Anda di halaman 1dari 6

PARASITOLOGI

Nama : Rihhadatul ‘Aisy Putri


Kelas : B/Tk.1
Prodi : D4 Analis Kesehatan
Tugas : Merangkum 3 jurnal Nematoda Jaringan (Wucheria Bancrofti, Brugia Malayi, dan
Brugia Timori)

JURNAL 1
Judul Jurnal : Treatment of Brugia timori and Wuchereria bancrofti infections in
Indonesia using DEC or a combination of DEC and albendazole:
adverse reactions and short-term effects on microfilariae/
Pengobatan infeksi Brugia timori dan Wuchereria bancrofti di
Indonesia menggunakan DEC atau kombinasi DEC dan albendazole:
reaksi merugikan dan efek jangka pendek pada mikrofilaria
Penulis : Taniawati Supali, Is Suhariah Ismid, Paul Ruckert and Peter
Fischer
Volume : Volume 7 no 10 pp 894–901
Tahun : 2002
Reviewer : Rihhadatul ‘Aisy Putri
Tanggal : 8 September 2020

LATAR BELAKANG

Filariasis yang disebabkan oleh Brugia timori dan Wuchereria bancrofti merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting di pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Untuk
menerapkan program kontrol, reaksi merugikan dan efek jangka pendek pada kepadatan
mikrofilaria (mf) dipelajari setelah dosis terbagi dari dietilkarbamazin (DEC, 6 mg / kg berat
badan - 100 mg pada hari 1 dan sisanya pada hari ke-3) atau dosis tunggal DEC (6 mg / kg berat
badan pada hari ke-3) dan albendazole (Alb, 400 mg). Untuk menentukan rejimen yang paling
tepat, 30 orang yang terinfeksi B. timori dirawat di rumah sakit dan hasilnya dibandingkan
dengan yang diperoleh dari pengobatan 27 orang yang terinfeksi W. bancrofti. Reaksi yang
merugikan terdiri dari reaksi sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia, gatal dan reaksi lokal
seperti adenolimfangitis.Demam yang dialami sejumlah pasien pada kedua kelompok perlakuan
umumnya terjadi 12-24 jam setelah pemberian obat dan berlangsung hingga 2 hari.
Adenolymphangitis cenderung terjadi kemudian dan sembuh dalam 4 hari. Jumlah pasien W.
bancrofti yang menderita efek samping lebih rendah dan reaksinya lebih ringan daripada pasien
B. timori. Tidak ada perbedaan dalam reaksi merugikan antara DEC saja dan pengobatan DEC-
Alb untuk kedua infeksi tersebut. Jumlah rata-rata mf geometris menurun pada hari ke-7 pada
pasien yang terinfeksi B. timori dari 234 mf / ml pada kelompok DEC dan dari 257 mf / ml pada
kelompok DEC-Alb menjadi 7 dan 8 mf / ml, masing-masing. Kepadatan mf pasien yang
terinfeksi W. bancrofti menurun pada hari ke-7 dari 214 mf / ml pada kelompok DEC dan dari
559 mf / ml pada kelompok DEC-Alb menjadi 15 dan 14 mf / ml, masing-masing.Data kami
menunjukkan bahwa efek mikrofilarisidal obat dicapai lebih cepat untuk B. timori, yang
dikaitkan dengan reaksi yang lebih merugikan daripada W. bancrofti. Selain itu, 111 orang yang
terinfeksi B. timori dirawat di komunitas dengan DEC-Alb di satu desa terpilih. Reaksi
merugikan dan pengurangan kepadatan mf serupa dengan temuan penelitian berbasis rumah
sakit. Dalam kelompok ini, ada korelasi yang kuat antara kepadatan mf dengan frekuensi dan
tingkat keparahan reaksi yang merugikan. Penambahan Alb tidak mengakibatkan efek samping
tambahan dibandingkan dengan pengobatan DEC saja dan juga dapat digunakan untuk
pengobatan infeksi B. timori. Di Indonesia dimana prevalensi cacing usus tinggi,penggunaan
kombinasi DEC dan Alb untuk mengendalikan filariasis limfatik juga dapat berdampak pada
pengendalian cacing usus.

