Anda di halaman 1dari 59

ASUHAN KEPERAWATAN

BAYI BARU LAHIR DENGAN RESIKO TINGGI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7 ( Tingkat II B )

NOFITA AFIANI ARSIH ( P07120419056)


PUSPITA OKTAVANI ( P071204190)
NURAINI MUFIDA ( P071204190 )
ZURIYATUN TOYYIBAH ( P07120419072 )

KEMENTRIAN KESEHATAN REBUBLIK INDONESIA

POLTEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PROGAM PROFESI

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat dan taufiq-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan keperawatan bayi baru lahir
dengan resiko tinggi” tepat pada waktunya.

Dalam penyelesaian tugas kelompok ini, penulis banyak mendapat ini dari berbagai
pihak, antara lain dosen pembimbing, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu
persatu namanya yang telah banyak memberikan sumbangan, masukan, dukungan, dalam
menyelesaian tugas makalah ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas kelompok ini belumlah sempurna.Untuk itu
segala saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak
demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Semoga dengan adanya tugas kelompok ini akan dapat memberikan manfaat besar bagi
penulis khususnya, dan bagi pembaca semua pada umumnya.

Mataram, 27 Februari 2021

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................

BAB III PENUTUP..............................................................................................

A. Kesimpulan...................................................................................................
B. Kritik dan Saran............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II

PEMBAHASAN

ASKEP BBLR (BAYI BERAT LAHIR RENDAH)

A. Definisi BBLR
Bayi berat lahir rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang BB < 2.500 gram (sampai
dengan 2.499 gram). BBLR dapat dibagi menjdai 2 golongan :
1. Prematur murni
Masa gestasi kurang dari 37 minggu dan BB sesuai dengan berat badan untuk masa
gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan BB kurang dari BB seharusnya untuk masa gestasi itu, berarti bayi
mengalami retardasi pertumbuhan intra uterin dan merupakan bayi yang kecil untuk
masa kehamilannya.

B. Etiologi BBLR
1. Faktor Ibu
a. Penyakit, penyakit yang berhubungan langsung dengan pasien misalnya perdarahan
antepartum, trauma fisik dan psikologis, DM, toksemia gravidarum, dan nefritis akut.
b. Usia ibu, angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia <20 tahun dan multi
gravida yang jarak kelahiran terlalu dekat. Kejadian terendah ialah pada usia antara
26-35 tahun.
c. Keadaan sosial ekonomi, keadaan ini sangat berperan terhadap timbulnya
prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal
ini disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang
kurang. Demikian pula kejadian pramaturitas pada bayi yang lahir dari perkawinan
yang tidak sah, ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi yang lahir
perkawinan yang sah.
d. Sebab lain, karena ibu merokok, ibu peminum alkohol dan pecandu obat narkotik.
2. Faktor Janin
Faktor janin diantaranya hidramnion, kehamilan ganda dan kelainan kromosom.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan di antaranya tempat tinggal di dataran tinggi radiasi dan zat-zat
tertentu.

C. Klasifikasi BBLR
Menurut Ribek dkk, (2011). Ada 3 klasifikasi dari berat badan lahir rendah, yakni :
1. Berat badan lahir rendah sedang yaitu bayi lahir dengan berat badan 1501 sampai 2500
gram.
2. Berat badan lahir sangat rendah yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1500
gram.
3. Berat badan lahir sangat rendah sekali yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari
1000 gram.

D. Tanda dan Gejala BBLR


Selain memiliki berat badan lahir yang lebih rendah dari bayi normal, bayi BBLR juga
akan tampak :
 Lebih kurus
 Memiliki lemak tubuh yang lebih sedikit
 Memiliki ukuran kepala yang besar dibanding ukuran tubuh lainnya

Bayi BBLR juga sering dilahirkan secara prematur. Masalah yang umum ditemui pada
bayi seperti ini adalah :

 Memiliki kadar gula dalam darah yang rendah (hipoglikemia)


 Memiliki masalah dalam menyusui
 Memiliki hambatan dalam menaikkan berat badan
 Kesulitan untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap hangat pada temperatur yang
normal.
 Memiliki terlalu banyak sel darah merah yang membuat darah terlalu kental (polisitemia).
E. Patofisiologi BBLR
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup
bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup bulan
(usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa
kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Biasanya hal ini terjadi karena adanya
gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu
seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang
menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi berkurang.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami
hambatan dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi
kesehatan yang baik, sistem reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada
gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar
dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan kondisi
kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan
kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita anemia.
Sistem pernafasan pada dasarnya cenderung kurang berkembang pada bayi prematur.
Kapasitas vital dan kapasitas residual fungsional paru-paru pada dasarnya kecil berkaitan
dengan ukuran bayi. Sebagai akibatnya sindrom gawat nafas sering merupakan penyebab
umum kematian. Masalah besar lainnya pada bayi prematur adalah pencernaan dan absorpsi
makanan yang inadekuat. Bila prematuritas bayi lebih dari 2 bulan, sistem pencernaan dan
absorpsi hampir selalu inadekuat. Absorpsi lemak juga sangat buruk sehingga bayi prematur
harus menjalani diet redah lemak. Lebih jauh lagi, bayi prematur memiliki kesulitan dalam
absorpsi kalsium yang tidak lazim dan oleh karena itu dapat mengalami rileks yang berat
sebelum kesulitan tersebut dikenali. Imaturitas organ lain yang sering menyebabkan
kesulitan yang berat pada bayi prematur meliputi sistem imun yang menyebabkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya kadar IgG gamma globulin, serta
bayi prematur relatif belum sanggup membentuk antibody dan daya fagositosis serta reaksi
terhadap peradangan masih belum baik sehingga bayi prematur beresiko mengalami infeksi,
sistem integumen dimana jaringan kulit masih tipis dan rawan terjadinya lecet, sistem
termoregulasi dimana bayi prematur belum mampu mempertahankan suhu tubuh yang
normal akibat penguapan yang bertambah karena kurangnya jaringan lemak dibawah kulit
dan pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana mestinya sehingga beresiko
mengalami hipotermi atau kehilangan panas dalam tubuh.

