Anda di halaman 1dari 9

Kode Etik Wartawan – Jurnalistik

Internasional dan Indonesia


Dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan bahwa pers sebagai lembaga
sosial serta wahana komunikasi massa bertugas melaksanakan kegiatan jurnalistik
dengan menggunakan media cetak dan elektronik, serta berbagai macam saluran yang
ada.

Yang dimaksud dengan kegiatan jurnalistik adalah kegiatan pengelolaan laporan


harian yang menarik minat khalayak yang diawali dengan peliputan hingga
penyebarannya kepada masyarakat (Efendi, 1984: 196).  Sebagai salah satu bentuk
kedaulatan rakyat dalam sebuah Negara demokrasi, kebebasan pers dijamin oleh
konstitusi dan dilaksanakan dengan berdasar pada supremasi hukum, keadilan, serta
prinsip-prinsip demokrasi. (Baca : Pengertian Jurnalistik Menurut Para Ahli)

Kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi Negara tidak serta merta membuat para
pelaku jurnalistik dalam hal ini wartawan dan organisasi media dapat menjalankan
tugas dan kewajibannya tanpa batasan etika. Di Indonesia sendiri acapkali terdengar
berbagai pelanggaran etika yang dilakukan oleh para pelaku jurnalistik.

Hal inilah yang menimbulkan adanya gagasan untuk menyusun seperangkat norma
atau seperangkat etika sebagai dasar atau koridor bagi para wartawan dalam
menjalankan profesinya. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip
kode etik wartawan atau kode etik jurnalistik yang kini berlaku, ada baiknya ketahui
dahulu mengenai etika, sejarah, serta pendekatan jurnalisme sebagai dasar kode etik
wartawan atau kode etik jurnalistik.

Kode Etik Wartawan Internasional


International Federation of Journalist (IFJ) atau Federasi Wartawan Internasional
merupakan sebuah organisasi wartawan terbesar di dunia yang dibentuk pertama kali
dengan nama Federation Internationale des Journalistes pada tahun 1926 di Paris,
Perancis. Organisasi ini kemudian dibentuk ulang pada tahun 1946 dengan
nama International Organization of Journalist.
Organisasi ini pernah kehilangan Negara anggota dari Negara-negara Barat akibat
Perang Dingin dan bergabung kembali pada tahun 1952 di Brussels. Hingga kini,
organisasi ini telah memeiliki anggota sebanyak 600.000 dari 139 negara di seluruh
dunia. IFJ mengkampanyekan gerakan internasional untuk melindungi kebebebasan
pers dan keadilan sosial menjadi lebih kuat, bebas dan serikat pekerja wartawan yang
mandiri.

Pada tahun 1986, melalui Kongres Dunia Federasi Wartawan Internasional, IFJ
mendeklarasikan prinsip-prinsip perilaku bagi wartawan dengan melakukan
amandemen terhadap hasil Kongres Dunia Federasi Wartawan Internasional tahun
1954. Deklarasi ini dicanangkan sebagai standar perilaku professional bagi wartawan
dalam melakukan pengumpulan, pengiriman, penyebaran, dan pemberian komentar
suatu berita dan informasi yang menggambarkan suatu kejadian.

Prinsip-prinsip Perilaku Wartawan sebagaimana yang dideklarasikan oleh IFJ adalah


sebagai berikut :

 Tugas utama wartawan adalah menghormati kebenaran serta hak publik akan
kebenaran.
 Untuk itu, dalam melaksanakan tugas utamanya, wartawan harus berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kebebasan dalam mengumpulkan dan mempublikasikan
berita dengan jujur dan wartawan mempunyai hak untuk memperoleh komentar serta
kritik yang adil.
 Wartawan harus melaporkan kejadian yang hanya berkaitan dengan fakta-fakta
yang ia ketahui sumbernya. Wartawan tidak diperkenankan menahan atau
menyembunyikan informasi yang penting atau memalsukan dokumen. ( Baca
juga: Etika Komunikasi)
 Wartawan hendaknya menggunakan cara-cara yang sesuai ketika mencari
berita, foto, atau dokumen)
 Wartawan hendaknya melakukan upaya maksimal untuk memperbaiki atau
meralat informasi yang tidak akurat yang terlanjur telah dipublikasikan. (Baca
juga: Komunikasi Yang Efektif )
 Wartawan hendaknya menjaga kerahasiaan profesional mengenai sumber
informasi yang diperoleh dengan penuh keyakinan. (Hambatan-Hambatan
Komunikasi)
 Wartawan harus selalu waspada akan adanya bahaya diskriminasi yang
dilakukan oleh media, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari berbagai
tindakan diskriminasi yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, orientasi seksual,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, serta asal mula sosial dan
kebangsaan. (Baca juga: Komunikasi Politik)
 Wartawan harus menganggap berbagai tindakan berikut sebagai bentuk
pelanggaran seperti :
o Plagiat atau penjiplakan.
o Kesalahan penulisan atau pemberitaan yang disengaja,
o Fitnah atau pencemaran nama baik atau tuduhan yang tidak memiliki
dasar yang kuat.
o Menerima suap dalam berbagai bentuk dengan tujuan mempertimbangan
suatu berita atau untuk menyembunyikan fakta. (Baca juga: Komunikasi
Bisnis)
 Predikat wartawan hanya disematkan kepada mereka yang berpegang teguh
pada prinsip-prinsip di atas ketika menjalankan tugasnya sebagai wartawan.