KATA KUNCI

Brugia timori, Wuchereria bancrofti, diethylcarbamazine, albendazole

METODE

Studi ini dilakukan di pulau Alor, NTT, Indonesia. Penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok: B. Timori dan W. Bancrofti dengan objek penelitian sebanyak 57
asimtomatik individu mikrofilaremia berpartisipasi dalam perawatan di rumah sakit. Pengobatan
yang diberikan kepada dua kelompok ini berupa, kelompok satu DEC dan kelompok dua DLC-
Alb.

HASIL

Perbandingan pengobatan W. bancrofti dan infeksi B. timori:

Dua puluh tujuh pasien yang terinfeksi W. bancrofti berpartisipasi dalam perawatan berbasis
rumah sakit. Demam antara 37,8 dan 38,5 C diamati pada satu pasien yang diobati dengan DEC
serta pada satu pasien yang dirawat dengan DEC – Alb dan no korelasi terjadinya demam dengan
kepadatan mf adalah ditemukan (r ¼) 0,201, P ¼ 0,278). Hanya merugikan sistemik reaksi
dicatat pada pasien yang dirawat dan tidak adenolymphangitis diamati. Sebanyak 16 (59%)
pasien melaporkan setidaknya satu tanda efek samping. Itu jumlah reaksi merugikan tidak
menunjukkan korelasi yang signifikan dengan kepadatan mf di kedua kelompok perlakuan (DEC
kelompok: r ¼ 0.05, P ¼ 0.870, DEC – Alb: r ¼ 0.107, P ¼ 0,716), dan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada reaksi merugikan antara DEC saja dan DEC – Alb perawatan (P ¼ 0,527).

KESIMPULAN

Di Indonesia dimana prevalensi cacing usus tinggi,penggunaan kombinasi DEC dan Alb untuk
mengendalikan filariasis limfatik juga dapat berdampak pada pengendalian cacing usus.
JURNAL 2

Judul Jurnal : Detection of adult Brugia malayi filariae by ultrasonography


in humans in India and Indonesia/ Deteksi Brugia malayi filariae
dewasa dengan ultrasonografi pada manusia di India dan Indonesia
Penulis : S. Mand, T. Supali, J. Djuardi, S. Kar, B. Ravindran and A. Hoerauf
Volume : volume 11 no 9 pp 1375–1381
Tahun : 2006
Reviewer : Rihhadatul ‘Aisy Putri
Tanggal : 8 September 2020

LATAR BELAKANG

Filariasis limfatik masih endemik di 83 negara. Satu seratus dua puluh juta manusia terinfeksi,
dan memang begitu. Diperkirakan bahwa 1 miliar berisiko di seluruh dunia untuk memperoleh
penyakit menular nyamuk (Global Alliance to Eliminate Filariasis Limfatik). Selain karena
filariasis limfatik dari Wuchereria bancrofti, infeksi Brugia malayi menyumbang sekitar 10%
dari beban limfatik dunia filariasis dan kecacatan yang ditimbulkan. Sampai saat ini, filariasis
limfatik telah banyak didiagnosis dengan demonstrasi mikroskopis langsung dari microfilaria
(mf) dalam darah malam perifer dari orang yang terinfeksi. Namun, metode ini tidak mendeteksi
individu-individu yang memiliki infeksi cacing dewasa tetapi bersifat amikrofilaraemik. Untuk
Infeksi W. bancrofti, penilaian dengan penentuan 1 antigenaemia menggunakan alat tes ICT atau
TropBio ELISA tersedia untuk mendeteksi infeksi amicrofilaremic, yang menawarkan
kenyamanan 'pengujian kapan saja' (Lammie 22004).

Ultrasonografi (USG), alat tambahan untuk mendiagnosis Infeksi pada filariasis limfatik karena
W. bancrofti, adalah berguna untuk mendeteksi cacing filaria dewasa menurut tipenya pola gerak
yang disebut 'filaria dance sign' (FDS) (Amaral dkk. 1994)

KATA KUNCI

Brugia malayi, ultrasonography, filaria dance sign, adult filariae

METODE

Studi ini melibatkan dua negara yaitu India dan Indonesia, dimana 5 pasien berasal dari India,
dan 27 pasien berasal dari Indonesia. Selain menggunakan pemeriksaan dari rantai polymerase,
penelitiannya juga dilengkapi dengan pemeriksaan USG.

HASIL

Sarang cacing itu terdeteksi pada 4 dari 32 pasien di India dan Indonesia, terletak di payudara,
paha, betis, dan kelenjar getah bening aninguinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa filaria
dewasa B. malayi pada manusia dapat dideteksi dengan USG, tetapi teknik ini dibatasi oleh fakta
bahwa sarang cacing tampaknya tidak stabil seiring waktu pada manusia, sebagaimana adanya
kasus di filariasis bancroftian.