F. Pathways

G. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis BBLR secara umum adalah :
1. Berat kurang dari .500 gram
2. Panjang kurang dari 45 cm
3. Lingkar dada kurang dari 30 cm
4. Lingkar kepala kurang dari 33 cm
5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
6. Kepala lebih besar
7. Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang
8. Otot hipotonik lemah
9. Pernafasan tak teratur dapat terjadi apnea
10. Ekstremitas : paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi-lurus
11. Kepala tidak mampu tegak
12. Pernafasan 40-50 kali /menit
13. Nadi 100-140 kali/menit

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan glucose darah terhadap hipoglikemia
2. Pemantauan gas darah sesuai indikasi
3. Pemeriksaan kromosom sesuai indikasi
4. Pemeriksaan kromosom sesuai indikasi
5. Pemantauan elektrolit
6. Pemeriksaan sinar-X sesuai kebutuhan (contoh : foto thorax)

I. Komplikasi
Menurut (Potter, 2005) komplikasi pada masa awal bayi berat lahir rendah antara lain
yaitu :
1. Hipotermia
2. Hipoglikemia
3. Gangguan cairan dan elektrolit
4. Hiperbilirubinemia
5. Sindroma gawat nafas (asfiksia)
6. Paten suktus arteriosus
7. Infeksi
8. Perdarahan intraventrikuler
9. Apnea of prematuruty
10. Anemia
Komplikasi pada masa berikutnya yaitu :
1. Gangguan perkembangan
2. Gangguan pertumbuhan
3. Gangguan penglihatan (retionopati)
4. Gangguan pendengaran
5. Penyakit paru kronis
6. Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
7. Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

J. Penatalaksanaan
Menurut Prawirohardjo (2005), penanganan bayi dengan berat badan lahir rendah
adalah sebagai berikut :
1. Penanganan Bayi
Semakin kecil bayi dan semakin prematur bayi, maka semakin besar perawatan yang
diperlukan, karena kemungkinan terjadi serangan sianosis lebih besar. Semua perawatan
bayi harus dilakukan didalam inkubator.
2. Pelestarian Suhu Tubuh
Bayi dengan berat lahir rendah, mempunyai kesulitan dalam mempertahankan suhu
tubuh. Bayi akan berkembang secara memuaskan, asal usul rectal dipertahankan antara
35,5oC s/d 37oC.
Bayi berat rendah harus diasuh dalam suatu suhu lingkungan dimana suhu normal
tubuhnya dipertahankan dengan usaha metabolic yang minimal. Bayi berat rendah yang
dirawat dalam suatu tempat tidur terbuka, juga memerlukan pengendalian lingkungan
secara seksama. Suhu perawatan harus diatas 25oC, bagi bayi yang berat sekitar 2000
gram dan sampai 30oC untuk bayi dengan berat kurang dari 2000 gram.
3. Inkubator
Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat didalam inkubator. Prosedur
perawatan dapat dilakukan melalui “jendel” atau “lengan baju”. Sebelum memasukkan
bayi kedalam kedalam inkubator, inkubator rerlebih dahulu dihangatkan sampai sekitar
29,4oC, untuk bayi dengan berat 1,5 kg dan 32,2oC untuk bayi yang lebih kecil. Bayi
dirawat dalam keadaan telanjang, hal ini memungkinkan pernafasan yang adekuat, bayi
dapat bergerak tanpa dibatasi pakaian, observasi terhadap pernafasan lebih mudah.
4. Pemberian oksigen
Ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi preterm BBLR,
akibat tidak adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi O2 yang diberikan sekitar 30-35%
dengan menggunakan head box, konsentrasi O2 yang tonggi dalam massa yang panjang
akan menyebabkan kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat menimbulkan
kebutaan.
5. Pencegahan infeksi
Bayi preterm dengan berat rendah, mempunyai sistem imunologi yang kurang
berkembang, ia mempunyai sedikit atau tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi.
Untuk mencegah infeksi, perawat harus menggunakan gaun khusus, cuci tangan sebelum
dan sesudah merawat bayi, memakai masker, gunakan gaun/jas, lepaskan semua asesoris
dan tidak boleh masuk kekamar bayi dalam keadaan infeksi dan sakit kulit.
6. Pemberian Makanan
Pemberian makanan secara dini dianjurkan untuk membantu mencegah terjadinya
hipoglikemia hiperbilirubin. ASI merupakan pilihan pertama, dapat diberikan melalui
kateter (sonde), terutama pada bayi yang reflek hisap dan menelannya lemah. Bayi berat
lahir rendah secara relatif memerlukan lebih banyak kalori, dibandingkan dengan bayi
preterm.
7. Petunjuk untuk volume susu yang diperlukan :