Setiap Negara memiliki ketentuan masing-masing yang berkaitan dengan tugas


wartawan dan kode etik wartawan. Pada umumnya, ketentuan ini disesuaikan dengan
sistem pers yang berlaku di Negara yang bersangkutan dengan tetap mengacu pada
prinsi-prinsip perilaku wartawan yang berlaku secara internasional.

Kode Etik Jurnalistik di Indonesia


Menelusuri sejarah jurnalistik di Indonesia, terlihat bahwa selama rentang waktu 32
tahun masa kepemimpinan Orde Baru, Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia
adalah satu-satunya kode etik yang menjadi rujukan bagi para wartawan di Indonesia.
Hal ini dikarenakan pemerintah saat itu hanya mengakui Persatuan Wartawan
Indonesia sebagai satu-satunya wadah yang menaungi wartawan Indonesia. Namun,
ketika era reformasi mulai bergulir tahun 1999, ketentuan tersebut dicabut sehingga
mengakibatkan munculnya berbagai organisasi wartawan lainnya di Indonesia. (Baca
juga: Komunikasi Persuasif)

Masing-masing organisasi wartawan memiliki dan menerapkan kode etik tersendiri


bagi anggotanya. Agar organisasi wartawan memiliki rujukan kode etik yang berlaku
bagi semua organisasi wartawan.

Oleh karena itu,  Dewan Pers yang berperan sebagai garda terdepan pers Indonesia
memperoleh mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menyusun
serta mengawasi pelaksanaan kode etik bagi wartawan. Yang dimaksud dengan Kode
Etik Jurnalistik menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah kode etik
yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh dewan pers.

Untuk itu, pada tanggal 5-7 Agustus 1999, Dewan Pers mengadakan rapat koordinasi
di Bandung dan kemudian mensahkan Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI
serta ditandatangani oleh 24 organisasi wartawan yang ada di Indonesia. (Baca
juga: Komunikasi Visual)

Selang tujuh tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Kode Etik Wartawan Indonesia
mengalami revisi dan berganti nama menjadi Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan
melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik
Jurnalistik dan ditandatangani pula oleh 26 organisasi wartawan pada tanggal 14
Maret 2006. (baca: internet sebagai media komunikasi)

Adapun Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut :

 Pasal 1 : Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang


akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. (Baca juga: proses interaksi sosial)
 Pasal 2 : Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
 Pasal 3 : Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah.
 Pasal 4 : Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul.
 Pasal 5 : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
 Pasal 6 : Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap.
 Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai
dengan kesepakatan. (Baca : Jenis-jenis Interaksi Sosial)
 Pasal 8 : Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani
 Pasal 9 : Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. (Baca : teori komunikasi menurut para
ahli)
 Pasal 10 : Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa
 Pasal 11: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional

Sebagai kode etik yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh
dewan pers, maka dapat dikatakan bahwa Kode Etik Jurnalistik merupakan koridor
bagi wartawan Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dalam rangka
menjamin kebebasan pers serta menjamin hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sesuai
dengan sistem komunikasi Indonesia.

Etika Jurnalisme

Etika jurnalisme yang berlaku saat ini, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia,
tidak terlepas dari perjalanan sejarah jurnalisme modern yang berlangsung di Eropa
selama abad ke-17. Etika jurnalisme merupakan seperangkat norma atau kaidah
jurnalisme yang bertanggung-jawab yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh
wartawan dan organisasi pemberitaan dalam menjalankan perannya bagi masyarakat
(Ward, 2009 : 295).

