Anda di halaman 1dari 13

BAKTERIOLOGI III

CLOSTRIDIUM TETANI

RIHHADATUL ‘AISY PUTRI

P07134119057

D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana dalam udara yang kita hirup,
di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita sepenuhnya
hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak.Bakteri berasal dari
kata Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam
Divisio Schizomycetes.
Clostridium tetani  adalah bakteri berbentuk batang lurus,langsing,berukuran panjang 2-5
mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron.
Bakteri clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus. Tetanus adalah suatu
toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani
ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Clostridium tetani bisa menguntungkan dan juga merugikan bagi manusia.
Dari data dan permasalahan diatas,maka penulis tertarik  untuk mengangkat tentang bakteri
clostridium tetani ke dalam sebuah makalah yaitu dengan judul “clostridium tetani”

B.  Tujuan Penulisan Makalah


1.    Tujuan umum
Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan memperoleh gambaran tentang bakteri
clostridium tetani.
2.    Tujuan khusus
a.       Mahasiswa diharapkan mampu mengenali ciri-ciri clostridium tetani.
b.      Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui penyakit yang di timbulkan oleh
clostridium tetani.
BAB II
ISI
A.  Taksonomi

Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :


Kingdom         : Bacteria
Division         : Firmicutes
Class                : Clostridia
Order               : Clostridiales
Family             : Clostridiaceae
Genus              : Clostridium
Species            : Clostridium tetani

Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa lalu, yang dikenal
karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup
bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun
1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar
tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-
kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus
tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi
dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan
bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-
binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik.
Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus
membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk
perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh
P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang
disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia ke-II.

B.     Epidemiologi
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika
Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping sanitasi
lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, pemyakit ini
masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan.
Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit
tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan
kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk yang paling
sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap
tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar sepuluh
negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan
menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan
dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di
rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4
tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan
antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak terimunisasi men
inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi C.tetani pada luka
paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan setiap tahun di
Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia
anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis,
sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas,
atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang sering,
sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan cuping
telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi
wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau
setelah injeksi intramuskuler obat-obatan.

C.    Morfologi
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang
2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut
tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan
binatang. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, mengeluarkan
eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin.Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis
mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat
badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani  tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S.
Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani  resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama
10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

D.    Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang
penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus
merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di
tanah dan feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari.
Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan
mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium
tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
  Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
  Luka baker tingkat 2 dan 3
  Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
  Luka-luka di bawah kuku
 Ulkus kulit yang iskemik
 Luka bekas suntikan narkoba
  Bekas irisan umbilicus pada bayi
  Endometritis sesudah abortus septic
  Abses gigi
 Mastoiditis kronis
 Ruptur apendiks
 Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja

E.  Gejala
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada
infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya
terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan
leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1.    Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2.    Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3.    Ketegangan otot dinding perut
4.    Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5.    Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6.    Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
7.    Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme mjula-
mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut
disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang
kuat.
8.    Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin
dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9.    Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10.    Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
intrakranial.
Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1.      Localited tetanus (tetanus local)
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana
luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local.
Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif
dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa
juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara
terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2.      Cephalic tetanus ( tetanus sefalik )
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah
muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3.      Generalized tetanus (tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan
otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku
kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua (Sardonic grin) yakni
spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan  bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose
asfiksia. Bisa disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan perdarahan di dalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardi,
penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus
Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak
diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak
steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan
kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama
kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas
tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental
terjadi pada yang bertahan hidup.6
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1.      Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2.      Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3.      Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
Ablett mengklasifikasikan tetanus sebagai:
1.      Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa
gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2.      Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30,
disfagia ringan.
3.      Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan
takikardia lebih dari 120.
4.      Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem
kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.