Umur/Hari Jumlah ml/kg BB


1 50-65
2 100
3 125
4 150
5 160
6 175
7 200
14 225
21 175
28 150
ASUHAN KEPERAWATAN BBLR

A. PENGKAJIAN
1. Biodata Pasien
Biodata atau identitas pasien meliputi nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, dll.
Biodata penanggung jawab meliputi nama (ayah dan ibu), umur, agama, suku atau
kebangsaan, pendidikan, penghasilan pekerjaan, dan alamat.
2. Riwayat Kesehatan Post Natal
a. Pengkajian Awal
Metode yang paling sering digunakan untuk mengkaji penyesuaian segera bayi
baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin adalah sistem skoring APGAR. Skor ini
didasarkan pada observasi denyut jantung, usaha bernafas, tonus otot, reflek iritabilitas
dan warna. Setiap item diberi skor 0,1 atau 2. Evaluasi pada kelima kategori tersebut
dibuat pada menit 1 dan 5 setelah kelahiran dan diulang sampai kondisi bayi stabil.
b. Pengkajian Umum
 Timbang bayi tiap hari, atau lebih bila ada permintaan dengan menggunakan
timbangan elektronik.
 Ukur panjang badan dan lingkar kepala secara berkala.
 Jelaskan bentuk dan ukuran tubuh secara umum, postur saat istirahat, kemudian
bernafas, dan adanya lokasi edema.
 Observasi adanya deformitas yang tampak.
 Observasi setiap tanda kegawatan, warna yang buruk, hipotonia, tidak responsif,
dan apnea.
c. Pengkajian Respirasi
 Observasi bentuk dada (barrel, konkaf), simetris, adanya insisi, slang dada, atau
devisiasi lainnya.
 Observasi adanya penggunaan otot pernafasan tambahan cuping hidung atau
retraksi substernal, interkostal atau subklavikular.
 Tentukan frekuensi pernafasan dan keteraturannya.
 Lakukan auskultasi dan jelaskan suara nafas (stridor, krepitasi, mengi, suara basah
berkurang, daerah tanpa suara, grunting), berkurangnya masukan udara, dan
kesamaan suara nafas.
 Tentukan apakah diperlukan penghisapan.
d. Pengkajian Kardiovaskuler
 Tentukan denyut jantung dan iramanya.
 Jelaskan bunyi jantung, termasuk adanya bising.
 Tentukan titik intensitas maksimal (point of maximum intensity/PMI), titik ketika
bunyi denyut jantung paling keras terdengar dan teraba (perubahan PMI
menunjukkan adanya pergeseran imediastinum).
 Jelaskan warna bayi (bisa karena gangguan jantung, respirasi atau hematopoetik),
sianosis pucat, plethora, jaundis, dan bercak-bercak.
 Kaji warna dasar kuku, membran mukosa dan bibir.
 Tentukan tekanan darah dan tunjukkan ekstremitas yang dipakai.
e. Pengkajian Gastrointestinal
 Tentukan adanya distensi abdomen, adanya edema dinding abdomen, tampak
peristaltik, tampak gulungan usus, dan status umbilicus.
 Tentukan adanya tanda regurgitasi dan waktu yang berkaitan dengan pemberian
makanan, karakter dan jumlah residu jika makanan keluar, jika terpasang selang
nasogastrik, jelaskan tipe penghisap, dan haluaran (warna, konsistensi, pH).
 Palpasi batas hati (3 cm dibawah kosta kanan).
 Jelaskan jumlah, warna, dan konsistensi feses, periksa adanya darah.
 Jelaskan bising usus
f. Pengkajian Genitourinaria.
 Jelaskan setiap abnormalitas genitalia.
 Jelaskan jumlah (dibandingkan dengan berat badan), warna pH, temuann lab-stick,
dan berat jenis kemih (untuk menyaring kecukupan hidrasi).
 Periksa berat badan ( pengukuran yang paling akurat dalam mengkaji hidrasi).
g. Pengkajian Neurologis-Muskuloskletal
 Jelaskan gerakan bayi, kejang, kedutan, tingkat aktivitas terhadap rangsang, dan
evaluasi sesuai masa gestasinya.
 Jelaskan posisi bayi atau perilakunya (fleksi, ekstensi).
 Jelaskan refleks yang ada (moro, rooting, sucking, plantar, tonickneck, palmar).
 Tentukan tingkat respons dan kenyamanan.
h. Suhu tubuh
 Tentukan suhu kulit dan aksila.
 Tentukan hubungan dengan suhu sekitar lingkungan.
i. Pengkajian Kulit
 Terangkan adanya perubahan warna, daerah yang memerah, tanda iritasi, melepuh,
abrasi, atau daerah terkelupas, terutama dimana peralatan pemantau infus atau alat
lain bersentuhan dengan kulit.
 Periksa juga dan catat preparat kulit yang dipakai (misal plester, povidone-jodine).
 Tentukan tekstur dan t=urgor kulit kering, lembut, bersisik, terkelupas dan lain-lain.
 Terangkan adanya ruam, lesi kulit, atau tanda lahir.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuscular, penurunan energi dan keletihan.
2. Ketidakefektifan termoregulasi yang berhubungan dengan kontrol suhu imatur dan
berkurangnya lemak tubuh subkutan.
3. Resiko infeksi yang berhubungan dengan defek pertahanan imunologik.
4. Ganggunan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (resiko) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan mengingesti nutrient karena imaturitas dan/atau sakit.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuscular, penurunan energi dan keletihan.
Tujuan : Pasien memperlihatkan parameter oksigenasi yang adekuat.
Tindakan :
 Posisikan telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatas dalam
posisi “mengendus”.
Rasional : Untuk mencegah penyempitan nafas.
 Selama penggantian popok, angkat bayi sedikit dibawah panggul dan jangan
menaikkan kaki dan tungkai.
Rasional : Karena perut akan menekan bagian dada.
 Laksanakan program yang ditetapkan untuk terapi suplemen oksigen (pertahankan
konsentrasi O2 ruangan pada tingkat FiO2 minimal berdasarkan pada gas darah arteri
SaO2).
Rasional : Untuk meningkatkan O2
 Observasi adanya tanda gawat nafas, pernafasan cuping hidung, retraksi, takipnea,
apnea, grunting, sianosis, saturasi oksigen (SaO2 rendah).

2. Ketidakefektifan termoregulasi yang berhubungan dengan kontrol suhu imatur dan


berkurangnya lemak tubuh subkutan.
Tujuan : Pasien akan mempertahankan suhu tubuh yang stabil.
Tindakan :
 Letakkan bayi dalam inkubator, penghangat, radiasi, atau pakaian hangat dalam tempat
tidur terbuka untuk mempertahankan kestabilan suhu tubuh.
Rasional : Agar bayi tidak kehilangan panas tubuh.
 Hindari situasi bayi yang mendesprosisikan bayi pada kehilangan pada kehilangan
panas, seperti pajanan terhadap udara dingin kekeringan, mandi, timbangan dingin
atau kasur dingin.
Rasional : Untuk menstabilkan suhu tubuh bayi.
 Pantau kadar glukosa serum.
Rasional : Untuk menjamin eugikemia.
 Pantau suhu tubuh bayi yang tidak stabil (gunakan probe kulit atau kontrol suhu udara,
periksa fungsi servokontrol, bila digunakan).
Rasional : Untuk mengetahui kondisi suhu bayi.

3. Resiko infeksi yang berhubungan dengan defek pertahanan imunologik.


Tujuan : Pasien tidak memperlihatkan tanda infeksi nosokomial.
Tindakan :
 Yakinkan semua pemberi asuhan telah mencuci tangan sebelum dan setelah
menangani bayi.
Rasional : Untuk meminimalkan pajanan organisme infeksi.
 Cegah personel yang mengalami infeksi saluran nafas atas atau infeksi menular untuk
tidak kontak langsung dengan bayi.
Rasional : Bayi memiliki sistem imun yang lemah sehingga mudah tertular penyakit.
 Berikan antibiotika sesuai permintaan.
Rasional : Antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi.
 Yakinkan asepsis dan/atau sterilitas ketat pada prosedur invasif dan peralatan seperti
terapi IV perifer, tusukan lumbal dan pemasangan kateter asteri/vena.
Rasional : Sterilitas pada prosedur invasif dapat mencegah terjadinya infeksi.

4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (resiko) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan mengingesti nutrient karena imaturitas dan/atau sakit.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat, dengan asupan kalori untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen dan memperlihatkan pertambahan berat badan
yang bermakna.
Tindakan :
 Kaji kesiapan untuk menyusui, terutama kemampuan untuk mengkoordinasi penelanan
dan pernafasan.
Rasional : Bayi berat badan lahir rendah memiliki sistem pencernaan yang belum
matang.
 Bantu ibu memerah payudaranya.
Rasional : Untuk mempertahankan dan memastikan laktasi sampai bayi dapat dapat
menyusui payudara.
 Gunakan selang orogastrik bila bayi mudah kelelahan atau refleks, menghisap,
muntah, atau menelan lemah.
Rasional : Karena pemberian susu dengan menyusui payudara sering mengakibatkan
penurunan berat badan.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
1. Mempertahankan patensi jalan nafas.
2. Mempertahankan kestabilan suhu tubuh.
3. Perlindungan dari infeksi dan cidera.
4. Pertahankan keadekuatan nutrisi.