Adapun yang menjadi tugas utama jurnalisme sejatinya adalah untuk menentukan
bagaimana norma-norma yang ada berlaku bagi berbagai isu etika saat ini. Beberapa
area masalah atau isu etika yang seringkali timbul adalah sebagai berikut :

 Akurasi dan verifikasi – terkait dengan verifikasi dan konteks yang


diperlukan untuk mempublikasikan sebuah berita serta pentingnya peran
penyuntingan dan “gate-keeping”
 Independen dan kesetiaan – terkait dengan independensi wartawan dengan
tetap menjaga hubungan etis dengan karyawan, editor, pengiklan, sumber, aparat
penegak hukum, dan masyarakat
 Penipuan dan pembuatan – terkait dengan cara-cara yang digunakan oleh
wartawan untuk memperoleh berita (Baca juga: bahasa sebagai alat komunikasi)
 Gambar grafis dan manipulasi gambar – terkait dengan penggunaan gambar
oleh wartawan dalam sebagai bagian dari berita (Baca : Komunikasi Visual)
 Sumber dan kerahasiaan – terkait dengan komitmen wartawan untuk
menjaga kerahasiaan sumber berita apabila diminta. (baca juga: Cabang Ilmu
Komunikasi)
 Situasi khusus – terkait dengan pemberitaan dalam berbagai situasi yang tidak
biasa
 Etika di setiap tipe media – terkait dengan penerapan etika jurnalistik yang
tidak hanya berlaku bagi jurnalisme mainstream namun juga bagi jurnalisme internet
mengingat perkembangan internet sebagai media komunikasi yang kian pesat

a. Sejarah Etika Jurnalisme


Menurut Stephen J.A Ward (2009 : 297), sejarah etika jurnalisme dapat dibagi ke
dalam 5 (lima) tahapan, yaitu :

Kemunculan di Abad ke-16 dan ke-17

Berkembangnya wacana etika jurnalisme yang muncul selama abad ke-16 dan ke-17
di Eropa Barat. Ditemukannya mesin cetak oleh Gutenbeg pada pertengahan abad 15
telah memberikan ruang terhadap lahirnya para editor media cetak yang menciptakan
surat kabar secara periodik dibawah kendali Negara.

Disamping masih sederhananya proses jurnalistik sebagai proses komunikasi masa itu,
para editor mencoba meyakinkan pembaca bahwa apa yang disampaikan melalui surat
kabar adalah kebenaran yang berdasarkan fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan. (Baca juga: Sejarah Jurnalistik di Indonesia)

Munculnya Etika Publik

Terciptanya etika publik sebagai kredo bagi surat kabar yang tumbuh dari ranah
pencerahan publik. Wartawan masa itu diklaim sebagai pelindung masyarakat dari
pemerintah. Pers masa itu berperan besar dalam terjadinya refomasi bahkan revolusi
di suatu Negara. Di akhir abad 18, pers secara sosial dikenal sebagai sebuah lembaga
sosial.

Teori Pers Liberal

Evolusi gagasan Kekuasaan Keempat atau Fourth Estate ke dalam teori pers liberal
selama abad ke-19. Teori liberal dimulai dengan premis bahwa kebebaan dan
kemandirian pers adalah sangat penting dalam melindungi kemerdekaan publik dan
mengkampanyekan reformasi liberal.

Berkembangnya kritis yang simultan terhadap perkembangan doktrin liberal selama


abad 20. Perkembangan dan kritik yang timbul merupakan respon untuk mengurangi
model liberal. Pada tahapan ini, para wartawan dan ahli etik yang membentuk etika
professional bagi jurnalisme yang obyektif berdasarkan teori tanggung jawab sosial.

Jurnalisme Baru

Berkembangnya berbagai bentuk jurnalisme baru yang dimulai di penghujung abad


20. Tahapan ini ditandai dengan berkembangnya jumlah citizen journalist amatir
dan blogger dalam kegiatan jurnalistik. Mereka menggunakan multi-media interaktif
atau media komunikasi modern seperti media sosial yang menjadi tantangan tersendiri
bagi isu etis jurnalisme menyangkut verifikasi dan “gate-keeping”
mengingat pengaruh media sosial serta efek media sosial yang ditimbulkan terhadap
masyarakat.
Pada tahap ini para wartawan dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik
mengenai literasi media agar dapat menyampaikan informasi yang tepat dengan
menggunakan media yang tepat disesuaikan dengan kemampuan masyarakat dalam
menyerap informasi yang ada. (Baca juga: Teori Fenomenologi)

Tahapan ini dipengaruhi juga oleh munculnya 4 (empat) teori normatif pers seperti
teori liberal, teori tanggung jawab sosial dan obyektivitas, teori intepretatif dan
aktivis, serta etika masyarakat dan perawatan yang selanjutnya dipandang sebagai
pendekatan utama dalam etika jurnalisme. (Baca juga: Literasi Media)

 b. Pendekatan Etika Jurnalisme

Lebih lanjut, Stephen J.A Ward dalam Journalism Ethics (2009 : 298-300)


menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) pendekatan dalam etika jurnalisme yang
dikenal juga sebagai 4 (empat) teori pers yaitu teori liberal, teori sosial dan
obyektivitas, teori intepretatif dan aktivis, serta etika masyarakat dan perawatan.