F.   Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi
setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca,
kaleng, atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal.
Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan
megakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun
demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan porte d’entree dari C. Tetani. Juga
sering ditemukan telinga dengan otitis media perforata sebagai tempat masuk C. Tetani.
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada
linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Dalam kondisi anaerobik
yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi 2 macam
toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom. Pada masa
pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik dan serabut saraf
perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior
sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara absorbsi dan
bekerjanya toksin :
1.    Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu
anterior susunan saraf pusat
2.    Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah
diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat, tidak dapat lagi dinetralkan oleh
antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah
dinetralkan oleh antitoksin.
Eksotoksin dari Clostridium tetani dipisahkan menjadi 2 yaitu Tetanolisisn dan
Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup
yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini
mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da)
dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease
dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang
menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terika pada membrane saraf
dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada
presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanopasmin yang dilepas akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada
gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan
banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-
ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam
axon dan secara retroged ke dalam badan sel batang otak dan saraf spinal.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneron yang
mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik
juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah
neurotransmitter dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang
mnegakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron
motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat
medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
konvulsan kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme
intermitten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung
neuromuscular dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada
paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang tersedia setelah
pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis
flaksid.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control
otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya
ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trimus),  pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang
dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.

G.  Diagnosa Laboratorium
Diagnosis tetanus ditegakan berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara
bakteriologi biasanya tidak diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasiClostridium
tetani dari luka penderita, yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh
penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
 Gejala klinik
 Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile )
 Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
 Kultur        : C. tetani (+).
 Lab            : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
sifat-sifat biakan dan biokimiawi dari Clostridium tetani pada saat diinkubasi pada suhu 37 º
C  yaitu :
 Pada agar nutrient  : koloni bulat tak teratur, jernih, kuning kelabu dengan permukaan
berbutir dan tepi yang tidak rata
 Pada agar darah terbentuk alfa hemolisis setelah 2 – 3 hari maka hemolisis sempurna (
Beta Hemolisa ). Spora terbentuk dalam media setelah 3 hari.
 Perbenihan pada daging rebus      : Tidak dicerna dan menjadi hitam setelah beberapa
hari
 Gelatin                               : tidak dicairkan
 litmus  milk                        : tidak diubah
 tidak menfermentasi          :  karbohidrat
 H2S            : positif
 Indol          : positif
 Nitrat         : tidak direduksi
Struktur antigen dari Clostridium tetani yaitu :
1.      Antigen O               : Semuanya sama pada semua strain
2.      Antiggen H            : Beberapa tipe C. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagella
spesifik
Resistensi dari Clostridium tetani yaitu :
1.      Bentuk vegetative : Tidak tahan terdapat pemanasan dan desinfektan
2.      Bentuk spora         : Mati pada pemanasan 121̊selama 15 menit.
H.  Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
a)      imunisasi aktif dengan toksoid
b)      perawatan luka menurut cara yang tepat
c)      penggunaan antitoksi profilaksis
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-
satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian imunisasi
telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT
atau DT ).
I.     Pengobatan
1.    Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada
anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain
seperti tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan
diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum
dapat dilakukan.
2.    Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000
U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.
3.    Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
4.    Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
 Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
 Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
 Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
 Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam udara yang
kita hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita
sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata
Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio
Schizomycetes.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang
2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium tetanidapat menyebabkan penyakit
tetanus.

B.  Saran
      Kami mengaharap dan menghimbau kepada para pembaca apabila ada kesalahan atau
kekeliruan baik kata-kata atau penyusunan agar memberikan saran dan kritik yang bisa
mengubah penulis kearah yang lebih baik dalam penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,1997, Mikrobiologi Kedokteran, 127-131, Bagian Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran UGM, Yogyakarta

Anonim, 2008, http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Tetanus4

Anonim,2008,http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_TetanusLokalPadaAnak.pdf/15_Teta
nusLokalPadaAnak.html

Anonim, 2008, http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf

Anonim, 2008, http://www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc

Anonim, 2008, http://en.wikipedia.org/wiki/Tetanus

Anonim, 2008, http://en.wikipedia.org/wiki/Tetanus/clostridium_tetani

Anda mungkin juga menyukai