E. EVALUASI
1. Ukur tanda vital dan lakukan pengkajian respirasi dengan interval waktu berdasarkan
kondisi dan kebutuhan bayi, observasi usaha respirasi bayi dan responnya terhadap terapi,
periksa fungsi peralatan, periksa hasil uji laboratorium.
2. Ukur suhu kulit abdomen dan aksila dengan interval tertentu.
3. Observasi tingkah laku dan penampilan bayi untuk melihat adanya tanda sepsis.
4. Kaji hidrasi, kaji dan ukur asupan cairan, observasi bayi selama pemberian nutrisi, ukur
jumlah susu formula atau asupan parenteral, timbang setiap hari.

PEMBAHASAN

ASKEP HIPERBILIRUBIN

1.      Pengertian
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa akibat akumulasi
bilirubin dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari
normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani dengan baik
atau mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubin
bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan
(Harison, et all, 2000).
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan baik
(Prawirohardjo, 2005).

2.      Etiologi
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
1.      Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah
ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO.
2.      Gangguan konjugasi bilirubin.
3.      Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
4.      Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
5.      Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6.      Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
7.      Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga
icterus hemolitik.
8.      Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya hiperbilirubin
atau karena pengaruh obat-obatan.
9.      Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau infeksi.
10.  Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma, shypilis.

3.      Anatomi Fisiologi
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut dibawah
diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi
hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri
dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari
lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus
quadrates (Price & Wilson, 2005).
Hati disuplai oleh  pembuluh darah,yaitu :
1.      Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti
asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.
2.      Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
b.      Fungsi hati
1.      Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu tempa
dalam tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.
2.      Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan urine.
3.      Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.
4.      Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium dialirkan ke
empedu
5.      Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dalam tubuh
(seperti peptisida).
6.      Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.
7.      Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum, dikeluarkan
dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
8.      Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

 4.      Patofisologi
Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis, rusaknya sel-sel hepar, gangguan
konjugasi bilirubin. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi akan mengalami
gangguan dalam hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan mengakibatkan peningkatan bilirubin
yang terkonjugasi dalam darah yang mengakibatkan warna kuning pucat pada kulit (Haws
Paulette S, 2007).
            Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim glukoronil
transferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin konjugasi
sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan mengakibatkan ikterik pada
kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak larut dalam air ini tidak bisa diekskresikan dalam
urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan
urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta
ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine dan feses
berwarna gelap (Price, Sylvia Anderson, 2006).
            Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak akan
memberikan dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus menerus melakukan
transferase tanpa adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut akan menyebabkan
hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi dengan adanya
peningkatan bilirubin didalam darah maka akan menyebabkan terjadinya hiperbilirubin. apabila
bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/dl maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut
kernicterus jika tidak dengan segera maka akan dapat mengakibatkan kejang , tonus otot kaku,
spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia Anderson, 2006).
5.      Manifestasi klinis
a.       Kulit jaundice (kuning)
b.      Sklera ikterik
c.       Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang cukup bulan dan 15
mg% pada neonatus yang kurang bulan.
d.      Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake
kalori.
e.       Asfiksia
f.       Hipoksia
g.      Sindrom gangguan nafas
h.      Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit
i.        Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya kejang
j.        Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)
k.      Terjadi pembesaran hati
l.        Tidak mau minum ASI
m.    Letargi

6.      Klasifikasi
Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :
1.      Ikterus fisiologi (direks)
a.       Timbul pada hari ke-2 atau ke 3
b.       kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan
c.       Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari
d.      Ikterus hilang 10-14 hari
e.       Tidak ada mempunyai hubungan dengan patologis
2.      Ikterus patologis
a.       Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b.      Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dalam 24 jam
c.       Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 10 mg/dl
pada bayi kurang bulan
d.      Ikterus menetap setelah 2 minggu
e.       Mempunyai hubungan dengan hemolitik

7.      Penatalaksanaan
Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :
1.      Memenuhi kebutuhan atau nutrisi
a.       Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan berulang-ulang, jika tidak
mau menghisap dot berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.
b.      Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) mungkin
perlu ganti susu.
2.      Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
a.       Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 1- 8 selama 30
menit)
b.      Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg% ulang esok harinya.
c.       Berikan banyak minum
d.      Perhatikan  hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segara hubungi dokter, bayi
perlu terapi
3.      Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
a.       Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
b.      Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lngkungannya
c.       Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja aseptik).

8.      Komplikasi
a.       Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).
b.      Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan melengking.
 
9.      Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin menurut Marilyn E. Dongoes, 2001 yaitu :
a.       Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan adanya
antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes comb direk
menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
b.      Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
c.       Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi
peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup
bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
d.      Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi paterm.
e.       Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan hemolisis
dan anemia berlebihan.
f.       Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.
g.      Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin
serum.
h.      Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel darah
merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
i.        Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
j.        Pemeriksaan  bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
 k.      Ultrasonografi,  digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstrahepatic.
l.        Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar seperti
diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.
m.    Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia billiari.
n.      Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.

ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN


1.      Pengkajian
meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.
b.      Riwayat kesehatan
1.      Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keadaan umum lemah ,  TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap menurun,
BB turun, pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan, kulit
tampak kunin, sclera mata kuning, perubahan warna pada feses dan urine (Cecely Lynn Betz,
2009).
2.      Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal
icterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain
golongan darah suspect sph). Ada saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau
icterus (Haws Paulettet, 2007).
3.      Riwayat kehamilan
a.       Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi
terjadinya infeksi.
b.      Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.
c.       Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis yang
akan menghambat konjugasi bilirubin
d.      Kelahiran premature berhubungan dengan prematuritas organ tubuh hepar.

c.       Pemeriksaan Fisik
1.      KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
2.      TTV
TD : -
N : biasanya 120-160x/i
R : biasanya 40x/i
S : biasanya 36,5 – 37 ºC
3.      Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.
4.      Kepala, mata  dan leher
Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput.
Biasanya dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga
diidentifikasi icterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi
dengan kulit bersih (kuning) (Haws, Paulette S.Hasws, 2007).
5.      Hidung : biasanya tampak bersih
6.      Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada kasus
mulut berwarna kuning (Saifuddin, 2002).
7.      Telinga : biasanya tidak terdapat serumen.
8.      Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan peningkatan
frekuensi nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya icterus
disebabkan oleh adanya infeksi.
9.      Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan metabolism
bilirubin enterohepatik.
10.  Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan hepar atau
atresia saluran empedu.
11.  Ekstremitas  : Biasanya tonus otot lemah.
12.  Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek,
elastisitas menurun.

2.      Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien hiperbilirubin yaitu :
a.       Hipertermia b/d paparan lingkungan panas (efek fototerapi), dehidrasi.
b.      Resiko deficit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).
c.       Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor
kulit, eritema.
d.      Resiko terjadi cedera b/d fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
ASKEP RDS (RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM)

A. Definisi RDS
Sindroma gagal nafas (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah yang digunakan
untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya
jumlah surfaktan dalam paru. Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama Hyaline
Membran Desease(HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyakit ini selalu
ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.