 Teori Liberal

Teori liberal memandang bahwa wartawan harus menyatu sebagai pers yang mandiri
dalam memberikan informasi kepada masyarakat dan bertindak sebagai pengawas
pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.(baca
juga: Komunikasi Asertif)

 Tanggung Jawab Sosial dan Obyektifitas

Tanggung jawab sosial dan obyektivitas merupakan bentuk respon terhadap teori
liberal. Teori tanggung jawab sosial memandang bahwa pers sebagai lembaga
kemasyarakatan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, bangsa, dan
Negara. (Baca juga: Teori Spiral Keheningan)

Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa merupakan salah satu
cara komunikasi sosial dilembagakan. Masyarakat berharap disajikan berbagai
informasi yang melalui media komunikasi massa yang dapat menjangkau masyarakat
luas secara serempak. Sedangkan yang dimaksud dengan obyektivitas adalah
mengembangkan serta membangun pers yang obyektif berlandaskan pedoman etika
profesional lainnya.

Pada awal tahun 1900an hingga pertengahan abad 20, obyektivitas merupakan standar
etika yang sangat ideal bagi surat kabar mainstream di Amerika Serikat, Kanada, dan
lain-lain namun kurang popular di Eropa. Pada tahun 1920an, asosiasi program studi
jurnalistik di Amerika mengadopsi kode formal yang disebut dengan obyektivitas
dalam melaporkan, independen dari pengaruh pemerintahan dan dunia bisnis, dan
memberikan batasan yang jelas antara berita dan opini. (Baca juga: Teori Agenda
Setting)
Hasilnya adalah elaborasi sekumpulan ketentuan atau peraturan yang terdapat dalam
ruang berita untuk memastikan bahwa para wartawan hanya menyiarkan berita yang
benar-benar berupa fakta.

 Intepretasi dan Aktivisme

Kedua pendekatan ini percaya bahwa wartawan memiliki tugas lain yang lebih banyak
dibandingkan hanya menulis berita tentang fakta. Dalam tradisi jurnalisme modern,
wartawan secara terang-terangan menjadi partisan suatu partai politik dan penyandang
dana sehingga menyebabkan bias ketika menyampaikan informasi kepada
masyarakat. (Baca juga: Komunikasi Dakwah)

Namun kemunculan jurnalisme intepretatif pada awal tahun 90an telah menyebabkan
wartawan tidak lagi menjadi partisan partai politik ataupun penyandang dana.
Wartawan menjadi lebih rasional dan obyektif dalam menyampaikan informasi
kepada masyarakat lepas dari pengaruh pihak manapun. Sementara itu, jurnalis aktivis
mulai mendefinisikan mengenai menginformasikan masyarakat sebagai bentuk
tentangan terhadap status quo dan perang. (Baca : Komunikasi Non Verbal)
Jurnalis aktivis berupaya untuk mengatur opini publik tentang berbagai kebijakan
pemerintah maupun swasta yang dinilai tidak adil bagi masyarakat. Kini, jurnalis
melihat dirinya sebagai kombinasi sebagai informan, interpreter, dan penasihat bagi
masyarakat.

 Kemasyarakatan dan Perawatan

Penerapan etika kemasyarakatan dan etika perawatan feminis juga turut memberikan
pengaruh terhadap etika jurnalisme. Keduanya menyediakan kritik terhadap teori
liberal dan sebagai sebuah alternatif lain dari teori liberal. Kedua pendekatan ini
menekankan pada prinsip-prinsip meminimalisir bahaya dan akan menjadi akuntabel
dengan mengurangi penekanan terhadap prinsip-prinsip pro aktif. (baca juga: Etika
Komunikasi di Internet)
Bila dibandingkan, pedekatan liberal menekankan pada kebebasan dan hak individu,
sementara itu pendekatan kemasyarakatan dan perawatan menekankan pada dampak
jurnalisme terhadap nilai-nilai komunal dan menjaga hubungan.
Dibandingkan dengan teori  uses and gratifications, teori agenda setting, serta teori
spiral keheningan yang merupakan teori komunikasi massa yang menekankan pada
efek media massa pada khalayak, maka keempat teori di atas merupakan teori
komunikasi massa yang terkait dengan struktur serta penampilan media.
Itulah beberapa pendekatan etika jurnalisme yang menjadi akar gagasan bagi
penyusunan serta penerapan pedoman perilaku jurnalistik. (Baca juga: Media
Komunikasi Modern)

Manfaat Mempelajari Kode Etik Wartawan

Dengan memahami kode etik wartawan atau kode etik jurnalistik diharapkan dapat
mendatangkan manfaat dalam menambah pengetahuan mengenai kode etik wartawan
atau kode etik jurnalistik serta menerapkannya sebagai pedoman perilaku wartawan
sehingga pers sebagai kekuatan keempat dalam Negara demokrasi dapat menjalankan
tugas dan fungsinya untuk memberikan informasi yang akurat dan akuntabel serta
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Anda mungkin juga menyukai