Kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi Negara tidak serta merta membuat para
pelaku jurnalistik dalam hal ini wartawan dan organisasi media dapat menjalankan
tugas dan kewajibannya tanpa batasan etika. Di Indonesia sendiri acapkali terdengar
berbagai pelanggaran etika yang dilakukan oleh para pelaku jurnalistik.
Hal inilah yang menimbulkan adanya gagasan untuk menyusun seperangkat norma
atau seperangkat etika sebagai dasar atau koridor bagi para wartawan dalam
menjalankan profesinya. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip
kode etik wartawan atau kode etik jurnalistik yang kini berlaku, ada baiknya ketahui
dahulu mengenai etika, sejarah, serta pendekatan jurnalisme sebagai dasar kode etik
wartawan atau kode etik jurnalistik.
Pada tahun 1986, melalui Kongres Dunia Federasi Wartawan Internasional, IFJ
mendeklarasikan prinsip-prinsip perilaku bagi wartawan dengan melakukan
amandemen terhadap hasil Kongres Dunia Federasi Wartawan Internasional tahun
1954. Deklarasi ini dicanangkan sebagai standar perilaku professional bagi wartawan
dalam melakukan pengumpulan, pengiriman, penyebaran, dan pemberian komentar
suatu berita dan informasi yang menggambarkan suatu kejadian.
Tugas utama wartawan adalah menghormati kebenaran serta hak publik akan
kebenaran.
Untuk itu, dalam melaksanakan tugas utamanya, wartawan harus berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kebebasan dalam mengumpulkan dan mempublikasikan
berita dengan jujur dan wartawan mempunyai hak untuk memperoleh komentar serta
kritik yang adil.
Wartawan harus melaporkan kejadian yang hanya berkaitan dengan fakta-fakta
yang ia ketahui sumbernya. Wartawan tidak diperkenankan menahan atau
menyembunyikan informasi yang penting atau memalsukan dokumen. ( Baca
juga: Etika Komunikasi)
Wartawan hendaknya menggunakan cara-cara yang sesuai ketika mencari
berita, foto, atau dokumen)
Wartawan hendaknya melakukan upaya maksimal untuk memperbaiki atau
meralat informasi yang tidak akurat yang terlanjur telah dipublikasikan. (Baca
juga: Komunikasi Yang Efektif )
Wartawan hendaknya menjaga kerahasiaan profesional mengenai sumber
informasi yang diperoleh dengan penuh keyakinan. (Hambatan-Hambatan
Komunikasi)
Wartawan harus selalu waspada akan adanya bahaya diskriminasi yang
dilakukan oleh media, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari berbagai
tindakan diskriminasi yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, orientasi seksual,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, serta asal mula sosial dan
kebangsaan. (Baca juga: Komunikasi Politik)
Wartawan harus menganggap berbagai tindakan berikut sebagai bentuk
pelanggaran seperti :
o Plagiat atau penjiplakan.
o Kesalahan penulisan atau pemberitaan yang disengaja,
o Fitnah atau pencemaran nama baik atau tuduhan yang tidak memiliki
dasar yang kuat.
o Menerima suap dalam berbagai bentuk dengan tujuan mempertimbangan
suatu berita atau untuk menyembunyikan fakta. (Baca juga: Komunikasi
Bisnis)
Predikat wartawan hanya disematkan kepada mereka yang berpegang teguh
pada prinsip-prinsip di atas ketika menjalankan tugasnya sebagai wartawan.
Oleh karena itu, Dewan Pers yang berperan sebagai garda terdepan pers Indonesia
memperoleh mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menyusun
serta mengawasi pelaksanaan kode etik bagi wartawan. Yang dimaksud dengan Kode
Etik Jurnalistik menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah kode etik
yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh dewan pers.
