantum di dalam Al-
Quran :

Artinya : “dan barang siapa yang membunuh sesorang mu’min dengan sengaja,

3
maka balasannya ialah jahnnam , kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya
dan mengutukkannya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
(QS : An – Nisa’93 ).
Sebagian besar masyarakat Indonesia berpendapat bahwa lahir dan mati
adalah takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, tidak ada yang bisa
menghindari dan menentukan dalam hal kemaatian dan kelahiran. Kelahiran dan
kematian dapat terjadi baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Pada dasarnya
memang kelahiran membawa kebahagian sedangkan kematian membawa
kesedihan. Kematian secara alamiah itu hal yang wajar, karena pada saatnya
manusia pasti akan mati, secara tidak alamiah merupakan mati yang tidak
diharapkan.
Meninggal secara tidak alamiah merupakan pengakhiran hidup berupa
dengan cara bunuh diri atau minta dibunuh ( diakhiri hidupnya “ euthanasia “ ) ada
hubungannya dengan hak untuk mati dari seseorang. Jika tidak ada hak untuk mati,
seseorang melakukan bunuh diri atau euthanasia, maka terjadi perbuatan melanggar
hokum dan perbuatan itu dapat dikenakan sanksi hukum. Masalah “hak untuk mati“
ini berhubungan erat dengan definisi dari pada kematian. Hal ini timbul karena
adanya hubungan dengan kenyataan bahwa profesi medisi sekarang sudah mampu
menciptakan alat alat maupun mengambil tindakan–tindakan yang dapat
memungkinkan seseorang akan mengalami kerusakan otak, tetapi jantungnya tetap
hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”.
Definisi kematian diterima sebagai akibat daripada perkembangan ilmu
kedokteran , berhubungan dengan “ organtransplants”, pencabutan alat–alat untuk
menompang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk
menghidupkan kembali sesorang. Bentuk pembunuhan diatur dalam pasal 334
KUHP, bahwa “barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan
oaring itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguha hati, akan dipidana
paling lama 12 tahun“.
Secara hukum islam diamalkankan untuk menciptakan keselataman dan
kehidupan manusia, sehingga aturan yang diberikan secara merinci, dan khusus
yang berkaitan dengan hukum pidana, Islam ditetapkan aturan yang ketat yaitu
Qisas (pembunuhan) had dan diyat. Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit

4
berkeinginan untuk mempercepat kematiannya, baik dengan bunuh diri maupun
dengan minta dibunuh. Dibandingkan dengan alasan–alasan yang mendorong
terjadinya euthanasia pada masa lalu , maka tidak ada satupun yang berkaitan
dengan alasan tersebut. Maka perlu diperjelas secara terinci karena masalah
euthanasia ini termasuk dalam masalah yang kompleks, baik dari segi sebabnya dan
palaku dalam kejadian euthanasia. Karena euthanasia adalah jenis pembunuhan
maka perlu dijelaskan sanksi–sanksinya. Dalam pembunuhan ada beberapa sanksi-
sanksi, yaitu : hukuman pokok, hukum pengganti, dan hukuman tambahan.
Dokter sebagai seorang anggota masyarakat, pengabdi di masyarakat, penuh
aktif, berinteraksi, dan memlihara masyarakat. Tugas dokter tidak hanya
melakukan pengobatan kepada masyarakat tetapi juga sebagai seorang manusia
yang juga dituntut untuk tolong menolong dalam hal kebaikan apapun bentuknya.
Dalam masalah euthanasia m jika melihat fungsi dokter adalah sebagai penolong
mengobati, menolong, dan membantu pasien dari penyakitnya agar lebih baik dan
sembuh. Sebagai dokter muslim yang bertaqwa sebagai dokter tidak baik untuk
melakukan euthansia karena secara batin apakah dokter tega melakukan euthansia
kepada pasiennya. Pastinya seorang dokter muslin mempunyai batin dan juga
menghadapi konsekuensi hukum yang berlaku.

5
BAB III
DISKUSI

Masalah menjaga kesehatan dalam Islam sangat diperhatikan. Terlebih-


lebih menjaga atau memelihara jiwa atau an-nafs. Artinya, segala upaya diusahakan
untuk memberi pelayanan kesehatan agar dapat memperhatikan kehidupan seorang
manusia. Oleh karenanya setiap orang diharuskan untuk menjalani segala perbuatan
yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain. Atau dengan kata lain manusia
tidak dibolehkan untuk menghilangkan jiwanya atau jiwa orang lain. Sebab masalah
hidup dan mati itu merupakan urusan Allah SWT. Diantara firman Allah
menyinggung hal jiwa atau nafs adalah sebagai berikut: “Dan sesungguhnya benar-
benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan kami (pulalah) yang
mewarisi” (QS: Al-Hijr-23).
Halim (1971) mengungkapkan begitu besarnya penghargaan Islam terhadap
jiwa, sehingga segala perbuatan yang mengara kepada tindakan untuk
menghilangkan jiwa manusia akan diancam dengan hukuman qisas-diyat atau
ta‟zir. Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya euthanasia aktif dapat
dikategorikan kehidupan manusia, dan oleh karenanya pula hal tersebut merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
Euthanasia aktif menurut syariat Islam diharamkan, sebab termasuk dalam
kategori pembunuhan disengaja (qatlul‟amd), meskipun niatnya baik yakni untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan
sendiri atau keluarganya sebagaimana ayat-ayat Al-Quran yang mengharamkan
pembunuhan baik pembunuhan jiwa orang lain ataupun diri sendiri. Alasan yang
sering dikemukakan untuk melegalkan tindakan euthanasia, tidak dapat diterima,
misalnya iba atau kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter
memudahkan kematiannya. Alasan tersebut hanya memandang dari segi lahiriyah
(empiris), pada hal masih banyak aspek lain yang tidak diketahui dan tidak dapat
dijangkau oleh manusia.
Munurut Zuhroni secara normatif, memudahkan proses kematian secara
aktif (euthanasia aktif) tidak dibenarkan oleh syara”. Hal ni dikarenakan dokter
melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh pasien dan mempercepat