B. Etiologi RDS
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, maternal
diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrom (RDS) disebut juga Hyaline
Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi
surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur.

C. Patofisiologi RDS
RDS terjadi karena atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat
yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epiel saluran nafas
disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan
mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir ekspirasi. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan
asidosis.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran
darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitif dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode
perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intaruterine seperti hipertensi,
IUGR dan kehamilan kembar.
D. Tanda dan Gejala RDS
Gejala utama gawat nafas/ distress respirasi pada neonatus yaitu :
1. Takipnea : laju nafas >60 x/menit (normal laju nafas 40 x/menit).
2. Sianosis sentral pada suhu kamar yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik.
3. Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi.
4. Grunting : suara merintih saat ekspirasi.
5. Pernafasan cuping hidung.

Evaluasi Gawat Nafas dengan Skor Downes

Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi nafas <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walupun diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi < 3 = gawat nafas ringan
4-5 = gawat nafas sedang
> 6 = gawat nafas berat

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada Neonatus yang mengalami distress pernafasan :

Pemeriksaan Kegunaan
Kultur Darah Menunjukkan keadaan bakteriemia
Analisis Gas Darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan
asam basa
Glukosa Darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena
hipoglikemia dapat menyebabkan atau
memperberat takipnea.
Rontgen Thoraks Mengetahui etiologi distress nafas
Darah Rutin dan Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
Hitung Jenis Neutropenia menunjukkan adanya infeksi bakteri
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis
Pulse Aximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan
oksigen

F. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) dapat terjadi :
1. Ruptur Alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumpthorax,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel), pada bayi dengan RDS
yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau
adanya asidosis yang mentap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan trombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan
invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan aat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan
ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan
RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang
tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan
organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
2. Retinopathy Prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi adanya hipoksia, komplikasi intakranial dan adanya infeksi.

G. Penatalaksanaan RDS
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


1. Pasang jalur infus intravena (IV), sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5%.
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
2. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
3. Bila terjadi kejang segera periksa kadar gula darah
4. Pemberian nutrisi adekuat

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN RDS

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan berbagai informasi
yang berkaitan dengan masalah yang dialami klien. Pengkajian dilakukan dengan berbagai
cara yaitu anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik yanag dilakukan
dilaboratorium. Data yang dicari dalam riwayat keperawatan adalah :
1. Kaji riwayat kehamilan sekarang (apakah selama hamil ibu menderita hipotensi atau
perdarahan).
2. Kaji riwayat neonatus (lahir afiksia akibat hipoksia akut, terpajan pada keadaan
hipotermia).
3. Kaji riwayat keluarga (koping keluarga positif).
4. Kaji nilai apgar rendah (bila rendah dilakukan tindakan resusitasi pada bayi).
5. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS. Seperti : takipnea (>60
x/menit), pernafasan mendengkur, retraksi dinding dada, pernafasan cuping hidung,
pucat, sianosis, apnea.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas b/d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi surfaktan dan
ketidakstabilan alveolar.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas.
3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak mampuan
menghisap, penurunan mobilitas usus.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan
insensible.
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah dan
perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis.
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b/d belum terbentuknya lapisan lemak
pada kulit.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas b/d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas
efektif.
Kriteria Hasil :
 Jalan nafas bersih
 Frekuensi jantung 100-140 x/menit
 Pernafasan 40-60 x/menit
 Takipneu atau apneu tidak ada
 Sianosis tidak ada
Intervensi :
a. Posisikan untuk penukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang
dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi
“mengendus”.
R : Untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher.
R : Karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali tanda-tanda distress
misalnya : mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R : Memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya
distress pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
R : Menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang
endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.
R : Memastikan bahwa jalan nafas bersih.
f. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan.
R : Meningkatkan absorpsi ke dalam alveolar.
g. Observasi peningkatan pengenmbangan dada setelah pemberian surfaktan.
R : Menilai fungsi pemberian surfaktan.
h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen.
R : Mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan :
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau
tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
 Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi
(-).
 Pasien bebas dari dispneumengeluarkan sekret tanpa kesulitan
 Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Intervensi :
 Tindakan Independen :
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R : Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha
dalam bernafas.
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus.
R : Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya
cairan dapat menigkatkan fremitus.
c. Catat karakteristik dari suara nafas
R : Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo
branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran
nafas.
d. Catat karakteristik dari batuk
R : Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi
dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan
purulent.
e. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila
perlu.
R : Pemeliharaan jalan nafas bagian dengan paten.
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction
bilaada indikasi.
R : Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan
atelektasis dan infeksi paru.
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R : Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum.
 Tindakan Kolaboratif :
a. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan dikamar humidifier sesuai indikasi.
R : Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen.
b. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R : Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret.
c. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada
indikasi.
R : Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot
pernafasan.
d. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albutcal dan mukolitik.
R : Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan
meningkatkan ventilasi.

3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang
tepat.
Intervensi :
 Tindakan Independen :
a. Kaji status pernafasan catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas.
R : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hiposemia dan peningkatan
usaha nafas.
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crackles
dan wheezing.
R : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crackles terjadi
karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena
bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas.
c. Kaji adanya cyanosisi
R : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cuanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremmitas adalah
vasokontriksi.
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat.
R : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium.
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman.
R : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen.
 Tindakan Kolaboratif :
a. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi.
R : Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang
sesuai.
b. Berikan pencegahan IPPB
R : Peningkatan ekspansi paru, meningkatkan oksigenasi.
c. Review X-ray dada
R : Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
d. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant.
R : Untuk mencegah ARDS.

4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi.
Intervensi :
a. Berikan infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/kg bb/hari.
R : Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral.
b. Pasang selang nasogastrik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika
diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung.
R : Pilihan ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.
c. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
 Aspirasi isi lambung
 Injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung.
 Letakkan ujung selang dia air, bila masuk lambung, selang tidak akan memproduksi
gelembung.
R : Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan.
d. Berikan makanan sesuai dengan prosedur berikut :
 Elevasikan kepala bayi
 Berikan ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6-8 inci
dari kepala bayi.
 Berikan makanan dengan suhu ruangan
 Tengkurapkan bayi setelah makan sekitar 1 jam.
R : Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi.
e. Berikan TPN jika diindikasikan
R : TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel
sounds tidak ada dan infants berada pada stadium akut.

5. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible
dan insensible.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Intervensi :
a. Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari.
R : Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan.
b. Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan
pemanas dan jumlah feedings.
R : Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan
penggunaan pemanas tubuh akan menigkatkan kebutuhan cairan.
c. Pertahankan tetsan infus secar stabil, gunakan infusion pump untuk mencegah
kelebihan atau kekurangan cairan.
R : Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.
d. Monitor intake cairan dan output dengan cara :
 Timbang berat badan bayi setiap 8 jam
 Timbang popok bayi untuk menetukan urine output
 Tentukan jumlah BAB
 Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hari
R : Catatan intake dan output cairan penting untuk menetukan ketidakseimbangan
cairan sebagai dasar untuk penggantian cairan.
e. Lakukan pemeriksaan sodium dan pottasium setiap 12 atau 24 jam
R : Peningkatan tingkat sodium dan pottasium mengindikasikan terjadinya dehidrasi
dan potensial ketidakseimbangan elektrolit`.
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan
perpisahan dengan bayi sebagi akibat situasi krisis.
Tujuan : Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah dan mendukung bounding antara
orangtua dan infant.
Intervensi :
a. Kaji respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan
koping mekanisme.
R : Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang
efektif.
b. Bantu orangtua mengungkapkan perasaannya secar verbal tentang kondisi sakit
anaknya, perawatan yang lama pada unit intensif, prosedur dan pengobatan infant.
R : Membuat orangtua bebas mengekspresikan perasaannya sehingga membantu
menjalin rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan.
c. Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembanganinfant.
R : Informasi dapat mengurangi kecemasan.
d. Bila mungkin, anjurkan orangtua untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam
perawatan anaknya.
R : Memfasilitasi proses bounding.
e. Rujuk pasien pada perawat keluarga atau komunitas.
R : Rujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu orangtua
menghadapi keadaan sakit kronis pada anaknya.

7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b/d belum terbentuknya lapisan


lemak pada kulit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan suhu tubuh tetap
normal .
Kriteria Hasil :
 Suhu 37oC
 Bayi tidak kedinginan
Intervensi :
a. Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
b. Atur suhu inkubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
c. Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi.

ASKEP SEPSIS

A. DEFINISI
Sepsis merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui darah dan
jaringan lain.Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama
empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1
dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).
Sepsis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap
infeksi pada bayi baru lahir (Behrman, 2000). Sepsis adalah sindrom yang dikarekteristikkan
oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang kearah
septikemia dan syok septik (Dongoes, 2000)
Sepsis neonatorum adalah semua infeksi pada bayi pada 28 hari pertama sejak dilahirkan.
Infeksi dapat menyebar secara nenyeluruh atau terlokasi hanya pada satu orga saja (seperti
paru-paru dengan pneumonia). Infeksi pada sepsis bisa didapatkan pada saat sebelum
persalinan (intrauterine sepsis) atau setelah persalinan (extrauterine sepsis) dan dapat
disebabkan karena virus (herpes, rubella), bakteri (streptococcus B), dan fungi atau jamur
(candida) meskipun jarang ditemui. (John Mersch, MD, FAAP, 2009).
Sepsis Neonatorum adalah suatu infeksi bakteri berat yang menyebar ke seluruh tubuh
bayi baru lahir.Suatu sindroma respon inflamasi janin/FIRS disertai gejala klinis infeksi yang
diakibatkan adanya kuman di dalam darah pada neonatus.Sepsis terjadi pada kurang dari 1%
bayi baru lahir tetapi merupakan penyebab daro 30% kematian pada bayi baru lahir. Infeksi
bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 2,75
kg dan 2 kali lebih sering menyerang bayi laki-laki.
Pada lebih dari 50% kasus, sepsis mulai timbul dalam waktu 6 jam setelah bayi lahir,
tetapi kebanyakan muncul dalamw aktu 72 jam setelah lahir.Sepsis yang baru timbul dalam
waktu 4 hari atau lebih kemungkinan disebabkan oleh infeksi nasokomial (infeksi yang
didapat di rumah sakit).

B. ETIOLOGI
Penyebab neonatus sepsis/sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti
bakteri, virus, parasit, atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
-          Bakteri escherichia koli
-          Streptococus group B
-          Stophylococus aureus
-          Enterococus
-          Listeria monocytogenes
-          Klepsiella
-          Entererobacter sp
-          Pseudemonas aeruginosa
-          Proteus sp
-          Organisme anaerobic
Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran.
Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat
bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat
mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif
rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka
biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan
sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator.
Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian
ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas.
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila
tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar artinya
bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda
paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam. Hampir satu per tiga dari
semua bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas – dan
penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di
dalam darah. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari
semua kasus bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun
Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga
kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan
terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang
berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya
padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari
pada bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang
dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko
utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah
dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama
terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat.
Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya
terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati
plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal
tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi
imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan
fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali
lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor Lingkungan
 Ada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan
prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama.
Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan
tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin
terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
 Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada
neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga
menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
 Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering
akibat kontak tangan.
 Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam
tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh
E.colli.
 Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui
beberapa cara, yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir. Pada masa antenatal kuman dari ibu
setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam tubuh bayi melalui
sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat
menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain
malaria, sipilis, dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi saat persalinan terjadi karena
yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya,
terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk
dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah
terinfeksi akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus
dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut.
Selain cara tersebut di atas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau
port de entre lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman.
Beberapa kuman yang melalui jalan lahir ini adalah Herpes genetalis, Candida
albican,dan N.gonorrea.
3. Infeksi paska atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran
umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim (misal
melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus, selang nasogastrik,
botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi
dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi
melalui luka umbilikus (AsriningS.,2003)

C. PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui
beberapa cara yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah
melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin.
Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus
rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat
melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman
yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin dan amnion akibatnya, terjadi
amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi.
Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi
oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian
menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada
janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan
lahir yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan
gonorrea).
3. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran
umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim (mis, melalui
alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman
atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nasokomial, infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Arief, 2008, manifestasi klinis dari sepsis neonatorum adalah sebagai berikut :
 Umum : panas (hipertermi), malas minum, letargi, sklerema
 Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali
 Saluran nafas: apnoe, dispnue(< 30x/menit), takipnae(>60x/menit), retraksi, nafas
cuping hidung, merintih, sianosis
 Sistem kardiovaskuler: pucat, sianosis, kulit lembab, hipotensi, takikardi(>
160x/menit), bradikardi(< 100x/menit)Sistem syaraf pusat: iritabilitas, tremor,
 kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun
membonjol
 Hematologi: Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan
Gejala sepsis yang terjadi pada neonatus antara lain bayi tampak lesu, tidak kuat
menghisap, denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala-gejala
lainnya dapat berupa gangguan pernafasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut
kembung
Gejala dari sepsis neonatorum juga tergantung kepada sumber infeksi dan
penyebarannya:
 Infeksi pada tali pusar (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari
pusar
 Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma,
kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada
ubun-ubun
 Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada
lengan atau tungkai yang terkena
 Infeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan
dan sendi yang terkena teraba hangat
 Infeksi pada selaput perut (peritonitis) menyebabkan pembengkakan perut dan
diare berdarah.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikrokopis maupun pembiaakan terhadap contoh darah air kemih, jika
diduga suatu meningitis, maka dilakukan fungsi lumbal.Bila sindroma klinis mengarah ke
sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah,
fungsi lumbal, analisis dan kultur urin.
 Leukositosis (>34.000×109/L)
 Leukopenia (< 4.000x 109/L)
 Netrofil muda 10%
 Perbandingan netrofil immature(stab) dibanding total (stb+segmen)atau I/T ratio >0,2
 Trombositopenia (< 100.000 x 109/L)
 CRP >10mg /dl atau 2 SD dari normal
Factor-faktor pada masalah hematology:
 Peningkatan kerentaan kapiler
 Peningkatan kecenderungan perdarahan(kadar protrombin plasma rendah)
 Perlambatan perkembangansel-sel darah merah
 Peningkatan hemolisis
 Kehilangan darah akibat uji  laboratorium yang sering dilakukan
F. PENATALAKSANAAN
1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v 
(dibagi 2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari, untuk neonatus umur > 7 hari dibagi 3
dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2
dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v
harus diencerkan dan waktu pemberian ? sampai 1 jam pelan-pelan).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap,
feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi
lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto
polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa
gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan
darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari
ke-7.
5. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP
tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau
Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15
mg/kg BB/per hari i.v i.m (atas indikasi khusus). Pemberian antibiotika diteruskan sesuai
dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis
pemberian antibiotika minimal 21 hari.
6. Pengobatan suportif meliputi :
7. Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis,
terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang,
transfusi tukar.
G. KOMPLIKASI
 Kelainan bawaan jantung,paru,dan organ-organ yang lainnya
 Sepsis berat : sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
 Syok sepsis : sepsis berat disertai hipotensi\
 Sindroma disfungsi multiorgan (MODS)
 Perdarahan
 Demam yang terjadi pada ibu
 Infeksi pada uterus atau plasenta
 Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)
 Proses kelahiran yang lama dan sulit
H. PENCEGAHAN
1. Pada masa Antenatal  :
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala,
imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu
dan janin. Rujuk ke pusat kesehatan bila diperlukan.
2. Pada masa Persalinan :
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik.
3. Pada masa pasca Persalinan :
Rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, jaga lingkungan dan
peralatan tetap bersih, perawatan luka umbilikus secara steril.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN SEPSIS NEONATORUM

A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/istirahat
Gejala: malaise
2. Sirkulasi
Tanda: tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal denyut perifer
kuat,cepat,takikardia (syok).
3. Eliminasi
Gejala: diare
4. Makanan dan Minuman
Gejala: anoreksia, mual, munta
5. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan
Tanda: gelisah, ketakutan
6. Nyeri / Keamanan
Gejala: abdomiral
7. Pernafasan
Gejala: tacipnea, infeksi paru, penyakit vital
Tanda: Suhu naik( 39,95OC) kadang abnormal dibawah 39,95OC
8. Seksualitas
Gejala:  puripus perineal
Tanda: magerasi vulvaa – pengeringan vaginal purulen
9. Penyuluhan Pembelajaraan
Gejala: masalah kesehatan kronis riwaayat selenektomi penggunaan antibiaotik

B. DIAGNOSA KEPERWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi (progesi dari sepsis ke syok sepsis) berdasarkan prosedur
invasif, pemajanan lingkungan (nasokomial).
2. Hipertermia berdasarkan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit dehidrasi, efek
langsung dari sirkulasiedotoksia pada hipotalamus perubahan pada reguasi temperataif.
3. Kekurangan volume cairan berdasaarkan peningkataaan jelas padaa vasodilatif maatif/
kompurtmen vaskuler dan permeabilitas kapiler/kebocvoran cairan kedalam lokasi
interstisial (ruang ketiga)

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi (progesi dari sepsis ke syok sepsis) berdasarkan prosedur
invasif, pemajanan lingkungan (nasokomial).
a) Intervensi :
- Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi
- Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukaan aktivitas walaupun menggunakan
sarung tangan steril.
- Dorong penggantian posisi , nafas dalama/ batuk.
- Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memungkinkan
- Pantau kecendrungan suhu
b) Rasional :
- Isolasi luka linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan
luka, sementar pengunjung untuk menguranagi kemungkinan infeksi.
- Mengurangi kontaminasi ulang.
- Bersihkan paru yang baaik untuk mencegah pnemoniaa
- Mencegah penyebaran infeksi melalui proplet udaraa.
- Demam ( 38,5OC- 40OC) disebabkan oleh efek dari endotoksinhipotalkus dan
endofrin yang melepaskan pirogen.
2. Hipertermia berdasarkan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit dehidrasi, efek
langsung dari sirkulasiedotoksia pada hipotalamus perubahan pada reguasi temperataif.
a) Intervensi :
- Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil / diaporesis.
- Pantau suhu linkungan, batasi / tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi.
- Berikan kompres hangat.
b) Rasional :
- Suhu  38,9OC- 41,1OC menunjukakana proses penyakit infeksius akut.
- Suhu ruangan / jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankana sushu
mendekati normala.
- Dapat membantu mengurangi demam.

3. Kekurangan volume cairan berdasaarkan peningkataaan jelas padaa vasodilatif maatif/


kompurtmen vaskuler dan permeabilitas kapiler/kebocvoran cairan kedalam lokasi
interstisial (ruang ketiga)
a) Intervensi :
- Ukur / kadar urine dan berat jenis datat ketidaak seimbangan masukan dan keluaraan
kumulatif dihubungkan dengan berat badan setiapa hari, dorong masukan cairan oral
sesuai toleransi.
- Palpasi denyut peripher
- Kaji membran mukosaa kering, turgor kulit yang kurang baik, dan rasa haaus.
- Amat odema dependem/ periper pada skrotum, punggung kaki.
b) Rasional :
- Pengurangan dalam sirkulasi volume cairan dapat mengurangi tekanan darh.
- Denyut yang lemah, mudah hilang dapat menyebabkan hipovolemia.
- Hipovomelemia/cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda tanda dehidrasi.
- Kehilangan cairan dari komparlemen vaskuler kedalam ruangaan intersilikal akan
menyebabkan edema jaringan.