KESIMPULAN

Kami mendeteksi B. malayi dewasa yang hidup di jaringan manusia menggunakan USG. Sebagai
hasil dari ketersediaan sistem ultrasound dengan resolusi tinggi dan opsi untuk memanfaatkan
file Dengan teknik PWD, kami dapat mengamati cacing dewasa B. malayi jauh lebih kecil dari
filaria yang sering terdeteksi W. bancrofti. Lokasi sarang cacing Brugia malayi di manusia
tampaknya berubah, tidak seperti W. bancrofti. Fakta ini membatasi penggunaan USG sebagai
alat diagnosis pengamatan longitudinal berulang dalam kondisi perawatan pada manusia, di
mana temuan yang konsisten dan stabil akan terjadi yg dibutuhkan. Deteksi filaria dewasa pada
filariasis brugian adalah mungkin, tetapi pemeriksaannya memakan waktu dan membutuhkan
sistem ultrasound yang dilengkapi dengan PWD.
JURNAL 3
Judul Jurnal : PCR-based detection and identiŽ cation of the Ž larial parasite
Brugia timori from Alor Island, Indonesia/ Deteksi dan identifikasi
berbasis PCR parasit filarial Brugia timori dari Pulau Alor,
Indonesia
Penulis : P. FISCHER, H. WIBOWO, S. PISCHKE, P. RUCKERT, E.
LIEBAU, I. S. ISMID and T. SUPALI
Volume : Vol. 96, No. 8, 809–821
Tahun : 2002
Reviewer : Rihhadatul ‘Aisy Putri
Tanggal : 8 September 2020

LATAR BELAKANG

Brugia timori tersebar luas di Pulau Alor, Indonesia yang menyebabkan tingkat morbiditas yang
tinggi. Pengulangan tandem HhaI dari B. timori ditemukan identik dengan B. malayi, dimana tes
sensitif berbasis PCR telah dikembangkan. Dengan menggunakan salah satu tes ini, mikrofilaria
tunggal (mf) dari B. timori, yang terdapat dalam noda darah kering pada kertas saring, dapat
dideteksi.

METODE

Metode yang digunakan dalam studi ini antara lain: pengumpulan sampel darah yang diambil
pada pukul 19.00-23.00, kemudian isolasi DNA dari bercak darah yang setara dengan 30
mikroliter darah segar. Juga beberapa jenis nyamuk yang menjadi sampel. Dengan menggunakan
salah satu tes ini, mikrofilaria tunggal (mf) dari B. timori, yang terdapat dalam noda darah kering
pada kertas saring, dapat dideteksi. Tes ini sama sensitifnya dalam mendeteksi B. timori dan B.
malayi. Ketika nyamuk yang dikumpulkan dikumpulkan menurut spesies dan diuji dengan alat
tes, 39 (64%) dari 61 kolam Anopheles barbirostris (berisi total 642 nyamuk) adalah positif.
Karena tidak satu pun dari 33 kolam Culex yang diuji (yang berisi 624 nyamuk) memberikan
hasil positif, dan An.barbirostris adalah satu-satunya spesies Anopheles yang biasa tertangkap
umpan manusia di Alor, An. barbirostris dianggap sebagai vektor utama dan mungkin satu-
satunya vektor lokal. Brugia timori dapat dibedakan dari B. malayi dengan pencernaan restriksi-
endonuklease dari subunit sitokrom oksidase mitokondria yang diperkuat PCR 2. Beberapa
pertukaran nukleotida yang berbeda juga ditemukan di penjarak ribosom internal kedua yang
ditranskripsi dari filaria, dan di 16S rDNA dan Gen FTSZ dari Wolbachia endobacteria mereka.

HASIL

Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. timori dapat dideteksi secara efektif menggunakan uji
berbasis PCR dikembangkan untuk B. malayi dan kemudian dapat dibedakan dari B. malayi
dengan penanda molekuler lainnya.
KESIMPULAN

Kesimpulannya, hasil sekarang jelas menunjukkan itu, meskipun B. timori bisa terdeteksi
menggunakan uji diagnostik yang sama seperti yang digunakan untuk B. malayi, kedua spesies
tersebut bisa menjadi berbeda dengan menggunakan molekul tambahan.

Anda mungkin juga menyukai