Untuk itu, pada tanggal 5-7 Agustus 1999, Dewan Pers mengadakan rapat koordinasi
di Bandung dan kemudian mensahkan Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI
serta ditandatangani oleh 24 organisasi wartawan yang ada di Indonesia. (Baca
juga: Komunikasi Visual)
Selang tujuh tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Kode Etik Wartawan Indonesia
mengalami revisi dan berganti nama menjadi Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan
melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik
Jurnalistik dan ditandatangani pula oleh 26 organisasi wartawan pada tanggal 14
Maret 2006. (baca: internet sebagai media komunikasi)
Adapun Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut :
Sebagai kode etik yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh
dewan pers, maka dapat dikatakan bahwa Kode Etik Jurnalistik merupakan koridor
bagi wartawan Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dalam rangka
menjamin kebebasan pers serta menjamin hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sesuai
dengan sistem komunikasi Indonesia.
Etika Jurnalisme
Etika jurnalisme yang berlaku saat ini, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia,
tidak terlepas dari perjalanan sejarah jurnalisme modern yang berlangsung di Eropa
selama abad ke-17. Etika jurnalisme merupakan seperangkat norma atau kaidah
jurnalisme yang bertanggung-jawab yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh
wartawan dan organisasi pemberitaan dalam menjalankan perannya bagi masyarakat
(Ward, 2009 : 295).
Adapun yang menjadi tugas utama jurnalisme sejatinya adalah untuk menentukan
bagaimana norma-norma yang ada berlaku bagi berbagai isu etika saat ini. Beberapa
area masalah atau isu etika yang seringkali timbul adalah sebagai berikut :
Berkembangnya wacana etika jurnalisme yang muncul selama abad ke-16 dan ke-17
di Eropa Barat. Ditemukannya mesin cetak oleh Gutenbeg pada pertengahan abad 15
telah memberikan ruang terhadap lahirnya para editor media cetak yang menciptakan
surat kabar secara periodik dibawah kendali Negara.
Disamping masih sederhananya proses jurnalistik sebagai proses komunikasi masa itu,
para editor mencoba meyakinkan pembaca bahwa apa yang disampaikan melalui surat
kabar adalah kebenaran yang berdasarkan fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan. (Baca juga: Sejarah Jurnalistik di Indonesia)
Terciptanya etika publik sebagai kredo bagi surat kabar yang tumbuh dari ranah
pencerahan publik. Wartawan masa itu diklaim sebagai pelindung masyarakat dari
pemerintah. Pers masa itu berperan besar dalam terjadinya refomasi bahkan revolusi
di suatu Negara. Di akhir abad 18, pers secara sosial dikenal sebagai sebuah lembaga
sosial.
Evolusi gagasan Kekuasaan Keempat atau Fourth Estate ke dalam teori pers liberal
selama abad ke-19. Teori liberal dimulai dengan premis bahwa kebebaan dan
kemandirian pers adalah sangat penting dalam melindungi kemerdekaan publik dan
mengkampanyekan reformasi liberal.
Jurnalisme Baru
Tahapan ini dipengaruhi juga oleh munculnya 4 (empat) teori normatif pers seperti
teori liberal, teori tanggung jawab sosial dan obyektivitas, teori intepretatif dan
aktivis, serta etika masyarakat dan perawatan yang selanjutnya dipandang sebagai
pendekatan utama dalam etika jurnalisme. (Baca juga: Literasi Media)
Teori Liberal
Teori liberal memandang bahwa wartawan harus menyatu sebagai pers yang mandiri
dalam memberikan informasi kepada masyarakat dan bertindak sebagai pengawas
pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.(baca
juga: Komunikasi Asertif)
Tanggung jawab sosial dan obyektivitas merupakan bentuk respon terhadap teori
liberal. Teori tanggung jawab sosial memandang bahwa pers sebagai lembaga
kemasyarakatan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, bangsa, dan
Negara. (Baca juga: Teori Spiral Keheningan)
Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa merupakan salah satu
cara komunikasi sosial dilembagakan. Masyarakat berharap disajikan berbagai
informasi yang melalui media komunikasi massa yang dapat menjangkau masyarakat
luas secara serempak. Sedangkan yang dimaksud dengan obyektivitas adalah
mengembangkan serta membangun pers yang obyektif berlandaskan pedoman etika
profesional lainnya.