6
kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis perbuatan sejenis tersebut
tetap dikategorikan sebagai pembunuhan walaupun didorong faktor rasa kasihan
pasien dan meringankan penyakit yang diderita atau rasa sakitnya. Masalah
kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh Allah SWT, maka
apa bila telah datang kematiannya tidak seorangpun yang dapat mengundurkan atau
memajukan walau sesaatpun. Sebagai mana firman Allah :

Artinya: “tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apa bila telah
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaatpun dan tidak
dapat (pula) memajukannya” (QS: Al-A‟raf 34).
Menurut Halimi (1990), dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa urusan
mati sepenuhnya merupakan hak Alla SWT. Sehingga kalau sampai terjadi
seseorang lain yang mengusahakan kematian untuk orang lain, ini bisa
dikategorikan sebagai pembunuhan, bila ada terjadi seseorang berusaha untuk
dirinya sendiri untuk mendapatkan kematian, maka perbuatan demikian bisa
dikategorikan sebagai bunuh diri dengan meminjam tangan orang lain. Akibat dari
pesatnya perkembangan teknologi kedokteran modern akan dapat memberikan
fasilitas dan pelayanan yang lebih baik bagi usaha perpanjangan umur pasien yang
menderita sakit parah. Ini mengandung arti bahwa dokter atau tim medis telah dapat
menunda beberapa saat kematiannya. Kemudian apakah dokter dalam memberikan
tindakan medis (misal; memasang infuse, respirator, EEG, dan lain-lain), itu tidak
berarti mengahalangi hak Allah sebagai penentu kematian manusia.
Dalam konteks tersebut, tindakan dokter tidak berarti melangkahi hak Allah
atau takdirnya, sebab tindakan medis tersebut manifestasi dari ikhtiar untuk
menolong pasien. Memang seharusnya begitu, seorang dokter berkewajiban untuk
mengobati, meringankan penderitaan pasien dengan segala kemampuannya, baik
dengan obat-obatan atau memberikan nasehat. Betapapun sudah diduga umur
sipasien tidal lama lagi.

7
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan. Bahwa masalah
menjaga kesehatandalam Islam sangat diperhatikan. Oleh setiap orang diharuskan
untuk menjalani segala perbuatan yang dapat membahayakan dirinya atau orang
lain. Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya euthanasia aktif dapat
dikategorikan kehidupan manusia, dan karena oleh itu pula hal tersebut merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Hukumnya tetap haram
walaupun atas permintaan sendiri atau keluarga sebagaimana ayat-ayat Al-Quran
yang mengharamkan pembunuhan baik pembunuhan jiwa orang lain atau diri
sendiri. Masalah kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh
Allah SWT, maka apabila telah datang kematiannya tidak seorangpun yang dapat
mengundurkan atau memajukan walau sewaktu-waktu. Sehingga kalau sampai
terjadi seseorang lain yang mengusahakan kematian untuk orang lain, ini bisa
dikategorikan sebagai pembunuhan, Bila ada orang yang berusaha untuk dirinya
sendiri untuk mendapatkan kematian, maka perbuatan demikian bisa dikategorikan
sebagai bunuh diri dengan meminjam tangan orang lain.

B. Saran
Untuk dapat menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya
euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut:
1. Mempertimbangkan kemampuan pelayanan medis yang terbaik
dirasa tidak memungkinkan, atau karena biaya yang terlalu mahal
sehingga keluarga pasien tidak mampu, atau dikarenakan rumah
sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap jaraknya jauh, maka
dapat dilakukan dengan cara menghentikan perawatan atau
pengobatan dalam artian pasien dibawah pulang kerumah atau juga
dengan cara membiarkan pasien dalam keadaan seadanya, tanpa ada
maksud melalaikan, atau mengharapkan kematian.

8
2. Diharapkan para dokter untuk tetap berpegang teguh pada sumpah
jabatan dan kode etik kedokteran. Sehingga praktek euthanasia
dapat dihindari.

9
DAFTAR PUSTAKA

Satriana, I.M.W.C., 2020. EUTHANASIA DALAM PANDANGAN FILOSOFIS


IDEOLOGIS DAN NORMA HUKUM. Jurnal Ilmiah Hukum DE
JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 5(1), pp.23-39.

Anda mungkin juga menyukai