ASKEP TETANUS NEONATORUM


A. DEFINISI 
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik
yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal,
pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut
dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989 )
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan
adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Masih merupakan masalah di indonesia
dan di negara berkembang lain, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di
indonesia. Angka kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45 – 75 % dari
kematian seluruh penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara
lain radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul gejala, makin tinggi pula
angka kematian. (Maryunani, 2011)
B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob dimana
kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan
karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa
inkubasinya antara 5 – 14 hari (Hidayat, 2008)
C. PATOFISIOLOGI
Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat
penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat
adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal
toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan
aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin
telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf
lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin
menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.( Aang, 2011)
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejalanya meliputi :
1. Kejang sampai pada otot pernafasan
2. Leher kaku
3. Dinding abdomen keras
4. Mulut  mencucu seperti mulut ikan.
5.  Suhu tubuh dapat meningkat. (Deslidel, 2011)

E. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia
2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan
3. Sepsis neonatorum.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit
2. pemeriksaan cairan otak biasanya normal
3. pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit motorik
secara terus-menerus . (Teddi, 2010)
G. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN TETANUS NEONATORUM
Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat dengan alat – alat yang
steril. (Deslidel, 2011)
Pengobatan tetanus ditujukan pada :
1. Netralisasi tosin yang masih ada di dalam darah sebelum kontak dengan sistem saraf,
dengan serum antitetanus (ATS teraupetik)
2. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan produksi toksin
3. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh kuman penyebab
4. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan
5. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terang
6. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan sesedikit mungkin
manipulasi pada penderita. (Maryunani , 2010)
H. PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif
Vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid diberikan bersama vaksin pertusis dan
difteri ( vaksin DPT ). Kadar proteksi antibodi bertahan selama 5 – 10 tahun sesudah
suntikan “ booster “. Tetanus toksoid (TT) selanjunya diberikan 10 tahun kecuali bila
mengalami luka yang beresiko terinfeksi, diberikan toksoid bila suntikan terakhir sudah
lebih dari 5 tahun sebelumnya atau bila belum pernah vaksinasi. Pada luka yang sangat
parah, suntikan toksoid diberikan bila vaksinasi terakhir sudah lebih dari 1 tahun.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, diberikan TT pada semua wanita usia subur
atau wanita hamil trimester III, selain memberikan penyuluhan dan bimbingan pada
dukun beranak agar memotong dan merawat tali pusat bayi dengan cara semestinya.
Dapat terjadi pembengkakan dan rasa sakit pada tempat suntikan sesudah pemberian
vaksin TT. (Maryunani, 2010)
2. Imunisasi pasif
Diberikan serum antitetanus (ATS Profilaksis) pada penderita luka yang beresiko
terjadi infeksi tetanus, bersama – sama dengan TT. (Maryunani, 2010)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN
TETANUS NEONATORUM
A. PENGKAJIAN
1) Pengkajian
2) Riwayat kehamilan prenatal. 
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT
3) Riwayat natal ditanyakan. 
Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang
bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.
4) Riwayat postnatal. 
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation
period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala
kejang yang pertama (period of onset).
5) Riwayat imunisasi pada tetanus anak.
Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir
6) Riwayat psiko sosial.
a) Kebiasaan anak bermain di mana
b) Hygiene sanitasi
7) Pemeriksaan fisik.
Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus, bayi normal dan
bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu”
seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi
talipusatkotor.Hipoksia dan sianosis.Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal
disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus).
Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otot-otot
mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut keluar dan ke
bawah.
Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot pinggang,
semua trunk muscle.
Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi setelah
dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.
Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang
8) Tata laksana pasien tetanus
Umum
a. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pemberian cairan secara i.v., sekalian untuk
memberikan obat-obatan secara syringe pump (valium pump).
b. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu tracheostomy.
c. Memeriksa tambahan oksigen secara nasal atau sungkup.
d. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian valium/diazepam bolus i.v. 5 mg
untuk neonatus, bolus i.v. atau perectal 10 mg untuk anak-anak (maksimum 0.7
mg/kg BB).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan kebutuhan kalori yang
tinggi, makan tidak adekuat.
2. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan sirkulasi (hipoksia berat).
3. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya
spasme pada otot faring).
4. Koping keluarga tidak efektif b.d. kurang pengetahuan keluarga tentang
diagnosis/prognosis penyakit anak
5. Gangguan komunikasi verbal b.d. sukar untuk membuka mulut (kekakuan otot-otot
masseter)
6. Risti gangguan pertukaran gas b.d. penurunan oksigen di otak.
7. Risti injuri b.d. kejang spontan yang terus-menerus (kurang suplai oksigen karena adanya
oedem laring).

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Peningkatan kebutuhan kalori yang
tinggi, intake yang tidak adekuat.
Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan dan
pertumbuhan normal.
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi dehidrasi
b) Tidak terjadi penurunan BB
c) Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan HbTidak menunjukkan tanda-
tanda malnutrisi
Intervensi:
1. Catat intake dan output secara akurat.
2. Berikan makan minum personde tepat waktu.
3. Berikan perawatan kebersihan mulut.
4. Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.
5. Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi dansesuaikan
dengan kebutuhan.
6. Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari.
7. Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan ahli gizi.
2. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya
spasme pada otot faring)
Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara maksimal.
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi aspirasi
b. Bunyi napas terdengar bersih
c. Rongga mulut bebas dari sumbatan
Intervensi:
1. Berikan O2 nebulizer
2. Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar.
3. Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi batuk.
4. Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut.
5. Berikan perawatan kebersihan mulut.
6. Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara efektif dengan melihat
waktu.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Suriyadi, Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Asuhan Keperawatan Pada Anak. Ed.2.
Jakarta :CV. Agung Seto.

Potter, P. A, Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,


dan Praktik. Ed.4 Vol.2. Jakarta : EGC.

Evan, 2011. Asuhan keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS), diakses
pada tanggal 10 September 2011 <http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-
keperawatan-pasien-respiratory-distress-syndrome-rds.html.

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta :
CV Sagung Seto

Carpenito, LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktek Klinis, Edisi 6.
Jakarta : EGC.

Doengoes, dkk. 1999 .Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta :EGC


Harianto, Agus. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses internet di

http://www.pediatrik.com/artikel/sepsis-neonatorium

Novriani, Erni. 2008. Sepsis Neonatorum. Akses Internet di

http://cemolgadis melayu.blogspot.com/2008/12/kepanak-sepsis.htm

Anonim. 2007. Sepsis. Akses internet

dihttp://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-1uyr3qilmiahpopular.doc

Berkow & Beers. 1997. Neonatal Problems : Sepsis Neonatorum. Akses internet

di http://debussy.hon.ch/cgi-bin/find?1+submit+sepsis_neonatorum

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak ed.15 vol.I.1999.EGC:Jakarta

Bobak,keperawatn maternitas ed.4.2004.EGC:Jakarta

Deslidel, hajjah. 2011. Buku ajar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta : EGC
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu keperawatan Anak 1. Jakarta :
SalembaMedika
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : TIM
http://hasgurstika.blogspot.com/2011/01/askep-tetanus-neonatorum.html

Anda mungkin juga menyukai