Pada awal tahun 1900an hingga pertengahan abad 20, obyektivitas merupakan standar
etika yang sangat ideal bagi surat kabar mainstream di Amerika Serikat, Kanada, dan
lain-lain namun kurang popular di Eropa. Pada tahun 1920an, asosiasi program studi
jurnalistik di Amerika mengadopsi kode formal yang disebut dengan obyektivitas
dalam melaporkan, independen dari pengaruh pemerintahan dan dunia bisnis, dan
memberikan batasan yang jelas antara berita dan opini. (Baca juga: Teori Agenda
Setting)
Hasilnya adalah elaborasi sekumpulan ketentuan atau peraturan yang terdapat dalam
ruang berita untuk memastikan bahwa para wartawan hanya menyiarkan berita yang
benar-benar berupa fakta.
Kedua pendekatan ini percaya bahwa wartawan memiliki tugas lain yang lebih banyak
dibandingkan hanya menulis berita tentang fakta. Dalam tradisi jurnalisme modern,
wartawan secara terang-terangan menjadi partisan suatu partai politik dan penyandang
dana sehingga menyebabkan bias ketika menyampaikan informasi kepada
masyarakat. (Baca juga: Komunikasi Dakwah)
Namun kemunculan jurnalisme intepretatif pada awal tahun 90an telah menyebabkan
wartawan tidak lagi menjadi partisan partai politik ataupun penyandang dana.
Wartawan menjadi lebih rasional dan obyektif dalam menyampaikan informasi
kepada masyarakat lepas dari pengaruh pihak manapun. Sementara itu, jurnalis aktivis
mulai mendefinisikan mengenai menginformasikan masyarakat sebagai bentuk
tentangan terhadap status quo dan perang. (Baca : Komunikasi Non Verbal)
Jurnalis aktivis berupaya untuk mengatur opini publik tentang berbagai kebijakan
pemerintah maupun swasta yang dinilai tidak adil bagi masyarakat. Kini, jurnalis
melihat dirinya sebagai kombinasi sebagai informan, interpreter, dan penasihat bagi
masyarakat.
Penerapan etika kemasyarakatan dan etika perawatan feminis juga turut memberikan
pengaruh terhadap etika jurnalisme. Keduanya menyediakan kritik terhadap teori
liberal dan sebagai sebuah alternatif lain dari teori liberal. Kedua pendekatan ini
menekankan pada prinsip-prinsip meminimalisir bahaya dan akan menjadi akuntabel
dengan mengurangi penekanan terhadap prinsip-prinsip pro aktif. (baca juga: Etika
Komunikasi di Internet)
Bila dibandingkan, pedekatan liberal menekankan pada kebebasan dan hak individu,
sementara itu pendekatan kemasyarakatan dan perawatan menekankan pada dampak
jurnalisme terhadap nilai-nilai komunal dan menjaga hubungan.
Dibandingkan dengan teori uses and gratifications, teori agenda setting, serta teori
spiral keheningan yang merupakan teori komunikasi massa yang menekankan pada
efek media massa pada khalayak, maka keempat teori di atas merupakan teori
komunikasi massa yang terkait dengan struktur serta penampilan media.
Itulah beberapa pendekatan etika jurnalisme yang menjadi akar gagasan bagi
penyusunan serta penerapan pedoman perilaku jurnalistik. (Baca juga: Media
Komunikasi Modern)
Dengan memahami kode etik wartawan atau kode etik jurnalistik diharapkan dapat
mendatangkan manfaat dalam menambah pengetahuan mengenai kode etik wartawan
atau kode etik jurnalistik serta menerapkannya sebagai pedoman perilaku wartawan
sehingga pers sebagai kekuatan keempat dalam Negara demokrasi dapat menjalankan
tugas dan fungsinya untuk memberikan informasi yang akurat dan akuntabel serta
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.